Babak II : 11. Idaman.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Suatu malam di bulan April 1979.

"Perlu aku panggil pembantu, Bos? Biar disiapkan air mandi?" tanya Heru pada Lintang. Keduanya baru kembali dari luar kota untuk mengurus perkebunan karet yang sudah mulai menghasilkan. Karena harus sering ke sana, beberapa bulan terakhir, Heru yang sudah cukup umur diberi kepercayaan untuk memiliki SIM dan boleh mengemudikan mobil menggantikan bosnya.

"Tak usah merepotkan mereka, Her. Mereka harus bangun pagi-pagi besok."

"Kalau gitu, biar aku bantu pompa airnya," tukas Heru. Lintang menggeleng.

"Nggak usah. Kau masukin mobilnya saja. Pompa air soal gampang," tolak Lintang.

"Bos kan capek."

"Kamu juga. Cepet masukin mobilnya. Ingat, besok kamu harus sekolah. Hari ini sudah bolos."

Heru terkekeh.

Begitulah Lintang, keukeuh ingin Heru tetap menyelesaikan sekolah, walaupun terkadang anak buahnya itu berpikir bahwa lebih baik berhenti dan bisa membantu bosnya setiap waktu.

"Aku masukin mobil, Bos."

"Hm ..." jawab Lintang lalu melangkah masuk ke rumah langsung menuju belakang. Tujuannya hanya satu. Mandi. Sehabis mandi, ia ingin tidur sampai besok pagi. Tak ada rencana ke perkebunan lagi besok karena semua tugasnya sudah didelegasikan kepada mandor kepercayaannya di sana. Minggu depan baru berkunjung lagi. Kalau ada apa-apa yang perlu ditanyakan, mandornya akan menghubunginya lewat telepon.  Dibanding dulu waktu pembukaan lahan, pekerjaannya sekarang jauh lebih ringan karena perkebunan itu meski letaknya di luar kota, sudah memiliki jaringan telepon.

Lintang mulai memikirkan kembali untuk mengambil kuliah lagi agar ia bisa menggunakan ilmunya dengan menjadi dosen ketika sudah pensiun nanti. Ia memberitahukan rencananya pada Igun dan temannya itu syok dengan keinginannya.

Sampai kapan kau mau melajang terus?

Lintang balas tanya apa hubungannya kuliah lagi dengan melajang terus.

Igun bilang tak ada. Hanya saja heran dengan Lintang yang punya duit banyak tapi belum mau nikah. Maya saja sudah punya dua anak.

Lalu Igun cerita kalau Maya berpisah dari suaminya karena sering cekcok. Istri Igun yang juga teman Maya cerita kalau orang tua Maya suka mengatur kehidupan rumah tangga anaknya, sedangkan suami Maya belum sukses dalam bisnis. Mereka ingin menantunya kerja di toko emas mereka dan perselisihan pun terjadi antara pasangan itu. Sekarang Maya kembali ke rumah orang tuanya bersama kedua anaknya.

Kalau kau yang nikah sama Maya, apa kau juga akan dipaksa kerja di toko emas?

Lintang jawab tidak. Dia tak akan menikah dengan Maya. Igun tertegun.

Kenapa?

Karena aku punya wanita yang kucintai.

Kau selalu bilang begitu dari dulu. Tapi mana? Siapa?  Bentuknya saja tak pernah kelihatan.

Lintang tersenyum.

Ambarita Roesdi, wanita yang sangat dicintainya dan tak akan pernah tergantikan. Tapi tentu saja tak diakuinya kepada Igun. Lelaki itu bisa syok kalau ternyata wanita yang ada di hatinya adalah kakak iparnya Lintang sendiri.

Lintang ingin menikah sama seperti Igun. Pria itu tampak bahagia setelah menikah, ia merasa iri. Tapi masalahnya dia belum bisa mengganti

Lintang memompa air dengan pelan agar  suaranya tak membangunkan para pembantu. Kasihan mereka kalau tengah malam begini harus bangun lalu merasa tak nyaman melihatnya memompa air, kemudian akan sibuk membantu melakukannya. Buatnya, tak masalah kalau keesokan harinya harus bangun terlambat tapi buat para pekerja, pasti diomeli Lastri.

Lintang menghentikan kegiatannya karena mendengar suara langkah kaki dekat kamar pembantu. Dibalikkannya tubuhnya mencari asal suara, berusaha meyakinkan dirinya kalau bisa saja bunyi langkah kaki itu adalah berasal dari salah seorang pembantu yang terbangun karena ingin buang air, yang kemudian berbalik karena melihat Lintang.

Lintang menggeleng pelan. Sejak kecil tak pernah takut akan keberadaan makhluk halus. Derajat manusia lebih tinggi daripada mereka dan tak ada alasan kalau mereka menunjukkan keberadaannya di rumahnya.

Namun ketika kembali memompa air, dia melihat sekelebat bayangan berjalan menuju lantai dua, kamar tidur anak-anak Oetomo.

"Siapa?"

Bayangan menghilang sebelum Lintang mengenali sosok itu. Ia menyalahkan diri karena tak menghidupkan lampu.

Pasti bukan pencuri! pikirnya dalam hati. Sebab kalau ada orang yang berniat jahat, pasti Lintang sudah dibuatnya pingsan. Jadi bayangan tersebut bisa sana adalah salah satu saudaranya. Namun kalau benar dugaannya, lebih baik saudaranya memanggil supaya ia tak buruk prasangka mengira ada pencuri. Bingung akan alasan sosok itu menghindarinya membuat sejumlah pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya.

"Bos."

Lintang tersentak akan kehadiran Heru. Dilepaskannya pompa dan mendekati anak remaja itu.

"Kaukah tadi yang berada di koridor?"

Heru bingung dan menggeleng.

"Aku baru dari garasi. Lewat pintu samping. Kenapa? Ada pencuri?"

Lintang menggeleng.

"Kalau pencuri, aku pasti sudah pingsan sekarang. Sudahlah ... lupakan. Kau cepatlah tidur. Besok pagi ..."

"... Harus sekolah," sambung Heru. Lintang menepuk bahunya sambil tersenyum.

"Boleh berhenti sekolah? Toh, aku sudah pintar karena ikut Bos."

"Tidak ada alasan!" jawab Lintang pedas. Heru menyeringai tapi tetap patuh. Ia membantu memompa air agar bisa mandi.

Sementara Lintang melirik tangga menuju lantai dua sambil terus memikirkan siapa gerangan yang baru saja ada di kamar pembantu dan naik ke lantai dua setelah berusaha menghindarinya.

"Bos ... air sudah cukup. Perlu dipanaskan?"

"Oh, tak perlu Her."

Nyonya Rumah.

"Bu, boleh Ambar pamit untuk pergi menjenguk Bapak? Bapak sakit, Ambar dengar kabar dari pekerja pabrik."

Lastri yang dimintai ijin oleh Ambar melirik sejenak sebelum menjawab, "Hari ini Minggu. Pak Kirman tak masuk. Nggak ada yang anterin. Ya kan, Jo?"

Harjo sibuk membaca koran hari ini dan tak mengangkat wajahnya, hanya mendengkus.

"Nggak apa, Bu. Ambar naik sepeda saja. Nanti Arjuna duduk di belakang dan Arimbi saya gendong."

"Aku yang antar Ambar, Bu. Kebetulan mau ajak Lina nonton. Ada film bagus. Iya kan, Lin?"

Lastri menoleh pada anaknya yang baru muncul di ruang keluarga. Lintang bersama Lina, anak tetangga mereka. Pria itu baru selesai mencuci mobil ketika putri tetangganya bertamu sambil membawa kue untuk Nyonya Oetomo.

"Lina, kita pergi nonton kan?" ulang Lintang karena gadis itu belum menjawab karena masih bingung. Bukannya tak mau  hanya saja Lina tak merasa diajak nonton. 

"I ... ya, Bu. Kita mau nonton," jawab Lina grogi. Dalam hati berpikir, mimpi apa semalam karena tiba-tiba diajak nonton oleh pria yang disukai sejak dulu.

Lastri melirik putranya dengan curiga yang pernah sekalipun menunjukkan ketertarikan pada putri Hasan meskipun gadis itu kerap kali bertamu ke rumah hanya untuk bertemu dan menanyakan tentang Lintang.

Lintang yang cerdas membaca wajah ibunya hanya tersenyum-senyum penuh arti. Ia yakin Lastri akan mengijinkan Ambar pulang ke rumah orang tuanya atau akan melihat putranya batal pergi dengan Lina.

"Ya, sudah! Pergi sana. Pulangnya ..."

"Tunggu saja di sana. Nanti filmnya tamat, aku jemput," potong Lintang. Dia tahu kalau Lastri pasti akan bilang pada Ambar jangan terlalu lama berada di rumah orang tuanya jadi sebelum ibunya bicara, langsung saja dipotong. Lastri tak akan mengomel di depan tamu.

Ibunya terpaksa menggigit bibirnya sendiri karena ucapan Lintang. Ambar mengucapkan terima kasih pada ibu mertuanya. Sementara adik iparnya melirik Harjo yang seperti tak dirasakan kehadirannya. Ingin rasanya mencekik kakak laki-lakinya yang tak bisa diharapkan itu.

"Sana cepetan. Bawa Arjuna dan Arimbi. Aku tunggu di mobil."

Ambar tak menunggu lagi, ia langsung pamit karena kuatir kalau Lintang tak akan menunggunya jika sampai ia terlambat. Pria itu sedang mau pacaran.

"Kak, kita mau ke mana?" tanya Wiwik bingung ketika Ambar bilang mau pergi. Arjuna sedang main mobil-mobilan di depan kamar bersama Arimbi.

"Ke rumah orang tua Kakak."

"Kok, tiba-tiba?"

"Iya, Bapak sakit. Tadi minta ijin Ibu dan Lintang kebetulan mau nonton sa ... Maaf, Wik. Sepertinya Lintang ada hubungan dengan Lina. Maaf kalau berita ini menyakitimu. Kakak juga baru tau tadi."

Wajah Wiwik tampak tertekan, Ambar merasa kasihan padanya. Digenggamnya tangan adik sepupunya yang sudah dianggap adik kandungnya sendiri itu dengan hangat berharap bisa sedikit menghibur hatinya.

"Kau masih sangat muda, Wik. Nanti akan ketemu dengan lelaki yang tak kalah baiknya dengan Lintang."

Tangan Wiwik terasa dingin dalam genggaman Ambar. Merasa kasihan, disentuhnya wajah gadis muda itu dengan lembut.

"Jangan sedih, Wik ..."

Wiwik berusaha tersenyum.

"Yuk, siap-siap kita pergi."

"Wik lagi nggak enak badan, Kak. Wik di rumah saja, ya."

Ambar tampak kuatir, disentuhnya kening Wiwik dengan tangannya.

"Nggak demam, sih. Tapi wajahmu pucat. Mungkin kau kecapekan. Ya, sudah. Kamu di rumah saja, Wik. Istirahat, ya."

Wiwik mengangguk.

"Kakak pergi dulu, ya. Kalau masih nggak enak badan, minta tolong sama Bik Wati biar dikerokin."

"Baik, Kak," jawab Wiwik lesu dan tak menatap Ambar.

Kemudian wanita itu buru-buru meninggalkan kamar Wiwik sambil menggandeng Arjuna dan menggendong Arimbi.

"Ke rumah Amah, ya Bu?"

"Iya. Yuk. Nanti Paman Lintang lama nunggu."

"Yuk!"

Lintang sendiri sudah menunggu sambil berdiri bersandar di samping mobilnya, sementara Lina duduk di dalam sambil mengipasi wajahnya. Suasana sore itu memang agak terik dan wanita itu sempat berdandan sebelum menemui Lintang di depan rumahnya.

"Mana Wiwik? Nggak ikut?" tanya Lintang heran. Tak biasanya gadis itu tak mengikuti Ambar ketika membawa Arjuna dan Arimbi. Tugasnya memang membantu kakak sepupunya mengasuh kedua anaknya.

"Wik kurang enak badan. Dia mau istirahat dulu," jawab Ambar.

"Oh."

"Yuk, berangkat. Nanti filmnya keburu diputar. Nggak enak sama ..." Ambar memberi isyarat kepada Lintang tentang gadis yang menunggu di dalam mobil.

Lintang malah tersenyum. Dibukanya pintu mobil untuk Ambar dan kedua keponakan kesayangannya.

"Tak akan telat. Silakan masuk, Your Highness."

Arjuna cekikan dan merasa senang karena dipanggil Your Highness. Dengan cekatan ia melompat masuk ke dalam mobilnya Lintang.

"Ayo, Bu. Cepetan. Arjun sudah kangen Kakek," katanya. Ambar tersenyum melihat putranya yang ingin segera menemui kakek dan neneknya. Ia pun segera menyusul dan duduk di samping Arjuna. Lintang membantunya menutup pintu dan memastikannya terkunci.

"Jangan bersandar di pintu ya, Sir Arjun."

Arjuna, bocah berusia sembilan tahun itu mengacungkan jempol pada pamannya.

"Okay!"

Lintang tertawa melihat tingkah keponakannya. Dibanding dengan paman lainnya, Arjuna paling dekat dengannya. Mungkin karena Koesman dan Bayoe sudah punya anak-anak mereka sendiri dan tak tinggal seatap dengan bocah itu. Di rumah Oetomo, hanya tinggal dua paman yaitu Lintang dan Jono. Jono sendiri tak suka anak-anak, meskipun tak lama lagi dia akan segera menikah.

"Paman Lintang nanti ikut ke rumah Kakek?" tanya Arjuna ketika mobil yang dikemudikan pamannya mulai melaju.

Lintang tak menjawab, disentuhnya keningnya sambil melirik ke kaca spion untuk mengintip ekspresi wajah Ambar, hanya karena penasaran apa yang sedang dipikirkan wanita yang sedang duduk di jok belakang itu.

"Bu ... Paman nggak ikut ke rumah Kakek?" tanya Arjuna pada ibunya karena Lintang tak menjawab pertanyaannya.

"Nggak, Nak. Pamanmu ada urusan sama Tante Lina."

Arjuna memandangi punggung wanita yang duduk di kursi depan bersama pamannya. Lalu  ia bertanya lagi, "Kenapa bukan Bapak yang anterin kita, Bu?"

Ambar tertegun, begitu pun Lintang. Pria itu melirik spion lagi.

"Bapak lagi sibuk. Kebetulan saja Paman mau keluar sama Tante, sekalian anterin kita," jawab Ambar pelan sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.

"Lain kali, kita sama Bapak ya, Bu. Sudah lama Bapak nggak pergi sama Ibu."

"Iya, Arjuna. Nanti Ibu bilang, ya."

"Rumah Kak Ambar dekat dengan bioskop (cinema), ya?" tanya Lina ikut nimbrung. Ia merasa agak canggung kalau hanya diam saja di dalam perjalanan.

"Iya, rumah Kakek satu jalan dengan bioskop. Tapi Arjuna belum pernah nonton," sambar Arjuna polos.

"Arjuna belum pernah nonton?" tanya Lina.

"Belum. Kata Paman, film dewasa nggak boleh ditonton anak-anak. Hanya boleh nonton Unyil," jawab anak itu. Lina tersenyum sambil melirik pria yang dikagumi yang sedang fokus menyetir.

"Nanti kalau ada film Bing Slamet, kita ajak Paman nonton. Mau, ya Paman Lintang?

"Hm ... hah? Apa?" Lintang kelabakan. Kelihatan sekali kalau sedang melamun dan tak menyimak pembicaraan sehingga tak tahu apa yang baru ditanyakan Lina.

Ambar tertawa kecil sambil mengusap kepala Arimbi yang tertidur di pangkuannya. Dia pikir kalau Lina memang pintar, memancing Arjuna agar mendapatkan kesempatan untuk bisa pergi nonton lagi dengan Lintang.

"Arjuna belum pernah nonton di bioskop. Nanti kalau film Bing Slamet diputar, kita bawa Arjuna nonton, ya Kak."

Lintang mengerjapkan matanya, rahangnya mengeras. Dia bukannya menolak membawa Arjuna menonton, hanya saja pergi dengan Lina adalah satu hal yang lain. Kalau tadi tidak terpaksa agar memiliki alasan untuk mengantar Ambar, ia juga tak akan pernah pergi dengan wanita itu.

"Paman Lintang ..." panggil Arjuna pelan. Suara anak itu membuatnya tak tega. Lalu ia menjawab, "Ya, tentu saja."

"Janji ya, Paman Lintang," kata Lina dengan nada menuntut. Lintang memaksakan seulas senyum sambil mengangguk. Arjuna bersorak kegirangan dan bertepuk tangan sampai Arimbi terbangun dari tidurnya.

"Bu ... kita sampai?"

"Sebentar lagi. Jangan tidur lagi, Nak."

Tak lama kemudian mobil itu berhenti di depan sebuah jalan kecil menuju rumah Pak Roesdi. Ambar bersiap turun sambil menggendong Arimbi yang masih mengantuk. Lintang turun dan membantunya membuka pintu kenderaannya.

"Biar kugendong Arimbi," tukasnya. Lintang merasa kasihan karena Ambar harus menggendong Arimbi melalui jalan kecil yang tak bisa dilakui mobil untuk sampai ke rumah orang tuanya. Wanita itu menolak dengan menggelengkan kepalanya.

"Nggak usah. Nanti terlambat filmnya. Aku bisa, kok. Terima kasih sudah anterin kami."

Bibir Lintang tersenyum dan ia mengangguk.

"Titip salam buat Bapak dan Ibu. Dan ... sebentar!" Lintang berjalan ke belakang mobil dan membuka bagasi, mengeluarkan bungkusan ramuan obat untuk diberikan kepada Ambar.

"Untuk Bapak. Biar cepat sembuh."

"Lintang ... ini ..." Ambar mengendus bau khas yang menguar dari bungkusan kertas yang diserahkan Lintang ke tangannya.

"Ginseng. Ini kan mahal, Lintang." Wanita itu merasa tak enak menerima hadiah semahal itu dari adik iparnya.

"Ini bukan dariku, Ambar. Kau pulang ke rumah orang tuamu, harus bawa sesuatu. Bilang saja itu dari Harjo. Ah ... jangan kuatir! Nanti aku tagih kepadanya," tukas Lintang enteng. Ambar seperti hendak membantah tapi urung karena adik iparnya bilang akan menagih uang pada suaminya.

"Pulanglah ..."

"Terima kasih," ucap Ambar pelan.

"Hm ..."

Ambar berjalan masuk menuju gang kecil lalu Arjuna berlari-lari mendahuluinya. Beberapa langkah, bocah itu menoleh pada Lintang dan tersenyum sampai melambaikan tangannya.

"Nanti Paman jemput!" teriak Lintang. Arjuna mengangguk lalu berbalik dan berlari lagi.

Lintang memandangi punggung Ambar sambil berharap kalau wanita itu menoleh padanya sekali saja. Setidaknya ia bisa cukup kuat agar bisa melewati waktunya nonton bersama Lina nantinya. Namun harapannya tak menjadi kenyataan karena kakak iparnya sama sekali tak menoleh sampai mata Lintang tak dapat lagi menangkap punggungnya.

Pria tinggi itu mendesah pelan, lalu masuk ke dalam mobilnya lagi.

"Sudah? Sekarang kita bisa nonton, kan?"

Nyonya Rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top