Babak II : 8. Lelaki yang Rumit.
Mulmed : Cara Lupakanmu (cover).
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Desember 1976.
"Kak ... aku mimpi tentang Nonik semalam. Perasaanku nggak enak sama sekali."
"Terus ..." Harjo masih tetap sibuk dengan hitung-hitungan pembukuan toko obat.
"Aku mau ke sana tapi takut juga. Kalau kutelepon, Ibu kasih ijin nggak ya?
Harjo bahkan tak mengangkat wajahnya untuk menatap istrinya. Dia sibuk menghitung pengeluaran toko obat selama sebulan ini.
"Jangan pakai telepon. Ibu baru ngomel kalau biaya telepon bulan ini naik. Kalau kau kuatir, bertamu saja," jawab Harjo.
"Bisa temani aku? Aku takut pergi sendiri," tukas Ambar. Ia bergidik membayangkan Adit yang hidung belang itu.
"Aku sibuk belakangan ini, Ambar. Pergilah sendiri."
"Oh, maaf Kak," sahut Ambar lemah. Ditatapnya wajah suaminya yang agak lelah. Ia pikir mungkin Harjo masih sedih dengan kepergian Hadi karena sakit atau toko obat sedang ramai-ramainya sampai Harjo demikian sibuk. Seharusnya sebagai istri, dirinya bisa membantu pria itu, bukan malah menambah bebannya.
"Ada yang bisa kubantu, Kak?"
"Nggak ada! Pergilah, jangan ganggu aku. Kau membantu kalau tak mengomel terus tentang Nonik dan mimpimu padaku," gerutu Harjo dengan nada kesal.
"Maafkan aku, Kak."
Ambar menuangkan teh untuk Harjo sebelum meninggalkan suaminya.
Wajah Harjo menunjukkan kalau ia sedang tertekan. Pengeluarannya terlalu banyak sehingga tak tertutupi dengan penghasilannya. Gaji pekerja belum dibayar dan sekarang istrinya merecokinya tentang masalah yang tak penting. Dia sangat kesal.
Dulu melihat istrinya, ia merasa nyaman. Sekarang melihat Ambar membuatnya bosan. Wanita itu terlalu tenang, tak pintar berdandan, sehari-hari hanya bisa mengurus anak dan keluarga. Aneh kalau perempuan tak bisa berdandan seperti wanita yang melayani tamu di bar yang belakangan ini sering ia kunjungi bersama teman-teman barunya di perkumpulan bisnis di kota.
"Jangan lupa mi ... num ..."
"Pergilah! Kepalaku sakit!"
Ambar buru-buru meninggalkan Harjo. Dia kuatir kalau Harjo akan semakin kesal melihatnya. Dia tak tahu kalau Lintang berdiri di sisi lain sambil memperhatikannya. Pria itu tahu kalau kakaknya sedang marah pada wanita itu.
Dia mengasarimu, Ambar?
Dia memukulmu?
Aku tidak tahan. Kalau dia bersikap kasar, bilang padaku.
Lintang menatap punggung wanita yang dicintainya itu dengan mata sendu.
"Paman Lin!"
Ekspresi Lintang langsung berubah karena mendengar suara Arjuna memanggilnya. Wajahnya yang semula tegang berubah menjadi ceria melihat bocah tampan itu menghampirinya. Ia berjongkok di hadapan anak itu agar mereka berdua bisa saling bertatapan.
"Ya. Arjuna lagi apa?"
"Mau ajak Bapak main," jawab Arjuna. Lintang melirik ke dalam ruang keluarga di mana Harjo ada di dalam. Kalau Arjuna masuk sekarang, bukan tak mungkin Harjo semakin kesal karena menganggap Ambar tak bisa menjaga anak itu.
"Paman ajak ke Pekan mau?"
"Jumpa Nenek? Mau!"
"Minta izin sama Ibu dulu, ya," kata Lintang sambil mengacak rambut Arjun dengan lembut. Arjuna mengangguk.
"Wik ... tolong ..."
"Anu, Kak Lintang, aku boleh ikut? Pengen ketemu Bibi juga. Mau nitip duit sama Ibu."
"Ya, kalau Ambar ijinkan. Minta ijin dulu sana."
Wiwik, sepupu Ambar yang tugasnya menjaga Arjuna tersenyum cerah. Dengan mata berbinar ia menggandeng tangan mungil Arjuna lalu berlari-lari kecil menuju dapur.
"Kalau kau begitu menyukai anak kecil, Lintang ... kenapa kau tak segera menikah?"
Lintang terperanjat karena ibunya tiba-tiba berdiri di belakangnya.
"Ibuk ..."
Lastri menatap arah di mana Arjuna menghilang bersama Wiwik.
"Kau sangat suka anak itu, ya?"
Lintang tersenyum tipis. "Dia keponakanku. Tentu aku suka padanya, Buk."
Lastri mengernyitkan keningnya sampai kedua alis bertemu. Dia memiliki banyak anak dan di antara mereka semua, yang paling tak dimengertinya adalah Lintang. Tak ada seorang pun yang pernah menyelami pemikiran anak ini kecuali Rosa.
"Maksud Ibu ... punya anak sendiri seperti Harjo dan Koesman."
Lintang mengangguk dengan mulut monyong.
"Pengen sih, Buk. Tetapi ... nggak ada calonnya."
Lastri menusuk bahu Lintang dengan telunjuknya sampai anaknya mengaduh kesakitan.
"Ibuk kenapa sih?" protes Lintang.
"Ibuk mau kamu segera nikah."
Lintang melipat kedua tangannya di depan dada sambil berkata, "Nggak ada calon."
Lastri menghela napas dengan kesal.
"Calonmu banyak! Kau saja yang nggak mau. Tuh, Lina tetangga kita. Sejak kapan sudah suka sama kamu. Kamunya nggak pernah mau ajak ngomong waktu dia lagi nyapu halaman."
"Nggak ada yang mau diomongin. Masa aku mesti tanya udah nyapu berapa hektar? Yang aku lihat nyapunya di situ-situ aja," jawab Lintang. Lastri tampak mendengkus kesal.
"Itu kan supaya dia bisa ketemu kamu pas pulang kerja, pura-pura nyapu halaman."
Lintang mengangguk. "Iya, sih! Aku hargai usahanya."
Walaupun aku tak tertarik.
"Terus?"
Lintang menaikkan sebelah alisnya, memandang ibunya. "Maksud Ibuk?"
"Ajak nonton ke kota. Ajak piknik ke pantai. Kamu kan pernah ajak perempuan kulit putih itu ke pantai. Ajakin si Lina."
"Nggak, ah! Lintang sibuk. Nggak sempat gituan," tolak Lintang.
"Kapan nikahnya Lintang, Anakku? Jangan sampai kau dilangkahi adek-adekmu!"
Lintang terkekeh. "Bukannya sudah dilangkahi, Buk?"
Lastri tampak kesal. "Bukan oleh adik perempuan tapi Jono."
"Biar saja, Buk. Aku nggak akan nikah dalam waktu dekat. Nggak punya calon dan ... aku masih berduka atas kepergian adikku."
Ekspresi wajah Lintang berubah ketika menyebut adiknya. Hadi, putra bungsu keluarga Oetomo adalah anak yang paling dimanjakan dalam keluarga, dia mengikuti jejak Lintang untuk kuliah. Tapi sayang, kuliahnya belum selesai dan ia harus menghadap maut.
"Kau masih menyalahkan Ibuk atas kepergian Hadi?" tanya Lastri dengan nada bersalah. Lintang tak kuasa menatap Sang Ibu. Dia menunduk menatap ujung sandalnya sambil menggeleng.
"Ibuk juga nggak mau begitu ..."
Lastri menyentuh ujung matanya dengan sapu tangan sulaman bergambar burung feniks. Wajahnya menunjukkan betapa menyesalnya dia karena tak mendengarkan kata-kata Lintang.
"Ibuk janji akan mendengarkan kamu, Lintang. Karena kamu adalah anak Oetomo yang paling pintar. Kamu sekolah tinggi sampai ke luar negeri, pasti nantinya kamu akan jadi orang sukses."
"Bagaimana denganku, Bu?"
Lastri menoleh. Ternyata Koesman baru datang. Penampilan anak ketiganya itu berantakan sekali. Kumis dan jenggot tumbuh liar, rambut panjang, bukan gondrong seperti tren Freddy Mercury tapi bener berantakan. Selain itu, pakaiannya juga compang-camping dan badannya tak terawat.
"Koesman! Berapa hari sudah kau tak mandi?" tegur Lastri. Orang yang ditegur malah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Rita pulang ke rumah orang tuanya. Bawa anak-anak. Bajuku tak ada yang nyuci," jawabnya. Lastri meninggikan alisnya mendengar menantunya pulang ke rumah orang tuanya.
"Kenapa Rita pulang ke rumah orang tuanya? Kalian bertengkar lagi?" tanya Lastri cemas. Kalau Koesman ribut dengan istrinya, pasti Rita pulang ke rumah orang tuanya pakai ancaman mau cerai. Nanti ujung-ujungnya Lastri menyuruh putranya menjemput pulang istrinya. Drama seperti ini tak aneh lagi. Kalau dipikir-pikir malah sudah jadi kebiasaan.
"Pembantu kami tak mau kerja lagi. Rita tak bisa mengurus rumah. Jadi dia bilang lebih baik tinggal di rumah orang tuanya."
Lastri mencerna kata-kata putranya dengan dahi berkerut.
"Tunggu! Kau bilang pembantumu tak mau kerja lagi? Semuanya? Empat?"
Bukannya menjawab, kakak laki-laki Lintang itu malah cengengesan membuat Lastri semakin curiga.
"Koesman ... Ibu sudah kasih duit buat bayar pembantumu. Kamu bayar atau tidak?" tanya Lastri menghardik Koesman.
"Itu Buk ... Koesman perlu duitnya buat keperluan lain."
Lintang menghela napas panjang. Dilihat dari tingkah dan bahasa tubuh Koesman, dia tahu kalau saudaranya itu belum juga kapok dengan masa lalunya yang pernah dipenjara karena masalah madat.
"Kau pakai uang Ibuk untuk beli barang, ya?" tanya Lintang langsung pada sasaran. Lastri mendelik mendengar pertanyaannya.
"Lintang!"
"Sampai kapan Ibuk terus menutup mata dengan masalah ini, Buk? Dia akan tetap begitu kalau Ibuk terus memanjakannya."
"Apa maksudmu, Lintang?"
Lintang menarik napas sambil memejamkan matanya berusaha menghirup udara yang banyak, karena dengan begitu dia bisa sedikit bersabar dengan ibu dan kakaknya.
"Ibuk tahu. Jangan pura-pura. Ibuk tau kalo semua uang yang Ibuk berikan berapa pun jumlahnya akan dipakai olehnya untuk hal yang nggak benar. Coba Ibuk tanya dia lagi, ke mana semua uang yang Ibuk berikan buat bayar pembantunya."
"Lintang, dia ini kakakmu!"
"Ya. Lintang tau! Dia kakakku. Karena dia Kakakku dan aku peduli padanya. Aku nggak mau Koesman terjerumus lagi. Aku nggak mau dia ditangkap saat pakai barang haram lagi."
Lastri mengibas-ngibaskan tangannya sambil berkata, "Peh! Peh! Peh! Jangan ngomong gitu, Lintang! Bisa sial kita!"
Lintang mendesah, merasa sangat lelah karena sikap ibunya. Jauh di dalam hati Lastri, pasti wanita itu tahu kalau Koesman belum juga berubah. Penjara tak membuatnya jera sebab ia tahu bagaimanapun keluarganya tak akan membiarkannya mendekam lama di sana. Tjong Lai maupun Harjo akan berusaha mengeluarkannya dari sel penjara.
"Sejak dulu kau selalu merasa paling pintar! Karena disayang Bapak, kau semakin menjadi!" tuding Koesman. Tatapan matanya tidak fokus, malah ke mana-mana.
"Dengar, Koesman! Nasehatku untukmu karena kau saudaraku. Kau punya keluarga. Anak-anak dan istri yang kau sayangi. Tak pernahkah kau berpikir jika kau masuk penjara lagi, bagaimana mereka? Ah ..." Lintang mengangkat tangannya sebab melihat Koesman ingin memotong.
"... Jangan ucapkan itu! Bahwa Bapak sama Ibuk tetap tak akan membiarkan kau mendekam di sel! Aku sungguh menyesal harus mengatakan ini kepadamu! Orang tua kita tak bisa selamanya menjagamu, Koes!"
"Lintang! Jangan mengharapkan Ibu cepat mati!" tegur Lastri. Lintang menggeleng dengan wajah sendu.
"Aku berharap Ibuk sehat terus, berusia panjang. Tetapi ..." Lintang menelan ludah sebelum bicara lagi.
"... Apa Ibuk yakin di masa tua masih kuat mengurus anak Ibuk ini kalo dia masih saja begini terus?"
"Anak ini makin kurang ajar. Biar kuhajar dia, Buk!" Koesman ingin menerjang Lintang tapi kesadarannya memang tinggal setengah. Langkahnya sempoyongan, sementara sasarannya sudah mengantisipasi gerakannya. Adiknya hanya bergerak menyamping dan membuatnya terjatuh tanpa disentuh.
Koesman terjerembab menabrak ke pot tanaman sebelum jatuh mencium lantai yang menyebabkan kehebohan sampai Harjo ikut muncul.
"Ada apa ini?" tanyanya pada Lintang.
Pria yang ditanya hanya mengangkat bahunya dan menjawab dengan santai, "Dia jatuh sendiri."
"Bangun, Koesman!" perintah Lastri. Dia bahkan tak membantu Koesman untuk bangkit. Susah payah pria pemadat itu berusaha berdiri kembali sampai Harjo mengasihaninya dan membantunya berdiri.
"Buk ... ijinkan aku tinggal di sini. Aku nggak mau di rumahku. Tak ada yang masak untukku. Rita nggak di rumah, nggak ada pembantu."
Lintang benci dengan rengekan Koesman. Sudah matang usianya tapi pemikirannya masih belum dewasa. Lastri juga pasti tak tega dengan rengekannya.
"Sudah! Sudah! Nanti Ibuk telepon Rita! Kau jemput dia pulang! Soal pembantu ... Lintang mau ke mana?" tanya Lastri ketika dilihatnya pria itu membalikkan badannya menuju dapur.
"Pamit, Buk. Mau ajak Arjuna pergi ke Pekan. Mumpung hari Sabtu. Sampai jumpa," pamitnya dengan santai, padahal dalam hati mendongkol karena penyelesaian masalah Koesman yang dilakukan Lastri.
Nyonya Rumah.
"Amah!" teriak Arjuna pada neneknya yang sedang berjualan di Pekan sore itu. Jalanan agak ramai karena banyak pengunjung melihat-lihat dagangan, tapi Mei Mei, ibunya Ambar masih bisa melihat cucunya sedang berlari-lari bersama Wiwik menuju meja dangangan kue-kuenya.
"Cucu Amah!" Mei berjongkok dan membuka kedua tangannya menyambut Arjuna dengan pelukan hangat. Memeluk anak itu beberapa detik, rasanya sudah lama sekali tak bertemu dengannya dan anak itu bertambah tinggi dan besar saja sejak terakhir bertemu.
"Mana Ibu?" tanya Mei karena hanya melihat Arjuna bersama Wiwik.
"Kau nggak pergi tanpa pamit kan, Wik?" tanya Mei kuatir. Wiwik belum sempat menjawab, seorang pria muncul dengan menjawab, "Saya yang bawa mereka, Bu."
Lintang, sosok yang tampak kontras dengan keramaian Pekan. Sore itu, dia mengenakan baju kemeja biru dan celana putih, hanya bersandal ria, rambutnya disisir rapi, penampilannya yang sederhana tapi menawan, membuat beberapa pengunjung wanita menolehkan wajah mereka untuk mengagumi pria itu. Bahkan ibunya Ambar sampai pangling dan berusaha mengingat siapa pria tampan yang memanggilnya dengan sebutan Bu ini.
Wiwik tampak mengerti, kalau bibinya tak ingat siapa sosok tampan, berkulit bersih, dan tinggi di hadapannya, maka ia berkata, "Dia pamannya Arjuna, Bik. Paman Lintang."
Mei berusaha mengingat, memang ingatannya tak terlalu kuat tentang keluarga besannya karena jarang bertemu, tapi kalau yang menawan seperti ini rasanya ia tetap ingat.
"Lintang yang anak ketujuh ya? Yang sekolah ke luar negeri? Yang paling pintar? Aduh, Nak. Maafkan Ibu sampai pangling. Abis kamu ganteng banget."
Lintang meringis sambil mengusap-usap tengkuknya untuk menutupi rasa malunya.
"Ibu bisa saja."
Mei tampak melihat-lihat ke arah belakang Lintang, mencari-cari sosok Ambar. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan putrinya. Terakhir bertemu beberapa bulan waktu tahun baru.
"Ambar tak ikut?" tanyanya.
"Kak Ambar ..."
"Ambar lagi kurang enak badan, Bu. Arjuna saya bawa karena katanya dia kangen Amah," jawab Lintang memotong kalimat Wiwik. Ia memberi isyarat dengan matanya agar gadis itu diam dulu.
Ada kecewa terpancar dari tatapan mata wanita tua itu, walaupun akhirnya dia tersenyum karena bisa bertemu dengan cucunya.
"Ingin ketemu Arimbi."
"Lain kali Lintang bawa Arimbi sekalian, Bu. Tadi perginya juga tiba-tiba."
"Iya. Terima kasih, Nak Lintang. Sudah bawa Arjuna."
"Oh iya, Bu, ini ada daun teh dari toko obat kami untuk Bapak," tukas Lintang sambil menyerahkan beberapa bungkus teh yang diikat rapi kepada Mei.
"Aduh, Nak Lintang. Mengunjungi Ibu saja pun Ibu sudah senang, nggak usah bawa barang."
"Bukan masalah, Bu. Cuma daun teh. Harap Bapak suka."
Mei menerima bungkusan teh itu. Bahkan dalam keadaan terbungkus saja pun bau daun tehnya menguar sampai ke indera penciumannya.
Pasti daun teh yang mahal, pikirnya.
"Amah, Arjuna mau bantu Amah jualan," tukas Arjuna sambil naik ke atas bangku supaya bisa melihat meja dagangan dengan jelas.
"Wah, cucu Amah sudah gede, pinter lagi, bisa bantu Amah jualan," puji Mei sambil tersenyum lebar. Lintang ikut tersenyum melihatnya.
"Anak pintar."
"Oh iya, maaf Nak Lintang, duduk dulu."
Mei mengambil salah satu kursi kayu lainnya agar Lintang bisa duduk.
"Tidak usah, Bu. Ibu saja yang duduk," tolak Lintang. Mei tampak canggung karena tak terbiasa dikunjungi tamu di tempat ia menjajakan kuenya. Sementara pria ganteng bermata sipit itu malah tampak santai saja.
"Nak Lintang mau kue apa?"
"Nggak usah, Bu."
"Paman suka kue ini, Amah," jawab Arjuna sambil menunjuk kue berwarna merah muda, jualan Mei yang tinggal beberapa saja.
"Namanya kue teo chew, Arjuna cucu Amah sayang."
"Paman Lintang juga suka Huat kue gula merah, tapi ... nggak ada di sini," kata Arjuna sambil mencari-cari kue jualan Mei yang disukai Lintang. Kue yang dicari tak ada lalu dia pun menggeleng. Mei mengambil selembar daun pisang untuk membungkus kue teo chew yang tersisa lalu memberikannya pada Lintang.
Lintang tak malu-malu langsung melahap dua kue sampai habis membuat Mei tersenyum. Di lubuk hatinya, ia tak menyangka bahwa putra dari keluarga kaya yang sudah sekolah sampai ke Inggris, bisa duduk di warung kuenya yang sederhana dan menikmati kue jualannya.
"Nak Lintang sudah punya pacar belum?" tanya Mei tiba-tiba. Kemudian wanita tua yang rambutnya sudah abu sebagian itu menyesali pertanyaannya. Selain memang bukan urusannya, pertanyaan itu tak memerlukan jawaban. Pria tampan dan terpelajar yang berasal dari keluarga berada seperti Lintang pasti menjadi rebutan para wanita cantik yang berasal dari kelas sosial yang sama dengannya. Walaupun tak menutup kemungkinan keluarganya masih mau bermantukan wanita yang kelas sosial berada di bawah mereka, contoh Ambar, putrinya yang diperistri Harjo.
"Ah, lupakanlah. Ibu terlalu mau tahu urusan orang."
"Belum, Bu. Belum nemu yang cocok," jawab Lintang sambil tersenyum.
Mendengar jawaban Lintang, Mei semakin semangat untuk bertanya.
"Nak Lintang cocok sama yang gimana? Biar Ibu carikan," gurau Mei. Lintang tertawa.
"Yang sederhana, Bu. Yang seperti Ambar kalau ada."
Lintang serius dengan kata-katanya, tapi Mei menerjemahkannya menjadi candaan.
"Wiwik saja, mau?" tanya Mei sambil mendorong Wiwik yang berdiri hanya mendengarkan obrolan mereka. Didorong oleh bibinya ke arah Lintang membuat gadis itu tersipu-sipu.
"Nggak, Bu. Dia masih anak-anak," jawab Lintang pelan. Wajah Wiwik bersemu merah dan dia merajuk pada bibinya.
"Bibi apaan, sih?"
"Ya, sudah, Nak Lintang. Pelan-pelan carinya. Jodoh nggak akan ke mana, kok."
"Iya, Bu."
Sekilas Lintang melihat di antara orang ramai di Pekan, ia mengenali sosok yang tak asing. Dikuceknya matanya, kuatir salah lihat. Lalu ketika sudah pasti, ia berdiri.
"Bu, saya titip Arjuna sebentar. Ada urusan. Sebentar lagi saya balik."
"Baik, Nak."
Lintang langsung melesat mencari sosok yang mirip dengan kakaknya, Harjo
Ke mana gerangan kakaknya bersama dengan seorang perempuan?
Lintang terus mencari sampai pada sebuah gang sempit lalu sosok itu menghilang. Ia mendesah, bisa saja matanya salah mengenali karena Harjo pasti sedang berada di rumah bersama Ambar.
Nyonya Rumah.
Beberapa jam sebelumnya.
"Kak Ambar, boleh aku ikut Lintang ke Pekan? Mau ketemu Bibi dan titip duit buat Ibu."
"Boleh, Wik. Eh, Wik mau ke mana buru-buru?"
"Mau dandan bentar. Pinjam gincumu, Kak."
Wiwik menghilang ke kamarnya, mau ganti pakaian. Ambar mengikutinya ke kamar dan geleng-geleng kepala melihat gadis itu sudah membuat berantakan lemari bajunya.
"Mau ke Pekan sama Lintang apa harus dandan?"
Wiwik tersenyum malu.
"Ah, Kakak! Apa nggak pernah muda?"
Ambar tampak berpikir sambil menggigit bibirnya.
"Jangan ... jangan ... kamu suka sama ..."
Wiwik menghentikan aktivitasnya mencari baju yang cocok. Ditatapnya kakak sepupunya sambil tersipu.
"Kak ..."
"Wik, kau serius? Lintang?"
Diraihnya pundak Wiwik dan memaksa gadis itu berhadapan dengannya.
"Wik ..."
Gadis itu mengangguk dan tak berani menatap Ambar.
"Kuharap Kakak setuju ..."
"Ini bukan soal aku setuju. Lintang ... maksud Kakak ... aduh gimana ngomongnya ke kamu?"
Ambar tampak ragu mengutarakan isi hatinya, takut Wiwik sedih.
"Apa, sih Kak? Bikin Wiwik penasaran?"
Ambar menarik napas dan memejamkannya matanya.
"Lintang bukan orang yang sederhana, Wik. Dia cukup rumit. Jangan bilang nanti Kakak nggak memperingatkanmu," ucapnya.
"Rumit gimana, Kak?"
Lagi-lagi Ambar menarik napas.
"Kalau dilihat ya, dia ganteng, terpelajar, sukses, bakal jadi bos besar bahkan tanpa warisan keluarga. Tapi dia rumit. Entahlah ... Kakak pernah merasa kalau dia pernah menyukai seseorang tapi tak pernah ia kenalkan kepada keluarganya. Atau mungkin wanita itu menolaknya. Tapi ...."
Ambar menggigit bibirnya sendiri sambil menelengkan kepalanya.
"... hanya saja kalau dipikir ... dengan modal seperti ini, perempuan mana yang menolaknya? Rumit."
Wiwik duduk di sisi tempat tidur dan ikut berpikir dengan kakak sepupunya.
"Benar juga."
"Terus ... dia pernah dekat dengan beberapa perempuan dan nggak sampai pacaran juga. Beth yang dia bawa pulang ke rumah yang semula kukira bakal dinikahi juga nggak jadi. Lintang Oetomo memang sulit diperkirakan."
"Mungkin pada akhirnya dia merasa tak cocok, Kak. Bisa saja aku nantinya yang cocok dengannya," kata Wiwik sambil nyengir.
"Aku sudah mengingatmu ya, Wik. Nanti kalau kau terluka, jangan menyalahkanku."
Tapi Wiwik yang keras kepala malah tertawa dan menjawab, "Selama sainganku manusia, aku bisa bersaing mendapatkan Lintang, Kak. Asal jangan bidadari saja. Itu aku nggak sanggup. Aku juga ingin kehidupan sepertimu, Kak. Diperistri lelaki kaya dan menjadi nyonya."
"Nyonya ... disuruh Nyonya Besar masak sup ayam ginseng untuk Den Koesman," panggil Bik Wati.
Nyonya Rumah.
Hai! Abis nulis Lintang, nanti Cici mau pindah rumah ke J*ylada. Jangan kuatir, Nyonya Rumah akan saya tamatkan dulu.
Yang mau ikut, yuk angkut. Nama akun saya Christina Suigo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top