Pulau Terpencil 2
Jangan lupa follow BelladonnaTossici9 Yakk!
***
Wattpad: @belladonnatossici9
Aku selalu merasa lebih hidup ketika berada di alam bebas. Gunung, pantai, dan laut adalah tempat-tempat di mana aku merasa bisa menjadi diriku sendiri. Sejak kecil, ayah sering mengajakku jalan-jalan menikmati alam. Dimulai dari yang paling sederhana misalnya kemping di halaman belakang rumah kami.
Begitu masuk usia sekolah, aku akan menyambut segala ajakan travelling - terutama yang bersentuhan dengan alam - dengan senang hati. Sebut saja Persami (Perkemahan Sabtu Minggu) yang nggak pernah absen kuikuti sampai SMP.
Memasuki SMA, aku semakin memperluas penjelajahan dengan naik gunung bahkan mengeksplorasi lautan. Aku sudah terbiasa dengan tantangan alam. Berenang, mendaki, atau bahkan bertahan hidup di hutan. Itulah sebabnya, ketika mendapat kesempatan untuk bergabung dalam perjalanan kampanye Pak Aditya ke Kepulauan Sula, aku sangat antusias. Aku tahu, perjalanan ini akan menjadi salah satu pengalaman paling berharga dalam hidupku.
Pak Aditya adalah sosok yang membuatku merasa kagum. Muda, cerdas, dan sangat percaya diri, dia adalah calon wakil presiden yang sangat diandalkan. Dengan latar belakang keluarga yang blasteran Arab-Jawa-Ghana, Pak Aditya membawa perspektif yang lebih luas tentang Indonesia. Kabarnya dia juga lulusan universitas bergengsi di Jerman. Setiap kali dia berbicara, aku merasa seolah dia mampu melihat jauh ke depan, memahami masalah-masalah yang belum terpecahkan di negara ini, dan menyusun solusi yang luar biasa. Dan yang paling mengesankan, dia bisa berbicara tentang hal-hal rumit dengan cara yang begitu mudah dipahami. Di usianya yang baru 34 tahun, Pak Aditya sudah menginspirasi banyak orang, termasuk aku.
Kami berangkat menuju Kepulauan Sula dengan tim yang terdiri dari 12 orang. Selain aku, pastinya ada Mas Hilbram, fotografer kampanye yang sudah berpengalaman, yang juga merupakan mentorku. Aku bertugas sebagai asisten fotografer, mendokumentasikan setiap momen selama perjalanan.
Ada Ibu Rina, ahli pendidikan yang sangat bersemangat untuk menjalankan program pemerataan pendidikan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), dan Pak Budi, kepala logistik yang sangat terorganisir. Mereka berdua selalu memastikan semua kebutuhan kami tercukupi.
Di samping mereka ada Pak Andi dan Pak Dimas, dua ahli infrastruktur dan teknologi komunikasi, yang tugasnya untuk memetakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat di pulau-pulau terpencil. Ada juga Ibu Maya, psikolog yang bertugas untuk menganalisis kondisi mental masyarakat di daerah-daerah yang kami kunjungi, serta Pak Eka, ahli pertanian yang akan memberikan solusi ramah lingkungan untuk meningkatkan hasil pertanian di daerah tersebut. Pak Fajar dan Pak Denny, dua ahli sosial dan ekonomi, juga bergabung untuk membantu menganalisis pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal. Semua orang memiliki peran masing-masing, dan setiap orang tahu apa yang harus dilakukan.
Saat kami berkumpul di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta, suasana sangat ceria. Percakapan kami mengalir ringan, membicarakan tentang perjalanan panjang yang akan kami jalani. Pak Aditya dengan semangat menjelaskan mengenai rencana kampanye yang akan dilakukan di Kepulauan Sula. "Kita akan mengunjungi sekolah-sekolah di sana, dan mengevaluasi kebutuhan infrastruktur yang harus dipenuhi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat," ujarnya dengan penuh tekad. Wajahnya begitu serius, namun ada aura optimisme yang tak terbantahkan di balik setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Aku mengangguk sambil menatapnya, terpesona. Aku selalu terkesan ketika dia berbicara, apalagi tentang hal-hal besar seperti ini. Dia tahu betul bagaimana mengubah sebuah masalah menjadi tantangan yang bisa dihadapi, dan itu membuatku semakin yakin bahwa dia adalah pemimpin yang tepat untuk masa depan Indonesia. Sebagai asisten fotografer, tugas utamaku adalah mengabadikan setiap momen perjalanan ini, terutama setiap kali Pak Aditya berbicara. Aku tahu, foto-foto ini akan menjadi dokumentasi penting yang akan menyampaikan pesan kampanye mereka ke seluruh Indonesia.
Perjalanan dimulai dengan penerbangan Garuda Indonesia dari Jakarta menuju Bandara Sultan Babullah di Ternate, Maluku Utara. Setelah itu, kami akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Mangole menggunakan pesawat terbang perintis berkapasitas penumpang lebih kecil. Kami semua sangat antusias, terutama aku yang sangat suka jalan-jalan.
Di dalam pesawat Garuda, aku duduk di samping Mas Hilbram. Di seberang kami, Bu Rina dan Bu Maya berbincang dengan riang, sementara Aditya duduk di depan, dikelilingi oleh Pak Budi, Pak Andi, dan Pak Dimas yang asyik membahas masalah teknis.
Setiba di Bandara Sultan Baabullah, kami sudah disambut pesawat carteran. Namun, ketegangan mulai terasa ketika kami naik ke pesawat Beechcraft 1900D karena pesawat kecil ini sering kali terasa lebih berguncang dibandingkan pesawat komersial.
Namun Bu Rina yang sudah lebih berumur bahkan sepertinya paling tua di rombongan tim kampanye ini berusaha mencairkan suasana. Bu Rina yang selalu penuh semangat, mencoba menggoda Pak Aditya dengan candaan yang agak nakal. “Mas Aditya, katanya keturunan Afrika itu… punya kemampuan spesial ya?” ujarnya sambil menyeringai nakal. Ya ampun, aku sampai risih memperhatikan gelagatnya yang cenderung kurang ajar. Bu Rina terang-terangan menatap area selangkangan Pak Aditya.
Namun Pak Aditya menanggapi dengan santai, hanya tertawa sambil menggelengkan kepala. “Bu Rina ini, nggak ada habisnya,” jawabnya cenderung nggak ambil pusing.
"Mas Aditya tuh diomongin tahu karena banyak yang penasaran sama ukuran itunya," kata Bu Rina dengan kilatan mata nakal.
"Bilang aja mau nyoba dicocol sama yang bongsor, dasar janda," timpal Pak Fajar.
Aku paling muda di sini dan nggak biasa menghadapi obrolan mesum begitu. Biarpun teman-temanku rata-rata cowok, mereka lebih suka membahas game daripada masalah esek-esek.
"Nggak pengen dicocol sih, cuma penasaran mirip timun atau terong?" sahut Bu Rina makin berani.
"Nanti kalau lebih mirip ular sanca baru keliyengan," kata Pak Fajar.
Aku hanya bisa tersenyum risih mendengar percakapan mereka. Kenapa duo mesum itu nggak nikah saja. Kelihatannya nyambung membahas yang cabul-cabul.
Pak Aditya, meskipun tampak serius, selalu bisa merespons lelucon dengan tenang dan humor yang menyenangkan. Dia juga nggak tampak malu. Mungkin sudah biasa praktik.
Agaknya jokes mesum nggak dapat meredam ketengangan. Beberapa dari kami mulai cemas, terutama Bu Maya yang tampak agak mual. “Kenapa ya rasanya pesawat kecil ini lebih bergoyang?” tanyanya dengan suara pelan.
"Ya, mungkin kayak gini rasanya jadi pacarnya Mas Aditya. Berguncang setiap malam," seloroh Bu Rina.
"Saya beneran takut loh, Bu Rina," ucap Bu Maya sambil memegangi lengan kursi setiap kali pesawat berguncang.
Pak Dimas, yang duduk di samping Bu Maya, mencoba menenangkan. “Tenang, Bu Maya. Ini cuma sementara kok. Kita akan sampai dengan selamat.”
Aku bisa merasakan ketegangan itu, meskipun kami semua berusaha tetap terlihat santai. Pak Aditya duduk di depan, memerhatikan kami dengan seksama. "Semua baik-baik saja, kan?" tanyanya, suaranya tenang namun penuh perhatian. "Kalau ada masalah, kita hadapi bersama."
Kami semua mengangguk, tetapi dalam hati, ketegangan semakin terasa. Saat pesawat mulai menanjak, suara mesin terdengar semakin keras, dan pesawat mulai bergetar. Beberapa penumpang mulai melihat keluar jendela dengan cemas. Aku melihat Bu Rina menggenggam lengan kursinya, wajahnya sedikit pucat. Bu Maya berusaha menenangkan dirinya, namun aku bisa melihat ada kekhawatiran di matanya.
Tiba-tiba, terdengar suara pramugari yang cukup tegas, mengubah suasana menjadi lebih serius. “Mohon perhatian, para penumpang. Kami mengalami gangguan mesin. Harap tetap tenang dan kenakan pelampung keselamatan yang telah disediakan di bawah kursi Anda.”
Suasana langsung berubah menjadi tegang. Aku menoleh ke arah Pak Aditya, yang duduk di depan, wajahnya tetap terlihat tenang, namun aku bisa melihat perubahan di sorot matanya. Dia terlihat lebih fokus, seolah-olah sedang menganalisis situasi. "Tenang, kita akan baik-baik saja," ujarnya dengan suara pelan, tapi nada itu terdengar lebih seperti meyakinkan dirinya sendiri daripada kami.
Aku segera mengikuti instruksi pramugari dan mengenakan pelampung keselamatan. Namun, getaran pesawat semakin kuat, dan suara mesin yang semula terdengar keras kini berubah menjadi sangat berisik. Ada rasa mual yang mulai merayap di perutku, dan aku berusaha keras untuk tetap tenang.
Pak Aditya menoleh ke arahku, tangannya menggapai kursiku dengan tenang. "Luna, tetap tenang. Ikuti instruksi dengan hati-hati. Kita harus bersiap." Aku bisa melihat ekspresi serius di wajahnya, tetapi ada kekuatan yang mengalir dari kata-katanya.
Ketegangan di dalam pesawat semakin menjadi-jadi. Pramugari mulai berbicara lagi, kali ini dengan nada yang sedikit lebih khawatir. “Para penumpang yang terhormat, harap tetap mengenakan pelampung dan menjaga ketenangan. Kami sedang berusaha sebaik mungkin untuk mengatasi situasi ini.”
Bu Maya, semakin panik. "Ada apa ya? Kenapa pesawatnya nggak stabil?" tanyanya dengan suara gemetar.
Pak Dimas mencoba menenangkan walaupun wajahnya mulai pasi ketakutan. “Bu Maya, sabar. Semua akan baik-baik saja. Kita harus percayakan pada pilot.”
Namun, suasana semakin kacau. Pesawat mulai menukik tajam ke bawah, dan aku merasakan tubuhku terangkat ke atas kursi. Suara mesin yang menderu keras membuat telingaku hampir berdenging. Semua penumpang mulai panik. Teriakan mulai terdengar di sekitar kami, dan aku bisa merasakan ketegangan yang memuncak.
Aku sudah mengenakan pelampung dan mengambil beberapa barang dari ranselku, pisau multiguna merek Victorinox, korek api, dan senter lalu kumasukan ke saku celana jinsku. Aku punya firasat buruk tentang apa yang akan terjadi.
Sebelumnya aku sudah beberapa kali naik pesawat kecil untuk menuju pulau yang tidak begitu besar. Dari yang kutahu, pesawat jenis Beechcraft memang paling sering mengalami kecelakaan. Akan lebih aman kalau tim menggunakan pesawat De Havilland Canada DHC-6 atau Cessna 208 Grand Caravan. Ini menurut teman-temanku yang lebih ahli dalam soal pesawat perintis. Aku sendiri heran kenapa tim menggunakan jenis pesawat yang punya catatan kecelakaan lumayan sering.
Sayangnya aku nggak punya waktu untuk memikirkan adanya sabotase dari tim capres dan cawapres lawan, sebab pesawat kami berputar liar, dan dalam sekejap, aku merasa tubuhku terlempar ke samping. Aku hanya bisa memejamkan mata, berusaha untuk tetap berpegangan pada kursi. Tubuhku berguncang hebat, dan aku bisa mendengar suara jeritan yang membuat hatiku semakin cemas.
"Semua orang, tetap tenang!" teriak Pak Aditya, suaranya masih terdengar tegas meskipun aku tahu dia pasti sangat khawatir. “Ikuti instruksi! Kita akan keluar dari sini dengan selamat!”
Namun, sepertinya pesawat benar-benar kehilangan kendali. Aku mendengar suara jeritan keras dari luar, dan dalam sekejap, pesawat itu jatuh bebas. Aku terlempar ke bawah, air mata menetes di wajahku karena ketakutan yang luar biasa. Dunia terasa berputar. Aku merasakan tekanan udara. Ada yang membuka pintu ketika dengan kecepatan penuh, aku merasakan pesawat meluncur jatuh. Sebentar lagi, kami akan menghunjam bumi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top