Bab 1
Gadis itu lagi!
Helaan napas pendek keluar dari lubang hidung mancung Danu kala tak sengaja bertemu muka dengan seorang perawat baru di ruang paru. Bukan baju magang yang melekat di lekuk tubuh bak gitarnya, melainkan seragam resmi rumah sakit yang membuat kulit kuning langsatnya bercahaya bagai mutiara baru diasah. Bibir tebal bocah ingusan itu menerbitkan seulas senyum tipis saat menyambut Danu walau tatapannya mengisyaratkan bahwa tak semestinya mereka bertemu.
Nggak ada rumah sakit lain apa?
Begitulah yang selalu Danu gaungkan dalam batin kenapa dia harus mengabdikan diri di sini. Bukankah masih banyak instansi rumah sakit swasta yang jauh lebih mumpuni menyejahterakan pegawai?
"Siang, Dok," sapa Maya.
Tahu hal tersebut sekadar formalitas belaka, Danu hanya mengangguk singkat lantas mengedarkan pandang, "Mana seniormu?"
"Mbak Diah lagi suction pasien di kamar dua. Mas Fajar barusan antar pasien ke CT-Scan," jawab Maya. "Atau ... saya—"
Kibasan tangan yang menyiratkan Maya tuk hengkang disertai suara decak kekesalan Danu langsung membungkam bibirnya. Kontan sembilu merayapi dada mengetahui penolakan Danu yang terlalu blakblakan. Maya bisa saja membalas perbuatan kasar dokter itu, tapi apa daya hirarki tempatnya mengais cuan menghalanginya berbuat demikian.
Jika ditilik ulang, rasa-rasanya bukan hal baru mendapati sikap kasar nan arogan Danu. Ketika Maya masih menjadi mahasiswa magang, salah satu temannya berhasil dibuat banjir air mata setelah tidak sengaja menyuguhkan makan kepada pasien yang direncanakan bronkoskopi. Memang bukan sebuah kesalahan fatal, hanya saja waktu itu Danu ngamuk-ngamuk mirip orang kesetanan padahal pemeriksaan tersebut masih bisa dilakukan esok hari.
Di satu sisi, bukankah dokter dan perawat adalah sejawat yang saling bahu-membahu merawat pasien? Pikir Maya tak memahami jalan pikiran seorang Danu. Tanpa perawat, mana mungkin dokter bisa mengatasi keluhan dan kebutuhan dasar puluhan pasien seorang diri.
Lagaknya sok-sokan dokter padahal cuma om-om tantrum! Sungut Maya dalam hati. Kalau bukan urusan duit, mana mau aku kerja di sini!
Malas menyulut masalah, Maya langsung menyodorkan meja komputer portabel menyilakan dokter tinggi semampai tersebut membuka ID. Lantas dia berbalik sekadar memberi ruang Danu, namun langkahnya tertahan kala telinganya menangkap ungkapan tak mengenakkan,
"Masih punya etika nggak?"
Suara berat Danu menjelma menjadi sebilah pisau bedah yang menancap dada Maya tanpa aba-aba.
"Laporan keluhan pasien atau apa kek, perawat baru kok malah diem aja kayak orang bego," sambung Danu masih terus memerhatikan layar komputer.
Kepalan tangan gadis itu kian menguat sampai-sampai buku-buku jari lentiknya memutih. Dia meniup poni lempar selagi bibirnya menggumamkan belasan umpatan lantas memutar badan,
"Oh, dokter masih butuh saya? Kirain udah jago ngatasi pasien sendiri."
Intonasi menantang itu langsung menyulut emosi Danu. Kontan dia menoleh seraya mengernyitkan kening mengetahui Maya—si bocah ingusan—mulai berani melawan. Sebelah tangannya menggaet lengan Maya kasar nan cepat hingga tak sengaja tubuh mereka nyaris bertumbukan.
Perbedaan tinggi badan yang cukup kontras tak menciutkan Maya menautkan kontak matanya kepada Danu. Justru relung hatinya tidak pernah mengerti kenapa Danu memusuhi Maya seolah-olah ada ribuan dosa yang sudah diperbuat.
Atau justru...
Maya tak mau meneruskan bisikan dewi batinnya sedang menangkap secuil rahasia yang sudah lama ditutup rapat-rapat. Sementara itu, Danu mematung ketika hidung lancipnya dibuai semerbak wangi musk berbaur jeruk bersama kopi bagai sepiring kue yang disandingkan secangkir espresso. Selanjutnya, ekor mata Danu tertuju ke arah cengkaman di pergelangan tangan Maya—bagaimana dia merasakan ada ketegangan tercipta di antara mereka.
Ketegangan yang hanya dia dan Maya tahu.
Ketegangan yang dulu ...
"Kamu anak baru," tandas Danu melepas genggaman tanpa memedulikan jejak kemerahan di sana. "Jaga sikapmu—"
"Saya akan bersikap sopan bila dokter juga melakukan hal sama," bela Maya memotong kalimat Danu. "Dokter dan saya hanya sejawat bukan yang lain," imbuhnya menekankan kata terakhir.
Sudut bibir Danu terangkat seakan-akan Maya menyuguhkan kilasan masa lalu yang sialan ingin dilupakan seumur hidup. Dia hendak menanggapi, tapi tertahan ketika senior Maya—Diah—keluar dari kamar nomor dua.
"Pasien bapak Sentot jumlah cairan drainasenya tetap, tidak ada penambahan cairan masif," cetus Maya memasang muka datar layaknya pegawai baru yang terikat hirarki. "Hanya saja pasien masih mengeluh nyeri di area luka post operasi."
Danu menyengguk, mengikuti permainan Maya dengan memberi komentar jika keluhan tersebut terbilang normal untuk pasien yang baru menjalani pemasangan selang dada. Lantas mereka berdua masuk ke kamar tujuh layaknya rekan kerja, menghampiri lelaki berusia enam puluhan yang didiagnosa empiema. Tanpa diketahui orang lain, baik Danu atau Maya saling melempar tatapan penuh arti.
###
Ayang : Aku tunggu kamu di parkiran mobil.
Seberkas rona merah menyembul di pipi Maya saat membaca pesan singkat dari kekasihnya—Gema—yang ternyata sudah siap menjemput. Kekesalan terhadap tabiat Danu sirna berganti getaran dada dipenuhi bunga-bunga. Tidak perlulah dia menuruti ucapan terakhir Danu yang mendadak mengajaknya berbicara empat mata.
"Temui saya setelah kamu selesai shift. Saya mau ngomong sesuatu."
"Dasar om-om labil," gerutu Maya sambil menyemprotkan parfum CH berbentuk heels kebiruan ke beberapa titik kemudian bercermin tuk memastikan penampilannya tetap menawan. "Puber kedua kali dia."
"Duh, mau ke mana sih kok pake dandan segala," celetuk Diah yang baru saja keluar dari toilet.
Maya mengulum senyum malu-malu selagi menggerai rambut bergelombangnya hingga sebahu. "Ya pulang dong, Mbak. Paling nggak kan tetep wangi."
"Tetep wangi apa karena mau dijemput pacar?" terka Diah sebab tahu dara muda seperti Maya tengah dibakar cinta menggebu-gebu seolah-olah tidak boleh ada orang lain yang memisahkan. "Dikira Mbak nggak pernah muda kali ye."
Kekehan meluncur dari bibir Maya, lantas dia menyambar tas selempang dan melambaikan tangan sekaligus berpamitan kepada sang senior. Beruntung jarak antara ruang paru dan parkiran mobil pengunjung tidak seberapa jauh, apalagi mobil Pajero silver Gema sudah terlihat di depan mata. Tak lama, kaca kendaraan mengilap tersebut turun perlahan-lahan menampilkan sosok pria berpotongan mullet pendek memamerkan gingsul menggemaskan.
"Hei," ucap Gema keluar dari mobil lantas merengkuh Maya dalam dekapan penuh kerinduan.
"Akhirnya inget pacar juga ya kamu," protes Maya mengerutkan hidung berpura-pura merajuk.
Gema terkikik, mencolek puncak hidung pujaan hati, "Ya namanya juga kerja cari duit, Ay."
"Seharusnya kamu kerja di rumah sakit, bisa jadi kepala ruangan atau kepala bidang perawat. Kenapa harus jadi dosen muda sih?" Lagi-lagi Maya masih mengeluh terhadap keputusan Gema yang notabene kakak kelasnya di masa-masa kuliah. "Mana di luar kota lagi."
"Ya kalau di rumah sakit, mana ada waktu buat ketemu, Ay," tanggap Gema lalu memerhatikan sekeliling. Ditangkup muka tirus Maya dan menghadiahi kecupan kasih sayang di bibir. "Bilang aja kangen kan?"
Maya mengatupkan bibir rapat-rapat, memutus kontak mata karena perutnya dipenuhi ribuan kupu-kupu yang ingin mendesak keluar. Lidahnya terlalu kelu mengungkapkan sebuah kata betapa rindu dirinya terhadap sosok Gema. Walhasil, pipinya kembali bersemu kala Gema kembali menerjangnya dengan ciuman-ciuman kecil. Gadis itu tertawa geli tapi kekasihnya makin menjadi-jadi tanpa peduli kalau mereka masih di lingkungan rumah sakit.
Lagipula perempuan mana sih yang tidak bakal merengut jika dipaksa berhubungan jarak jauh, terutama Jakarta-Yogyakarta. Oke, dia tahu mereka masih satu pulau tapi Maya paling benci jika harus menanti kabar hingga tengah malam. Jangan lupakan pesona Gema yang pastinya mengundang banyak wanita layaknya lebah tengah haus akan madu.
Di tengah asmara yang dirajut begitu mesra, seseorang mengawasi dari kejauhan seraya mengisap batang tembakau dalam-dalam. Walau air mukanya begitu tenang, tidak dapat dipungkiri ada sesuatu sedang menghantam dada bagai ombak besar berusaha memorak-porandakan kapal. Gelombang dahsyat yang mencuat lagi setelah sekian lama mati.
Ah sial ...
Kepulan asap rokok membumbung tinggi di udara sebelum lenyap ditelan jejak jingga Jakarta. Sensasi mentol berpadu lintingan tembakau yang semestinya menghilangkan penat tak lagi terasa di lidah. Dia tersenyum kecut, berulang kali meyakinkan diri kalau dua bocah ingusan di sana sekadar manusia dirundung cinta monyet yang pasti bakal berakhir satu atau dua bulan lagi. Tidak ada perasaan abadi di dunia ini.
Termasuk dia.
***
Daftar Istilah :
Suction : Pengisapan lendir atau dahak menggunakan alat bertekanan tinggi.
Bronkoskopi : Pemeriksaan menggunakan selang kecil untuk melihat kondisi bronkus pada paru-paru.
Empiema : Penyakit paru akibat adanya penumpukan nanah di pleura.
***
Sambil menunggu Ilham buat menyelesaikan naskah Poppy dan Heath, aku coba bikin short story.
Semoga kalian suka dengan bab pembukaan ini yak karena bikinnya berhari-hari. Maklum nggak dapet ide bawaanya pengen tidur mulu selama cuti 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top