Babak II : 2. Jodoh yang Sudah Diambil.
"Lastri bertanya padaku tanggal lahir lunarku," beritahu Beth begitu ia duduk di kursi di dalam kamar Lintang. Pria itu baru saja bangun dari tidurnya ketika wanita berparas cantik itu menerobos kamarnya.
"Ya ampun, Beth. Tolong ketuk pintu sebelum masuk," kata Lintang mencerminkan ketidaksukaannya. Dia tak mengenakan baju dan Beth dengan santainya mendatanginya. Kalau Lastri memergokinya dalam keadaan begitu, pasti dirinya akan ditodong untuk segera menikahi perempuan ini.
"Ibumu menanyakan tanggal lahirku dalam kalender lunar," ulang Beth ketika Lintang berusaha mencari bajunya. Digapainya baju yang terdekat lalu dipakainya.
"Terus kamu jawab apa?" Lintang balas bertanya. Sekarang setelah memakai baju, dia duduk bersandar pada sandaran tempat tidurnya.
Beth ngakak. "Aku asal bilang. Mana aku tau tanggal lahir lunarku. Masa aku harus telepon my mom buat tanya," jawan Beth. Lintang ikut tertawa. Ia tahu alasan Lastri menanyakan tanggal lahir Beth. Ibunya pasti menduga kalau wanita keturunan Inggris ini adalah calon menantunya dan mau melihat tanggal pernikahan yang baik buat keduanya.
"Terus ibuku percaya?"
Beth mengangguk-angguk.
"Apa lagi yang ditanyakan Ibuk?"
Beth menatap langit-langit berusaha mengingat pembicaraannya dengan Lastri waktu di ruang tamu.
"Ah ... my parents. Kerjaan Dad."
"Ibuk pasti bengong waktu kau jawab Mr. Reese adalah konsulat."
Beth mengangguk.
"Tapi ibumu menyukaiku, Lin. Kau yakin nggak mau nikah sama aku?"
Lintang mendengkus tajam. "Aku takut sama tunanganmu, Beth! Biarpun nyawaku nggak ada harganya buatmu tapi aku masih mau hidup."
Wanita berambut tebal itu mengibaskan tangannya. "Kau nggak asyik, Lin. Aku kira lucu juga kalau kita kabur dari tunanganku."
"Jangan macam-macam, Beth!" ancam Lintang dengan nada kejam.
Beth tertawa terbahak-bahak sampai perutnya mules. "Tuh, kelihatan kamu nggak asyik. Memang lebih baik aku nikah sama Robert. Cuma daripada aku nganggur selama di sini, kurasa main film juga boleh."
"Film apa? Nyesel meninggalkan dunia opera kan? Nyesel memutuskan mau nikah sama Sir Robert?" sindir Lintang tajam. Dia kenal Beth tahun lalu sewaktu Henry mengajaknya ke pesta yang diadakan di kedutaan Indonesia di London. Wanita ini hadir bersama bapaknya yang akan ditugaskan ke Indonesia. Beth tampak tertarik untuk berteman dengan Lintang karena tahu kalau keluarga Oetomo adalah keluarga Tionghoa Indonesia yang masih memegang budaya dan tradisi mereka. Sejak saat itu, keduanya berteman dekat, Lintang juga berteman dengan tunangan Beth yang berprofesi sebagai dokter. Sekarang, Robert sedang ada di Afrika. Mereka akan menikah di Bali jadi Beth jalan-jalan dulu sambil menunggu tunangannya.
"Nggak sih. Aku tetap setia sama Robert. Cuma lucu juga kalau aku pura-pura jadi pacarmu untuk menyenangkan keluargamu."
"Terus nanti waktu kamu pergi nikah, aku harus pura-pura mati."
Beth tertawa lagi. Dia betah bicara lama-lama dengan Lintang. Ucapan yang keluar dari bibir pria itu suka pedas layaknya masakan khas Nusantara dan dirinya menyukai rasa pedas tersebut.
"Galak amat sih, Lin. Takut aku punya pacar macam kamu."
"Terus ... aku mesti bersyukur gitu, ya?"
Lagi-lagi Beth tertawa lebar.
"Kau nggak cocok sama keluargamu, ya? Makanya kau tinggal di London. Gayamu, pola pikirmu dan keluargamu nggak cocok," tukas Beth memberi penilaian.
"Biarpun begitu, aku tak punya pilihan," jawab Lintang.
"Tapi ... aku suka pada istri kakakmu. Nyonya Ambar. Aku suka padanya. Dia ramah padaku. Dia bahkan mengajariku membungkus lemper udang."
Di dalam hati Lintang tersenyum tapi ia pura-pura mendengkus sebal. "Semua yang ramah padamu kau jadikan sekutu. Kau pikir ini seperti perang dunia? Heh!"
Beth mendelik marah. "Melantur! Apa hubungannya dengan perang dunia?"
"Mencari sekutu!"
"Aku kan makhluk sosial. Kau juga dan sekarang ini ... aku adalah sekutumu."
"Terserah padamu, Beth. Kamu boleh main film tapi aku nggak akan ikut berperan," tukas Lintang dengan mengutarakan keengganannya. Beth memonyongkan mulutnya tapi kemudian dia berkata, "Ya, sudah. Kau diam saja. Bukan salahku kalau keluargamu menganggap aku ini calon istrimu."
"Aku nggak pernah memperkenalkan kau sebagai calon istriku," sanggah Lintang.
"Bener, sih. Karena kau memang nggak pernah punya pacar. Cieee ... yang udah tua tapi belum punya pacar."
"Keluar dari sini!"
"Jadi aku diusir?"
"Keluar!"
"Kok, galak sih?"
"Get out!"
"Lintang ..."
Selalu saja saat dia marah, kecewa, sedih, suara tenang ini yang bisa menenangkannya. Lintang akan selalu mengingat suara Ambar walau dalam mimpi. Ditolehnya wanita yang sudah berada di depan pintu kamarnya itu. Silau karena sinar matahari pagi mengelilingi sosok Ambar.
"Ibu memintaku membuat minuman sarang walet untukmu. Boleh aku masuk?" tanya Ambar ragu. Dia takut kehadirannya akan mengganggu kedua insan yang sedang ada di kamar.
"Masuk saja," jawab Lintang cepat. Ia kuatir Ambar akan berpikir yang tidak-tidak soal keberadaan Beth. Sementara wanita bule itu tenang-tenang saja dan tak merasa terganggu.
Lintang menyadari betapa berantakan pakaian dan selimutnya ketika Ambar melangkah masuk. Buru-buru dirapikan bajunya dan rambutnya yang acak-acakan. Ia merasa tak nyaman jika kakak iparnya menganggap Beth dan dirinya melakukan hal yang tak senonoh.
Ambar meletakkan baki berisi minuman kesehatan yang sangat mahal harganya itu ke atas meja. Beth menepi dan memberinya jalan. Selesai meletakkan baki, dia mengangguk pada Beth seakan mengucapkan terima kasih.
"Permisi."
"Tung ..."
"Tunggu, Ambar. Aku perlu kau melakukan sesuatu."
Ekor mata Lintang melirik Beth dengan curiga, kalimatnya terputus karena wanita itu mencegah Ambar keluar dengan menarik lengannya.
"Duduklah di sini," ucapnya sambil membantu Ambar duduk di kursi yang tadi didudukinya, diaturnya agar sosok wanita itu menghalangi sinar matahari yang masuk melalui jendela. Lalu ia mengambil kamera milik Lintang yang ada di atas meja di sebelah baki.
"Don't move!"
Dijepretnya kamera itu berkali-kali. Kemudian diturunkannya dari pandangannya. Ada sesuatu yang dirasanya kurang. Ia mencoba berpikir. Didekatinya Ambar. Dilepaskannya rambutnya yang digelung ke atas lalu mengambil mangkuk berisi minuman itu.
"Pegang ini."
Ambar bingung tapi mengikuti perintahnya sambil berkata, "Aku nggak mau difoto."
"Berikan kameranya!"
Beth mendongak, menatap Lintang yang sudah berdiri di belakangnya.
"Berikan padaku, kameranya. Biar aku yang motret! Cahayanya sedang bagus."
Tidak menunggu persetujuan Beth, Lintang merebut kameranya. Wanita itu masih berusaha merebut tapi pria itu menaikkan kamera sampai jauh dari jangkauannya sampai ia pun pasrah, harus diakui kalau soal kemampuan memotret, kemampuannya masih kalah jauh.
Lintang mundur beberapa langkah ke belakang, hatinya bergejolak. Sejak menerima warisan kamera dari Paman Henry, ia sudah memiliki keinginan untuk memotret Ambar. Sekarang ia memiliki kesempatan itu dan Beth yang memberikan kesempatan. Kalau tidak ada wanita ini, ia pasti hanya akan memotret diam-diam tanpa sepengetahuan Ambar.
Disadarinya tangannya gemetar tapi lama-kelamaan ia berhasil mengatasi rasa takutnya. Objeknya sangat indah, terlalu indah sampai ia lupa ia takut.
"Beth ..."
"Ada yang bisa kubantu?" tanya wanita itu sigap.
"Itu ... rambut dikepang saja."
"Ah! Ah! Baik!"
Cuma perlu waktu dua menit baginya untuk mengepang rambut Ambar yang sebelumnya tergerai. Sebagai aktris yang pernah manggung di National Theatre London, Beth sudah dibekali dengan kemampuan merias diri dengan baik.
"Enough?"
"Yes. Back off!"
Wajah Lintang judes mengusir Beth dari jangkauan kamera, dibalas wanita itu dengan memonyongkan bibirnya dan mengejek.
"Sudah aku boleh bergerak? Tanganku kaku," tanya Ambar yang merasa seluruh tubuhnya kaku karena kelamaan menahan mangkuk di tangannya.
"Kau menyiksa kakak iparmu, Lin!" gurau Beth.
Nyonya Rumah.
"Ibu dengar kabar kalau Maya akan menikah dalam waktu dekat," kata Lastri sambil menatap lurus Lintang yang duduk di depannya sambil mengutak-atik kamera. Dua hari di rumah, pria itu hanya menghabiskan waktu tidur dan makan, kalau tidak memotret. Ibunya bahkan tidak tahu apa rencananya setelah ini.
"Lintang ... kau dengar Ibu?"
"Ya. Ibuk maunya aku bilang apa?" tanyanya tanpa mengangkat wajah untuk menatap Lastri.
"Kapan kau mau menikah? Calonnya sudah ada. Daripada kelamaan diambil orang," tukas Lastri sambil mengunyah sirih. Harjo berdiri di belakang ibunya dan memijat-mijat pundaknya. Wajahnya tampak kaku.
"Biarin saja. Bukannya sudah diambil juga," jawab Lintang. Jawabannya mengacuh pada Ambar tapi dalam pikiran Lastri, jodoh yang sudah diambil adalah Maya. Ibunya Lintang menarik napas panjang.
"Bukankah dulu, Ibu sudah bilang tak peduli Endang atau kau, pokoknya Maya jadi menantu keluarga kita," tukas Lastri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Lintang tersenyum tapi tangannya tetap sibuk pada kamera.
"Ibu masih berharap waktu dia pergi ke London. Ibu kira kau bakal pulang tapi kutunggu-tunggu, kau tak pulang juga. Sekarang bilang sama Ibu, apa yang kau rencanakan untuk hidupmu kelak, Ibu akan membantumu untuk mewujudkan kebahagiaanmu."
Tumben, pikir Lintang. Tak biasanya Lastri peduli apa mau anak-anaknya.
"Iya, Lin. Aku juga ingin bertanya padamu tentang hal ini. Apa rencanamu sekarang ini? Apa kau mau kembali ke London atau mau menetap?" tanya Harjo melimpahi.
"Aku nggak balik lagi, Jo. Aku nggak mau apa-apa, Buk. Lagipula ... kebahagiaanku adalah tugasku sendiri. Ibuk tak perlu membantuku," kata Lintang.
"Terus usaha Bapak?" tanya Harjo sebelum disambar Lastri.
"Kan ada kau, Jo. Usaha Bapak nggak butuh aku lagi," jawab Lintang sambil membersihkan lensa kamera. Jawaban dari Lintang agaknya melegakan Harjo. Dia tampak lebih santai memijat Lastri sekarang.
"Bagaimana ... gadis itu? Dia juga tak akan balik lagi?"
Wajah Beth muncul. Lintang tak menyangka kalau gadis keturunan Inggris itu akan muncul dengan baju kebaya nyonya lengkap dengan rambut disanggul ke atas dan hiasan bunga. Mulutnya menganga melihat peristiwa aneh itu.
"Sakit apa kau?" tanya Lintang ketika Beth duduk di sampingnya. Wanita itu memukul lengannya. Lastri tersenyum melihat kejadian itu terjadi di depan matanya.
"Aku bilang pada Ambar kalau aku menyukai baju kebaya nyonya lalu dia berikan satu set untukku. Lihat! Bagus 'kan?" Beth bertanya sambil berdiri dan memamerkan set baju kebayanya. Dia berputar-putar di hadapan Lintang untuk menunggu pujian dari pria bermulut tajam itu.
Yang sia-sia.
"Cantik! Bajunya ..."
Usai berkata demikian, Lintang sibuk lagi dengan kameranya dan tak memperdulikan cemberut yang terlukis di wajah Beth. Harjo hanya tersenyum saja melihat kelakuan adiknya yang cuek.
"Nyonya Lastri ... lihat bagus kan?"
Lastri tersenyum dan mengangguk. Ditendangnya kaki putranya di bawah meja agar sadar kalau seorang pria harus memuji pacarnya di saat wanita bertanya tentang penampilannya. Lintang meringis menahan rasa sakit di kakinya.
"Duduklah, Beth. Di sini. Di samping Ibu. Jangan panggil Nyonya lagi. Hubungan kita akan lebih baik jika kau manggilku Ibu."
Lintang terbatuk-batuk. Harjo ikut berdehem.
Lalu Beth duduk di samping Lastri, tepat di depan Lintang.
"Sini, biar Ibu lihat wajahmu. Kau cantik sekali, Nak." puji Lastri sambil mengusap kening Beth dengan lembut.
"Terima kasih, Nyonya."
"Ibu."
Lagi-lagi Lintang terbatuk.
"Uhuk!"
Lastri meliriknya dengan tatapan tajam setajam pisau dapur.
"Lintang baik nggak kepadamu?" tanya Lastri beralih ke Beth. Wanita yang ditanya itu melirik Lintang yang sedang mengancamnya dengan tatapannya yang judes.
"Dia baik ...."
Lastri tersenyum bahagia. Tapi belum selesai.
"... kadang-kadang."
Lintang menyembunyikan senyumnya, takut ditendang ibunya lagi di bawah meja.
"Tapi dia memang begitu, Bu. Dia sebenarnya baik hati hanya nggak tahu kapan muncul galaknya. Itu saja."
Lastri meraih tangan Beth dan menepuk-nepuk punggung tangannya. Dia berpikir harus secepatnya bermantukan wanita keturunan ini karena bisa menaikkan derajat keluarga. Bukan hanya Rosa yang bisa menikah dengan orang kulit putih, akhirnya.
Kapan lagi bisa punya menantu orang Inggris? pikirnya.
"Beth mau nggak menikah?"
Beth mengangguk. "Mau, Bu tapi Lintang ..."
"Beth mau nikah," jawab Lintang.
"Sudah, biarkan saja Lintang. Sekarang ... Ibu berikan gelang ini padamu."
Lastri berucap sambil melepaskan gelang giok yang melingkar di pergelangan tangan kanannya dan memberikannya kepada Beth. Ini bukan main-main karena gelang hijau itu diberikan Tjong Lai kepadanya waktu mereka menikah dulu. Memberikannya kepada Beth sama artinya mengakui kalau ia sudah menerima wanita itu sebagai menantunya.
"Ini batu giok, Bu," ucap Beth takjub. Sebagai penggemar budaya Tionghoa Indonesia, ia kagum dengan batu berwarna hijau yang konon bisa menggores kaca. Hanya batu giok asli yang bisa meninggalkan goresan di kaca.
"Untukmu, hadiah dari Ibu. Gelang itu milik neneknya Lintang yang dibawa Bapak dari tanah kelahirannya ke sini. Sekarang kau memilikinya."
"Ibu ... Beth tidak ..." Beth tak kuasa melanjutkan ucapannya. Satu pihak merasa bersalah karena telah membuat Lastri berpikir kalau dia adalah pacar Lintang, sementara di pihak lain, ketika ia menatap pria bermata tajam itu, lelaki itu sedang memberinya isyarat agar tak mengatakan apa-apa.
Tanpa memutuskan kontak matanya dengan Lintang, Beth berkata, "Terima kasih, Bu."
Barulah ketika Lastri dan Harjo meninggalkan keduanya, Beth marah.
"Kau bilang tak mau ambil bagian dalam lakon ini tapi kau menyuruhku diam saat aku mau jujur pada ibumu."
"Terlanjur, Beth. Biarkan saja. Ibuk lagi kesel karena temanku mau menikah dalam waktu dekat. Aku tak ingin ditanya terus kemudian diatur jodohku. Toh, tak lama lagi kau akan meninggalkan rumah ini," kilah Lintang.
Beth menggeleng-gelengkan kepalanya karena bingung dengan sikap Lintang.
"Apa semua saudaramu juga diatur perjodohannya?"
Lintang mengangguk.
"Semua?"
Dia mengangguk lagi.
"Kakakmu dan Ambar juga?"
"Itu juga," jawab Lintang dengan berat hati.
"Tapi mereka saling mencintai. Kupikir perjodohan tak ada salahnya juga."
"Ya," jawab Lintang lemah.
Beth berdiri melihat dinding di mana tergantung foto-foto keluarga Oetomo, dilihatnya satu persatu, mulai dari foto pernikahan Tjong Lai dan Lastri lalu saudara-saudara Lintang.
"Lin ... nanti foto Ambar gantung di sini."
Beth menunjuk tempat yang paling bagus di dinding.
Aku akan menggantungnya di hatiku.
"Dia kan akan menggantikan ibumu sebagai nyonya. Cepat atau lambat."
"Hush! Kalau Ibuk dengar, kau bisa diusir."
Wanita itu malah cekikikan. "Aku dengar dari kisah-kisah Nyonya gitu. Menantu dari anak sulung yang akan menjadi penggantinya. Dibanding dengan kakak iparmu yang lain, Ambar paling berkarakter," kilahnya.
"Hem ..."
Lintang pura-pura tak peduli tapi wajahnya tak kuasa menyembunyikan senyuman jika ada orang yang memuji Ambar.
"Lin ... kemari!"
Yang dipanggil tampak menunjukkan keengganannya untuk bergerak.
"Lin ..."
"Apa, sih?"
"Sini!" Beth menunjukkan ketertarikan pada sebuah foto di dinding. Lintang bangkit juga.
"Ini siapa? Aku pernah melihat semua saudaramu. Tapi yang ini tak pernah. Dia saudaramu juga?" tanyanya sambil menunjuk seorang pria yang sedang tersenyum dalam foto. Foto yang diambil pada festival bulan purnama beberapa tahun lalu.
Luka lama.
Lintang memandangi foto Endang. Masih mengingat jelas wajah tampan milik saudaranya itu. Masih jelas janjinya untuk main badminton bersama.
"Endang ... saudaraku, di bawah Harjo. Dia ... sudah meninggal."
Beth mengerjap-mgerjapkan matanya seolah tak percaya dengan ucapan Lintang.
"Sudah meninggal? Dia ganteng sekali, Lin. Kenapa meninggal? Kapan?" tanyanya bertubi-tubi. Lintang mendesah pelan.
"Kecelakaan di jalan. Tiga tahun lalu. Januari 1972."
Beth mengulurkan tangannya, mengusap kaca pigura foto Endang dengan lengan bajunya.
"Dia pasti orang yang sangat menyenangkan, ya?"
Lintang mengangguk, memandangi foto Endang sambil tersenyum tapi hatinya perih.
"Saudaraku yang baik," cetusnya.
"Paman Lintang ..."
Lintang menoleh dipanggil oleh Arjuna. Dia langsung membuka kedua tangannya untuk menyambut bocah yang sangat disayanginya itu.
"Sir Arjun ..."
Arjuna mendekati Lintang.
"Paman sedang apa?"
"Hm ... sedang memandangi foto. Arjuna lagi apa?" tanyanya ramah.
"Main sama Kak Heru," jawab Arjuna sambil menunjuk seorang anak remaja. Lintang ingat Heru. Dia adalah anak yang diangkat anak oleh Tjong Lai. Ibunya kabur meninggalkannya seorang diri. Waktu pergi ke London, Heru berusia 12 tahun. Sekarang usianya sudah 15 tahun.
"Main kejar-kejaran, Den. Saya nggak bisa kejer Arjun," tukas Heru. Lintang menilai tatapan anak itu, tampaknya sangat cerdas.
"Heru bukan?"
"Iya, Den Lintang."
"Usiamu 15, ya?"
Heru mengangguk.
"Masih sekolah?"
Heru menggeleng sedih tapi berusaha menyembunyikannya dari Lintang.
"Kau masih mau sekolah?" tanya Lintang pelan.
"Anu ... Den ... nggak ada biaya. Jadi saya pikir ..."
Lintang tahu maksud Heru, pasti Lastri tak memperbolehkan anak angkat Tjong Lai ini untuk sekolah karena menghabiskan uang keluarga, jadi lebih baik anak ini dipekerjakan saja.
"Aku tanya kau masih mau sekolah nggak?"
"Mau, Den."
"Bagus! Kerja padaku, kau kusekolahkan!"
Heru bengong karena tak tahu bagaimana caranya sekolah tapi tetap bekerja pada Lintang sementara anak Tjong Lai itu masih belum punya toko atau usaha apa pun. Tapi ia memilih mempercayai ucapan pria yang baru pulang dari luar negeri itu karena orang sepertinya pasti pintar. Tak sulit untuk membuka satu toko seperti milik Tjong Lai.
"Memang kau mau usaha apa, Lin?" tanya Beth yang sedari Lintang bicara pada Heru, malah sibuk main dengan Arjuna.
"Pertanyaan bagus. Besok, kau mau pergi ke pantai?"
"Kau mau mengajakku jalan-jalan? Mau, dong!" teriak Beth tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Berkali-kali kirim kode ke Lintang agar diajak jalan tapi pria itu bukan tipe yang mengerti kode-kodean. Tiba-tiba saja sekarang ngajak jalan, mungkin dia salah makan obat.
"Eits! Jangan senang dulu. Kau kubawa karena kebetulan aku mau menemui beberapa orang untuk membicarakan lahan milik Paman Henry. Kebetulan lahannya dekat dengan pantai."
"Ah, pokoknya mau! Dibawa ke sarang penyamun juga mau!"
"Omongan macam apa ini? Kau kira aku penyamun?"
"Jalan-jalan! Yeay! Arjuna mau ikut?"
Bocah itu mengangguk berkali-kali dengan girangnya.
"Nah, Heru! Pekerjaanmu dimulai besok," tukas Lintang pada Heru.
"Apa yang harus saya kerjakan, Den?"
"Apa pun untuk membantuku. Besok aku mau melihat lahan Pamanku yang diserahkan pengurusannya ke tanganku. Masih belum kuputuskan mau tanam apa lahan seluas itu. Kau mungkin bisa membantuku berpikir. Besok ... kasih aku jawaban!"
Heru tersenyum. Dia mengagumi Lintang mulai hari itu, meskipun dulu juga sudah menyukai putra Oetomo yang paling baik, sekarang makin bertambah.
Lintang Oetomo, anak keluarga Oetomo yang paling cerdas, paling baik, dan paling dapat diandalkan.
Nyonya Rumah.
Lintang punya penggemar. Heru. L-Lister masih ingat anak yang ikut bersama Tjong Lai waktu Arjuna lahir.
Mau Cici share foto Lintang dalam selimut tapi nggak jadi. Nanti merusak mata. 🤣🤣🤣🤣
Next partnya sudah siap. Cici gini orangnya. Kalau share satu part artinya nextnya sudah jadi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top