Babak II : 3. Pemilik Giok.

https://youtu.be/HqXmAxQJsYo

"Kak ..."

"Em ..."

"Duduklah. Kau sudah mondar-mandir berpuluh-puluh kali. Nggak capek?"

Harjo menaikkan alis menatap istrinya. Hatinya tak tenang.

"Menurutmu apa Lintang serius nggak balik ke London?" tanya Harjo begitu duduk di hadapan Ambar yang sedang menyulam di atas kainnya. Dia sedang mencoba menyulam corak bunga lonceng cina.

"Dia nggak bilang. Apa dia bilang begitu padamu?" tanya Ambar tetap sibuk dengan benang ungunya.

"Dia bilang padaku."

"Hm. Bagus juga. Dia bisa bantu Bapak."

Harjo malah makin gusar mendengar Ambar bilang begitu.

"Kan sudah enak dia tinggal di London. Kerjaan ada. Bapak kirim uang."

"Kak, Bapak nggak kirim uang karena nggak tau caranya. Yang bisa ngurus gini cuma Lintang. Dan ingat Bapak nggak percaya soal uangnya pada siapa pun kecuali Lintang."

"Masa nggak kirim?" Setengah hati Harjo tak percaya kalau Tjong Lai tak mendanai Lintang waktu pergi ke London.

Ambar menurunkan sulamannya lalu menggeleng. "Nggak, Kak. Bapak bilang sendiri. Bapak nyesel nggak sempet kasih Lintang uang karena dia terlanjur pergi tanpa pamit," jawabnya.

"Ah, Bapak kan bisa bohong."

"Aku percaya sama Bapak. Bapak nyesel kok. Tiap Lintang telepon Bapak sering bilang. Kenapa sih, kayaknya nggak tenang karena Lintang nggak balik lagi? Kan kalian bersaudara bisa berkumpul bersama adalah hal yang menggembirakan."

Harjo mendesah pelan. "Kamu wanita ... terlalu lugu."

Ambar mengerjap-ngerjapkan matanya dan mulutnya mengucapkan kata lugu tanpa suara.

"Lintang pasti punya rencana besar makanya dia balik ke sini."

"Rencana nikah maksudmu, Kak?"

"Duh kamu! Kok naif gitu? Lintang itu pulang buat menguasai usaha Bapak. Kalau nggak, setelah hidup enak di sana, mana mungkin dia mau pulang. Hidup di negara barat kan enak!"

"Kak! Kok gitu ngomongnya?"

Harjo mengangkat telunjuknya dan menunjuk-nunjuk Ambar. "Kau terlalu percaya padanya. Kau nggak tau, gelang giok Ibu sudah ada di tangan perempuan barat itu. Seharusnya Ibu berikan padamu. Kau kan istriku. Anak sulungnya."

Ambar meletakkan kain dan jarumnya di atas meja, fokus menatap suami yang dicintainya.

"Kak ... menurutku ... terserah Ibu mau kasih siapa gelang giok itu. Gelang itu kan milik Ibu. Kalau Ibu pikir Beth lebih cocok memilikinya, ya biarkan saja. Itu hak Ibu. Aku juga kurang cocok kok pakai gelang gitu. Agak susah kalau pas mau nyuci," tukas Ambar dengan nada tenang. Namun berbeda pandangannya dengan Harjo. Menurutnya, karena itu dibawa Tjong Lai dari tanah kelahirannya, benda itu wajib jadi milik istri dari anak tertua, dalam hal ini menjadi hak Ambar.

"Ambar, aku kurang suka kalau kau tidak sepaham denganku. Tugasmu itu adalah mendukung suamimu," ujar Harjo dengan nada tinggi.

"Apa salahku, Kak? Tidak sepaham bukan berarti aku nggak berpihak padamu. Gelang memang hak Ibu. Ambar hanya bilang fakta," balas Ambar tapi masih menjaga nada bicaranya agar tidak membuat Harjo makin marah. Belakangan ini disadarinya sejak Lintang kembali, suaminya sering uring-uringan.

"Aku mau tanya Ibu."

Ambar menggigit bibirnya. Dia harus bilang kalau gelang itu sudah diberikan, tak ada gunanya Harjo tanya lagi pada Lastri, tapi bingung bagaimana menyampaikannya karena bisa-bisa suaminya makin marah.

"Kak ... gelang yang sudah diberikan ..."

"Aku mau tanya Ibu."

"Biarkan saja, Kak. Nanti kita beli yang baru," ujar Ambar berusaha menenangkan Harjo.

"Aku nggak mau semua hakku nanti berpindah tangan ke Lintang!"

"Lintang nggak akan ambil hakmu, Kak. Dia bukan orang seperti itu."

Harjo mendengkus kesal. Dipalingkan wajahnya dari Ambar karena merasa kesal pada istrinya yang tak memahami kegelisahannya.

"Pokoknya kalau bisa ... Lintang harus kembali ke London. Lebih baik begini."

"Ini kan rumahnya, Kak. Kasihan kalau setiap sincia dia nggak di rumah dan Bapak juga kangen padanya," jawab Ambar.

"Kamu nggak mikir apa? Kalau nanti Bapak ngasih rumah ini ke dia, kita mau tinggal di mana?"

Ambar bukannya takut, malah ketawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Diambilnya lagi kain dan jarum yang tadi diletakkan di meja lalu mulai menyulam lagi.

"Lintang nggak akan ngusir kamu, Kak. Mari kita bicara seandainya ..."

Harjo menunggu kelanjutan ucapan Ambar dengan harap cemas.

"... seandainya Bapak kasih rumah ini kepada Lintang, kita masih punya rumah lain. Ingat kalau Bapak kasih surat rumah ke aku? Kita nggak akan sampai jadi tuna wisma. Dan!"

Harjo mau memotong tapi Ambar sengaja menaikkan nadanya agar suaminya mau mendengar sebeluk berkomentar.

"Lintang tak sekejam itu. Dia nggak akan tega ngusir kita. Aku percaya padanya."

Harjo menggerak-gerakkan lehernya yang terasa kaku karena ketegangannya menghadapi peristiwa kepulangan adiknya yang tak diharapkan.

"Kau percaya padanya tapi kau nggak percaya padaku. Suatu hari nanti kalau terjadi sesuatu, kau akan menyesal," kata Harjo sambil memijat-mijat tengkuknya. Ambar menggeleng pelan.

"Tidak, Kak. Aku kenal Lintang. Wataknya, sifatnya, pemikirannya, aku tahu."

Harjo masih berusaha menerima kata-kata Ambar ketika seorang pembantu mengetuk pintu kamar.

"Nyonya ... dipanggil Nyonya besar ke ruang tamu. Katanya minta dibikinkan teh panas," beritahu pembantu muda itu. Ambar meletakkan kainnya lalu berkata pada Harjo.

"Aku buat teh dulu buat Ibu, ya. Nanti kita bicara lagi."

Lalu ia pun pergi ke dapur dan menyiapkan teh untuk ibu mertuanya. Ambar sempat bertanya pada pembantu ada siapa saja yang bersama Lastri di ruang tamu dan menyiapkan cangkir lebih karena Beth dan Lintang juga ada di sana menurut Wati.

Lastri menyukai teh bunga krisan karena selain wanginya, bunga berwarna kuning itu juga berfungsi untuk mengobati gangguan pernapasan. Belakangan ini, mertuanya bilang ia agak susah bernapas. Harjo membawa pulang bunga krisan kering dari toko obat untuk ibunya dan sejak saat itu Lastri rutin meminumnya.

"Bu ... tehnya."

"Tuang."

"Baik, Bu."

Ambar menuangkan teh bunga itu ke dalam ketiga cangkir diikuti oleh tatapan Lintang. Dia benci melihat Lastri masih memperlakukan wanita itu seperti pembantu.

"Diminum teh bunganya, Beth. Harjo ... anakku yang berbakti itu membawakan teh ini untukku. Katanya untuk kesehatan."

"Baik, Bu," jawab Beth. Wanita itu melirik Ambar dan tersenyum sedikit padanya. Dia juga menyadari ketidaksukaan dalam wajah Lintang terhadap Lastri.

Dalam hati Beth berpikir alasan apa sampai Ambar tak mendapatkan kasih sayang dari mertuanya, padahal selama beberapa hari di rumah Lintang, wanita itu sangat baik dan rajin bekerja. Bahkan dia tahu dari para pembantu kalau wanita itu turut membantu mencari uang untuk keluarga suaminya.

Beth mulai berpikir jika seandainya dia benar-benar menjadi istrinya Lintang, mungkin saja diperlakukan seperti pembantu juga atau bisa jadi tidak. Istri dari Koesman hidup seperti ratu. Punya rumah sendiri dan pembantu yang mengurus keperluannya.

Herannya hanya Ambar yang mendapat perlakuan begini. Bahkan kabarnya Koesman tak memiliki upaya apa-apa di dalam usaha keluarga setelah ia keluar dari penjara karena hobi madat. Keluarganya berusaha mengeluarkannya dari sel sebelum masa hukuman habis tapi sepertinya kakak Lintang itu tetap saja begitu.

Beberapa kali Beth bertemu dengan Koesman. Lelaki itu sering pulang ke rumah orang tuanya untuk minta uang. Dari cara bicaranya tidak fokus, Beth menduga kalau ia masih belum bisa lepas dari barang haram itu dan Lintang juga sependapat dengannya. Lelaki itu berjanji untuk lebih mengawasi kakaknya itu supaya tak terjerumus makin dalam.

"Ambar ... bawakan Ibu kue!"

Lintang meletakkan kameranya.

"Biar aku saja, Bu," katanya. Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya, Lintang pergi ke dapur tapi tetap saja Ambar mengikutinya.

"Apa sih? Duduk saja temani Ibu dan Beth. Kan baru pulang. Ibu masih ingin melepas rindu," tukas Ambar sambil membantu Lintang menempatkan kue ke atas piring.

"Ibu perlunya sama Beth. Bukan sama aku," jawab Lintang sambil mencomot kue teochew yang sudah tertata di piring. Ambar memukul tangannya.

"Kenapa?" raungnya.

"Nggak sopan."

"Nggak ada yang lihat!" Dilahapnya dalam satu suapan sampai mulutnya penuh.

"Hauuuu taooo hulit nemoo koeh Loondooon!"

"Nanti ngomongnya. Aku nggak jelas denger," komentar Ambar.

"Hooheh!"

Seorang pembantu datang tergopoh-gopoh ke dapur mencari Ambar.

"Nyonya, dicari Den Harjo. Katanya ada tamu di pintu belakang," kata pembantu itu.

"Siapa yang datang?" tanyanya pada pembantu.

"Ndak tau, Nyah. Den sudah menemuinya tapi Den pesan Nyonya disuruh ke belakang."

Ambar memandangi kue yang baru selesai ditata. Ia menggigit bibirnya sendiri. Kue ini harus sampai ke Lastri, sementara Harjo memerlukannya.

"Tik ..."

"Pergilah. Aku saja yang bawa. Kalau Tika yang bawa, Ibuk bakal ngomel," ujar Lintang. Ambar menatap pria itu dengan tatapan berterima kasih.

"Pergi sana," usirnya. Ambar segera meninggalkan dapur dan menuju pintu belakang di mana suami dan tamunya menunggunya.

Pintu belakang memang terbuka, Harjo berdiri di sana bersama dua orang wanita. Dalam jarak beberapa langkah, Ambar mengenali kalau kedua orang tamunya adalah adik perempuan ibu dan putrinya.

"Bibi Tatik? Wiwik? Kenapa kalian lewat belakang?" tanya Ambar menyongsong dua sosok yang sedang bicara dengan Harjo. Wanita yang disapa bibi olehnya itu menunduk. Sedih dan malu.

"Bi ... kenapa?" tanya Ambar seolah membaca sesuatu sedang terjadi dalam wajah wanita tua itu. Bibi Tatik adalah adik ibunya yang paling kecil. Dia memiliki lima orang anak. Salah satunya adalah Wiwik. Anak itu berusia sekitar 14 tahun.

"Pamanmu masuk rumah sakit. Penyakit gula. Bibi terpaksa dateng cari kamu karena ..."

Wanita itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, hanya menatap ujung sandalnya yang solnya sudah tipis. Matanya menunjukkan betapa tak berdayanya dia menghadapi situasi suaminya harus dirawat dan mereka tak punya uang. Suami bibi memang sudah sering sakit karena komplikasi penyakit gulanya tapi selama ini tak pernah sampai harus dirawat di rumah sakit.

"Bibi perlu uang berapa?"

Bibi Tatik mencengkram lengan Ambar erat-erat, menatapnya dengan tatapan memelas.

"Bibi nggak minta Ambar. Bibi pinjam. Nanti Bibi ganti kalau sudah ada. Kau satu-satunya yang bisa pinjami Bibi uang. Tadi sudah ke rumah ibumu dan bapakmu sudah kasih simpanannya. Tapi ..."

"Duitnya nggak cukup buat bayar biaya rumah sakit," lanjut Wiwik sedih.

"Tolong Bibi sekali ini, Ambar. Hanya kau satu-satunya harapan kami."

Ambar menggenggam tangan bibinya dan menatapnya dengan serius. "Di mana Paman sekarang?"

"Masih di rumah sakit. Dia minta pulang tapi tidak bisa karena kami belum bayar." Bibi Tatik mengaku.

"Bentar, Bi."

Ambar mendekati suaminya lalu menarik lengan lelaki itu agak menjauh dari Bibi dan Wiwik.

"Kak ... aku punya sedikit simpanan."

Ambar melirik kedua kerabatnya dengan perasaan iba. Uangnya memang tidak banyak tapi seharusnya cukup untuk membantu membayar biaya rumah sakit pamannya.

"Kau mau bilang apa, Dek?" bisik Harjo pelan.

"Bibi pasti nggak mau terima kalau aku kasih."

"Jadi menurutmu gimana?"

"Aku bilang pinjamkan saja."

"Bisa."

"Dia nggak akan bisa mengembalikan dalam waktu dekat."

"Lalu ..."

"Kak ... bolehkah anak itu dikasih kerjaan di rumah ini? Aku kasihan padanya. Keluarga mereka mungkin sudah nggak ada bahan makanan di rumah. Kalau Wiwik kerja di sini bisa membantu ekonomi mereka. Bibi sendiri cuma kerja jadi tukang cuci di rumah orang kaya."

"Ambar ..."

"Setidaknya dia bisa memberi makan keluarganya."

"Ambar ... jawabannya adalah ya."

Ambar menatap suaminya dengan tatapan memuja.

"Terima kasih, Kak Harjo."

Dengan senyuman manis Ambar kembali mendekati kerabatnya dan menyampaikan kepada bibinya kalau ia akan meminjamkan uang kepada mereka. Lalu berkata kepada Wiwik, "Wik, kau mau kerja?"

Mata anak remaja itu terbelalak.

"Kerja di mana, Kak? Aku kan nggak sekolah, cuma bisa baca tulis saja."

Ambar tersenyum manis padanya dan menggenggam tangannya.

"Bantu aku. Sebentar lagi aku melahirkan anak kedua. Aku butuh kau mengawasi Arjuna. Mau?" tanyanya pada Wiwik. Anak gadis itu menatap ibunya, meminta persetujuan. Paling tidak jika dia bekerja di rumah keluarga kaya ini, dirinya tak akan kelaparan lagi, tak perlu membagi nasi lagi dengan adik-adiknya.

"Bu ..."

"Kau mau, Wik?"

Wiwik mengangguk bukan hanya sekali. Anak bermata lebar itu mengangguk berkali-kali.

"Terima kasih, Ambar. Hatimu baik sekali."

Bibi memeluk Ambar erat-erat dengan berlinangan airmata. Wiwik juga memeluk keduanya. Harjo hanya melihat pemandangan itu lalu berniat pergi. Ketika dirinya membalikkan badan, Lintang berdiri memandangi Ambar dan kerabatnya. Harjo tak berkata apa-apa pada adiknya, hanya mengangguk dan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Lintang yang masih diam.

Ambar kemudian mengambil uangnya untuk diberikan kepada bibinya dan ia terkejut melihat adik iparnya sedang memandanginya. Lintang menyentuh pucuk kepalanya ketika wanita itu melewatinya.

Orang baik.

Nyonya Rumah.

Beth senang bisa jalan-jalan ke pantai meskipun Lintang sedang sibuk. Wanita itu bermain dengan ombak bersama dengan Arjuna. Ambar tak ikut karena dia harus mengurus pabrik konveksi. Wanita itu sebenarnya ragu membiarkan anaknya dibawa Beth tapi Lintang berhasil meyakinkannya. Pria itu sekarang sedang sibuk bicara dengan beberapa orang yang direkomendasikan oleh kenalannya atau kenalan Heru.

Heru cukup banyak membantu Lintang karena ia sering keluar masuk kampung untuk menagih hutang-piutang Tjong Lai, jadi ia kenal orang-orang yang bisa bekerja untuk tanahnya Paman Henry. Selain itu, Lintang masih harus berurusan dengan tanah yanh sudah dicaplok warga karena sudah terlalu lama tak diurus pamannya.

Beth melihat Lintang dari jauh sambil mengawasi Arjuna juga yang kegirangan karena bisa main air dan pasir pantai. Putra Oetomo itu duduk di warung yang dibuka warga setempat bersama dengan orang yang dikenalkan Heru. Dia tak tampak canggung berada di warung sederhana, menyantap makanan laut yang disajikan bersama orang-orang itu.

"Arjun jangan jauh-jauh, ya. Harus tetap ada dalam pandangan Beth," pesan Beth pada bocah tampan yang wajahnya sedikit mirip pamannya juga.

"Beth mau jadi keluarga Arjun?" tanya anak itu polos. Beth tertawa.

"Siapa yang bilang?"

"Amah," jawabnya singkat. Beth pernah berbohong pada Lastri, tapi dia tak ingin mendustai Arjuna.

"Beth mau saja jadi keluarga Arjuna. Tapi tidak bisa. Beth harus kembali ke negara Beth."

"Jadi  Beth pulang makanya tak bisa jadi keluarga Arjun?"

Entah kenapa pertanyaan seperti itu membuat airmata Beth jatuh. Dalam waktu yang singkat, dia terlanjur menyukai bocah ini. Juga suka pada Ambar yang baik sekali padanya.

"Maafkan Beth."

Wanita itu merengkuh Arjuna dan memeluknya erat.

"Bukan berarti Beth tak suka padamu."

"Arjun bisa ketemu Beth lagi?"

Beth mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Baik. Janji!" Beth melepaskan pelukannya dan mengangkat tangannya lima jari menghadap ke atas.

"Ya."

"Well, aku nggak sangka kau punya hati nurani juga dengan tak mendustai anak-anak," sindir Lintang. Beth menoleh ke belakang. Pria bermulut tajam itu sudah berdiri di belakangnya bersama Heru.

Beth mencoba menghapus airmata agar Lintang tak mengejeknya.

"Sejak kapan kau ada di sana? Bukan gentleman kalau menguping pembicaraan kami," omel Beth.

"Aku tidak menguping, telingaku terlalu pemilih untuk menyaring apa yang harus kudengar."

"Kau tau ... Lintang kadang aku pikir kau dilahirkan untuk menjadikan diriku sebagai bahan olokan."

Lintang tersenyum. Senyum yang lebar dan indah.

"Bawalah Arjun, Heru. Ada yang harus kami bicarakan. Jangan jauh-jauh," perintahnya pada remaja yang mengikutinya. Heru mengikuti perintah Lintang, menggandeng tangan Arjuna lalu mengajaknya main pasir, tak berapa jauh dari Lintang dan Beth.

"Bagaimana urusanmu?" tanya Beth begitu Lintang duduk di sampingnya. Pria itu melepaskan sandalnya agar kakinya bisa merasakan pasir pantai. Sudah lama sekali ia tidak main di pantai tropis bahkan sudah lupa kapan terakhir ke sini.

"Aku mau menanam polimer hidrokarbon, Beth. Mungkin makan waktu agak lama. Tapi kurasa itu layak. Harganya bagus di pasaran Eropa," tukas Lintang.

"Apa itu polimer hidro ..."

"Polimer hidrokarbon. Istilah untuk lateks atau karet."

"Kurang ajar! Bilang saja lateks. Polimer apa! Mana kutau itu karet!"

Lintang tertawa mengejek. "Kau tak tahu apa-apa selain dunia opera!"

"Mana ada orang bilang lateks, POLIMERRR!!!!"

Dipukulnya Lintang sekuat tenaga sampai pria itu meringis kesakitan dan meminta ampun.

"Kau serius nggak mau balik ke London?" tanya Beth ketika ia sudah menumpahkan kekesalannya. Lintang mengangguk.

"Kau ada pekerjaan di sana? Kontributor foto surat kabar dan asisten dosen. Kenapa, Lin? Ah ... kau mau kawin, ya? Kau ingin punya anak seperti Arjuna?"

"Aku paling benci sama orang yang sok tau!"

Beth melihat ke kanan kiri, mencari tahu siapa yang dimaksud oleh Lintang. Tidak ada orang lain selain dirinya. Barulah sadar kalau yang dimaksud oleh pria itu adalah dirinya.

"Aku sok tau?"

Lintang menatapnya dengan pandangan meremehkan.

"Waktu Rose bilang kau mau balik ke Indonesia, aku kira kau cuma kangen negaramu saja, Lin. Aku nggak sampai mikir kalau kau nggak akan kembali lagi."

Lintang tersenyum tipis.

"Kita mungkin tak akan berjumpa lagi untuk waktu yang lama setelah aku dan Robert kembali ke London."

"Ya."

"Aku akan merindukan sahabat baik sepertimu, Lin."

Pria yang memiliki wajah oriental itu mengerutkan keningnya. "Bukankah tadi kau bilang tujuan hidupku adalah untuk mengolokmu."

Beth tertawa. "Termasuk, Lintang Oetomo. Tapi aku sayang padamu. Aku harap kau bahagia, menemukan apa yang kau cari dalam hidupmu. Meskipun kau nggak pernah bilang apa keinginanmu."

"Elisabeth ..."

"Hem ..."

"Kau membuatku jijik dan ingin muntah karena pernyataanmu tentang kasih sayang."

Beth tertawa lebar. Dia tak punya pilihan, harus mengakuinya sekarang. Pada suatu hari nanti di masa depan, ia juga merasa jijik karena pernah bilang begini pada Lintang tapi daripada menyesal tak pernah mengatakannya.

Wanita itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang berharga yang terbungkus dengan saputangan satin berwarna merah muda. Ditariknya tangan Lintang dan benda itu diserahkan ke tangan lelaki itu.

"Aku nggak bisa menyimpan ini, Lin. Ini milik pasanganmu kelak. Kukembalikan padamu," tukas Beth lirih. Lintang tahu isi di dalam saputangan itu adalah gelang giok milik Lastri yang diberikan kepada Beth, tapi ia membukanya untuk melihatnya dan berpikir kalau kecil kemungkinan benda ini akan menemukan pemiliknya.

Gelang giok itu merefleksikan wajah Lintang di atas permukaannya. Seharusnya ini milik Ambar walaupun Harjo yang memberikannya. Lelaki itu tersenyum miris.

"Jangan putus asa untuk menemukan orangnya, Lin," tukas Beth pelan lalu merangkulnya.

"Kuharap kau menemukannya suatu hari nanti. Pasti, Lin. Orang baik akan bertemu dengan orang baik. Kalau kau belum bertemu, dia yang akan menemukanmu."

Beth menyandarkan kepalanya pada bahu lebar Lintang.

"Aku mau pergi besok, Lin. Tapi jangan antar aku. Aku tahu dalam waktu dekat kita tak akan bertemu lagi," ujar Beth lirih.

"Kenapa tak boleh antar?"

"Aku benci perpisahan. Bukankah kita masih akan bertemu?" balas wanita itu. Lintang mengangguk walau tak tahu kapan pastinya keduanya akan bertemu lagi ketika Beth pergi.

"Den Lintang ..." panggil Heru pelan. Anak itu takut mengganggu tuannya yang dikiranya sedang memadu kasih dengan pacar bulenya.

"Ya, Heru. Ada apa?" tanya Lintang sambil menjauhkan dirinya dari Beth. Heru menyodorkan piring berisi kerang kepadanya.

"Ini pesanan, Den."

"Ah. Sini."

Lintang menerima piring dari tangan Heru. Beth melirik isinya lalu memekik karena geli dengan isinya.

"Apa ini!"

"Kerang buluh!"

"Makanan?"

"Ya! Kau nggak akan menemukannya di Eropa!"

"Aku nggak mau makan itu!"

"Enak, lho!"

Beth bergidik melihat makhluk dalam piring yang berkulit keras, berbulu, dan mengeluarkam cairan merah seperti darah.

"Aku nggak mau!"

"Coba dulu!"

Nyonya Rumah.

Noted : Komen ya. Kemarin saya mau up part ini tapi karena sakit, lupa. Sekarang sudah mendingan. Saya repost lagi Tristan si Berondong dalam Star Lover. Salah satu novel yang sudah terbit di Karos.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top