05. Pengikut

Kenma tidak seharusnya begitu memikirkan tentang apa yang sedang terjadi pada Shiro. Tentu saja dia merasa kasihan, tapi dia sadar dia punya hal lain yang harus dikerjakan dari pada mengkhawatirkan Shiro.

Meski begitu, untuk pertama kalinya, hati dan pemikirannya tidak sejalan.

Apa ini yang dirasakan Akaashi saat kekasihnya menderita? Kenma bertanya-tanya.


Meski matanya membaca tiap kata pada buku yang dia baca, pikirannya melayang entah kemana. Itu membuatnya muak dan memutuskan untuk beristirahat sejenak dari membaca. Manik yang seperti mata kucing itu menatap kosong ke tumpukan buku-buku yang berserakan di lantai. Hingga pandangannya terhenti pada tempat dimana Shiro biasanya duduk.

Hening.

Bayangan ketika gadis itu duduk memeluk lutut dan tersenyum hangat padanya kembali terulang di benak Kenma. Mata gadis itu sayu, senyumannya seperti matahari pagi, ekspresinya begitu tenang. Rambut coklatnya terlihat lembut dengan sorotan tipis cahaya matahari dari jendela.

Gadis yang biasanya menggebu-gebu itu, rupanya bisa setenang ini.

Tapi Kenma juga tidak benci ketika Shiro mulai bercerita panjang lebar tentang berbagai macam hal. Itu mengingatkannya pada Hinata yang juga selalu bersemangat ketika membicarakan hal yang disukainya. Menghabiskan waktu dengan orang semacam mereka rupanya tidak buruk.


"Kuroo, kirim surat ke Akaashi kalau pencarianku akan terhenti beberapa hari."

Itu adalah hari dimana Kenma memutuskan untuk pergi ke kediaman Kai, tempat kedua healer hebat melakukan sebuah penelitian untuk menyelamatkan Shiro.

Kenma membantu disana.

Mereka mencoba membuat ramuan dari beberapa tanaman yang punya unsur-unsur energi sihir mirip dalam beberapa macam sihir penyembuh yang Kenma ketahui. Mereka juga penah mencoba menyembuhkan Shiro dengan sihir penyembuh, tapi efeknya sangat sedikit.

[][][]


"Hm? Shiori-san belum datang?"

Padahal ini sudah melewati waktu dimana biasanya Shiori datang.

"Mungkin Shiro sedang menolak meminum 『Drynix』"

"Sepertinya."

Keduanya pun kembali pada pekerjaan mereka masing-masing.

Perkembangan penelitian mereka setelah Kenma bergabung cukup signifikan. Berkat Kenma dengan wawasan luas mengenai sihir dan energinya, kedua healer disana bisa memilih tanaman yang tepat untuk membuat ramuan.

Tinggal beberapa langkah lagi, ramuan itu akan jadi.


Knock knock knock!

Suara pintu kayu rumah Kai berbunyi. Kai membuka pintu dan terkejut mendapati Shiori yang panik berdiri di depan pintu bersama Kuroo yang menggendong Shiro di punggungnya.

Shiro tak sadarkan diri, rambutnya coklatnya menjadi putih seperti namanya. (A/N: dalam bahasa Jepang Shiro berarti putih)

Kenma berdiri.

"Shiro... bantu Shiro..."

Shiori bergumam dengan suara yang terdengar putus asa. Gadis berkacamata itu menahan tangisnya.

Kai buru-buru menyuruh Kuroo masuk membawa Shiro dan membaringkan gadis itu di sofa tempat Kenma duduk sebelumnya.

Wajah gadis itu pucat.

"Ramuannya... tinggal beberapa proses lagi. Kai-san, dimana bunga raflea?"

Shiori dengan terburu-buru menyiapkan ramuannya, Kai dengan sigap membantu Shiori. Kuroo disana mencoba menenangkan Shiori yang tangannya bergetar hebat selama menyiapkan alat-alat untuk membuat ramuan.

Sedangkan Kenma, dia berdiri di samping Shiro.


Gadis itu terlihat sangat lemah, tidak seperti Shiro yang bersemangat seperti yang dia lihat biasanya. Rambut coklat lembutnya memutih karena efek dari kutukannya yang pernah ada padanya. Rona merah tipis di pipinya pun tak terlihat karena wajahnya pucat.

Semua orang sibuk. Shiro terlihat kesepian berbaring seorang diri disana. Padahal dia tidak suka sendirian.

Kenma pun duduk di lantai, disamping Shiro yang berbaring pada sofa.

Manik russet-nya perlahan terlihat, melirik ke arah Kenma yang berada di sampingnya. Lalu dengan lemah ia tersenyum.

"Kenma-san.... syukurlah kau tidak sendiri di perpus." Ucapnya lirih.

"Maaf jika aku membuatmu menunggu. Haha..." Shiro tertawa lemah, kemudian melanjutkan, "Aku rasa, seharusnya aku meminta maaf karena telah mengganggumu."

Tidak. Itu bukanlah hal yang perlu Shiro mintakan maaf.

"Kau... tidak perlu meminta maaf." Ujar Kenma pelan.

Shiro tersenyum dengan mata yang sayu. "Benarkah? Hihi... kalau begitu... terima kasih, karena telah menemaniku."

Sesak.

Dada Kenma terasa sesak melihat senyuman lemah itu dan mendengar ucapan terima kasih ditengah keadaannya.

"Aku sudah tau... hari ini pasti akan terjadi. Tapi aku sudah siap. Aku sudah merelakan statusku sebagai paladin, aku selalu memastikan untuk berterima kasih dan berbuat baik pada teman-temanku di gereja, dan juga...."

Ucapannya terhenti sejenak. Kenma merasa semakin sesak ketika menyadari air mata menetes dari ujung mata Shiro. Tapi gadis itu tetap tersenyum.

"..... aku tidak ingin semakin merepotkan Shiori."

Itu adalah kata-kata paling dewasa yang pernah si kekanak-kanakan Shiro katakan.


Di belakang Kenma, orang-orang ribut menyiapkan ramuan. Kuroo terdengar berkali-kali menenangkan Shiori yang suaranya terdengar bergetar mengatakan bahwa keadaan akan baik-baik saja untuk meyakinkan dirinya sendiri. Kai, dia berkonsentrasi penuh menyiapkan ramuan.

Sedangkan Kenma disana, menemani Shiro yang sekarat.

"Bertemu dengan Kenma-san adalah hal yang kusukai. Meski kita saling diam.... tapi saat aku bersama Kenma-san, aku merasa tenang. Aku melupakan semua kekhawatiranku...."

Shiro berkata dengan lirih.

".... aku tahu Kenma-san selalu memakai sihir yang bisa menghapus keberadaan, aku juga tahu Kenma-san lebih suka sendiri karena selalu gelisah dengan apa yang orang-orang pikirkan ketika melihat Kenma-san. Karena itu, aku ingin membuat Kenma-san lebih percaya pada diri sendiri."

Kenma bahkan tidak menyangka Shiro memperhatikannya sampai seperti itu. Perasaanya bercampur aduk. Dia kesal dengan Shiro yang sudah ikut campur dalam urusannya, tapi dia juga sedih, dan senang menyadari Shiro memperhatikannya.

"Tapi aku tidak punya cukup banyak waktu untuk membantu Kenma-san. Sekarang, aku jadi tidak ingin mati dulu."

Shiro mengatakan hal itu lagi-lagi sambil tersenyum.

Kenma tertunduk, tidak mau melihat senyuman menyakitkan itu. Rasanya berat.

Tiba-tiba, tangan mungil yang lemah itu meraih tangan Kenma. Menggenggamnya dengan lembut.

"Meski tidak ingin mati, tapi aku tidak punya penyesalan karena sudah bertemu Kenma-san."

Ucapannya menyadarkan Kenma akan satu hal yang menjawab semua pertanyaannya atas perasaan yang dia rasakan selama ini.

Perasaan tenang ketika melihat senyumannya. Rasa terhibur ketika mendengar ceritanya. Rasa sakit ketika mengetahui dirinya menderita.

—Kenma, tidak ingin berpisah dengan Shiro.


"Shiro­-san, kau harus minum ini!"

Shiro mengalihkan pandangannya ke arah Kai yang sudah memegang botol berisi cairan berwarna biru. Namun dia tidak langsung meminumnya.

"Kai-san. Terima kasih sudah membantu kakakku. Kau pasti kerepotan karena Shiori keras kepala kalau sudah menyangkut soal diriku."

Lalu Shiro memangi Kuro yang berdiri di samping Shiori.

"Tuan yang disana juga, terima kasih sudah membawaku kesini. Kau pasti teman Kenma-san bukan?"

Kuro tersenyum lembut dan mengangguk mendengar ucapan Shiro.

Kemudian yang terakhir, Shiro melirik kearah Shiori yang tak berani mendekat.

"Shiori... ah, tidak. Kakak. Terima kasih karena sudah merawatku selama ini dengan sepenuh hati. Aku benar-benar bersyukur mempunyai keluarga seperti kakak. Juga... berhentilah memikirkan aku dan carilah kebahagiaan kakak sendiri. Aku akan baik-baik saja kok."

"Tidak... tidak. Shiro! Kau harus minum ramuan itu."

"Kakak." Shiro memotong. "Terima kasih."


Jemari yang menggenggam tangan Kenma perlahan mengendur. Lalu terjatuh begitu saja di samping tubuhnya.

Hari itu adalah hari dimana bunga-bunga bermekaran dengan indah, langit pun cerah berwarna biru laut tanpa ada awan, juga udara yang terasa pas karena angin lembut yang bertiup. Hari yang terlalu indah untuk mengatakan perpisahan.

Kenma tak berani mengangkat kepalanya untuk melihat wajah gadis itu—yang kini matanya sudah terpejam.

Tangisan Shiori yang menjadi-jadi pun terdengar samar bagi Kenma. Kakaknya dengan rasa kesedihan yang luar biasa berlari, mendorong lemah Kenma yang menghalangi untuk memeluk adiknya dengan erat sambil memanggil namanya berkali-kali.

Kenma bangkit dari duduknya. Memandangi wajah Shiro yang tersenyum hangat meski tubuhnya mulai terasa dingin.


Perpustakaan. Kursi jendela tempat dimana Kenma duduk ditemani Shiro. Tumpukan buku yang berserakan dilantai, juga sebuah buku yang terbuka tergeletak di kursi jendela. Angin yang berhembus dari jendela yang terbuka menerbangkan lembaran halaman buku tersebut, hingga lembaran itu terhenti pada sebuah halaman.


"Indespectus, in hopes of finding someone who can see who you really are."

.

.

Fin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top