Babak III : 6. Mengambil Kesempatan.
(Foto hanya ilustrasi).
Lintang mengabaikan panggilan Lastri karena dia sudah malas mendengarkan pembicaraan Harjo tentang keinginannya untuk rujuk. Buang-buang waktu buatnya. Benci harus mengakui kalau benar Ambar tak pernah mau dekat siapapun setelah bercerai dengan suaminya. Bisa saja itu artinya memang wanita itu masih menyimpan cinta untuk mantan suaminya.
Bukannya tak ada lelaki yang ingin meraih hati Ambar. Lintang tahu persis kalau setelah menjanda, ada beberapa pria yang berusaha untuk mendekati wanita itu, tapi ibu dari ketiga anak itu tetap fokus untuk membesarkan anak-anaknya.
"Lintang! Tunggu!"
Pada akhirnya ia merasa kasihan pada Lastri. Tak bisa mengabaikan panggilan dari ibunya, ia pun menoleh.
"Ya, Buk."
Lastri tampak sulit untuk mengungkapkan isi hatinya, ragu yang ia rasakan untuk meminta putranya melakukan hal untuknya. Sampai Nonik menyenggol tangan ibunya dan memberi isyarat padanya.
"Ibu ingin sekali bertemu dengan Bima. Bisakah kau membujuk Ambar untuk mengijinkan anak itu bertemu denganku?"
Lintang mendecak mendengar pertanyaan dari ibunya. Sampai sekarang Lastri belum memahami Ambar.
"Ibuk ... bukan Ambar yang menghalangi Bima. Dia tak pernah menghalangi anak-anaknya untuk bertemu dengan Ibuk."
"Lantas kenapa anak itu tak pernah mau menemuiku?"
"Itu karena ..." Lintang melirik Harjo dan menelan kata-katanya kembali. Entah berapa kali dirinya merasa sedih memergoki Bima mengunjungi toko obat secara diam-diam hanya untuk melihat bapak kandungnya. Sedangkan bapaknya tak pernah sekalipun menanyakan kabarnya. Malah menganggap Bima adalah anak selingkuhan Ambar.
Lintang menghela nafas. Bila melihat kondisi Harjo sekarang yang duduk di kursi roda, ia merasa iba dan sulit menyalahkannya. Bagaimanapun pria itu saudaranya dan sudah menerima karmanya.
"Nanti aku usahakan bicara pada Bima, Buk. Mudah-mudahan ia mau mendengarkanku. Karena aku juga bukan bapaknya," tukas Lintang terdengar agak sinis.
Bukannya ia tak pernah mendengar gosip tentang Bima dan dirinya, hanya saja Lintang tak menanggapinya, sebab itu artinya sama saja dengan memberi ruang yang lebih lebar untuk para penggosip. Yang pada akhirnya nama Ambar juga yang jadi buruk.
"Pamit, Buk. Jangan lupa sering gerak-gerak," pesan Lintang.
Suasana hatinya menjadi sangat buruk sampai melupakan kotak tupperware yang dibawanya. Namun Nonik menyusulnya sambil membawa kotak tersebut sebelum ia menjalankan motor gedenya. Saudarinya itu mengatakan sesuatu tapi karena deru motornya yang sangat kuat, ia tak bisa mendengarnya.
Matikan dulu motornya.
Nonik memberi isyarat. Lintang menurutinya.
"Kotak tupperwarenya ketinggalan. Nanti ada yang diomeli," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Dasar perempuan! Kotak makanan tetap kotak makanan."
"Karena kalian para lelaki nggak tau kalau ini beda. Titip salam buat Ambar dan keponakanku. Kue Ku-nya enak," tukas Nonik sambil tersenyum penuh arti sampai Lintang bingung dan berkata, "Aku bilang beli."
"Yah! Kau bisa menipu Ibu dan Harjo. Tapi aku tidak, Lintang," tukas Nonik tenang tapi ketenangan dalam suaranya malah membuat Lintang kikuk.
"Aku tau bagaimana rasanya masakan Ambar. Tak ada yang bisa menyamainya bahkan Ibu sekalipun," lanjutnya. Lintang mengusap tengkuknya pelan karena tak tahu harus mengucapkan apa untuk mengelak. Nonik terlalu peka atau dia yang tak pintar berbohong.
"Aku ingin sekali bertemu dengan mereka tapi ... aku bisa mengerti kalau anak-anak Ambar menolak kami. Bagaimana perlakuan keluarga kita pada ibu mereka. Ah! Kau tak termasuk Lintang. Kau selalu baik padanya sejak dia masuk menjadi menantu keluarga ini. Kalau kupikir Ambar lebih cocok denganmu daripada Harjo."
"Nonik!"
Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal hanya karena bingung dengan pemikiran Nonik.
"Aku serius Lintang. Dari dulu aku ingin membicarakan hal ini denganmu tapi karena rasa hormatku pada Harjo, aku menahannya selama bertahun-tahun. Tapi aku juga menyayangimu, aku tau bagaimana perasaanmu meski kau tak pernah bilang apa-apa."
"Sudah, aku mau pulang," potong Lintang. Ia tak ingin membicarakan soal perasaan terutama dengan anggota keluarganya. Biarlah itu menjadi rahasianya sendiri seperti sekotak surat yang masih tersimpan rapi di lemari pakaiannya selama bertahun-tahun.
"Dia tak lagi terikat dengan keluarga ini, Lintang. Kau bebas bersamanya."
"Kau tak mengerti!"
"Aku mengerti. Aku ingin kau bahagia. Tidak seperti sekarang ini. Terbelenggu oleh ikatan keluarga."
"Nonik, diamlah. Kalau kau masih ingin kuanggap saudara perempuan!"
"Kau harus dengarkan aku, Lintang. Sekali ini saja coba pikirkan dirimu sendiri. Abaikan keinginan Harjo yang nggak masuk akal. Mau diapakan Wiwik kalau dia rujuk sama Ambar."
"Kau nggak mengerti Ambar, Nonik. Fokus Ambar adalah mengantarkan anak-anaknya sukses. Kebahagiaan ketiga anaknya adalah kebahagiaannya."
"Bagaimana kau tau? Kau pernah bertanya?"
Lintang menghela napas panjang dan berkata, "Aku mendengarnya bilang begitu."
"Kapan? Bertahun-tahun lalu. Arjuna dan Arimbi sudah jadi orang, Lintang. Tinggal Bima. Tapi tak lama lagi juga akan jadi dokter. Kau masih yakin kalau Ambar tak memikirkan kebahagiaannya sendiri?"
Nonik bisa jadi benar. Namun mereka sudah sama-sama tua, dia dan Ambar telah membuang waktu muda mereka dengan hanya menjadi teman baik demi membesarkan anak-anak, di mana Lintang berusaha menggantikan peran Harjo sebagai seorang ayah.
"Coba sekarang kau tanya sama dirimu. Seandainya Ambar balikan sama Harjo, apa yang kau lakukan selanjutnya."
Pertanyaan Nonik tersebut membuat Lintang terdiam untuk beberapa lama. Lelaki itu memikirkan kemungkinan Ambar balik dengan Harjo tapi juga meragukan kesungguhan hati kakaknya.
Lintang menelan ludah. Harjo sudah punya keluarga sendiri, ia hanya akan memanfaatkan kebaikan Ambar demi kepentingannya, sama seperti masa lalu. Semuanya seperti berada di lingkaran yang sama. Dirinya tak akan membiarkan wanita yang dicintai kembali lagi masuk ke dalam kesedihan.
Dihidupkan motornya dan berkata pada Nonik, "Aku pulang dulu. Nanti kita bicarakan."
Lalu motor gede itu keluar dari halaman meninggalkan suara deru yang cukup kuat di telinga. Nonik memandang sosok Lintang sampai menghilang di jalanan. Jalan di depan rumahnya yang dulu tampak sepi, tapi sekarang sudah berubah menjadi ramai karena dijadikan wisata kuliner. Beberapa rumah sudah beralih fungsi menjadi toko. Namun rumah keluarga Oetomo tetap dipertahankan sebagai rumah tinggal karena keinginan Lintang. Bahkan putra ketujuh keluarga Oetomo itu tetap mempertahankan tradisi menerima tamu di hari Imlek, walaupun Tjong Lai tak lagi tinggal di sana.
Nyonya Rumah.
"Kak! Kak Ambar!" panggil Heru dengan nada panik. Sosoknya bahkan belum tiba di depan pintu pagar, tapi suaranya yang mengandung kepanikan itu telah terdengar sampai ke bagian dalam rumah Ambar.
Ambar saat itu sedang duduk sambil membereskan payet-payet untuk baju kebaya. Anak-anaknya tak lagi memperbolehkannya menerima jahitan, ia hanya menjahit untuk dirinya sendiri, tapi juga dilakukan ketika Bima tak di rumah.
Ketika melihat dari jendela kaca, Heru datang sambil berlari-lari, diletakkannya jahitannya dan membuka pintu untuk pria itu.
"Ada apa, Her?"
Ia mulai kuatir karena melihat kecemasan terlukis di wajah tampan Heru.
"Mau jemput Kak Ambar. Tadi telepon tapi teleponnya nggak diangkat."
Ambar melirik telepon yang ada di samping tv berukuran 29 inch lalu berkata, "Teleponnya dalam perbaikan. Kenapa?"
Heru menarik nafas sebelum memberitahukan berita yang dibawanya, sebab ia tak mau kalau Ambar akan menjadi orang kedua yang masuk rumah sakit.
"Bos masuk rumah sakit. Kecelakaan."
Ambar tertegun sedetik.
Lintang, gumamnya dalam hati.
Segera disambarnya pen dan menyobek kertas kalender harian untuk menulis memo kepada Bima yang sedang berada di kampus tentang keadaan Lintang setelah menanyakan nama rumah sakit kepada Heru.
[Ibu pergi ke RS Bunda. Pamanmu dirawat di sana.]
Ambar banyak tanya selama perjalanan menuju rumah sakit, tapi Heru juga belum tahu banyak tentang keadaan Lintang. Pria itu menerima kabar dari pihak rumah sakit dan langsung tancap gas untuk menjemput Ambar.
"Mereka nggak bilang kenapa?"
Heru menggeleng. "Aku panik waktu dapat telepon dia kecelakaan. Aku nggak tanya lagi."
Tuhan ... kuharap dia nggak kenapa-napa.
Ambar memejamkan matanya, berharap ketika membuka kelopak matanya, itu semua hanya mimpi. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada pria yang paling baik yang pernah dikenalnya selain bapaknya.
Kalau dia sampai kenapa-napa, aku harus bagaimana?
Lintang itu baik hati, satu-satu temannya, walaupun seharusnya mereka tak berteman setelah Ambar berpisah dengan Harjo.
Lintang itu memang keras kepala. Susah diatur. Tak ada seorang pun yang mengerti apa yang diinginkannya, makanya sampai tua juga masih sendiri. Sudah tua masih gemar naik motor gede. Ambar lelah hati sampai angkat tangan menasehatinya. Heru juga. Adiknya ini sampai menyatakan kesediaannya rela mengantarnya ke kampus kalau diperlukan, tapi ditolak oleh yang bersangkutan dengan alasan malas disupiri terus.
Ambar bilang padanya kalau usia Lintang tak muda lagi, tak seharusnya bawa motor gede, tapi pria itu malah beralasan kalau kendaraan itu adalah impiannya saat muda. Kalau sudah bilang begini, tak ada yang berniat menghalanginya lagi.
Impian saat muda.
"Kalau Bos sampai kenapa-napa, aku yang harus disalahkan. Ini kenapa sampai dia bisa bawa motor. Seharusnya nggak membiarkannya beli motor," tukas Heru dengan nada tak tenang.
Ambar mengambil nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat agar dia tak ikut panik seperti Heru.
"Kalau kau mencegah, memang dia mau dengar?"
Jalan menuju ke rumah sakit terasa lama, bahkan koridor menuju Instalasi Gawat Darurat pun terasa sangat panjang. Ambar merasa dirinya tak bisa lagi melakukan apa pun selain menguatirkan keadaan Lintang. Dia harus memastikan pria itu baik-baik saja.
Bagaimana kalau sampai lumpuh? Motor yang gede itu menimpa tubuhnya lalu harus sampai diamputasi?
Teman Arjuna yang dulu sering main ke rumah juga pernah mengalami kecelakaan di jalan sampai kakinya harus diamputasi.
Bagaimana? Bagaimana?
Keringat dingin jatuh dari dahi Ambar, memikirkan pria itu. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada Lintang.
Lalu Ambar melihat Heru bicara pada dokter di depan ruang IGD. Selanjutkanya semua berjalan seperti gerak lambat. Dia dibimbing menuju salah satu ranjang pasien yang tertutup oleh tirai.
"Bos ada di dalam. Aku mau bayar biaya rumah sakit dan ambil obatnya."
Ambar menggeleng dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak bisa mengeluarkan suara.
"Ada apa, Kak? Kakak jangan panik. Kalau Kak Ambar panik, nanti malah Kakak yang dirawat. Tenang, Kak. Aku sudah bicara sama dokternya. Bos nggak apa-apa. Dia lagi tidur. Ada dua jahitan di kepala dan tangannya tapi keseluruhan dia baik-baik saja. Biar saja nanti jahitannya sebagai peringatan buatnya untuk tak melakukan hal yang membuat kita kuatir. Dia memang perlu diajar, Kak," celoteh Heru seperti anak-anak. Lalu setelah itu, terdengar suara Lintang dari balik tirai.
"Anak kurang ajar! Siapa yang menyuruhmu mengata-ngatai bosmu?"
Heru tertawa. Ia yakin setelah mendengar suara Lintang kalau keadaannya baik-baik saja, selain jahitan di kepala dan tangan itu yang akan terasa nyeri jika biusnya hilang. Namun bius yang paling tepat untuk pria itu sudah ada di depannya sekarang.
"Aku pergi, Kak. Suruh orang tua ini jangan terus rewel. Capek ngurusnya!"
Bibir Heru tersenyum sebelum membalikkan badannya meninggalkan kedua orang yang lebih dekat dengannya dibanding ibu kandungnya sendiri. Ia merasa sangat lelah menunggu dua insan ini bersatu dan sudah hampir putus harapan. Secara diam-diam keseluruhan isi hati Lintang yang tertuang dalam tulisan tangannya telah ia baca tanpa sepengetahuan pria itu. Dirinya menjadi gemas sendiri dengan kisah kedua orang itu.
"Ambar ... kau di luar?" panggil Lintang dengan suara serak. Hati Ambar masih tak karuan akibat menguatirkan keadaan pria itu, ia akhirnya meneguhkan hatinya menyingkap tirai yang memisahkan dirinya dan Lintang.
Ketika tirai itu tersingkap, dilihatnya tubuh Lintang berbaring terlentang di atas ranjang pasien. Kepalanya diperban, tangannya juga, bajunya ada bercak-bercak darah.
"Lintang ..."
"Aku nggak apa-apa. Jangan kuatir," kata Lintang karena dia membaca ekspresi cemas di wajah Ambar. Wanita itu menatapnya sebab tak percaya kalau keadaannya baik-baik saja seperti yang dikatakannya.
"Sungguh. Nggak apa-apa. Cuma lagi sakit kepala sedikit."
"Siapa suruh umur segitu masih merasa muda." Ambar mengomel dengan memasang wajah kesal pada Lintang.
"Jangan ngomel lagi. Kepalaku tambah nyeri. Lagian motornya nggak salah apa-apa. Aku yang kurang konsentrasi waktu di jalan."
"Bikin orang panik saja."
Lintang memejamkan matanya, berusaha menahan rasa nyeri di kepalanya. Rasa sakitnya sewaktu tadi dijahit tak seberapa berbeda dengan sekarang. Ia menduga karena biusnya sudah mulai hilang.
"Aku bisa pulang hari ini juga. Bolehkah aku pulang ke tempatmu saja?" tanya Lintang masih dengan mata terpejam. Ambar diam. Dia tahu pria ini bukan tipe orang yang mengambil kesempatan dalam masalah. Permintaannya tak berlebihan karena Lintang tinggal sendiri dan sekarang terluka, pasti sulit kalau tak ada yang menemaninya. Tetapi kalau tinggal di rumah seorang janda, itu bisa jadi bahan gosip.
"Aku suruh Bima tinggal di rumahmu," sahut Ambar.
"Jangan. Dia lagi sibuk."
"Arjuna saja."
"Dia harus praktek malam. Diamlah dan biarkan aku tinggal di rumahmu."
"Kau bilang tak mau diurus olehku," bantah Ambar. Entah kenapa ia bisa teringat kata-kata Lintang yang diucapkan pria itu berpuluh-puluh tahun yang lalu bahkan sebelum Arjuna lahir.
Lintang membuka matanya dan menatap wanita yang sedang berdiri di sisi ranjangnya. "Kapan aku bilang begitu?"
"Sudah lama. Lama sekali. Kau bilang tak perlu kau urusi aku karena aku bukan suamimu."
Lintang menatapnya sambil menahan senyum, lucu mendengar ucapan Ambar menirukan gaya bicaranya.
"Aku pernah bilang begitu? Kapan?" tanya Lintang. Ambar angkat bahu. "Aku lupa. Tapi kau benar-benar bilang begitu."
"Waktu itu aku pasti sedang mabok."
Lintang menjangkau tangan Ambar.
"Yok, nikah."
Ambar menarik kembali tangannya. Ia kaget karena tiba-tiba Lintang mengatakan hal yang tak pernah terbayangkan bisa diucapkannya.
"Aku mau cari dokter dulu. Mungkin kau geger otak karena benturan."
Ambar membalikkan badannya sebelum Lintang memergoki kalau di usianya yang sudah lima puluh, wajahnya masih bisa memerah. Namun tangan lelaki itu masih bisa meraih tangannya.
"Dokternya bilang aku baik-baik saja selain kepala bocor dan siku robek. Sekarang dengarkan aku baik-baik, Ambar. Aku memikirkannya dalam perjalananku sewaktu dibawa ke rumah sakit. Aku nggak mau kehilangan sedetik pun waktuku untuk bersamamu. Maukah kau menemaniku selama sisa hidupku ini?"
Ambar melotot memandang Lintang, tangannya kaku dalam genggaman pria itu. Bahkan ia tak bisa merasakan apa-apa sampai ke ujung kakinya karena gemetar.
Aku pasti kena stroke, pikirnya.
"Aku telah banyak kehilangan kesempatan, Ambar. Kurasa seharusnya aku meraihmu bertahun-tahun lalu tetapi kulewatkan satu persatu."
Lintang menatap wajah Ambar yang bingung dengan mata segarisnya.
"Kau bilang tak mau kuurus kukira ..."
"Iya. Aku bodoh. Asal bicara. S2 dan S3 nggak berguna bila berhadapan denganmu. Tadi kupikir aku akan mati ..."
"Hush!"
"Jadi aku pikir seandainya aku diberi satu kali lagi kesempatan, aku tak akan melewatkannya lagi. Maukah menikah dengan tua bangka nggak tau diri, nggak ingat usia ini?"
Ambar mau bicara tapi tak tahu harus bilang apa. Jadi dia hanya membiarkan tangannya terus digenggam Lintang.
"Ambar ... aku masih merasa nyeri di kepala. Tolong jawab saja."
"Aku akan merawatmu, Lintang. Selama ini bukankah selalu begitu. Kau selalu ada untuk kami. Aku dan anak-anak. Bagaimana perasaanku, kau pun sudahtau. Kurasa kita nggak terlalu memikirkan tentang pernikahan lagi," jawab Ambar. Lintang menggeleng. Dia tetap pada pendiriannya dan tak mau mundur lagi.
"Tidak. Sekali ini. Aku nggak mau mundur. Kita menikah."
"Akan banyak yang menghalangi, seperti misalnya ..." Ambar menelan ludah. Dia tak akan mengucapkan tentang keluarga Oetomo.
"... pandangan orang-orang yang mengenal kita. Bagaimanapun dulu kau adalah adik iparku."
"Aku bukan orang yang peduli."
"Bos! Kak!" panggil Heru tiba-tiba muncul dan menghentikan pembicaraan antara Lintang dan Ambar.
"Nonik datang bersama Nyonya Besar."
"Aku pulang dulu," tukas Ambar cepat. Bertahun-tahun ia selalu menghindari pertemuan dengan mantan ibu mertuanya dalam setiap kesempatan walaupun tak pernah sekalipun menghalangi anak-anaknya menemui keluarga dari ayah mereka. Hanya saja ketiga anaknya yang tak mau menemui nenek mereka.
"Jangan pergi."
"Aku tak mau menemui Ibu."
"Kita akan menikah, bagaimana bisa kau terus menghindari Ibu."
Heru bengong ketika mendengar kata menikah terucap dari mulut Lintang.
"Wah! Selamat, Bos. Sejak dulu aku ingin mendengar itu dari mulutmu. Tapi sekarang, aku harus bawa Kak Ambar pergi dulu karena ... aku juga nggak mau bertemu dengan Nyonya. Aku takut dia emosi melihatku. Sampai ketemu di rumah, Bos. Kurasa Nonik bisa mengantarmu pulang."
Lintang menyentuh perban di kepalanya lalu berkata, "Kau sudah ambil obatnya?"
Heru mengangguk dan menunjukkannya.
"Ya sudah. Pulanglah. Nanti aku juga mau bicara sama Ibu tentang pernikahanku."
Nyonya Rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top