Pulau Terpencil 4

Pak Aditya terbaring lemah di pasir. Tubuhnya tampak begitu rapuh meski aku tahu dia adalah seorang pria yang kuat. Matanya tertutup, napasnya terengah-engah. Aku duduk di sampingnya, masih gemetar dari kejadian tadi. Aku ingin menangis. Bagaimana kalau Pak Aditya nggak selamat? 

"Pak, tolong bangun," pintaku ketakutan. 

Namun, Pak Aditya tetap terdiam, matanya terpejam rapat, tubuhnya masih sangat lemah. Aku menggigit bibir, berusaha menenangkan diri, tapi rasa cemas menggerogoti dadaku. Kalau dia nggak bangun, lalu aku harus gimana? 

Mungkin Tuhan masih menyayangiku. Aku melihat mata Pak Aditya menggeletar. Perlahan, kelopak matanya terbuka, dan aku langsung merasakan sebuah dorongan lega yang mengalir deras ke seluruh tubuhku. Jantungku berdegup lebih kencang, kali ini karena kebahagiaan. Dia sadar. Akhirnya.

"Pak Aditya..." aku berbisik, suaraku hampir nggak keluar. Aku ambruk di dadanya, kupeluk dia erat-erat, gemetar sedikit karena terlalu banyak emosi yang bercampur. 

"Saya kira Bapak nggak selamat," kataku, nada suaraku pecah. "Bapak sempat nggak sadarkan diri. Aku takut Bapak nggak akan bangun lagi."

Pak Aditya mencoba untuk duduk, tetapi tubuhnya masih sangat lemah, dan dia terhuyung sedikit, seolah nggak bisa mengontrol gerakannya. Aku langsung meraih lengannya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.

"Jangan dipaksakan," kataku dengan cepat, masih memegang tangannya erat. Aku merasakan betapa dinginnya kulitnya, masih lemah, dan dia hampir tak bisa berdiri dengan stabil.

Dia tampak bingung, lemah, dan sedikit kesakitan. "Air," katanya dengan suara serak. “Air…”

Aku segera berdiri, memandangi pohon kelapa yang nggak jauh dari tempat kami duduk. Ada beberapa kelapa yang menggantung cukup rendah dan bisa dijangkau, tetapi aku harus tetap memanjat. 

“Wait here,” aku berkata kepada Pak Aditya, sedikit nggak yakin, lalu mulai berjalan cepat ke arah pohon kelapa.

Setiap langkah terasa berat, tubuhku masih lemah, namun aku nggak punya waktu untuk ragu. Aku mendekati pohon kelapa dengan hati-hati, mencoba menilai cabang-cabang yang bisa menopang tubuhku. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku akhirnya memulai. Setelah beberapa usaha yang nggak mudah, akhirnya aku berhasil mendapatkan satu butir kelapa. Kuputuskan tangkainya menggunakan pisau Victorinox yang sempay kukantongi saat di pesawat tadi. Aku meluncur turun perlahan, mencoba menahan napas agar nggak terjatuh. Begitu kaki menyentuh pasir, aku langsung bergegas kembali ke arah Pak Aditya.

“Ada airnya,” kataku, sedikit terengah. Aku memecahkan kelapa itu dengan batu besar yang kutemukan di sekitar pantai dan memberikan sebagian besar airnya kepadanya.

Pak Aditya menatapku, terlihat sangat kehausan. “Terima kasih,” katanya pelan, suara seraknya masih terdengar jelas. Dia meneguk air kelapa itu dengan rakus, dan aku merasa lega melihatnya bisa sedikit lebih baik.

Setelah dia selesai, aku mengambil sedikit air kelapa untuk diriku sendiri. Aku duduk di sampingnya, mencoba menenangkan napasku.

“Semoga ini cukup untuk kita bertahan,” gumamku sambil menatap sekeliling.

Pak Aditya mengangguk, lalu dengan suara pelan berkata, “Saya bisa bantu kalau kamu butuh.”

Tapi, aku menggeleng. "Nggak perlu. Bapak harus pulih dulu." Aku mencoba bersikap tenang, meski di dalam hatiku, aku merasa sedikit ragu. Aku ingin melakukan lebih banyak, tapi tubuhku juga masih lemah, dan aku tahu aku harus mengutamakan keselamatan kami berdua.

Aku menatap tubuhnya yang terbaring di pasir. Pak Aditya telanjang tanpa baju, tubuhnya yang atletis tampak jelas. Aku mencoba untuk tidak memperhatikannya lebih lama, tetapi aku tidak bisa menahan diri. Dada bidangnya, otot-otot yang terlihat jelas bahkan meski dia masih terbaring lemah, membuatku merasa sedikit kagum. Aku sadar tubuhnya kekar, tetapi ketika mataku tak sengaja beralih ke area privatnya, katakanlah penisnya, aku merasa sedikit terperanjat. Kejantanan Pak Aditya sangat besar, panjang, hitam, dan ada urat-urat bertonjolan di sekelilingnya — aku mengerti sekarang kenapa cewek-cewek banyak yang gosipin dia. Aku penasaran gimana penis sebesar itu menerobos vagina. Ugh... Aku langsung ngilu bayanginnya tapi juga... Penasaran. 

Aku mengalihkan pandangan ke tempat lain, merasa jantungku berdegup kencang. Tentu saja, aku hanya bisa menundukkan kepala, mencoba untuk nggak melihat lebih lama. “Sebentar ya, Pak,” kataku, mencoba menutupi ketegangan yang kurasakan dalam dada. Aku meraih beberapa daun kelapa dan membuat celana asal-asalan hanya agar bisa menutupi bagian 'itu'. 

"Oh, maaf. Kamu risih ya," kata Pak Aditya malu. 

"Baju Bapak basah. Jadi aku lepas dan jemur biar Bapak nggak kedinginan."

Dia mengangguk, tampaknya nggak mempermasalahkan tindakanku. 

"Aku pergi sebentar ya, mau cari sesuatu yang bisa dimakan."

Untungnya, aku menemukan beberapa buah pisang dan buah-buahan kecil yang bisa dimakan di sekitar pantai. Buah-buahan yang lebih mirip berry, rasanya asam tetapi cukup menyegarkan. Aku membawa hasil itu kembali kepada Pak Aditya, dan memberikan beberapa buah kepadanya.

“Ini, semoga bisa sedikit mengganjal perut,” kataku, mencoba menghindari matanya yang kini memandangku lebih tajam.

Pak Aditya tersenyum lemah. “Kamu hebat. Terima kasih banyak, Luna.”

Aku hanya tersenyum kecil. Nggak ada yang hebat tentang apa yang aku lakukan. Itu hanyalah insting bertahan hidup yang sudah menjadi bagian dari hidupku.

Kami makan buah-buahan dalam diam untuk mengisi energi. 

***

Malam semakin larut, dan kami duduk bersebelahan dekat api unggun. Suhu semakin menurun, dan aku mulai merasa tubuhku semakin kaku. Rasanya, aku ingin duduk lebih dekat dengan Pak Aditya, mencari sedikit kehangatan, tetapi aku ragu. Jadi kami duduk dekat walaupun ada sedikit jarak di antara kami. Akhirnya, dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, Pak Aditya berbicara.

“Luna,” katanya. 

"Ya?"

"Kamu sudah sering menghadapi situasi seperti ini ya?" tanyanya. 

"Aku suka ikut ekskul pecinta alam sejak SMA. Sejak SD biasa camping Persami. Aku pernah snorkeling di Bali. Beberapa kali mendaki gunung di Pulau Jawa. Jadi ya, lumayan terbiasa kalau berhadapan sama alam."

"Hebat," puji Pak Aditya dan entah kenapa pujian sederhana itu bisa menghangatkanku. "Saya juga mau hidup seperti kamu. Bebas, nggak ada beban."

Aku lumayan terkejut dengan ucapannya. "Aku malah pengen kayak Bapak. Punya banyak uang, punya kuasa. Susah Pak kalau nggak punya duit tuh," kataku setengah curhat. 

"Kamu mau seperti saya?" Sekarang gantian Pak Aditya yang terkejut.

"Ada yang salah?"

Pak Aditya menarik napas panjang. “Dunia bisnis terlalu banyak tekanan. Banyak orang munafik yang tersenyum di depan tapi menikam di belakang. Dan politik itu... tidak seperti yang kamu bayangkan. Saya sebetulnya ingin menjalani hidup biasa saja, jauh dari keriuhan ini. Kalau bisa, saya ingin mundur sebagai cawapres."

Aku menoleh padanya. Pak Aditya tampak serius, dan sejenak aku merasakan ketegangan yang berbeda. “Bapak nggak pengen maju sebagai calon wakil presiden?” tanyaku hati-hati.

Pak Aditya menggeleng pelan. “Tidak. Saya tidak ingin itu. Tapi Partai Indonesia Emas meminang saya. Mereka melihat saya punya potensi, hasil survey menyebutkan elektabilitas saya tinggi. Mereka percaya saya bisa memimpin.” Dia terdiam sejenak, menatap api unggun yang menyala. “Tapi saya tidak tahu, Luna. Dunia ini penuh tekanan yang tidak bisa saya kontrol.”

Aku mengangguk pelan. Aku tidak tahu banyak tentang politik, tapi aku bisa merasakan betapa beratnya beban yang dia rasakan. Aku menarik napas panjang, kemudian dengan pelan berkata, “Kalau ngomongin cita-cita, aku juga punya. Aku pengen menjadi fotografer alam. Aku pengen bekerja di tempat seperti National Geographic.” Aku menatap api, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. “Tapi orangtuaku bilang itu ide gila. Mereka maunya aku kerja di kantor, dengan gaji tetap. Aku merasa... terkekang.”

Pak Aditya menatapku dengan mata penuh perhatian. “Terkadang, impian itu memang berat. Tapi kalau itu yang kamu inginkan, kamu harus mengejarnya. Jangan pernah takut untuk mencoba.”

Aku merasa sedikit terkejut dengan kata-katanya, dan itu membuatku merasa lebih dekat dengannya. Aku menarik napas, menatap api lagi, mencoba untuk menenangkan diri.

“Kadang, aku merasa... aku nggak dipahami,” aku melanjutkan, sedikit membuka diri. “Mereka hanya melihat aku sebagai anak perempuan yang suka petualangan. Tapi aku pengen lebih dari itu.”

Pak Aditya menatapku intens, dan aku merasakan ada semacam kedekatan yang mulai terbangun. Ketegangan itu mulai terasa, seperti ada ikatan yang tak bisa diabaikan.

“Kamu hebat, Luna,” katanya dengan lembut. “Saya bisa mengerti perasaanmu.”

Aku hanya tersenyum kecil. “Terima kasih,” jawabku, merasa sedikit lebih lega. Rasanya, setelah berbicara seperti ini, aku merasa lebih dekat dengan Pak Aditya daripada sebelumnya.

“Luna…” Suaranya pecah lagi, tapi kali ini ada lebih banyak ketegasan. Pak Aditya menatapku dengan lebih dalam. “Saya benar-benar merasa tidak tahu bagaimana caranya membalas semua yang telah kamu lakukan untuk saya.”

Aku mengangkat bahu, berusaha terlihat tidak terlalu terganggu dengan perasaan yang semakin aneh ini. “Nggak perlu balasan, Pak Aditya."

Pak Aditya mengangguk pelan, tapi tatapannya tidak melepaskan diriku. Ada semacam kesendirian di matanya, seperti dia ingin mengatakan sesuatu, tapi entah kenapa dia ragu. Aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakan ketidakpastian itu, yang sama seperti yang aku rasakan.

Dia bergerak sedikit lebih dekat, dan aku terdiam. Di bawah cahaya api unggun yang berkedip-kedip, kami duduk begitu dekat, lebih dekat daripada yang aku bayangkan. Napasku terasa sedikit lebih cepat, dan aku mencoba menenangkan diri, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya keadaan darurat. Kami hanya bertahan hidup.

Tapi ketika dia bergerak lebih dekat lagi, aku merasa seolah dunia sekitar kami menjadi hening. Tidak ada suara selain desir angin laut dan detak jantung kami yang mulai bersinergi. Aku menahan napas, sedikit cemas tapi juga… tertarik. Ada perasaan yang begitu kuat antara kami berdua, meski kami belum pernah mengungkapkannya. Aku bisa merasakan tubuhnya yang hangat di dekatku, dan aku tahu dia merasakan hal yang sama.

Matanya nggak melepaskan pandangannya dariku. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan. Aku menunduk, berusaha mencari alasan untuk mengalihkan perhatian. Aku menggigit bibir bawah, berusaha menahan gejolak dalam diriku.

"Luna..." Suaranya lebih dalam sekarang, hampir seperti sebuah bisikan, tetapi aku bisa merasakannya seperti getaran yang mengalir langsung ke dalam hatiku.

Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan keinginan yang kuat—keinginan untuk lebih dekat, untuk menyentuhnya, untuk merasakannya lebih dalam. Aku tahu dia merasakan hal yang sama, karena matanya yang gelap itu kini penuh dengan ketegangan. Ada keinginan yang nggak terucapkan di antara kami.

Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, hanya napas yang semakin cepat. Tanpa sadar, aku sedikit maju ke arahnya, dan pada detik itulah, dia mengulurkan tangannya. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi tiba-tiba, dia meraih wajahku dan menarikku lebih dekat.

Mataku terpejam seketika, detik-detik itu terasa begitu lama. Dan kemudian, aku merasakan sentuhan itu. Bibir tebal Pak Aditya menyentuh bibirku dengan perlahan, nggak terburu-buru, seakan meminta izin. Aku merasa tubuhku seperti diselimuti kehangatan yang nggak pernah aku rasakan sebelumnya.

Awalnya, aku nggak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya diam, merasakan setiap detik yang meluncur cepat. Tapi ada sesuatu yang membuatku membalasnya, meski terasa kaku, aku merasa haus akan sentuhan itu.

Aku merasakan tangan Pak Aditya yang menelusuri sisi wajahku, jari-jarinya mengelus lembut pipiku, seperti memberi tahu bahwa ini bukan sekadar sebuah dorongan fisik—ini lebih dari itu. Mungkin kami hanya terperangkap dalam keadaan terdampar, atau mungkin ini perasaan yang nggak bisa dijelaskan. Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan dorongan yang semakin kuat.

Dia menekan tubuhku lebih dalam ke pasir, ciumannya semakin dalam, semakin menuntut. Pak Aditya nggak lagi sekadar menciumku, tetapi dia menyesap bibirku dengan ganas seakan-akan dia ingin mengambil semua perasaan yang aku sembunyikan—semua ketegangan, semua kebingunganku, semua yang aku nggak bisa katakan dengan kata-kata. Kami semakin dekat, tubuh kami semakin terjalin, dan aku merasa napasku semakin tersengal.

Tubuhku nggak bisa menahan dorongan itu. Aku merasa seperti terombang-ambing di dalam lautan perasaan yang membingungkan, sementara dia terus mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, menekanku hingga rebah ke pasir. Tangan Pak Aditya yang sebelumnya menyentuh pipiku, kini turun ke pahaku, membelai di sana dan membuat sekujur tubuhku menggigil. Ciumannya menuruni payudaraku. Dia meremasnya dan aku merasakan gelombang kehangatan yang mengalir melalui tubuhku. Ciuman Pak Aditya naik lagi mendaki perpotongan leherku. Seharusnya aku menolak, tapi aku malah semakin menelengkan kepala hingga dia mencumbuku dengan gencar. 

"Pak..." bisikku, suaraku hampir nggak keluar, tersedak oleh perasaan yang aneh. Aku merasa tubuhku lemah, seolah-olah seluruh dunia berputar hanya di sekitar tubuhnya. Aku ingin berbicara, tetapi kata-kataku terhenti begitu saja, terjebak di kerongkonganku.

Pak Aditya menindihku. Aku benar-benar terperangkap. Nggak bisa berlari atau meminta tolong. Dadanya yang bidang menekanku sementara lidahnya menyapu cuping telingaku. 

Pak Aditya melepas kausku yang basah. Saat dia mencoba melepaskan celana jinsku, aku nggak menahannya malah mengangkat pinggulku untuk memudahkan segalanya. Kami sama-sama telanjang sekarang. Kulit kami bersentuhan. Dadanya menyentuh dadaku. 

Pak Aditya memilin puting payudaraku hingga aku mendesah. "Lagi, Pak."

Dia tersenyum dan kali ini melakukan yang lebih berani. Dia melahap payudaraku. Lidahnya benar-benar ahli memanjakanku hingga aku nggak bisa menahan desahanku. 

"Nggghh..." Aku menjenggut rambut Pak Aditya. 

"Yah... Pak... Terus..." Aku memejamkan mata. 

"Ohhh..."

Aku terhanyut dalam cumbuannya, seolah dunia di luar kami lenyap begitu saja, hanya ada kami berdua, tenggelam dalam arus birahi yang semakin menguasai. Tangannya meremasi payudaraku. 

Pak Aditya kian merosot turun, menciumi perutku, pahaku, lalu liang senggamaku. Lidahnya menusuk-nusuk, menghantarkan sensasi mencandukan. 

"Pak..."

Aku belum pernah merasakan ini. Leherku tertarik dan punggungku melengkung. Ya Tuhan, ini nikmat. Aku kehilangan kata-kata untuk menjelaskan bagaimana rasanya. Pak Aditya bekerja keras untuk membuatku bahagia dengan lidah dipadukan jemarinya. 

"Ngghhh..." Aku meremas rambut Pak Aditya dan mengais udara. Demi Tuhan aku kecanduan ketika jemarinya merogoh kewanitaanku dalam-dalam. 

Pinggulku bergerak tak terkendali, liar meningkahi permainan jarinya. Lalu aku menegang dan menyentak. 

Pak Aditya bersujud di atasku, kedua lututnya menghalangiku kabur. Di depan mataku, dia mengurut penis besarnya. Perlahan kejantanan itu menegang, hitam, panjang dan urat-uratnya bertonjolan. 

"Oh my God. Itu gede banget!" Aku nyaris berteriak. 

"Kamu siap?" tanyanya. 

Aku ingin menggeleng. Berulang kali menelan ludah. Aku belum pernah melakukan ini dan pemandangan ini cukup mengintimidasi. Namun aku adalah orang yang menyukai petualangan dan aku akan memberanikan diri. 

"Ya, Pak." Aku mengangguk walau nggak yakin. 

Pak Aditya menggesekkan kepala penisnya pada lipatan vaginaku. 

"Geli, Pak," kataku. 

"Lalu saya harus gimana?"

Aku diam tanpa berkedip. Bingung harus menjawab apa. 

"Masukin?" tanyanya. 

Dan bodohnya, aku mengangguk. 

Aku menahan napas ketika Pak Aditya mulai memasuki diriku. Aku nggak bohong, rasanya seperti tubuhku dihancurkan. 

"Keluarin, Pak. Itu nggak bakal muat!" teriakku saat penis raksasa itu baru setengah menjebol vaginaku. 

Namun Pak Aditya mengangguk. "Pasti muat."

Pak Aditya mencabut penisnya sesaat lalu melumasi dengan liurnya. Tanpa aba-aba, dia menerobos masuk. Aku nyaris nggak bisa bernapas saat Pak Aditya memelukku lalu menekan pinggulnya hingga berhasil membelah vaginaku sepenuhnya. Aku berteriak. Sungguh, rasanya seperti dirobek. Sakit, ngilu, dan penuh pada saat bersamaan. 

Aku lemas, nggak bisa melawan saat Pak Aditya menyentakkan pinggulnya. Penisnya yang besar menghentak keluar masuk. Sakit itu kemudian ditutupi rasa lain yang lebih intens. Lebih nikmat. Aku merintih meningkahinya. 

"Pak... Pak Aditya... Mhhhhh..."

Kami berciuman sembari penis besar di dalamku terus memporak-porandakan vaginaku dengan kenikmatan tiada tara.

"Oh, Tuhan..." Aku meneteskan air mata karena sakitnya bersimfoni dengan kenikmatannya. Aku merentangkan kaki lebar-lebar untuk mereguk rangsangan yang Pak Aditya berikan. 

Tubuh Pak Aditya yang besar menudungiku. Kulit dadanya yang cokelat tua tampak sexy bersimbah keringat seperti ini. 

Penis besar Pak Aditya bergerak konstan, merangsangku hingga aku bergetar hebat. 

"Kamu enak banget, Luna," Pak Aditya menggeram di telingaku seraya terus menyetubuhiku. 

Aku pun merasakan hal yang sama. Kalau seperti ini rasanya bersenggama, aku mau setiap hari melakukannya bersama Pak Aditya. 

"Ah, Luna, punya kamu ngejepit banget." Pak Aditya berbisik di telingaku. Kemudian lidahnya menggapai puting payudaraku dan menyedotnya tanpa ampun. Gila, rasa nikmatnya berlipat ganda. 

Pak Aditya mempercepat tempo hunjamannya. Aku nggak tahan lagi. 

"Pak, kayaknya aku mau pipis," lirihku. 

Pak Aditya mengecup mataku. "Keluarin aja."

Satu gerakan, satu napas, dan dunia seakan meledak dalam sekeping waktu. Aku terhempas dalam sebuah ledakan rasa yang nggak bisa kusebutkan. Seperti langit yang pecah, menurunkan bintang-bintang yang menyinari setiap sudut pikiranku, yang menghujamkan rasa yang begitu kuat dan tak terbendung. Aku mengejang hebat. Kali ini lebih kuat, lebih dahsyat. 

Aku terengah dengan vagina berdenyut. Perutku mengejang. Namun Pak Aditya terus menggempurku hingga aku kehabisan energi. Dia menaikkan satu kakiku ke bahunya dan menghunjam lebih cepat. Lebih dalam. 

Dia menggeram. Mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menyetubuhiku. Sementara aku sudah tak dapat menghitung berapa kali mendapatkan apa yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. 

"Akh... Penuh banget, Pak." Aku mengernyit ketika merasakan penis raksasa itu semakin besar di dalamku. 

"Kamu sempit banget. Ugh!" Pak Aditya semakin gencar menyodokkan batang kejantanannya. 

"Ah, Pak Aditya!" Aku menengadah ke atas, menatap bintang-bintang yang menjadi saksi persenggamaan kami. 

Tubuhku dihentak kuat. Payudaraku berguncang. Hingga akhirnya teriakan Pak Aditya membahana. 

Cairan hangat menyembur tanpa ampun memenuhiku. Pak Aditya memelukku dan menciumi wajahku. 

***

Yang nungguin kelanjutan Danu-Maya bisa mampir di Karyakarsaku ya. Bab trakhir mungkin nanti malam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top