Meet Me In Pavilion 3
Seperti biasa, suasana rumah selalu sepi. Hanya terdengar suara air mancur di taman samping rumah.
“Meow.”
“Enak?” celetukku sambil berjongkok dan mengelus kepala Gulali, kucing orenku yang gemuk mirip Garfield.
Selama aku tinggal di London, Gulali tinggal di rumah. Namun, meskipun begitu Gulali tidak melupakanku. Kucing itu masih suka mengikutiku dan bergelayut di kakiku mencari perhatian.
“Makan yang banyak.” Aku membiarkan jemariku dijilati oleh Gulali. Dia mengambil sisa-sisa snacknya dengan lahap.
Suara hentakan stiletto yang beradu dengan lantai, menandakan kedatangan Mbak Sekar. Dari derap langkahnya yang cepat, sangat khas.
“Mbak Sekar udah pulang?” Sapaanku seperti biasa diabaikan oleh Mbak Sekar.
Dia terus berjalan ke dapur, meletakkan tas di atas sofa lalu meneguk segelas air putih.
Aku memilih untuk tidak mengambil hati sikap Mbak Sekar. Sejak dulu memang kami tidak pernah akur. Lebih pantas disebut musuh daripada saudara kandung.
“Udah habis, sana main.” Aku berdiri dari posisi jongkok lalu mencuci tangan.
“Hush! Heh! Kucing nakal! Gendhis kucing kamu tuh singkirin nggak!”
“Meow! Meow!”
Mendengar teriakan Mbak Sekar, segera aku menghampiri Gulali yang sudah berlari karena disiram air oleh Mbak Sekar.
“Dasar kucing kampung! Sialan!” umpat Mbak Sekar yang buru-buru mengambil tasnya dari sofa.
“Kenapa sih Mbak?” tanyaku mendekat.
Mbak Sekar melemparkan tatapan tidak suka ke arahku. Sorot mata penuh kebencian yang selalu dihaturkan, kini semakin jelas.
“Lihat nih, kucing kamu pipis di tasku!” bentak Mbak Sekar sambil menjauhkan tasnya karena bau pesing yang menyengat. “Kamu sama kucingmu nggak ada bedanya, sama-sama pembawa sial!” tambahnya dengan nada meninggi.
Ucapan Mbak Sekar yang selalu kudengar itu kali ini terasa lebih menyakitkan.
“Hidup nggak ada gunanya,” kata Mbak Sekar.
Tanganku mengepal kuat saat mendengar ucapan itu.
“Mbak kenapa sih, masih benci sama aku?” ucapku dengan nada bergetar. Mataku terasa panas.
“Masih tanya?” Mbak Sekar mendekat, “kamu itu bodoh, tuli atau emang pura-pura nggak ngerti sih?”
Aku bersusah payah menahan tangis, dengan mengepalkan tangan kuat-kuat.
“Gara-gara kamu, Mama meninggal! Kamu harus inget itu di otak kamu!” ucap Mbak Gendhis sambil menoyor kepalaku.
Mendengar kalimat itu, sontak air mataku menetes. Aku juga tidak ingin Mama pergi begitu saja, bahkan sebelum aku bisa melihat wajah dan merasakan kasih sayangnya.
“Gara-gara kamu, aku harus menjalani kehidupan tanpa Mama! Gara-gara kamu, Papa harus jadi duda di sisa hidupnya! Bahkan gara-gara kamu juga, Papa jadi hinaan netizen karena nggak bawa pasangan di setiap ada acara pemerintahan!” jelas Mbak Sekar tanpa henti. “Itu semua gara-gara kamu! Kalau aja kamu nggak lahir, keluarga ini masih utuh kayak dulu!”
Air mataku terus melindas pipi tanpa henti. Bibirku spontan terkunci dan tidak bisa membalas ucapan Mbak Sekar. Seolah, aku membenarkan bahwa akulah penyebab kesedihan di keluarga ini.
“Jangan pernah ngomong atau muncul di hadapanku lagi! Aku muak lihat wajah kamu!” ucap Mbak Sekar sambil melenggang pergi.
“Udah bagus-bagus pergi ke London, ngapain harus balik sih.” Gerutuan Mbak Sekar masih terdengar meskipun langkah kakinya mulai menjauh.
Tubuhku masih kaku, diam di tempat. Entah mengapa otot tubuh sulit sekali untuk digerakkan. Hingga mataku menatap Mas Abisena yang berdiri tidak jauh di depanku. Dia melihatku dengan iba. Yah, pasti saat itu aku terlihat sangat menyedihkan.
***
Aku terus menatap foto Mama sambil meneguk wine yang aku bawa dari London. Mamaku terlihat sangat cantik dan sangat bahagia di foto itu. Dia sedang memegang perutnya yang mengembang sambil mencium Papa dengan mesra.
“Apa Mama masih bisa bahagia kalau akan meninggal setelah ngelahirin aku?” rintihku dengan air mata yang tidak berhenti menetes.
Aku tahu penderitaan Mbak Sekar selama ini. Dia harus bisa mengurus diri sendiri di usia belia. Namun, aku juga mengalami hal yang sama. Meskipun ada pengasuh, aku harus belajar mandiri sejak kecil.
Aku juga tidak pernah merasakan bekal yang dibuatin Mama seperti teman-temanku. Hanya bisa menahan diri saat melihat teman-temanku dijemput ibunya dan dirawat saat sakit. Bahkan aku tidak punya foto kenangan bersama Mama. Mengatakan sebutan Mama saja tidak pernah.
“Hah! Kenapa habis!” keluh ku saat tidak ada setetes wine pun yang tersisa.
Aku kembali menatap foto Mama sambil terus menangis.
“Ma, Maafin Gendhis ya,” ucapku dengan nada bergetar. “Maafin Gendhis.”
Aku menunduk sambil mengepalkan tangan kuat-kuat di atas paha. Jika memang kehadiranku hanya membuat sengsara orang di sekitarku, aku rela untuk menukar posisi dengan Mama.
Aku memijat pelipis, saat rasa pusing mulai menyerang. Perlahan aku mencoba berjalan merambat.
Pandanganku sudah mulai kabur. Berulang kali aku nyaris terhuyung karena alkohol yang sudah mulai menguasai diri.
Sambil berpegang pintu dan tembok, aku masuk ke dalam paviliun. Bangunan di belakang rumah yang menyimpan semua hal tentang Mama.
Papa pernah bilang, kalau Mama sering menghabiskan waktu di Paviliun untuk membaca buku atau sekedar melukis. Bahkan tidak jarang Mama dan Papa bermalam di Paviliun dibanding di rumah utama.
Kata Papa, Mama tidak terlalu suka dengan rumah Tarumanegara yang terlalu besar. Mama lebih suka rumah yang minimalis.
“Mama tahu nggak?” celetukku saat berhasil duduk di ruang tengah sambil memandangi lukisan Mama yang tergantung di atas perapian. “Papa selalu bilang, aku sangat mirip Mama. Tapi menurutku, Mama berkali lipat lebih cantik.”
Tentu saja, Mama keturunan Jawa, Rusia dan Ukraina. Matanya yang sebiru lautan tidak ada yang bisa mengalahkan. Mamaku sangat cantik.
“Hah.” Aku menghela napas.
Kepalaku terasa semakin pusing. Aku sulit berdiri, tetapi kerongkonganku terasa sangat kering.
Aku berdiri sempoyongan sambil terus memijat pelipis dan berusaha meraih botol air mineral di sudut ruangan.
Kakiku mendadak terasa ringan, hingga tiba-tiba menggelap dan aku tidak ingat apapun.
TO BE CONTINUED….
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top