旧友

29 December
D-3 New Year

* * *

Uap panas berwarna keputihan lolos dari cerobong asap restoran tradisional yang cukup ramai. Pelayan ber-apron kehijauan dengan lambang restoran sibuk berlalu-lalang dengan nampan yang terkadang kosong atau sebaliknya. Meja-meja kayu berwarna cerah penuh dengan orang-orang yang asyik bercengkrama atau sekedar makan siang atau mungkin menunggu seseorang sambil membaca berita tentang kasus-kasus yang tertera disana, entah kasus itu penting atau pun tidak.

Seperti halnya yang dilakukan oleh Dokter kebanggaan Shinjuku ini.

Tangannya sibuk membuka-buka berkas di map berwarna kebiruan yang sepertinya adalah berkas tentang pasiennya. Sesekali dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian kembali membaca berkas yang entah seberapa banyaknya itu. Rambut ungu yang biasanya dibiarkan tergerai kini dia kuncir. Jas dokter beserta sweatshirt hitam kesukaannya pun diganti dengan kaus berlengan panjang dengan kerah turtle neck berwarna kebiruan. Agak menyegarkan melihat sang Dokter ini berpakaian santai dan berbeda seperti itu. Beberapa gadis mencuri-curi pandang ke arahnya, dikarenakan mereka mengenalinya sebagai pemilik Hypnosis Microphone, meskipun ada juga yang hanya mencuri pandang karena wajah atraktif milk Dokter itu.

Tangan ramping milik seorang Jakurai Jinguji meraih bolpoin yang tergeletak di sebelah gelas Teh yang sudah kosong. Dengan cekatan dia menandai beberapa bagian di berkasnya. Bibirnya yang memang sudah ranum itu beberapa kali menggumamkan sesuatu. Kemudian, lagi-lagi, dia melirik Arlojinya. Sudah pukul setengah dua siang, dan orang yang membuat janji dengannya belum juga datang.

Bertepatan dengan itu, tirai toko terbuka. Seorang lelaki berambut kecoklatan yang di model sedemikian rupa masuk ke dalam restoran, membalas salam dari pelayan dengan senyum kecil. Iris Coklatnya langsung menangkap sosok jangkung yang duduk di ujung restoran. Dengan langkah ringan dia berjalan ke arah lelaki itu. Tangannya menarik kursi kayu sehingga menghasilkan bunyi berdecit, berhasil membuat Dokter dari Shinjuku itu mendongak ke arahnya.

Keheningan menyapa. Tapi, seorang Hitoya yang notebanenya merupakan teman lama Jakurai tahu bahwa lelaki di hadapannya jengkel. Namun, alih-alih meminta maaf, Hitoya malah nyengir sambil menggaruk tengkuknya.

"Apa aku lama?"

"Satu setengah jam" jawab Jakurai, to the point

Hitoya tertawa renyah. Dia kemudian memanggil pelayan untuk memesan makanan, setelahnya lelaki yang jauh-jauh datang dari Nagoya itu menjelaskan keterlambatannya, diselingi dengan sedikit gurau an. Sesekali dialek khas Nagoya miliknya keluar, membuat Jakurai menaikkan alis mendengarnya. Hitoya paham, teman lamanya itu pasti bingung. Pasalnya ia jarang menggunakan dialek local saat berbicara. Ya, salah kan leader berambut merahnya yang suka merutuk dengan satu-dua dialek yang keluar membuat Hitoya secara tidak sadar ikut-ikutan.

"Sejak kapan kau jadi berbicara dengan dialek begitu?" Selidik pria bersurai Ungu itu

"Entah, aku sendiri tidak tahu" balas Hitoya, tertawa ringan setelahnya

"Ngomong-ngomong, apa kau bisa singkir kan berkas-berkas itu? Kita kan ingin bercengkrama, bukan membahas pekerjaan" Lanjut Hitoya. Sedikit memonyongkan bibirnya, berhasil membuat Jakurai berjengit jijik

"Jangan memasang ekspresi seperti itu, menjijikan" celetuk Jakurai sambil memasukkan berkas-berkasnya ke dalam tas

"Hahahaha, maaf, maaf, oh iya, apa kau sudah makan Siang?" Tanya Hitoya

Jakurai menghela nafas kesal. Maniknya menatap Hitoya tajam, jelas-jelas Hitoya yang menyuruhnya menunggu sampai dia datang. Pasalnya pria itu baru saja berhasil menyelesaikan—ralat—menyelamatkan seorang wanita yang terkena tuduhan membawa Kokain dalam jumlah banyak, yang padahal, akan di berikan kepada anaknya yang sedang sakit. Kasus yang cukup rumit, beruntung Hitoya bisa memenangkan sidang. Dan, ya, lelaki itu berjanji akan men-traktirnya guna bercengkrama sambil merayakan keberhasilannya. Kebetulan juga waktunya bertepatan dengan Jakurai yang berhasil dalam operasi pengangkatan tumor dari pasiennya yang masih belia. Akhirnya mereka berdua sepakat untuk bertemu pada hari ini, tanggal 29 Desember.

Lantas, pasti, Hitoya tahu kalau Jakurai belum makan—kecuali sepiring Gyoza yang di sediakan oleh restoran—apa pun sampai dia datang.

Namun, lagi-lagi Hitoya terkekeh melihat tatapan tajam Jakurai. Jakurai sempat khawatir teman lamanya itu sudah minum-minum terlebih dahulu sebelum datang ke restoran. Bukannya Hitoya jarang tertawa, tapi, jika dia terkekeh terus-terusan seperti itu Jakurai juga takut. Apa dia perlu menelpon leader temannya yang seorang biksu? Mungkin saja kan, Hitoya sudah gila karena kasusnya terlalu sulit, lalu roh jahat merasuki tubuhnya kan? Jakurai dengar kalau kondisi tubuh seseorang sedang kosong, arwah jahat bisa merasuki.

Pikiranmu terlalu liar Oom.

"Iya, iya, aku bercanda, ayo, pilih mau makan apa" Ujar Hitoya

"Gayamu seperti Ibu yang baru bertemu anaknya" Jakurai bermaksud mengejek, tetapi Hitoya balas dengan cengiran lebar

"Apa salahnya toh? Kita juga baru ketemu lagi." Balas Hitoya santai

Jakurai menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil, tidak menyadari beberapa perempuan di belakang di buat mimisan olehnya.

Oom satu ini emang terlalu mabushii ya mbak :(

Siang itu mereka berdua bercengkrama, membahas hal apa saja. Untuk sejenak, mereka berdua melupakan semuanya. Hanya ada cengkrama di antara mereka. Cengkrama di antara teman lama.

* * *

"Terima Kasih! Silahkan datang kembali!"

Hitoya hanya membalas ucapan pelayan itu dengan senyuman lebar, kemudian menyusul Jakurai yang menunggunya di samping restoran. Mereka berdua berjalan mengitari Jalanan Katsushika yang ramai sembari melanjutkan obrolan yang tidak sempat terbahas di restoran. Sesekali Hitoya melontarkan lelucon yang menurutnya lucu meskipun hanya dibalas dengan helaan nafas pendek Jakurai. Tetapi, ya, semua orang yang melihatnya tahu bahwa suasana yang melingkupi mereka berdua sangat tentram dan hangat.

Jakurai memelankan langkahnya ketika mereka sudah dekat dengan lampu merah. Hitoya kemudian menghela nafas panjang. Mungkin ia sudah lelah bercerita panjang.

Tapi ternyata tidak.

"Tahu tidak? Belakangan ini aku sering melihat mimpi yang Indah loh" ujar Hitoya out of the blue

"Oh? Mimpi tentang apa?" Tanya Jakurai penasaran

"Waktu masa Sekolah kita dulu" Jawab Hitoya

Jakurai mengerutkan alisnya. Ia ingin bertanya apa yang indah soal masa Sekolah mereka? Tapi langsung bungkam karena lampu untuk pejalan sudah berganti warna menjadi hijau. Dia berjalan beriringan dengan Hitoya, mendengar derap kaki langkah orang-orang menjadi irama sepanjang perjalanan di zebra cross yang entah mengapa tiba-tiba terasa lebih lama. Jakurai menyipitkan matanya, bukan karena dia melihat siluet mencurigakan seperti di Dorama-dorama yang sering di tonton oleh Hifumi. Tetapi karena resiko orang tinggi yang menjadi penyebab utamanya. Beberapa debu yang terbawa angina menusuk matanya atau bahkan, lebih parah lagi, rambut wanita-wanita di hadapannya yang berkeliaran karena di terpa angin.

Di sebelahnya, Hitoya menahan tawa melihat penderitaan yang dialami oleh teman jangkungnya itu. Kadang ia merasa bersyukur diberi tinggi yang menjadi ukuran orang kebanyakan. Meskipun sewaktu masa bergelora mereka di SMA sering terjadi bet mengenai tinggi badan pada saat pemeriksaan kesehatan. Hitoya bersyukur dia sudah tobat dari masa itu.

Mereka sampai di seberang, dan kembali berjalan menuju Stasiun. Berhubung kereta mereka akan berangkat pukul tiga, Hitoya mengusulkan ide agar mereka mampir sebentar di taman dan berfoto entah untuk apa. Jakurai setuju-setuju saja, lagipula sekarang masih pukul dua lebih lima belas menit. Masih ada banyak waktu.

"Hei, soal mimpi itu—"

"YA! SILAHKAN DICOBA UNDIAN SIHIRNYA! UNDIAN SIHIR! DIJAMIN HADIAHNYA TIDAK ADA YANG AMPAS DAN AKAN SEGERA DI ANTAR KE RUMAH ANDA TANPA TRUK!!"

Persetan. Promosi macam apa itu?

Tapi ya, baik Jakurai mau pun Hitoya menoleh ke sumber suara. Stan acak-acakan dengan tulisan yang acak-acakan pula muncul ke pandangan mereka. Di depannya ada seseorang berambut hijau yang memakai kimono khas para MC Undian tahun baru. Mata sipitya sibuk memperhatikan orang sekitar sambil sesekali mengecek keadaan toa di tangan kanannya.

Hitoya merasa tidak asing, dan pikirannya langsung merujuk kepada leader Divisi sebelah yang sering membawa kabur leadernya entah untuk apa. Namun pikiran itu buru-buru dia hilang kan karena menurutnya sangat mustahil. Karena, Sebobrok-bobroknya Sasara, masih lebih bobrok gembel dari Shibuya. Begitu pikiran Hitoya. Ketika hendak mengajak Jakurai pergi, dia menyadari pandangan Jakurai melekat pada hadiah kedua dari Undian itu.

Kotatsu.

"Hei, kau mau coba? Kebetulan aku ada tiketnya" Celetuk Hitoya

Jakurai menoleh, dia kemudian buru-buru berjalan menuju stan bobrok yang sangat tidak meyakinkan itu. Hitoya mengikuti dari belakang, menatap punggung temannya yang terlihat antusias itu.

"Selamat Siang! Apa anda ingin mencobanya?"

"Ya, 3 kali"

Hitoya menyerahkan tiket kepada sang MC. Kemudian, dengan senang hati, sang MC memperbolehkan Jakurai untuk memutar alat berisikan kelereng warna itu. Hitoya agak ragu, dia menyenggol sedikit bahu temannya sebelum berbisik.

"Kalau kita di tipu bagaimana?"

"Tenang saja, kata Arisugawa-kun, tanganku itu selalu wangi."

* * *

"KAU BENAR-BENAR MEMENANGKANNYA! HAHAHA!!"

Kini mereka beristirahat di bangku taman usai memenangkan hadiah kedua di tempat Undian yang sangat tidak meyakinkan itu. Ajaibnya, Jakurai menang hadiah pertama sampai ketiga dalam tiga kali putaran itu. Mungkin perkataan gembel Shibuya itu benar. Tangan Jakurai memang selalu wangi—mungkin karena dia seorang dokter yang sering menyelamatkan orang-orang.

Gak nyambung Pak :(

"Oh iya, tadi kau mau bertanya kan?" Ujar Hitoya

"Ya, soal mimpimu tadi,"

Hitoya ber-ooh ria. Kemudian memasukan tangannya ke saku mantelnya. Dia menghela nafas panjang—mungkin yang paling panjang setelah seharian ini mereka berdua berjalan-jalan di sekitar Katsushika.

"Ya, masa-masa waktu kita Sekolah dulu," Hitoya menggantung ucapannya

"Tapi, tidak ada Peperangan, tidak ada Hypnosis Microphone, hanya ada kita—anak Sekolah normal yang kemudian menginjak karir dengan normal pula" lanjutnya

"Kadang aku berharap, jika saja kita tidak pernah terlibat dalam dunia hypnosis microphone ini, mungkin, tanpa harus meminta izin pun kita masih bisa bertemu. Bercengkrama, bercerita soal karir, mungkin kehidupan romansa yang normal pula"

Jakurai mengangguk mengerti, dia tersenyum kecil sambil menutup matanya. Ada benarnya perkataan Hitoya. Dunia yang berada di alam mimpi teman lamanya memang indah. Jakurai bisa membayangkan dia berkumpul di satu restoran bersama orang-orang dekatnya, koleganya, temannya. Kemudian mereka tertawa bersama sambil menyatukan gelas yang menghasilkan bunyi nyaring. Tidak ada kecanggungan atau pun ketakutan. Hanya ada tawa dan kebersamaan.

"Tapi—menurutku kehidupanku setelah mengenal Hypnosis Microphone ini juga tidak buruk-buruk amat" lanjut Hitoya

"Aku punya teman Divisi yang baik, aku juga bisa bertemu dengan belahan jiwaku berkat ini" curhat lelaki itu, diakhiri dengan tawa hambar

"Hidup memang penuh kejutan" Ucap Jakurai

"Seperti sebuah playlist, tidak akan terasa jika kita membuat playlist berisi banyak lagu, tapi hanya memutar lagu yang kita suka, dan melewatkan lagu yang tidak kita ketahui atau yang tidak kita suka" Terang Dokter itu

"Hmm—jadi, jika kau kaitkan dengan hidup, kesimpulannya, hidup tidak akan bisa kita tentukan jalannya?" Tanya Hitoya

Jakurai tertawa.

"Bingo"

Jam besar di taman menunjukan pukul setengah tiga. Jakurai bangkit dari duduknya diikuti Hitoya, keduanya kembali berjalan menuju Stasiun sambil mengobrol ringan. Sesekali Hitoya memasukkan topik soal Undian yang di anggapya sangat-amat mencurigakan itu. Tapi apa daya, hanya dibalas tawa hambar dari kawan lamanya.

"Sudah aku bilang kan, tanganku itu wangi" celetuknya asal, kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket

Langkahnya terhenti, Hitoya pun ikut berhenti. Dia menatap Jakurai bingung karena wajah temannya itu memucat—dan diselingi dengan raut panik yang tergambar dengan jelas di sana. Lantas, lelaki bermarga Amaguni itu bertanya-tanya. Apa dompetnya ketinggalan? Atau dia lupa mengambil Uang kembalian? Jika iya, mereka harus segera mencari jadwal kereta baru dan membatalkan tiket mereka, karena ya—mesin penjual tiket telah memberikan apa yang seharusnya di berikan.

"Ada apa?"

"Aku bawa dua kunci rumah."

"Eh?"

Hitoya tertawa sedetik kemudian, bersamaan dengan pengumuman bahwa kereta mereka sudah sampai. Jakurai melambaikan tangannya kea rah Hitoya yang sudah berjalan menuju keretanya. Dan kemudian dia mendengar lelaki itu berteriak.

"SEPERTINYA SELAIN KOTATSU, TANGANMU SEDANG TIDAK BERUNTUNG HARI INI!!!"

Dan Jakurai sempat berpikir dua kali. Apa benar temannya tidak sedang mabuk?.

.

.

.
.
.
.
.
.
OMAKE:

"HATCHI!!"

Pria bersurai pink itu bersin untuk kesekian kalinya. Mantelnya yang awalnya terasa hangat pun sekarang seperti menyatu dengan dinginnya alam. Dia menggeram kesal. Sudah lebih dari 2 jam dia menunggu di depan pintu Apartment miliknya dan Dokter asal Shinjuku itu di karena kan dia tidak membawa kunci—atau lebih tepatnya, kunci yang biasanya tersedia dua, sudah habis.

"Awas saja Pak tua pikun itu" gumamnya kesal

"TIDAK AKAN AKU BERI JATAH UNTUK SEMINGGU—hatchi!"

Sedang marah malah bersin. Pria kecil bersurai pink itu kembali menyumpah, ditemani dengan giginya yang ber-gemeletuk kedinginan.[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top