Daddy's Ecstasy 1


This story belongs to Ayana_Ann

"Nya, kamu nggak kuliah?"

Anya yang sedang membersihkan rambut-rambut halus di ketiaknya otomatis terperanjat sendiri. Beruntung dia belum mengeksekusi rambut pada bagian pribadinya—kalau mamanya sampai lihat-bisa panjang kali lebar rentetan pertanyaannya.

"Mama sendiri gimana?" Anya balik tanya.

"Event-nya masih minggu depan, paling bahas printilannya aja sama om Darius nanti," sahut Mama Deswita. Ia mengambil tempat di sisi ranjang Anya, lalu memandangi aktivitas sang anak dengan saksama. "Bulu ketek-mu, kan, nggak ada, ngapain kamu cabutin segala? Nanti malah lebat," ujarnya. "Kamu itu nurun Mama, sampai tua gini, ketek Mama mulus tanpa bulu. Kuncinya nggak usah aneh-aneh, nggak usah diapa-apain segala ..."

"Hmm, ya." Anya mengangguk sekenanya. Lalu melirik Deswita penasaran. "Jadi, hari ini karyawan-karyawan pada libur, dong, Ma?"

Deswita membenarkan. "Cuma om Darius aja yang datang," jelasnya.

"Oh." Anya berharap Deswita segera keluar dari kamar, supaya dia bisa melanjutkan kegiatannya. Cukur rambut kemaluan.

Deswita justru tidak beranjak, malah menatap Anya dengan sorot penuh makna.

Anya mendesah terpaksa. "Mama mau ngegosip apa?" Seolah bisa menebak isi pikiran Deswita. 

"Om Darius, lho ..." Senyum Deswita mengembang. Senang karena Anya paham betul tujuannya menghampiri ke kamar.

Melahirkan Anya diusia dua puluhan, membuat Deswita memperlakukan anaknya layaknya bestie. Ditambah tanpa ada sosok suami yang mendampingi, ikatan antara ibu dan anak itu pun semakin erat. Hidup Deswita adalah Anya, dan Anyalah satu-satunya sahabat tempat bercerita. Kelahiran Anya menyembuhkan luka Deswita karena ditinggalkan begitu saja oleh lelaki yang menghamilinya. Semua benci dan dendam mendadak luruh kala Anya hadir ke dunia.

Fokus Deswita hanya satu; membahagiakan Anya.

Prinsip itulah yang membuatnya tetap bertahan meski jatuh bangun serta pontang-panting, mengembangkan bisnis event organizer miliknya. 

Hasil tiada mengkhianati usaha, setelah 10 tahun berjuang, bisnis Deswita kini berkembang pesat. Bahkan menjadi salah satu EO paling dicari di Jawa Timur.

Adalah Darius Adwaya, teman seperjuangan, sekaligus saksi hidup Deswita ketika mengalami pasang surut.

Dua puluh tahun lalu, orang tua Deswita yang konvensional dan kolot, mengusirnya karena ketahuan hamil. Saat berada di titik terendah, tiada keluarga yang bersedia menerima Deswita. Kepedulian justru datang dari orang tua Darius yang merupakan tetangga Deswita. Mereka dengan suka rela menampung Deswita di salah satu kamar indekost-nya. Deswita diperlakukan bak anak sendiri, dijaga sepenuh hati hingga Anya akhirnya lahir.

Bahkan, orang tua Dariuslah yang memodali Deswita untuk memulai bisnis.

"Kenapa om Darius?" tanya Anya berpura-pura antusias.

"Kayaknya istrinya ketahuan selingkuh lagi," ujar Deswita setengah membisik. Padahal, di rumah itu hanya ada dirinya dan Anya, dia harusnya tak perlu berbisik segala. Tapi, yang namanya 'gibah', bila tidak diceritakan dengan dramatis, ya ... kurang seru.

"Mosok, Ma?" timpal Anya.

Deswita mengiakan. "Jelas-jelas dipergoki lagi sama berondong, kok ..."

"Ck." Anya menggeleng iba. "Kasian, om Darius," sahutnya. "Gitu kenapa nggak gugat cerai aja, sih?"

Deswita mengedikkan bahu. "Bucin kalik," tebaknya.

"Tapi emang tante Rahma nggak pernah ikut gathering lagi, kan. Semua orang bisa mengendus ketidak-harmonisan mereka berdua." Rahma merupakan istri Darius.

"Iya." Bibir Deswita melengkung ke bawah.

Anya terdiam sesaat. Mendadak terpikir ide impulsif dalam benaknya. "Kenapa Mama sama om Darius nggak pacaran aja?"

"Hush!" Deswita sontak melotot.

"Ih, why not?" Anya berapi-api. "Om Darius, lho ganteng, setia, baik pula." Ia sebenarnya mau muntah karena terpaksa memuji Darius yang selama ini ia cap biasa saja.

"Emmoh, Mama!" sanggah Deswita.

"Coba dulu kalik, Ma. PDKT. Lagian, Mama udah kenal lama sama om Darius, Mama yang paling tahu dia kayak apa," persuasi Anya.

Sebetulnya Anya tak terlalu tertarik dengan urusan percintaan mamanya, atau Darius. Namun, Anya punya intensi terselubung. Kalau Deswita punya pacar atau suami baru, otomatis mamanya itu tidak akan terlalu berpusat padanya. Selama ini, Deswita terkadang terlalu clingy pada Anya. Sementara, Anya ingin punya kehidupan yang lebih bebas tanpa selalu diawasi. 

Maklum, dia baru saja jadian dengan Gary, teman kampusnya. Anya butuh banyak space bersama Gary—yang mana tidak mudah ia dapatkan karena keobsesifan Deswita.

Andai saja Deswita tahu kalau Anya sudah kehilangan kegadisannya di tangan Gary ... bisa kiamat.

"Om Darius itu lebih muda dari Mama. Sudah Mama anggap adik sendiri, keluarga," tegas Deswita.

"Halah," decak Anya. "Cuman beda lima tahun doang. Toh, Mama masih kelihatan muda, masih pulen, dan cuteable kayak ABG."

"Anya!" tegur Deswita salah tingkah.

Anya terkikik. "Ma," katanya. "Mama sama om Darius nggak ada ikatan darah sama sekali. Nggak ada salahnya kalau Mama sama dia mau berhubungan." Ia lalu mengulas senyum lembut. "Lagian, Mama butuh seseorang yang baik dan bertanggung jawab untuk menemani hidup Mama."

Bibir Deswita mengerucut.

"Mama, kan, punya kamu!" Ia merengkuh Anya tanpa aba-aba.

Anya mencebik dan berusaha meloloskan diri dari Deswita. "Nggak selamanya aku bisa temenin Mama."

"Kamu mau ke mana emang?" sungut Deswita.

"Ya, kerja, berpetualang ..." Anya menelan saliva. "Nikah," lanjutnya.

"Aish," sembur Deswita. "Urusan kerja kamu tidak perlu cari susah-susah. Mama menurunkan bisnis ini buat kamu, kamu yang akan melanjutkan, Nya. Lalu, soal menikah, kamu beserta suamimu bakal tinggal di sini nantinya. Buat apa cari-cari rumah lagi, rumah kita luas."

"Ah, Mama!" ketus Anya cemberut.

"Lagian kamu kok sudah mikirin pernikahan segala—lulus aja belum!" protes Deswita. Ia lantas memelototi Anya tajam. "Jangan macem-macem, lho, kamu, Nya," ancamnya.

"Macem-macem gimana, sih, Ma ...?" elak Anya.

"Jangan gampang terbuai bujuk rayu lelaki," ujar Deswita.

"Nggak, tuh," dalih Anya.

Deswita mengusap puncak kepala Anya. Ia membelai rambut lurus putri kesayangannya penuh kasih.

"Kamu itu cantik, pintar, dan bisa dibilang berkecukupan. Mama tidak mau kamu dimanfaatkan sama cowok-cowok mokondo diluaran sana," petuah Deswita.

"Nggak bakal." Anya membuang muka.

"Jangan sampai ..." Deswita sedikit tercekat. "Kamu mengalami apa yang Mama dulu alami, Sayang."

"Aku nggak sedangkal dan sepolos Mama," tukas Anya.

Raut Deswita seketika muram. Anya tidak salah, hanya saja, ada sakit akibat perkataan anaknya.

"Iya, Mama percaya kamu," ucap Deswita.

Wanita berusia 40 tahunan itu lalu beranjak dari ranjang dan bersiap keluar dari kamar Anya.

"Ma?" panggil Anya menyimpan sesal akibat mulut tajamnya.

Deswita tak menoleh. "Itu sepertinya om Darius udah datang, Nya. Mama mau mulai meeting dulu sama dia," hindarnya.

"Iya."

Anya mengamati punggung Deswita yang akhirnya menghilang di balik pintu. Ia sadar sudah keterlaluan. Anya sadar telah bersikap egois. Meski demikian, dia belum menyerah untuk menemukan pendamping bagi Deswita. Kalau niat awalnya demi kebebasan diri sendiri, kali ini demi kebahagiaan mamanya.

Mencintai dan dicintai merupakan nikmat dunia. Anya yakin, hari-hari sang ibu akan lebih berwarna bila memiliki tambatan hati. 

Dan ... kandidat potensial sebagai pasangan mamanya adalah Darius. Siapa lagi ...?

***

Anya menyusuri lorong rumah yang sudah gelap gulita. Rumah baru yang sudah ia tempati selama lima tahun belakangan.

Kesuksesan bisnis Deswita memudahkannya membeli hunian baru. Tak lagi menumpang di rumah keluarga Darius. Yah, meski rumah itu dulunya tak ditempati oleh siapa pun semenjak Darius dan Rahma menikah. Tetap saja, Deswita punya mimpi ingin punya rumah sendiri dari hasil kerja kerasnya.

Selain itu, rumah Darius menyimpan banyak kenangan—baik suka mau pun duka.

Duka mendalam akibat kepergian orang tua Darius yang mendadak dan tragis. Kecelakaan maut di tol Kertosono yang merenggut kedua orang tua Darius. Rasa bersalah membayangi Deswita, ia belum sempat balas budi.

Begitulah takdir, tidak ada yang tahu.

Langkah Anya agak terseok karena sibuk menggaruk tengah selangkangannya. Selepas menggunduli area pribadinya, kulit Anya jadi gatal-gatal.

Mau bagaimana lagi-itu merupakan special request Gary.

Gary minta Anya memamerkan tubuh polosnya saat mereka tadi melakukan video call. Sudah lama keduanya tak bisa making love karena Deswita ketat soal jadwal Anya. Otomatis, VCS jadi option demi meredakan gairah.

Dengan cuek Anya melenggang menuju dapur menggunakan setelan satin tipis. Ia membiarkan dadanya bebas tanpa bra, pun dengan kewanitaan yang cuma ditutupi celana pendek tembus pandang. Pikirnya tak ada siapa pun di rumah, kecuali mamanya dan dia.

Puas colmek waktu panggilan video tadi membuatnya haus. Anya mau meredakan panas tenggorokannya dengan segelas air lemon dingin.

Sampai di dapur, Anya membuka kulkas untuk mengeluarkan sebuah lemon. Ia lalu memotong buah itu menjadi dua bagian dan memerasnya ke dalam gelas. Kemudian, Anya menambah banyak es dan air untuk melengkapi minuman sehatnya itu.

"Ah ..." desah Anya ketika kesegaran memenuhi kerongkongan.

Ia pun menarik stool dan duduk sembari menyesap air lemon perlahan-lahan. Tangan kiri Anya sibuk membaca dan membalas chat Gary. Pacarnya itu baru saja mengiriminya foto panas. Kondisi kejantanan Gary yang masih tegak bahkan setelah self service. 

Anya senyum-senyum sendiri.

Ia pandangi foto dari Gary lamat-lamat. Anya perbesar, lalu amati dengan serius. Memuaskan diri sendiri memang enak, tetapi lebih enak bila bersentuhan langsung dengan Gary.

"Nya ..."

"Astaga!" Anya tersentak dari lamunan joroknya. Ia melotot lebar karena kemunculan Darius dari balik partisi. "Om?" 

"Belum tidur kamu?" Darius menghampiri dan berjalan menuju kulkas yang terletak di belakang Anya.

"Be-belum." Anya serta merta mematikan layar ponselnya. Bisa gawat kalau Darius memergoki apa yang ia lihat tadi.

"Kenapa? Insomnia?" ledek Darius. Ia mengambil sebotol soda untuk dirinya. Lalu, menarik stool di sisi Anya.

"Keasyikan scroll tiktok aja," dalih Anya.

"Hmm," angguk Darius. Ia lantas meneguk minumannya sambil melirik ke arah Anya. "Uhuk!" Hampir saja ia tersedak tatkala tersadar akan penampilan Anya.

Situasi remang membuat Darius tidak terlalu memperhatikan apa yang Anya kenakan. Namun, ketika mereka akhirnya bersebelahan-semuanya jelas.

Puting Anya tegak mengeras dari balik baju tipis merah muda. Belum lagi, lipatan kewanitaan tercetak gamblang akibat ketatnya hot pants. Darius lupa jika Anya sudah dewasa. Di benaknya, Anya masih bocah ingusan yang kelahirannya sempat ia saksikan waktu dia kelas 3 SMP.

"Aku nggak tahu kalau Om nginep di sini," ucap Anya salah tingkah. Dia juga menahan malu akibat pakaiannya. Belum pernah ia tampil seterbuka sekarang di hadapan Darius.

"Nggak nginep," sanggah Darius. "Cuman keasyikan ngerjain rundown acara sampai nggak sadar sudah tengah malam."

"Mama ...?"

"Mamamu sudah tidur duluan," sahut Darius.

"Oh ..." balas Anya canggung.

Untuk pertama kalinya, atmosfer tegang membingkai percakapan Anya dan Darius. Biasanya mereka mengobrol akrab dan saling menggoda jail satu sama lain. Sialan. Ini semua akibat salah kostum!

"Carmen sama Aletta di rumah sama siapa, Om?" alih Anya berusaha bersikap normal.

"Mereka lagi liburan di rumah kakek neneknya. Rumah orang tua tante Rahma," jelas Darius.

"Oiya, ya, sekarang lagi liburan sekolah," timpal Anya.

Anya terdiam mematung.

Kalau dia pamit pergi, maka Darius akan melihat tubuh bagian belakangnya. Celana super pendek yang memamerkan pantat Anya secara sempurna. Tapi, kalau tetap di sana, rasanya tengsin juga.

Di lain sisi, mata Darius benar-benar tidak bisa diajak kompromi.

Sekuat tenaga lelaki itu berpaling, tetapi bola matanya seolah punya kemauan sendiri. Berulang kali Darius mencuri pandang akan kemolekan tubuh Anya. Buah dada menyembul yang seakan-akan bersiap melompat keluar. Serta bayangan kewanitaan Anya yang tercetak menggairahkan.

Sadar, Darius! Sadar!

"Om, aku balik ke kamar, deh. Mau tidur," pamit Anya terburu-buru.

Darius refleks mengikuti Anya. "Kalau begitu, aku juga balik ke kantor. Beres-beres lalu balik pulang." Ia tak kalah tergesa.

Sialan! Rutuk Anya dalam hati. Niat hati menjauhi Darius, lelaki itu kini malah berjalan di sisinya.

Jelas-Darius memperhatikan penampilan Anya-Anya sadar betul akan hal tersebut. Biasanya, dia berdandan sedikit menor saja, Darius sudah mem-bully habis-habisan. Omnya itu bak fashion police. Tumben malam ini diam saja. Sudah pasti dia pun canggung oleh penampilan Anya.

Jantung Anya berdebar tak karuan.

Ada rikuh bercampur hasrat memenuhi relungnya. Anya sendiri bingung—walau malu—ia agak terangsang karena Darius melihatnya berbaju mini. Dia pasti sudah gila. Atau mungkin, sisa VCS tadi masih berdampak pada libidonya.

"Besok ke sini lagi, Om?" tanya Anya memecah bisu.

"Iya. Besok staf lain juga pada datang. Rencananya ada meeting sama vendor," jelas Darius. Sesekali ia menoleh kepada Anya-semakin lama dipandang semakin berkobar nafsunya.

"Oh," tanggap Anya singkat.

"Besok kuliah jam berapa, Nya?" Darius gantian berbasa-basi.

"Siang," sahut Anya.

"Pantas kamu tidurnya malam, ternyata besok bisa bangun sia—" Darius tersentak karena keseimbangan Anya tiba-tiba hilang. "ANYA!" Ia sigap menahan tubuh Anya menggunakan lengan.

Beruntung, akibat kegesitan Darius, Anya urung terpeleset.

"Aduh, Om ..." Anya cengengesan.

"Kamu itu kenapa?" selidik Darius.

"Nggak tahu, kakiku tiba-tiba kecekluk—"

DEG!

Baik Anya mau pun Darius pun tersadar akan posisi mereka. Lengan Darius mencengkeram kuat perut Anya dari belakang. Tindakan yang menyebabkan kamisol Anya melorot turun memamerkan payudaranya. Selain itu, tubuh Darius dan Anya terlalu dekat. Mereka bisa merasakan kulit satu sama lain.

"Thanks, Om." Anya buru-buru meloloskan diri dari rengkuhan Darius.

Tanpa ba-bi-bu lagi, gadis itu melesat cepat meninggalkan Darius. Ia tidak sanggup menahan lonjakan birahi yang tiba-tiba memercik tanpa diundang.

Anya, tolol! Bisa-bisanya kamu tergoda oleh calon papa tirimu?!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top