Bab 4

Orang bakal menilai kalau Maya seperti masuk ke kandang macan yang berani-beraninya datang seorang diri ketika jarum jam menunjukkan pukul delapan malam. Mungkin ada juga yang mencemooh Maya tak memiliki pendirian untuk terus menjauhi Danu. Tentu saja, pendapat kedua itu tetap Maya lakukan dan malam ini harus berakhir karena dia sudah mantap akan memilih Gema.

Mana mungkin dia menyia-nyiakan Gema hanya demi mendapatkan seorang pria labil yang suka marah-marah?

Dan umur! Inget, May, dia 38! Kamu 22! Gila apa naksir om-om!

Dia manggut-manggut membenarkan dewi batinnya selagi mengedarkan pandang, mengawasi setiap detail perabotan yang tidak pernah jauh berbeda dari yang terakhir kali dilihat. Serba minimalis. Serba hitam dan putih. Serba misterius.

Ngebosenin banget deh hidupnya Om-om ini!

Sejujurnya Maya ingin bicara to the point supaya tidak terlalu lama berinteraksi dengan Danu. Ibarat magnet, semakin lama dia berdekatan maka semakin sulit terlepas dan keraguan di hatinya bakal membesar. Lagi pula, masih banyak perempuan lain yang bisa digaet Danu—lebih matang dan cantik. Kenapa pula lelaki itu masih terpaku pada dara muda sepertinya?

Sayang, begitu disambut sang pemilik apartemen, cacing-cacing dalam perut Maya langsung berdemo akibat setengah porsi udon tak mampu memuaskan rasa lapar. Alhasil, dia mengumpat, menepuk perut yang justru menimbulkan ajakan makan malam. Kini, lelaki itu tengah berkutat di dapur, menggoreng beberapa potong ayam kremes yang sialan menggiurkan.

Termasuk orangnya, pikir Maya yang kemudian menepuk bibirnya sendiri.

"Jangan gila jadi cewek," gumam Maya sepelan mungkin lantas meneruskan pengamatannya ke sekitar.

Apartemen Danu masihlah sama, berada di Kuningan yang merupakan sentra bisnis elit ibukota beserta sederet kemewahannya. Maya membatin, Danu memang kaya sejak orok meski tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang berlabel old money. Hanya saja, silsilah keluarga Danu tidak boleh diremehkan, apalagi ayahnya pernah menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan Kota sebelum naik menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi lima belas tahun silam. Poin penting lagi, Danu anak tunggal dan digosipkan belum menikah lagi selepas berpisah secara resmi dari istri.

Pandangan Maya beredar, meneliti setiap detail perabotan yang dimiliki Danu alih-alih membantu si empunya apartemen menggoreng. Tidak! Maya tidak akan serta merta merelakan secuil tenaganya menolong Danu. Dia bukan tipikal mothering treatment karena pria dewasa seperti Danu tentu tidak butuh diperlakukan layaknya anak kecil. Terlalu tua, batin Maya.

Alasan lain adala dua manusia yang berada di satu tempat bersama pasti ujung-ujungnya akan terlibat sesuatu yang tidak diinginkan. Maya sudah hafal trik-trik murahan yang dibacanya melalui novel online. Dia sudah membangun dinding setebal tembok Cina agar Danu tidak meluncurkan rayuan.

"Gimana keadaan kamu?"

Suara Danu memecah keheningan yang tercipta ketika dia membalikkan badan tuk menyodorkan ayam goreng kremes ke atas meja makan.

"B aja," jawab Maya melirik Danu. "Kapan sih dokter bisa berpenampilan kayak bapak-bapak pada umumnya?"

Danu mengerutkan hidung tak mengerti. "Maksud kamu?" Dia mematikan kompor listrik dan mengambil dua piring dan dua sendok, memberikannya kepada Maya. Sejenak Danu memindai gaya pakaiannya sendiri; sweatpants abu-abu dan kaus putih longgar. Tidak ada yang salah lantas bocah ingusan di depannya ini kenapa malah protes, batin Danu. Tak mengindahkan sindiran Maya, Danu membuka kulkas dan mengambil dua kaleng soda.

"Udah ngerokok, minum soda. Tinggal nunggu tanggal mati doang sih," komentar Maya lagi saat menerima kaleng pemberian Danu.

"Makan dulu daripada nyerocos nggak jelas," perintah Danu menunjuk rice cooker di depan Maya kemudian mengempaskan badan ke kursi di sampingnya. Dia mengambil satu centong nasi di atas piring Maya lalu dua centong untuk dirinya sendiri. "Kurang nggak nasinya?"

Tumben banget Om-om ini jinak! Batin Maya.

Gadis itu mengambil setengah centong dan dada ayam goreng beserta kremesan yang menggugah selera. Masalah masakan, jujur saja Danu jauh lebih jago daripada mama Maya sendiri. "Saya bisa ambil sendiri!"

Sesaat mereka tenggelam dalam hidangan masing-masing meski sesekali saling lempar kerlingan. Danu memerhatikan Maya makan begitu lahap sembari bertanya-tanya apa yang akan dikatakannya hingga rela datang ke apartemennya. Mungkinkah ini berhubungan dengan ucapannya beberapa waktu lalu?

"Omong-omong." Akhirnya Maya membuka pembicaraan ketika memalingkan muka ke arah Danu. "Saya nggak suka sama ucapan dokter kemarin."

Danu menaikkan sebelah alis mendengar penuturan Maya. "Jauh-jauh ke sini cuma bilang itu doang?"

"Ka-karena ..." Maya gelagapan sendiri, menjelaskan bahwa hubungan mereka sangatlah tak masuk akal. Perbedaan kasta baik sosial maupun profesi. Seperti bumi dan langit. Belum lagi rentang usia yang bila dibandingkan, serasa seperti bapak dan anak, dan ... Maya menggeleng cepat karena tak sanggup mengungkapkan alasan terakhir.

"Kita sudah mengakhirinya ketika semuanya terlalu runyam. Kita sepakat nggak bakal membahas apa pun andai kata waktu mempertemukan kita. Kita sudah setuju kalau dokter ... dokter membiarkan saya bahagia dengan pilihan saya. Saya berhak melanjutkan hidup setelah—" Maya berpaling tak mampu menyelesaikan ucapannya saat masa lalunya kembali menghantui.

"Kamu benar," ujar Danu memutar kursi Maya menghadap ke arahnya—mempertemukan kontak mata—agar bisa menangkap emosi sesungguhnya dari lubuk hati kecil gadis itu. "Melanjutkan hidup memang sah-sah saja, tapi bukan bersama orang lain." Dia merendahkan posisi tubuh, menyentuh sejumput rambut Maya sebelum menuruni lekuk ceruk leher jenjang gadis itu. "Kamu tetaplah milik saya, begitu juga sebaliknya, Maya."

"Tapi, saya menyukai Gema, bukan dokter," elak Maya tegas.

"Bukan?" Danu memiringkan kepala, menyunggingkan seringai selagi jemarinya bergerak ke permukaan bibir Maya yang agak belepotan akibat kremesan ayam. Dijilat pelan sudut bibir ranum gadis itu sembari berkata, "Kalau bukan kenapa kamu masih mengenakan merek parfum yang saya beri? Kamu masih belum bisa melupakan saya kan? Termasuk ... tempat saya biasa merokok di gudang?"

"Dok ..."

"Sst ..." Danu menekan jempolnya lebih dalam sehingga bibir Maya terbuka setengah sedangkan sebelah tangan lain kini melingkari leher. Posesif.  "Nggak ada yang salah dengan hubungan kita, Maya. Usia? Persetan dengan usia. Saya bisa menghajar siapa pun yang mengolok kamu, nggak peduli rekan saya sendiri."

Cengkaman tangan Danu di leher Maya kian menguat menyebabkan gadis itu mendongakkan kepala. Sialnya, sentuhan ini tidaklah menyakitkan justru membangunkan bulu roma. Manalagi Danu mendaratkan sebuah kecupan di sana. Tidak sekali, melainkan beberapa kali seolah-olah kulit lembut nan wangi Maya adalah heroin yang sangat dirindukan Danu.

"Saya suka wangi kamu," bisik Danu menjilat leher Maya lagi dan lagi.

Belaian lidah Danu berhasil meloloskan erangan dari mulut Maya. Gadis itu meremas ujung bajunya tapi tak mampu menolak setiap sentuhan yang diberikan Danu. Godaan ini saja langsung membangunkan titik-titik sensitifnya, terutama puncak payudara juga liang vagina yang mendadak berkedut-kedut butuh dijamah.

Danu menegakkan punggung dan tersenyum puas saat Maya keluar dari zona aman; mengulum jempolnya dengan pandangan berlapis gairah menyiratkan betapa nikmat andai kata kejantanan Danu berada di mulut gadis itu. Dia berdiri, masih terus mencengkeram leher gadisnya tersebut lalu berkata, "Kamu tahu kan akibatnya bila menggoda saya seperti ini?"

Maya mereguk saliva sambil melenggut pelan membenarkan ucapan Danu. Dia sudah terjebak dalam permainan Danu sejak dua tahun lalu, mengelak pun cumbu rayu yang disajikan Danu bagai madu dan racun yang begitu nikmat namun juga mematikan akal sehat.

Tanpa takut, kedua tangan Maya menyentuh pinggiran celana sweatpants Danu sebelum berhenti tepat di bagian gundukan besar yang tak sabar dimanjakan.

"Use your words, Maya," tutur Danu terkesan memerintah dengan mata berkilat-kilat.

"Setubuhi saya."

Dinding yang kubangun nyatanya selalu hancur bila bersamanya.

Kami memang gila.

Melampaui batas walau seribu janji diikrarkan.

"Lagi."

"Se-setubuhi saya," ucap Maya membuat Danu bergerak mundur dan menunjuk meja makan dengan dagunya.

"Duduk di sana." Danu berdiri bersandar di depan pintu kulkas. "Mainin vagina kamu."

"Danu ..." Air muka Maya merona bukan main. Tidak ada sebutan 'dokter' bila berkaitan dengan permainan panas yang bakal mereka jalani. Tidak ada pula obrolan formal layaknya rekan kerja. Yang ada hanyalah dua manusia dibutakan nafsu yang butuh kepuasan. "Aku masih datang bulan."

"Mainin atau lidah saya—"

"Aku mau lidah kamu," tantang Maya melepas kaitan celana jeans-nya. "Kalau kamu nggak merasa jijik sama darahku, isep vaginaku sampai orgasme."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top