Babak II : 15. Perempuan Buangan.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

"Dapat berapa, Bu?" tanya Arjuna ketika melihat Ambar selesai menghitung uang hasil penjualan kue.

"Cukup untuk beli bahan kue dan makan kita sampai besok. Terima kasih karena sudah bantu Ibu jualan," tukas Ambar sambil mengelus kepala putranya yang berusia 9 tahun.

"Tapi, Bu ... kita harus bawa Arimbi ke dokter. Panas badannya nggak turun-turun sejak dari tadi Arjuna pergi jual kue," tukas anak itu sambil melirik adiknya yang sedang tertidur di dipan bambu. Arimbi menggigil kedinginan. Ambar menyelimutinya dengan kain panjangnya karena mereka tak punya selimut. Bahkan Ambar tak punya uang sepeser pun ketika keluar membawa kedua anaknya meninggalkan rumah. Hanya membawa beberapa baju dan tak punya tujuan.

"Bu ... kita ke rumah Kakek saja yuk, Bu. Minta duit sama Nenek biar Arimbi bisa ke dokter."

Ambar bukan tak mau pergi ke rumah orang tuanya tapi ia malu. Dhika adik lelaki satu-satunya sudah dapat kerja di Jakarta, orangtuanya akan pindah ikut dia. Ambar tak mau menjadi beban pikiran mereka. Biarlah mereka pindah tanpa tahu kemelut rumah tangganya.

Anak perempuan yang sudah menikah tak berhak kembali ke rumah orang tuanya.

Ucapan dari mertuanya yang ditujukan pada Nonik terngiang-ngiang di telinganya terus setelah ia meninggalkan rumah itu. Ambar harus mengakui kebodohannya kalau selama ini ia tak memiliki simpanan uang di bank seperti yang selalu disarankan Lintang. Uang yang berasal dari gaji selama bekerja di pabrik konveksi sebagai mandor selalu dibelikan emas. Kadang diberikan kepada orang tuanya saat mereka butuh dan sisanya disimpan untuk dana anak-anaknya kelak. Sayangnya ketika meninggalkan rumah, barang itu tertinggal di lacinya Harjo.

"Bu, kita cari Paman Lintang, yuk. Paman kan biasanya baik pada kita," usul Arjuna.

Tetapi bagaimana baiknya dia tetap saja anak dari keluarga Oetomo.

Ambar tak ingin lagi berhubungan dengan keluarga itu, apalagi menggunakan uang mereka. Cukup penghinaan ibu mertuanya ketika mengetahui apa sebenarnya alasan Ambar marah kepada Harjo.

"Sehari lagi, Nak. Kalau uangnya terkumpul besok, kita bawa Arimbi ke dokter," janji Ambar tanpa membalas keinginan Arjuna untuk meminta bantuan pada Lintang.

"Arjuna hanya takut kalau keadaan Adik nggak membaik, Bu."

Ambar memejamkan matanya dan menelan ludah.

Ibu juga, Nak. Ibu takut. Tapi Ibu nggak bisa minta bantuan siapa pun.

"Kita buat kue lebih banyak ya, biar besok dapat duit lebih banyak."

Arjuna memandangi Arimbi yang tertidur dengan tidak nyaman di atas dipan. Mata adiknya terpejam tapi resah dan terus menendang kakinya. Ditariknya kain panjang milik ibunya itu agar bisa menutupi kaki Arimbi yang kedinginan.

Ambar terpaksa harus pura-pura membuang wajahnya ke arah lain agar Arjuna tak melihat airmatanya. Dia tak ingin anaknya sedih. Cukup bagi anak itu karena harus menjadi saksi betapa sadisnya Lastri.

Nyonya Rumah.

"Ada apa pagi-pagi begini ribut-ribut, Ambar? Kau tahu bahwa Ibu nggak bisa bangun pagi."

Ambar menekuk kedua lututnya di hadapan mertuanya sambil berlinangan airmata.

"Ambar pamit, Bu," katanya dengan tegar, meskipun airmata bercucuran. Lastri mendelik.

"Jangan bercanda, Ambar! Harjooo! Joooo!"

Harjo muncul terburu-buru begitu dipanggil ibunya karena ia memang sudah menunggu di balik pilar rumah.

"Sudah kubilang jangan bilang pada Ibu. Biar aku yang ngomong. Kamu memang nggak nurut, Bar!" Bukannya menyadari kesalahannya, Harjo malah mengomeli istrinya. Ambar sendiri telah meneguhkan hatinya. Tak sekalipun ditatapnya wajah Sang Suami. Tatapannya fokus pada ibu mertuanya untuk pamitan. Sebagai seorang menantu ketika menikah ia dibawa untuk tinggal di rumah keluarga suami, selayaknya pamit ketika hendak pergi.

"Maafkan Ambar membangunkan Ibu sepagi ini. Ambar takut kalau menunda maka tak punya kekuatan untuk mengatakannya kepada Ibu." Tekadnya sudah bulat untuk meninggalkan rumah ini. Harjo boleh melakukan kesalahan apapun, Ambar tetap memaafkannya kecuali berselingkuh. Pintu hatinya tak akan dibuka untuk sebuah penghianatan.

Lastri mulai mencium ada yang tak beres. Ia sadar  kalau perlakuannya terhadap Ambar yang tak pernah baik, tapi tak sekalipun menantu bodohnya itu marah dan ingin pergi dari rumah. Ditatapnya putra sulung kesayangannya dengan tatapan curiga. Sementara Harjo menunjukkan sikap canggung dan serba salah.

"Ambar dan anak-anak mau pamitan."

"Jangan macam-macam, Ambar. Jangan kelewatan becanda. Kau ini menantu keluarga Oetomo. Memang mau ke mana kau?"

Ambar menelan ludah. Dia tidak tahu mau ke mana nanti setelah keluar dari rumah itu, belum ada rencana, tapi yang pasti dirinya tak akan bertahan dalam pernikahan dengan Harjo.

"Ambar mau bercerai, Bu."

Lastri tersentak. Didorongnya tubuh Ambar yang sedang berlutut di lantai sampai wanita itu terjerembab.

"Kau gila, ya?"

Ambar memandangi Lastri dengan mata pilu, lalu kembali berlutut, menganggap kalau semua yang ia lakukan sekarang adalah penghormatan terakhirnya kepada mertuanya.

"Ambar tidak gila atau bercanda, Bu. Izinkan Ambar pergi dengan Arjuna dan Arimbi. Biar Ibu tahu kalau tak lama lagi, Harjo akan punya anak dari perempuan lain."

"Ambar!" pekik Harjo.

Lastri tercekik mendengar perkataan yang meluncur di bibir Ambar. Matanya mendelik mau meloncat keluar.

"Harjo! Jelaskan pada Ibu! Kenapa Ambar bilang kau akan punya anak dari perempuan lain?"

"Itu ... anu ..." Harjo tak mampu melanjutkan kata-katanya, tapi melirik Ambar sambil menggertakkan giginya. Kesal dengan tindakan gegabah yang dilakukan istrinya padahal ia sudah janji akan menyelesaikan permasalahan ini tanpa keributan. Kalau sudah begini, semua pembantu akan berbicara di luar. Keluarga Oetomo akan menanggung malu.

"Ambar! Kenapa kau bicara sembarangan tentang suamimu sendiri? Kau taruh di mana otakmu?" hardik Lastri dengan nada marah.

Ambar berdiri, sebab dia tahu kalau Wiwik ada di depan kamar, mencuri dengar pembicaraannya dengan mertuanya dan Harjo. Ditariknya lengan gadis muda itu sampai ke hadapan suaminya.

"Ibu tanya pada Wiwik siapa yang menghamilinyaJangan bilang aku menfitnah suamiku. Tanya, Bu."

"Sudah! Kau nggak usah teriak sama mertuamu!"

"Kalau Ibu nggak tanya, biar Ambar yang tanya."

Ambar mencengkram bahu Wiwik sampai gadis muda itu terpaksa menatap wajahnya.

"Wik, sekarang jawab Kakak. Janin milik siapa yang kau kandung?"

Pertanyaan Ambar membuat Wiwik memandangi Harjo. Dia sedikit berharap agar pria itu mengakui perbuatannya di hadapan Ambar dan Lastri. Posisinya akan lebih kuat jika lelaki itu melakukannya.

Namun Harjo diam saja, malah memandangi Ambar.

"Jawab, Wik! Bukannya tadi di kamar kau teriak-teriak padaku!"

"Sudah! Diam, Ambar! Maumu apa sekarang!"

Ambar menatap Lastri seakan tak percaya dengan pertanyaan mertuanya. Dia telah mengabdi selama sepuluh tahun dalam keluarga ini, melayani mertua dan suami, mengurus adik-adik Harjo, bekerja untuk pabrik konveksi. Bukan pertanyaan seperti ini yang ia harapkan dari mertua yang ia hormati.

"Kenapa Ibu bertanya apa yang kuinginkan? Ambar nggak tau, Bu. Ambar nggak ingin apa-apa. Hanya ingin Ibu bersikap adil dan nggak membela Harjo yang sudah salah."

"Sekarang Wiwik toh sudah hamil. Apa yang bisa kau lakukan?"

Apa yang bisa kau lakukan?

Tidak ada. Benar, tidak ada.

Tadinya Ambar tidak sadar, hanya ingin pergi dari rumah karena merasa disakiti oleh Harjo. Lalu Wiwik yang hamil tetap saja harus dinikahi. Janin itu tak berdosa dan tak boleh digugurkan. Anak yang dikandung sepupunya tak berdosa. Juga bukan berarti ia akan menerima pernikahan kedua bagi suaminua.

"Gugurkan saja!"

Ambar menatap Harjo yang baru saja bersuara. Dia merasa tak mengenal lelaki yang telah didampinginya selama sepuluh tahun. Entah setan apa yang merasuki pria ini sampai bisa menghamili sepupu istrinya lalu setelah ketahuan menyuruhnya menggugurkan kandungan.

"Kau lelaki bajingan!"

"Jangan memaki putraku! Kami ini keluarga terhormat yang tak bisa kau maki dengan mulut hinamu!" hardik Lastri pada Ambar.

"Ibu lebih tahu mana yang lebih hina, aku atau putra Ibu."

Lastri mengangkat tangannya menampar Ambar. Menantunya itu tak menduga kalau Sang Mertua akan menamparnya. Ia terhuyung sampai menabrak dinding di belakangnya.

"Ambar ..." Harjo tampak kuatir, ia berniat mendekati istrinya tapi dihalangi oleh Lastri.

"Wanita memang perlu diajar, Harjo. Sekarang pun aku sedang mengajarinya bagaimana menjadi istri yang baik. Mengerti!"

Harjo kembali mundur walaupun masih kuatir pada Ambar yang sedang memegangi pipinya yang baru ditampar Lastri.

"Kau ... dengar baik-baik, Ambar. Saat ini aku bilang kalau Harjo akan menikahi Wiwik."

Lastri melirik Wiwik yang tampak gelisah di samping Harjo. Dia tak suka gadis ini. Kalau bisa memilih istri kedua untuk Harjo, yang pasti sepupunya Ambar ini pun bukan pilihannya. Namun sudah kepalang basah. Putranya sudah menghamilinya. Satu-satunya cara adalah membiarkan perempuan itu menjadi menantunya. Nanti selanjutnya ia akan carikan istri ketiga buat anaknya.

"Kau sudah tau cerita sejarah para kaisar yang pernah ada. Semuanya punya istri banyak."

"Tapi Harjo bukan kaisar, Bu," bantah Ambar membuat Lastri mendelik marah.

"Wiwik akan jadi istri kedua Harjo. Kau suka atau tidak, tetap Harjo akan mengawininya. Kau tak suka, kau boleh angkat kaki dari rumah ini. Jangan terlalu sombong karena kau bukan siapa-siapa tanpa keluarga ini. Keluargamu sendiri hina dan miskin. Mau jadi apa kau balik ke rumah Roesdi, he-eh! Numpang hidup di rumah orang tua. Kau tau sendiri bagaimana pandangan masyarakat terhadap wanita yang dicerai suaminya. Perempuan buangan."

Ambar terdiam.

Benar!

Perempuan buangan.

Sepuluh tahun terakhir ini belum pernah sekalipun  pernah terlintas dalam pikirannya kalau dia akan menjadi perempuan buangan. Perempuan yang tak lagi diinginkan suaminya. Kembali ke rumah orang tuanya.

Ambar bisa apa tanpa keluarga Oetomo?

Harjo adalah sandaran hidupnya selama ini. Dia hidup untuk mencintai suaminya. Kalau ia dicerai lelaki itu, bukankah itu artinya kehidupannya sudah berakhir?

Dalam keadaan bingung, Ambar mengingat kata-kata Lintang tentang pernikahan ketika mereka bicara tentang rumah tangga Nonik.

Banyak perempuan di luar sana yang merasa tak bahagia dengan pernikahannya lalu memutuskan bercerai. Mereka baik-baik saja tanpa sokongan suami.

Ambar bahagia dengan suaminya. Tak diragukan lagi. Tapi dia akan tersiksa jika Harjo punya istri kedua yang kata Lastri harus dilakukan.

Benar! Harjo harus bertanggung jawab. Wiwik harus segera dibawa menjadi menantu keluarga ini, yang bisa terlaksana bila Ambar berpisah dengan suaminya.

Ambar mengambil sikap hormat kepada Lastri dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kau sudah sadar kan, tak ada gunanya ribut-ribut. Jadi istri yang nurut. Kau akan tetap dihormati sebagai nyonya rumah."

"Terima kasih, Bu untuk ajaran Ibu selama sepuluh tahun. Ini menjadi penghormatan terakhirku kepada Ibu."

"Ambar!"

Ambar tak ingin mencucurkan airmata lagi untuk Harjo, si lelaki berengsek ini. Ditatapnya suaminya dengan muak untuk yang terakhir kalinya.

"Aku akan meninggalkan rumah ini!"

"Ambar, sudah kau pikirkan? Kalau kau pergi, Harjo tak akan menjemputmu balik. Pergi sendiri, pulang sendiri! Ngerti!"

"Mengerti, Bu. Aku akan menceraikan Harjo."

"Ambar!"

"Bar!"

"Kakak!"

Ambar menarik napas dalam-dalam sebelum berkata.

"Aku yang akan menceraikan Harjo. Aku akan buktikan sama keluarga ini kalau aku bukan perempuan buangan. Aku Ambar Roesdi adalah seorang perempuan bermartabat. Ibu lihat saja nanti!"

"Ambar!"

Wanita itu membalikkan badannya kemudian meninggalkan kamar Lastri tanpa menoleh. Kakinya goyah ketika hampir mencapai pintu. Airmatanya merebak lagi.

Harus kuat, pikirnya dalam hati.

"Ingat, kau punya dua anak yang perlu dikasih makan. Mau jadi apa kedua anak itu tanpa sokongan dari keluarga ini!"

Ambar tetap teguh.

"Aku nggak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk membesarkan kedua anakmu!"

"Aku tak perlu uang dari keluarga ini. Aku akan membesarkan mereka dengan kedua tanganku!"

Ambar berhasil keluar dari kamar Lastri dengan tegar. Dia melihat Nonik berdiri sambil menggendong bayinya, masih dengan pakaian tidur.

"Kau mau ke mana, Ambar?" tanyanya sedih.

Nyonya Rumah.

Aku tak perlu uang dari keluarga ini. Aku akan membesarkan mereka kedua tanganku.

"Ibu ... bangun! Ibu ... jangan nangis!"

Ambar mendengar suara Arjuna di dekatnya. Putranya sedang mengguncang-guncang lengannya. Wanita itu merasakan cairan hangat di pelupuk matanya. Ia baru sadar kalau sedang menangis dalam tidurnya.

Dipaksanya bangun untuk memeluk Arjuna. Dia yakin setelah merasakan pelukan anaknya, dirinya akan merasa kuat. Pasti.

"Ibu ... Ibu kenapa kita harus pergi dari rumah kalau membuat Ibu sedih?"

Airmata Ambar mengalir deras mendengar pertanyaan Arjuna. Ia memang egois, pergi dari rumah karena tak sanggup dimadu. Cinta Harjo yang dikira hanya untuknya ternyata dinodai oleh pihak lain. Mertua yang dihormatinya ternyata membela perbuatan anaknya. Tidak ada alasan untuk bertahan. Namun seharusnya anak-anaknya tak dilibatkan. Seharusnya Arjuna dan Arimbi ditinggalkan di rumah keluarga Oetomo. Mereka akan lebih terurus di sana.

"Maafkan Ibu, Nak. Seharusnya Ibu meninggalkanmu dan Arimbi di sana. Ibu terlalu egois."

Arjuna menggeleng.

"Tidak, Bu. Arjuna mau ikut Ibu. Arjuna nggak mau sama Tante Wik. Kata Bik Ninik, dia akan jadi ibu tiri Arjuna."

"Arjuna ... apa yang kau tau?"

"Bik Ninik yang bilang. Semua pembantu bilang. Ibu mau pisah sama Bapak. Bu ... kenapa Tante Wik bisa jadi ibu tiri Arjuna? Apa Bapak sama Tante Wik?"

Airmata Ambar mengalir, tak tahu harus menjawab apa. Dia menunduk sambil menggigit bibirnya. Menangis tertahan.

"Sudah, Bu. Jangan nangis. Biar Bapak pisah sama Ibu, Arjuna nggak akan ninggalin Ibu. Arimbi juga. Jangan nangis lagi, Bu. Kita bertiga saling memiliki."

Dipeluknya Arjuna erat dan melampiaskan tangisannya.

"Dengar Arjuna. Kelak kau dewasa, ketika kau mencintai seorang perempuan dan dia membalas cintamu, jangan pernah kecewakan dia dengan cinta yang lain. Mengerti, Nak?"

"Arjuna nggak ngerti."

Ambar melepaskan pelukannya dan menatap wajah polos tampan yang semakin besar semakin mirip Endang, saudara Harjo yang sudah meninggal. Dia tahu kenapa Tuhan memberikan anak yang tidak mirip Harjo adalah agar tak perlu mengingat wajah pria itu lagi selamanya.

"Kelak saatnya tiba ... kau akan mengerti."

Arjuna mengangguk sambil menghapus airmata ibunya dengan usapan tangannya.

"Sekarang ... Ibu tenang, ya. Arjuna mau lihat demam Adek sudah turun belum."

Ambar merasa putra sulungnya itu bisa diandalkan. Ia pun kembali membaringkan badannya dan mencoba memejamkan mata sambil menenangkan pikiran. Mulai berpikir bagaimana menata hidupnya setelah berpisah. Dimulai dari mencari penghasilan. Kedua anaknya perlu makan, sekolah, dan tempat tinggal. Sementara ini tempat tinggal sederhana ini dipinjamkan oleh saudaranya Bik Sumi, pekerja yang bekerja di pabrik konveksi. Wanita tua itu juga meminjamkan sejumlah uang ketika Ambar meminta pertolongannya. Namun bagaimanapun uang sewa dan pinjaman tetap harus dibayar. Ambar juga tak enak menumpang terus.

Tentang orang tuanya, Ambar akan mencari waktu untuk bicara sebelum mereka pindah ke kota Jakarta. Tidak baik jika bapak dan ibunya mendengar dari orang lain. Apalagi dari Wiwik. Entah bagaimana hancurnya hati orangtuanya mendapati kenyataan kalau yang menghancurkan rumah tangga putrinya adalah saudara sepupunya sendiri.

Ambar memutuskan akan bicara secepatnya. Besok.

"Ibuuuu ..... lihat Adek kejang-kejang!"

Nyonya Rumah.

Dia ada di sana, seperti kata Arjuna, Lintang melihatnya. Ambar masuk ke ruang UGD sambil menggendong Arimbi. Lelaki itu berlari menyusulnya.

"Ambar ..."

Tatapan Ambar kosong dan sedih. Dia seperti sudah tak bernyawa. Lintang melihat Arimbi yang kejang dalam pelukan ibunya. Mulutnya menggigit lipatan kain agar tak menggigit lidahnya sendiri. Pupil matanya melihat ke atas.

"Suster! Suster! Anak ini perlu pertolongan!"

Paramedis datang mendekati Ambar dan Arimbi. Salah satunya mengambil anak itu kemudian dibawa ke ruang UGD.

"Berapa lama keadaannya begini?"

Ambar bingung dan tak bisa menjawab.

"Beberapa menit. Mereka tinggal sekitar sini, Dok. Sewaktu saya sampai di rumah, kakak anak ini bilang ibunya baru membawa adiknya ke rumah sakit karena kejang."

"Sudah berapa lama demamnya?"

"Dua hari." Ambar baru bisa menjawab.

"Kenapa baru sekarang dibawa ke sini?"

"Aku tak punya uang. Kalau dokter tak pernah tahu bagaimana rasanya tak punya uang, tolong jangan mengomel dan segera tolong anakku."

Si dokter agak malu karena diteriaki oleh Ambar. Namun dengan tenang ia menguasai situasi dan berkata, "Baik. Kami akan memeriksanya."

Arimbi yang ada di ranjang didorong masuk ke ruang UGD. Ambar menangis ingin ikut ke dalam ruangan tapi dicegah oleh Lintang.

"Ambar! Tenang! Biar dokter yang menanganinya!"

"Arimbiku ... kalau terjadi apa-apa ..."

"Tidak, Ambar. Sstt ... Jangan bicara yang nggak-nggak."

Lintang menarik Ambar dan memeluknya erat-erat, membiarkan wanita itu menangis sepuasnya.

"Aku tidak akan memakai uangmu untuk membayar biaya rumah sakit. Aku tidak mau memakai uang keluargamu."

"Baik," jawab Lintang sambil menepuk-nepuk punggung Ambar agar tenang.

"Aku tidak butuh pertolonganmu."

"Ya ..."

"Uangmu nanti akan kubayar."

"Hm ..."

"Kalau aku sudah punya uang!"

Lintang tersenyum. Setelah berani meneriakin dokter, menangis, mengomeli pria itu, sekarang malah tawar-menawar soal pelunasan hutang yang bahkan belum tahu jumlahnya.

"Ya ... apapun maumu. Jawabannya iya."

Ya dan jangan menghilang lagi.

Ambar merasa lemas di sekujur tubuhnya, sulit bernapas, pijakan kakinya goyah, pandangannya tinggal setengah, lalu gelap.

"Ambar ..."

Wanita itu pingsan dalam dekapan Lintang.

"Suster! Tolong! Suster! Dokter!"

Nyonya Rumah.

Ambar membuka matanya pelan-pelan. Hidungnya mengendus bau obat. Ia ingat kalau berada di rumah sakit karena Arimbi. Saat berniat bangkit, tangannya sulit digerakkan, lalu diliriknya lengannya yang diinfus.

"Jangan gerak dulu. Biar infusnya jalan."

Suara Lintang membuat Ambar menoleh ke sampingnya.

"Kenapa aku diinfus?" tanya Ambar bingung.

"Kapan terakhir kau makan?"

"Kapan terakhir aku makan bukan urusanmu!" sembur Ambar. Dia malu karena ketahuan kekurangan gizi setelah pergi dari rumah.

"Wah, mendengar suaramu aku yakin sekali kalau pasang infus memang tepat sekali."

"Di mana Arimbi? Apa dia baik-baik saja?" tanya Ambar. Lintang menyentuh dahinya sendiri lalu menjawab, "Keadaannya baik. Arimbi tertolong karena penanganan yang cepat."

Ambar bersiap-siap turun dari ranjang.

"Mau ke mana?"

"Menemui anakku."

"Diam di tempatmu, Ambar. Ini perintah! Kau sama sekali nggak tau kalau kau sedang hamil?"

Hamil?

Ambar mendelik. Dia hamil. Aneh rasanya tidak tahu dirinya hamil apalagi Lintang yang memberitahukan kepadanya.

Dia lalu tertawa.

"Jangan bercanda!" katanya dengan judes.

Lintang memegangi bahu Ambar dan membuat wajah wanita itu berhadap-hadapan dengannya.

"Ya, kau hamil, Ambar."

Ambar menatap Lintang tanpa kedip.

Hamil!

Nyonya Rumah.

Noted : Bagian tulisan miring awalnya tak masuk part ini. Kapok kalian yang minta.

Ampun dah nulisnya. Ini sebenarnya untuk keperluan cetak tapi gpplah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top