Babak II : 7. Kehilangan Lagi.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Sekarang, 1999.

"Selamat ulang tahun, Arimbi."

"Ibuuuu."

Putri Ibu satu-satu memeluk Ibu kuat-kuat di kursi sampai keduanya kehabisan napas. Aku hanya tertawa melihat dua wanita yang paling dekat denganku itu. Mereka setiap hari saling teleponan, seminggu sekali ketemu di akhir minggu, kadang di tengah minggu, Arimbi mengajak ibuku keluar untuk makan siang. Orang yang tak mengenal keluarga kami pasti mengira Ibu dan putrinya ini sudah lama tak bertemu.

"Bu ... apa hadiahku?"

"Nggak malu apa nanya hadiah sama Ibu?" sindirku tajam.

"Paman Lintang ... apa hadiahku?" tanya Arimbi seakan tak mendengar sindiranku.

"Aku belikan rumah sebelah, mau?"

"Yeee!"

"Mau!"

"Ibu bilang pakai duit Ibu tapi kau tolak."

Arimbi terkekeh sambil memandang Ibu.

"Kalau pakai duit Ibu, tidak diijinkan Darius. Tapi ... Darius nggak bilang apa-apa tentang Paman Lintang," tukasnya sambil cengengesan.

Arimbi hanya mengoceh, aku yakin sekali kalau Darius juga tak mau menerima uang Paman Lintang jika diberikan. Orang idealis sepertinya. Huh! Pasti lebih memilih ngontrak daripada memakai dana yang bukan hasil keringatnya.

"Tapi uang Paman nggak banyak. Harus jual rumah dulu baru bisa beliin rumah buatmu," sahut Lintang tapi malah dicibir sinis oleh Arimbi.

"Paman pelit. Perhitungan gitu. Mana mungkin nggak punya duit. Paman punya perkebunan sawit. Itu kan alasan saja mau jual rumah supaya ...."

Arimbi melirik Ibu.

"Supaya bisa tinggal di sini," lanjutku. Ibu melotot ke arahku. Aku pura-pura tak melihatnya dengan berakting seolah sedang mencari remote televisi.

"Mau ke mana kau, Bima? Sampai pengen Paman tinggal di sini."

"Aku ..."

"Mungkin dia mau kawin. Secepatnya. Jadi Paman disuruh jagain Ibu."

"Hei!"

Arimbi ketawa jahat.

"Dia punya pacar? Kau punya pacar, Bim? Kenapa nggak kenalin ke Paman?"

Kuberi tatapan membunuh pada pamanku agar ia bisa segera mengunci mulutnya sebelum ibuku bereaksi. Belakangan ini Ibu lagi senang-senangnya mengangkat topik pacar padahal sudah kutegaskan kalau aku belum punya.

"Besok aku ke kampus," kata Paman. Aku menaikkan sebelah mataku. Kenapa rupanya kalau dia ke kampus? Toh, dia juga sering ke kampus karena setelah menyerahkan bisnisnya pada Heru, Paman mencurahkan waktunya untuk menjadi dosen.

"Pacarmu temen kuliah? Kenalin!"

"Aku malas bicara padamu," tukasku kesal sambil berdiri berniat untuk meninggalkan ruang keluarga.

"Hei, mau ke mana Anak Muda? Katanya tadi mau temeni Paman motret."

Kuabaikan teriakan Paman. Aku sedang kesal padanya.

"Bima!"

"Tukang marah!"

Kudengar Paman mengomel dari luar.

"Kurasa Bima mirip Paman kalau sedang marah."

"Arimbi! Aku masih bisa mendengarmu dari sini!" teriakku kesal. Walaupun terdengar kesal, aku tersenyum karena dibilang mirip Paman.

Aku, Bima Sakti, mahasiswa kedokteran tahun kedua. Aku memang mirip Paman Lintang. Dia adalah idolaku dan kakakku.

Nyonya Rumah.

September 1976

"Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja, Bu?" tanya Ambar hati-hati, takut ibu mertuanya marah. Beberapa hari ini emosi Lastri agak naik karena Hadi, putra bungsunya sakit. Panas badannya tinggi dan mual-muntah.

Ambar memasakkan ramuan dari toko obat untuk meredakan panas tapi Hadi tak juga lebih baik.

"Bakar ini lalu taruh di minumannya. Tadi Ibu menemui orang pintar. Dia bilang Hadi ini terkena guna-guna dari orang yang iri sama Bapak," kata Lastri sambil mengeluarkan kertas bertuliskan aksara China.

"Bu ... saran Ambar, dibawa ke dokter Bu. Biar di ..."

"Aku nggak minta saranmu. Hadi anakku dan aku yang tahu. Ngerti kau?"

Ambar menunduk. "Maaf, Bu. Tapi panasnya nggak turun-turun."

"Kasih minum. Nanti sebentar lagi sembuh."

Kertas kuning itu diserahkan ke Bik Wati yang sedang berdiri di belakang Ambar.

Ambar tak berani menjawab lagi. Dilihatnya punggung ibu mertuanya yang meninggalkan kamar putranya. Wanita itu menarik napas panjang. Ia mempertimbangkan untuk membujuk Harjo agar membawa Hadi ke rumah sakit mengingat dulu adiknya pernah mengalami kejang karena demam yang tak kunjung turun. Oleh karena itu, ia selalu hati-hati jika ada yang sakit panas.

"Nyonya, kertasnya Bibik bakar sekarang. Nanti Nyonya Besar bisa marah kalau Nyonya nggak ikuti perintahnya," ucap Bik Wati pelan. Wanita tua baik hati itu tak menunggu jawaban Ambar tapi dengan cekatan membakar kertas yang diberikan Lastri menjadi abu lalu dimasukkan ke dalam cangkir.

"Den Hadi ... duduk dulu, ya."

Ambar membantu Hadi untuk bisa duduk. Tubuh remaja lelaki berumur 17 tahun itu lemas sekali. Duduk saja harus ada yang membantu menopangnya.

"Buka mulutnya, Den."

"Aku ... sakiiit."

"Iya, ngerti Den. Nanti minum obat, sembuh."

"Buang itu!"

Lintang menerjang ke dalam kamar dan langsung melempar cangkir kaleng yang dipegang Bik Wati sampai jatuh ke lantai. Wanita tua itu terkejut, begitu juga dengan Ambar.

"Ayo, kita ke rumah sakit." Selesai berkata begitu, Lintang berusaha menaikkan tubuh lemah Hadi ke punggungnya.

"Lintang ... Ibu ..."

"Kita harus bawa Hadi ke rumah sakit. Heru, hidupkan mobil. Ambar, kau ikut!"

Heru yang berdiri di depan pintu kamar langsung sigap pergi.

"Jangan pikirkan Ibuk. Ayo!"

"Turunkan Hadi!"

Ternyata Lastri muncul setelah Heru beranjak dari tempatnya. Wanita itu memandang Lintang dengan sorot mata marah.

"Ibu bilang, lepaskan Hadi!"

"Buk ... kita tak bisa menunda. Badan Hadi panas," tukas Lintang masih bersikeras membawa adiknya.

"Lintang, Ibu perintahkan agar kau menurunkan Hadi. Aku ini ibunya. Aku lebih tahu darimu. Pengalamanku sudah banyak. Anak-anakku yang pernah sakit begini bukan cuma Hadi."

"Ibuk ..."

"Bu, tolong dengarkan Lintang. Adikku juga pernah sakit demam tinggi dan ..."

"Tutup mulutmu, Ambar. Siapa dirimu sampai aku harus mendengarkanmu!" hardik Lastri tajam. Ambar terdiam dan menunduk. Ia sadar bahwa tak sepatutnya berkata begitu pada mertuanya. Namun kondisi Hadi sekarang membuatnya kuatir.

"Buk, ini aku yang mau. Ibuk tak perlu sekasar itu pada mantu Ibuk."

"Turunkan Hadi sekarang juga, Lintang!" bentak Lastri kasar. Ia semakin marah karena Lintang membela Ambar. Harjo yang suami wanita itu saja tak pernah sekalipun berani menentangnya jika ia sedang memarahi Ambar.

Mendengar Lastri berkata dengan nada emosi, Lintang dengan terpaksa menurunkan Hadi ke tempat tidurnya semula.

"Ibuuu ..." panggil Hadi lemah. Lastri buru-buru menghampiri putra bungsunya lalu menggenggam tangannya.

"Tak apa, Nak. Kau akan baik-baik saja setelah minum obat."

Lastri memandangi cangkir yang jatuh ke lantai karena dibuang Lintang. Bik Wati yang membeku di tempatnya langsung tahu diri dan memungut cangkir berbahan kaleng berwarna hijau putih itu.

"Anak Ibu banyak. Ibu tahu apa yang harus Ibu lakukan," gerutu Lastri ditujukan pada Lintang.

"Jangaan ... marah ... Bu. Haadi ... di ... rumah ... sajaa ..."

"Ya, kau di rumah saja. Ibu merawatmu. Nanti panasmu turun pasti sembuh."

Ambar melirik Lintang yang kelihatan kesal dengan sikap  Lastri yang keras kepala. Pria itu akhirnya meninggalkan kamar Hadi dengan kesal tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

"Ngapain kau berdiri bengong di situ? Sana masak obat buat penurun panas. Harus tiga jam. Tiga mangkuk air jadi satu mangkuk. Tidak lebih atau kurang. Ngertiii!"

Ambar tak membantah sepatah kata pun. Ia mengangguk dan langsung pergi ke dapur. Menyiapkan ramuan penurun panas dari toko obat yang diperintahkan oleh Lastri. Meskipun ia tahu kalau ramuannya tak efektif. Hadi sudah minum berkali-kali tapi tetap saja sakitnya tetap begitu.

Ambar masih menjaga api agar air ramuan tak cepat habis ketika Lintang masuk ke dapur. Ia tak sadar kalau pria itu sudah berdiri di belakangnya.

"Ada yang bisa kubantu?"

"Astagaaa! Lintang! Bisa nggak, kau jangan muncul seperti hantu. Aku kaget, tau!"  omel Ambar sambil menepuk dadanya karena jantungnya berdetak cepat.

"Kau melamun tapi salahnya aku," gerutu Lintang.

"Lintang ... apa nggak bisa bujuk Ibu lagi?" tanya Ambar mengabaikan gerutuan Lintang. Sebelum pria itu mengejutkannya, ia memang sedang mencari cara untuk membawa Hadi ke rumah sakit.

"Kau lihat bagaimana Ibuk menentang. Ibuk benci kedokteran barat. Tante Rosa pernah cerita, Nenek sakit dirawat di rumah sakit tapi nggak sembuh. Dibawa pulang minum ramuan orang pintar malah sembuh. Ah ... tapi kan itu cuma kebetulan. Zaman sudah berubah, mana ada yang sakit nggak cari dokter lagi."

Ambar melirik panci keramik obat yang ada di atas kompor.

"Sudah berkali-kali minum obat, tapi panasnya tetap. Sekarang malah Hadi susah nelan. Aku tadi masak bubur buatnya, tapi ..." Ambar menggeleng sedih. " ... itu juga dimuntahkan. Kita harus bagaimana? Bagaimana kalau dia nggak bisa makan terus? Badannya pasti lemes."

Lintang memijat-mijat kepalanya sambil memejamkan matanya. Dia lelah dengan sikap keras kepala ibunya, selalu merasa paling pintar, paling bisa mengurus anak padahal selama Hadi sakit, Ambar yang pontang-panting ngurus anak itu.

"Aku akan coba bujuk Ibuk. Dan kau harus mendengarkan aku, Ambar ..." Lintang berkata dengan nada serius. Pria itu menatapnya dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Jika sampai besok pagi, aku belum bisa membujuk Ibuk, tolong aku, buat menjaga Hadi sehari. Aku besok harus ke luar kota karena masalah perkebunan. Andai bisa kuundur pasti akan kulakukan. Tapi ini sangat mendesak. Aku akan pulang sore, kuusahakan secepatnya. Bisa kan jagain Hadi untukku?"

"Lintang ... kau nggak perlu bilang begitu. Menjaga Hadi adalah tugasku."

"Ya, aku tahu kau pasti akan bilang begitu. Tapi ... bukan itu maksudku. Jika panasnya Hadi belum turun juga ketika aku tidak ada di sini, lakukan segala cara agar kau bisa membawanya ke rumah sakit. Bisa?" tanya Lintang serius. Ambar menatap pria itu dan mengangguk berkali-kali.

"Ya, ya. Aku juga akan mendesak Harjo untuk melakukannya."

"Bagus. Aku percaya padamu. Dari gejalanya, aku curiga kalau dia kena demam berdarah."

Ambar tertegun sebab nama penyakit itu terdengar agak asing dan menyeramkan.

"Penyakit apa?"

"Demam berdarah. Gejalanya seperti Hadi. Aku pernah dengar teman Inggrisku. Ah, tunangan Beth bilang penyakit ini terjadi di daerah tropis."

"Bisa berbahaya?"

Lintang mengangguk. "Sebab itu ... aku minta kau jaga dia. Usahakan demam panasnya turun."

"Ya. Baik."

Nyonya Rumah.

"Bos Lintang ... kunci mobilnya!" teriak Heru. Namun Lintang mengabaikannya. Dia ngebut pulang ke rumah karena hatinya tak tenang. Pikirannya terus tertuju pada Hadi. Mau telepon tapi di kebun karet belum ada sambungan telepon. Ia mengingatnya dalam hati agar segera memohon kepemilikan telepon. Sambungan telepon akan sangat diperlukan nantinya.

"Ambar! Kenapa kau berdiri di sini?" tanyanya sambil menaiki dua anak tangga sekaligus menuju pintu depan rumah. Ambar tampak kuatir. Wanita itu bersandar di tiang pintu.

"Itu ... Lintang ... Hadi masih panas dan kelihatannya hilang kesadaran. Aku sudah coba bujuk Ibu. Tapi maafkan aku ..."

Ambar memalingkan wajahnya, tampak jelas sedang menyembunyikan sesuatu dari Lintang.

"Ambar ..." Lintang mendekat lalu mengangkat tangannya menyentuh wajah wanita di hadapannya.

"Siapa yang melakukannya?"

"Aku ... jatuh ..."

"Siapa yang melakukannya?"

"Aku terjatuh saat mau membawa Hadi ke rumah sakit. Lintang! Ini bukan masalah! Tolong bawa Hadi sekarang juga. Jangan tanya bagaimana atau siapa yang melakukan ini! Pergi saja! Bawa Hadi!"

"Ibuk atau Harjo?" desak Lintang marah.

Ambar meneteskan airmata. Pertama kalinya bagi Lintang melihat wanita yang dicintainya menangis. Berbeda kondisi dengan pada saat Endang meninggal dulu, Ambar mengunci dirinya di kamar. Ia menelan sedihnya sendiri kala itu.

"Sudah! Ini bukan masalah. Hadi lebih penting. Bawa dia."

Lintang menelan ludah pahit. Ambar benar kalau kondisi kesehatan Hadi lebih penting, tapi dia juga tak bisa membiarkan wanita itu disiksa oleh ibu atau kakaknya.

"Tunggu! Aku selesaikan satu masalah dulu."

Lintang bergegas masuk ke rumah untuk membawa Hadi, meninggalkan Ambar yang jatuh terduduk lemas di teras.

Lastri marah-marah ketika Lintang pulang langsung menerobos kamar Hadi dan menaikkan tubuh lemah adiknya ke punggungnya. Ia juga mengutuki Ambar meskipun menantunya itu tak ada di sana karena beranggapan kalau Ambar adalah orang yang menghasut Lintang.

"Ibuk, ikut saja. Lintang yang nyetir."

Lastri masih diam di tempat. Dia masih tetap tak mempercayai ilmu kedokteran tapi Lintang sudah bergerak meninggalkan kamar Hadi.

"Lintang! Kalau sampai terjadi sesuatu pada Hadi ..."

"Aku tahu, Buk! Aku anak durhaka! Sekarang, Ibuk bisa ikut atau kutinggal!"

Nyonya Rumah.

"Paman ... Paman kenapa? Ada yang bikin Paman sedih?"

Lintang memalingkan wajahnya. Ia tak sanggup menghadapi Arjuna dalam keadaan hancur seperti sekarang ini. Anak itu pasti ketakutan melihat wajahnya yang tak karuan.

"Paman ..."

"Bawa dia pergi, Wik!" teriak Lintang dengan suara kuat. Arjuna mungkin bisa ketakutan mendengar suaranya tapi itu lebih baik daripada bocah itu melihatnya dalam keadaan rapuh dan tak berdaya.

"Tidak mau! Aku mau sama Paman," teriak Arjuna. Sebelum Wiwik, pengasuhnya membawanya, anak itu cepat-cepat memeluk Lintang yang sedang duduk lemas di lantai kamarnya. Wiwik tak bisa berbuat apa-apa selain berjongkok dan berusaha membujuk anak itu agar meninggalkan pamannya tapi bocah itu tetap kukuh tak mau meninggalkan pamannya.

"Arjun, yok main di luar," ajak Wiwik. Arjuna menggeleng.

"Nggak. Mau sama Paman."

"Tapi Paman lagi nggak bisa main sama Arjun," kata Wiwik lagi sambil menatap Lintang yang sedang menatap ujung jari kakinya dengan tatapan kosong. Keluarga Oetomo baru saja kehilangan satu anggota keluarga lagi. Hadi menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Lastri ketika mobil yang dikemudikan Lintang dalam perjalanan membawanya ke rumah sakit. Kecurigaannya ternyata benar, demam berdarah.

"Kalau Paman nggak mau main, Arjun juga tetap mau sama Paman."

"Arjun tau ... kita baru kehilangan pamanmu."

Arjuna menggeleng.

"Paman Hadi sakit. Kata Ibu, beberapa hari ini Paman susah makan," tukas Arjuna. Lintang mengangguk. Airmatanya mengalir lalu dihapusnya dengan kasar.

Tuhan ... Oh Tuhan ... kenapa aku harus kehilangan lagi? Pertama kakakku, kini adikku.

Tangan mungil milik Arjuna mengusap pipi Lintang lembut. Tangannya hangat dan membuat nyaman.

"Jangan kuatir, Paman. Nanti Arjuna akan jadi dokter," janji anak bermata tajam itu pada Lintang.

"Nanti Arjuna bisa menyelamatkan banyak orang. Arjuna adalah pahlawan."

Lintang memandangi bocah tampan dan bijak itu dengan hati perih. Dipeluknya Arjuna erat-erat seolah ia sedang memeluk Hadi. Ia menyesal kenapa tidak lebih cepat pulang. Tidak lekas membawa Hadi ke rumah sakit. Mengabaikan Lastri yang tak mengijinkan. Adiknya itu baru berusia 19 tahun, jalannya masih panjang, baru jadi mahasiswa tingkat pertama, pernah mengaku kalau nantinya ingin seperti Lintang yang lanjut kuliah ke luar negeri.

"Dokter kan pahlawan juga."

"Ya, Arjuna jadi dokter, ya. Nanti kalau Paman Lintang sakit, dokter Arjuna Oetomo siap mengobati."

"Paman Lintang kan kuat. Mana pernah sakit."

Paman sakit, Arjuna. Sakit kehilangan Endang. Sekarang , Paman sakit karena kehilangan Hadi. Tapi rasa sakit ini, nggak akan pernah bisa disembuhkan oleh dokter.

Nyonya Rumah.

Cuma pengen ngoceh saja. Ini foto yang saya potret. Bagus?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top