Babak II : 10. Turut Campur.
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Harjo mendesah pelan melihat pemandangan di depannya. Ambar tertawa mendengar guyonan Lintang. Matanya bersinar ceria. Istrinya memang selalu senang bila mendengar adik iparnya berceloteh tentang apa saja. Sedangkan dirinya sebagai suami, tak mampu melakukannya. Ia merasa tertekan dengan keadaan tersebut.
Ambar yang rajin, Lintang yang tekun. Dirinya bukan apa-apa, apalagi Tjong Lai baru menegaskan kalau anak yang paling bisa diharapkan bukanlah dirinya, tapi adalah Lintang. Dia telah berusaha menyenangkan Bapak. Kenyataan yang harus diterima, saudaranya lebih dihargai.
Memang ke mana anak itu sewaktu Bapak butuh dia? pikir Harjo sebal.
Lintang pergi selama tiga tahun. Dalam rentang waktu tersebut, dirinyalah yang ada di samping Bapak. Anehnya, Tjong Lai tak pernah menghargainya. Tak pernah mempercayakan dia untuk mengurus keuangan bisnis keluarga. Toko obat yang kecil itu yang diserahkan kepada Harjo. Bahkan pabrik konveksi lebih menghasilkan uang daripada toko kecilnya.
Harjo tak pernah bisa punya banyak uang seperti Lintang. Di usia saudaranya yang baru 27 tahun, sudah punya usaha perkebunan sendiri. Dalam pertemuan antara pengusaha di mana Tjong Lai sebagai pengurus, bapaknya selalu membangga-banggakan putranya yang satu itu.
Karena Tjong Lai memanjakannya, menyekolahkannya sampai perguruan tinggi, ditambah lagi dengan sekolah ke luar negeri. Di kota kecil tempat tinggal keluarga Oetomo, mana ada yang bisa sekolah seperti Lintang.
Menurut Harjo, Bapak terlalu pilih kasih. Hanya Lintang yang diutamakan, dia tidak. Harjo iri pada saudaranya itu.
Dipandanginya Lintang yang masih berdiri di depan pabrik konveksi sekali lagi. Harjo mendesah pelan. Tadinya ia datang ke pabrik untuk minta maaf pada Ambar karena kemarin malam telah mengasari istrinya. Namun ia tak menyangka kalau saudaranya ada di sana juga.
Dalam hati berusaha menebak apa yang dibicarakan Lintang sampai Ambar tersenyum ceria padahal di pagi hari ketika ia terbangun dari tidur, istrinya bersikap canggung padanya. Saat itu, ia sadar bahwa pada saat ia mabuk, pasti telah menyakiti hati istrinya.
Di toko, Harjo tak bisa bekerja dan terus memikirkan perasaan Ambar. Akhir-akhir ini karena kumpul di restoran milik temannya dan pulang telat sampai mengabaikan keluarganya, tapi istrinya tak pernah marah atau mengomel. Malah Lastri yang sering ngomel dan itu menjadi salah satu alasan lagi, malas di rumah.
Ketika menyadari kesalahannya, Harjo memanggil supirnya untuk membawanya ke pabrik. Dulu sewaktu baru menikah, ia sering mengunjungi Ambar sewaktu sedang bekerja sambil membawa makanan kesukaan wanita itu. Sekarang harus dilakukan lagi.
"Pak ... kita parkir di sini?" tanya supirnya karena sudah lama berhenti di seberang jalan sementara Harjo tak kunjung keluar.
Harjo mendehem kuat.
"Kita ... kembali. Saya ingat ada ramuan yang harus aku kirim secepatnya."
"Baik."
Mobil hijau muda milik Harjo yang dikemudikan oleh supir itu meninggalkan pabrik konveksi.
Nyonya Rumah.
"Ini apa?" tanya Wiwik ketika Ambar masuk ke kamarnya dan memberikan satu tas plastik berisi pakaian wanita.
"Untukmu. Anak gadis mesti pakai pakaian yang layak," jawab Ambar. Wiwik kegirangan. Dikeluarkannya semua pakaian dalam tas dan dilihatnya satu-satu.
"Kata Lintang, itu celana jeans sering dipakai anak muda zaman sekarang."
"Kakak baik sekali," puji Wiwik. Gadis bermata lebar itu memeluk kakak sepupunya dengan hati gembira. Tak sia-sia ia bekerja sebagai pembantu yang menjaga anaknya Ambar, selain keluarganya bisa makan, dia juga diperlakukan dengan baik. Meskipun sering juga menjadi sasaran omelan Lastri karena dianggap tak becus menjaga cucu kesayangan keluarga Oetomo.
Wiwik takut pada Lastri. Kalau nenek tua itu sedang marah, Ambar juga tak bisa membelanya. Dia bahkan pernah melihat nenek Arjuna menendang menantunya ketika salah memijat kakinya. Wanita tua itu memang mengerikan. Hidup kakak sepupunya menjadi menantu keluarga kaya tak seindah yang dilihat oleh orang luar. Jika dilihat Ambar memang tak kekurangan materi, makan enak, tidur tenang. Tapi di balik indahnya bayangan, wanita itu diperlakukan selayaknya pembantu. Di hari Minggu ketika semua anak perempuan keluarga Oetomo pulang, kecuali Nonik yang sekarang hamil anak ketiga, dia yang harus kerja di dapur menyiapkan hidangan untuk mereka. Entah kapan terakhir ibunya Arjuna dan Arimbi itu bertemu dengan orang tuanya sendiri. Kalau tidak Lintang yang membawa kedua anak itu bertemu dengan kakek neneknya, mungkin hanya sincia mereka bisa bertemu.
Namun Lintang berbeda dengan anggota keluarga Oetomo yang lain. Dia yang paling baik kepada para pembantu di rumah, ringan tangan, dan murah hati. Bahkan para pembantu bilang siapapun yang menjadi istrinya kelak pasti beruntung karena pria itu sudah sukses bahkan tanpa dukungan uang keluarganya. Dia dan istrinya kelak tak perlu tinggal di rumah keluarga, beda dengan anak-anak lainnya yang masih disokong Tjong Lai. Segitu seringnya mendengar gosip para pekerja membuat Wiwik memutuskan untuk mendekati anak ketujuh keluarga kaya tersebut. Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, wanita itu juga mendukungnya karena mereka sudah bosan hidup miskin. Sekeluarga juga ingin terangkat statusnya seperti Ambar, meskipun Tante Mei sendiri juga tetap berjualan di Pekan. Dia yakin kalau keuangan keluarga mereka disokong oleh keluarga Oetomo. Berjualan kue hanya sebagai topeng agar tak digosipkan dan direndahkan orang saja.
"Kamu suka?" tanya Ambar ketika Wiwik mencoba celana jeans yang baru dibelikan kakak sepupunya.
Wiwik mengangguk. "Akan kupakai nanti kalau Kak Lintang ajak ke Pekan," jawabnya riang.
"Hm ... Wik ... Kak Ambar mau tanya tentang Lintang. Boleh, ya?" Ambar menarik tangan sepupunya lalu menatapnya. Wiwik mengangguk.
"Lintang sudah ngomong apa sama kamu? Maksud Kakak ... apa kalian sudah ... Aduh! Gimana ngomongnya ke kamu? Pusing juga Kakak."
"Kak Ambar ... ngomong apa maksud Kakak? Wiwik nggak ngerti," sahut Wiwik malu.
"Lintang dan kamu. Apa ada kemajuan? Kakak lihat dia sering bawa kamu dan Arjuna ke Pekan. Apa dia ada bilang tentang hubungan kalian?" tanya Ambar. Wiwik menggeleng pelan. Dia membuka mulutnya berniat ngomong, tapi kemudian ditelannya lagi karena malu.
"Apa sih, Wik?"
Wiwik menunduk malu.
"Bibi Mei tanya sama dia apa punya pacar? Dia jawab belum. Dia masih mencari katanya. Itu artinya aku masih punya kesempatan kan, Kak? Kakak tau sendiri, itu tetangga depan. Si Lina genit itu tiap hari pas di jam Kak Lintang pulang pasti pura-pura nyapu halaman. Juga kirim kue ke rumah ini. Dikiranya Kak Lintang suka padahal tak pernah disentuhnya."
Ambar tersenyum mendengar Wiwik mengungkapkan kekesalannya pada saingannya untuk mendapatkan hati Lintang. Sepupunya itu cemberut ketika menyadarinya.
"Kok Kak Ambar seneng, sih?"
"Kan, sudah Kakak bilang sebelumnya kalau Lintang bukan pria yang sederhana. Sainganmu banyak, Anak Gadis. Kau harus lebih tekun dan rajin supaya memenuhi standarnya lelaki seperti Lintang. Kamu ingat Ratih, yang adik teman Harjo. Dia dari keluarga berada, sekolahnya saja tinggi dan sekarang kerja di kantoran. Ibu saja sudah suka mau jadikan dia menantu. Lintang masih tetep adem."
"Syukurlah kalau begitu," tukas wanita bermata lebar itu sambil tertawa.
"Lina tetangga kita juga anak yang baik, lho. Nggak suka keluyuran ke mana-mana. Nggak kayak kamu, habis pulang sekolah masih suka keluyuran sama teman."
"Yeee, Kak Ambar kayak nggak pernah muda saja. Tapi biarpun mereka baik, kalau Kak Lintang nggak mau, mereka bisa apa?"
"Iya, Wik."
Wiwik mendecit. "Kakak kan deket sama Kak
Lintang. Wik minta sokongan Kakak supaya bisa deket sama dia. Tanya-tanya dia suka sama perempuan yang gimana?"
Ambar tersenyum lebar. "Kok malahan lebih pinter kamu dari Kakak soal begini?"
"Iya dong, Kak. Kakak sih urusannya cuma masak dan pabrik, mana sempat tau yang beginian," sahut Wiwik sambil cekikikan.
"Tapi ... Lintang jarang bicara soal masalah begini sama Kakak. Mungkin kamu harus tanya Heru. Dia lebih sering ikut Lintang ke mana-mana."
Wiwik malah cemberut karena Ambar menyinggung soal Heru.
"Nggak ah, Kak. Wiwik nggak mau tanya sama Heru. Si Heru kayaknya ada hati sama Wiwik. Wiwik nggak mau. Orang tua Heru nggak jelas siapa dan di mana. Kalau Wiwik sama dia malah jadi gunjingan tetangga."
"Hush, Wik! Nggak boleh bilang begitu. Siapapun orang tua Heru, yang penting Heru baik. Anak itu rajin dan giat bekerja. Lintang juga sangat menghargainya. Kakak yakin nantinya dia pasti jadi orang yang berhasil."
Namun Wiwik malah menunjukkan mimik jijik. Ambar berjanji pada dirinya sendiri supaya bisa mengubah pandangan sepupunya tentang keluarga Heru. Anak angkat Tjong Lai itu memang baik budi dan rajin, meskipun tak diketahui siapa orang tuanya. Semula Tjong Lai sudah tak mau menyekolahkannya lagi. Anak itu sempat berhenti sekolah selama setahun sampai Lintang pulang dari Inggris lalu bersedia menyediakan uang agar bisa melanjutkan pendidikannya. Heru membayarnya dengan setia bekerja pada Lintang.
"Ibuuu. Bapak mau ajak kita ke Pekan. Ayok, Bu," teriak Arjuna berlari-lari kecil masuk ke kamar Wiwik.
"Bapak sudah pulang dari toko, Jun?" tanya Ambar heran. Arjuna mengangguk.
"Wah, kukira dia sibuk di toko."
"Ayok, Buuu."
"Nyonya ..." panggil Bik Sumi pelan. Perempuan tua yang sudah bekerja lama di keluarga itu mengikuti Arjuna tadinya.
"Ya, Bik. Ada apa?" tanya Ambar.
"Bibik kira Nyonya nggak bisa pergi sama Den Harjo. Nyonya Besar perlu Nyonya bikinin ramuan obatnya. Maafkan Bibik, Nya. Bibik bilang kalau Nyonya mau pergi sama Den Harjo, Nyonya Besar marah."
"Ya sudah, Bik. Saya nggak pergi. Biar Arjuna pergi sama Bapaknya. Kasihan Harjo sudah pulang cepat tapi nggak jadi pergi karena saya harus masak. Nggak apa-apa, kan Nak?" tanya Ambar pelan pada Arjuna. Bocah berusia tujuh tahun itu tampak kecewa, tapi ia berusaha menyembunyikannya agar ibunya tak sedih.
"Biar aku temani Arjuna ya, Kak. Ini kan Malam Minggu, Wiwik juga ingin jalan-jalan," ujar Wiwik. Ambar tersenyum.
"Pergilah."
"Yuk, Arjuna."
"Wik, kau pergi dengan baju barumu?" tanya Ambar. Wiwik menoleh dan menjawab, "Iya. Langsung kupakai saja, Kak."
Ambar menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah Wiwik yang spontan. Gadis muda itu sekarang terlihat lebih ceria dan tanpa beban sejak bekerja di keluarga Oetomo. Paling tidak Ambar telah membantu keluarga bibinya dengan memperkerjakan putri mereka.
Sementara itu, Lintang tahu kalau Harjo akan pergi ke Pekan. Pria bermata sipit itu menunggu di halaman rumah sambil bersandar pada mobil milik saudaranya. Begitu orang yang ditunggu muncul, dia langsung memanggilnya.
"Harjo, aku mau bicara."
Harjo menaikkan sebelah alisnya, memandangi Lintang dengan gaya angkuh. Adiknya tahu kalau ia mau pergi bersama Arjuna tapi tetap menghalanginya.
"Pak ..." panggil Arjuna sambil menggoyang lengan Harjo.
"Main dulu sebentar, Nak. Bapak bicara dulu sama Paman," tukas Harjo. Arjuna mengangguk patuh.
"Wik, tolong!" perintah Harjo pada Wiwik. Gadis itu mengangguk dan menggandeng tangan Arjuna agar menjauh dari tempat itu, meninggalkan Lintang dan Harjo.
"Bicaralah!" kata Harjo ketika Arjuna sudah berada di jarak yang aman sehingga tak bisa mendengar percakapan keduanya.
"Siapa wanita itu?"
"Apaa yang kau bicarakan?"
"Aku melihatmu sore itu di Pekan."
Harjo tertegun. Lintang bicara pendek dan langsung, dia sudah bisa menebak arah pembicaraan adiknya.
"Lantas ... kau mau apa? Bilang ke Ibuk?"
Lintang menggeleng pelan. "Tidak. Aku nggak akan kasih tau Ibuk," tegasnya.
"Lalu ... kau ingin mengancamku dengan itu? Kau mau apa?"
Lintang bersidekap, dia sedang menahan diri untuk tak menghajar Harjo. Tak ingin kalau saudaranya pingsan sebelum pesannya tersampaikan.
"Dengar baik-baik, Jo. Aku akan menjaga rahasiamu. Tapi ... aku menginginkan sesuatu darimu."
Harjo mulai menduga apa yang diinginkan Lintang. Bisa saja dia memintanya keluar dari rumah Oetomo agar bisa menguasai seluruh warisan Tjong Lai. Bagaimanapun juga, toko obat bukanlah sumber uang, tak ada seorang pun yang menginginkan toko kecil itu.
Ketika Lintang membuka mulutnya, Harjo menahan napas seakan itu menjadi napas terakhirnya. Yang pasti dia tak akan keluar dari rumah Oetomo. Lintang tak bisa mengancamnya.
"Putuskan hubunganmu dengan wanita itu, Jo. Jadilah suami yang baik."
"Aku heran kenapa kau peduli dengan tindakanku."
Lintang berkedip sekali.
Ya, kenapa aku peduli?
Aku peduli karena ... karena Ambar. Aku tak ingin melihatnya bersedih.
"Aku hanya ingin kau menjadi kepala keluarga yang baik. Kau tidak berada pada posisi yang baik, Jo. Aku memegang rahasiamu. Kalau sampai aku mengetahui kau begitu lagi, hm ... kau tanggung sendiri akibatnya."
Seusai mengatakan hal yang ingin diungkapkannya, Lintang melangkah meninggalkan Harjo yang sedang terdiam untuk beberapa lama.
"Semoga soremu indah, Jo!"
Harjo menggertakkan giginya, tapi sama sekali tak berani mengambil untuk mengambil tindakan untuk menghajar adiknya yang kurang ajar.
Tak ada yang salah kalau pria seperti dirinya punya banyak perempuan di luar sana, teman-temannya yang tergabung dalam perkumpulan pengusaha juga punya banyak simpanan, walaupun tak pernah mereka akui. Lintang saja yang aneh, punya banyak duit, tapi tak doyan dengan perempuan.
Ada apa dengannya? pikir Harjo kesal.
Namun ia tak bisa menganggap remeh ancaman Lintang. Adiknya itu kalau bertindak suka semaunya dan susah ditebak seperti saat Endang meninggal sementara dia dijodohkan dengan Maya. Akhirnya malah seenaknya pergi ke London. Dalam keluarga Oetomo, tak ada satu pun yang bisa membaca pikirannya.
"Pak, kita jadi pergi 'kan? Urusan sama Paman sudah beres?" tanya Arjuna membuyarkan lamunan Harjo.
"Ah ... ya. Ya. Yuk, pergi!"
Nyonya Rumah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top