Babak I : 4. Playboy.


"Sedang baca apa?"

Ambar tersentak dengan kehadiran orang lain di dalam ruangan itu. Ia menjatuhkan sendok sehingga menimbulkan suara. Ketika ia mendongak, dilihatnya Lintang sedang menatap buku yang dipegangnya.

"Midah Si Manis Bergigi Emas? Pramoedya? Kau suka baca? Wew!"

Ambar menurunkan novel yang baru dibacanya sambil nyemil kue sebelum diganggu oleh Lintang. Dipungutnya sendoknya yang terjatuh dari lantai.

"Dibeli Kak Har dari kota. Kenapa kau terkejut?"

Lintang menggeleng. "Aku tak menyangka kalo
kau suka baca."

"Kau pasti mengira aku hanya bisa masak, mencuci baju, mengurus suami, dan melahirkan anak," balas Ambar pedas. Sedetik kemudian ia menyesal dengan berkata sekasar itu pada adik iparnya. Keduanya memang jarang berinteraksi setelah Ambar dinikahi Harjo. Mereka bertemu hanya di meja makan dan Lintang hanya menyapa seadanya.

"Tak perlu tersinggung, Kakak Ipar. Menurut Ibu, prioritas seorang istri memang adalah keluarga. Tapi!" Nada suara Lintang terdengar agak meninggi karena ia menyadari kalau kakak iparnya membuka mulut hendak protes. "... Aku tidak pernah berpikir demikian."

Ambar mengamati wajah adik iparnya. Lintang sama sekali tidak mirip Harjo. Kalau Harjo mewarisi wajah Goh Tjong Lai dengan mata tajam dan rahang yang kokoh, Lintang malah memiliki mata mungil dan wajah yang lembut. Dia juga tidak mirip Lastri.

"Jangan menatapku lama-lama! Nanti jatuh cinta!"

"Apaa!"

"Ya ... meskipun aku tahu aku memang tampan! Harjo tak setampan aku."

"Kau mimpi?" Ambar sadar kalau wajahnya bersemu merah ketika bicara. Ia tak habis pikir kenapa adik iparnya ini tampak begitu santai bicara dengannya, berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Mereka terlihat menjaga jarak dengannya.

"Atau kau memang sudah jatuh cinta padaku?" goda Lintang. Sengaja didekatkannya wajahnya kepada kakak iparnya agar bisa menatapnya lebih dekat. Ambar menjauhkan diri darinya. Lintang malah makin maju, kemudian Ambar menginjak kakinya agar ia tak mendekat lagi.

"Aduh!"

Ambar berdiri dan berhasil lepas ketika Lintang meringis kesakitan.

"Aku 'kan cuma bercanda, Kakak Ipar Cantik."

"Nggak sopan bercanda pada iparmu!"

Lintang malah menyeringai. Senyumnya yang menyebabkan matanya tinggal segaris membuatnya tampak bodoh. Namun siapa pun tahu kalau dia tidak bodoh.

"Lain kali tidak usah beli buku Pram lagi," tukasnya sambil membolak-balikkan buku yang tadi dibaca Ambar.

Ambar segera merebut novelnya, kuatir dirusak oleh tangan jahil adiknya Harjo.

"Bukan urusanmu, aku mau baca buku. Jangan kira kami perempuan, maka kami tak boleh sepintar dirimu. Aku tahu kau pintar, makan sekolahan. Cuma aku nggak nyangka kalo pikiranmu masih rendahan seperti pemuda zaman dulu. Aku salah menduga kalo pemuda yang sekolah tinggi pasti punya pikiran yang tajam dan luar biasa yang bisa membangun negri ini. Apalagi kau kan aktivis. Ternyata kau sama saja ..."

Panjang lebar omelan Ambar sampai ia sadar kalau Lintang melongo memandanginya. Lagi-lagi ia menyesal telah bicara kasar, tapi lelaki itu memang pantas menerimanya. Sekarang keduanya saling bertatapan, satu menatap dengan marah, satu lagi melongo.

"Aku apa, Kakak Ipar Cantik? Kau belum selesai mengatai aku," tukas Lintang pelan. Ambar menyentuh mulutnya sendiri dengan tangannya.

"Aku nggak pernah melihatmu ngomel sepanjang ini. Satu-satunya yang paling sering ngomel dalam keluarga kami adalah ibuku, mertuamu."

Ambar mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menduga kalau Lintang sedang melucu tapi sama sekali tidak lucu.

"Kau masih kalah jauh."

Sekarang Ambar bingung. Sifat Lintang memang tak terduga.

"Aku bukan menyuruhmu berhenti membaca buku, Ambar. Malah aku senang bertemu dengan perempuan yang suka membaca."

"Tadi kau bilang ..."

Lintang menggeleng. "Hm ...."

"Aku bilang jangan beli buku Pram lagi. Aku punya banyak. Kau boleh pinjam kalo mau. Bukan Pram saja, N. H. Dini juga. A. A. Navis. Aku punya banyak sekali. Aku bahkan punya buku bahasa Inggris."

Ambar terbengong memandangi Lintang yang memang tak tertebak kelakuannya. Entah antara baik atau sinting, tidak jelas. Namun pandangannya terhadap adik iparnya telah berubah lagi.

"Aku .... anu ..."

Lintang seperti hendak menunggu sambungan kalimat Ambar, tapi tak bisa diucapkan wanita itu.

"Apa?"

"Itu ... aku ..."

"Terpesona?"

Ambar mendelik dengan kesal. Lintang malah memasang senyum tololnya lagi.

"Kakak Ipar, sadar nggak kalau kau lebih hidup kalo lebih banyak bicara? Kalo di rumah, kau seperti patung. Apa Harjo dan Kakak Ipar sering bicara di rumah?"

"Banyak," jawab Ambar pendek.

"Waktu sebelum lamaran, kalian pernah bicara?" selidik Lintang. Ambar berbohong dengan mengangguk.

"Yang benar? Harjo tak pernah bicara pada perempuan, lho selain pada ibu dan saudari-saudarinya."

Mendengar perkataan Lintang, Ambar malah senang. Jadi Harjo memang telah jatuh hati padanya sejak pandangan pertama mereka.

"Nggak perlu senyum-senyum sendiri hanya karena mendengar Kakakku tak pernah bicara pada perempuan, Ambar. Memang kenapa kalau playboy kalo ketemu yang cocok, pasti ins..."

"Playboy itu apa?"

"Ah itu ..."

Lintang lupa kalau Ambar tidak bisa bahasa Inggris. Digaruk-garukkan kepalanya yang tidak gatal. Sementara Ambar masih menunggu jawaban darinya.

"Flyboy. Flyboy itu pilot!" tukas Lintang cepat.

"Oh, pilot!" Mulut Ambar mengatakannya tapi wajahnya memperlihatkan kecurigaan.

Lintang menyeringai. Ia tak tahu sampai kapan arti kata sebenarnya dari playboy itu tak diketahui Ambar, sebab kakak iparnya bukan wanita yang bodoh. Pasti dia akan mencari tahu dengan segala cara.

"Ah! Bapak memintaku untuk membantumu membereskan ruangan ini. Ada yang perlu kubantu?" tanya Lintang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Bagus. Bisa tolong pindahkan mesin jahit di depan itu ke dalam? Tadinya mau minta para pekerja, tapi mereka semua sedang sibuk. Kebetulan kau tanya."

"Buat apa dipindahkan? Kau bukan wanita jaman dulu yang harus menjahit untuk suami dan anak-anaknya. Bapak memintamu untuk mengawasi pekerja saja."

Ambar tertawa mendengar ocehan Lintang.

"Aku hanya merasa bosan. Ingin belajar menjahit. Membaca novel juga bisa bosan sepanjang hari."

Lintang menarik napas panjang. Ia harus mengakui kalau Ambar bukan wanita yang pasif. Ia pasti merasa bosan jika terus-terusan duduk diam.

"Baiklah! It is my pleasure to serve you!"

"Kamu bicara apa aku nggak ngerti!"

Lintang terkekeh sambil memgibaskan tangannya lalu menghilang dari ruangan itu.

Nyonya Rumah.

"Kau selalu di hatiku
Terpaut di dalam sukma
Tiada kubimbang tiada kuragu
Akan setia janji
Bersemi di dalam kalbu
Penawar hati nan lara
Padamu bintang padamu bulan
Saksi yang abadi."

"Di mana Nyonya?" tanya Harjo pada salah seorang pegawai pada usaha konveksi ayahnya. Penjahit wanita yang sedang mendendangkan tembangsudah agak tua itu terkejut dan tak sengaja menjatuhkan kancing sampai jatuh berserakan.

"Aduh, maaf Tuan ..." Si ibu jongkok memunguti kancing yang berjatuhan. Harjo iba pada ibu pekerja, ia ikut berjongkok dan membantu memunguti kancing-kancing itu, bagaimana pun juga semuanya terjadi karena ia mengejutkan ibu tua ini.

"Tuan ... tidak apa-apa. Nyonya ada di dalam ruangan mandor. Tuan masuk saja ke sana," katanya sambil menunjukkan arah ruangan yang kelihatannya masih baru.

"Tidak apa-apa, Bu. Saya bantu pungut kancing dulu. Anu ... ruangan itu baru dibuat Bapak, ya? Sudah lama tak ke sini."

"Bukan, Tuan. Ruangan itu dibuat sama Tuan Koesman sebelum Nyonya menggantikan tempatnya jadi pengawas kami," jawab ibu tua.

"Saya sudah terlalu lama tidak datang berkunjung. Saya tidak tahu kalau ada ruangan baru," kilah Harjo lemah. Dalam hati berpikir entah apa lagi yang dibuat Koesman untuk membuat dirinya nyaman. Bisa saja ruangan itu dibuat ketika adiknya itu malas pulang ke rumah jadi bisa tidur di sana.

"Nyonya muntah tadi pagi, Tuan. Mungkin kecapekan kemarin beres-beres ruangan," kata si ibu setelah semua kancing berhasil dikumpulkan.

"Iya mungkin masuk angin juga, Bu. Kemarin malam tidurnya larut," balas Harjo pelan. Lalu ia mengambil kue yang dibelinya di pasar sebelum singgah ke sini untuk bertemu istrinya. Kemudian ditinggalkannya ibu tua itu.

"Duh, mereka berdua kelihatan cocok sekali," tukas si ibu pada salah satu temannya.

Harjo masuk ke ruangan yang memang masih terlihat baru. Sambil mendorong pintu, ia berpikir darimana uang yang dipakai Koesman untuk membangunnya karena anak-anak Tjong Lai hanya menerima gaji bulanan dari ayah mereka. Jumlahnya lumayan besar, tapi Koesman gemar berfoya-foya, menghabiskan uang dan waktunya untuk minum dan wanita. Kebiasaan buruknya sudah pasti akan membuatnya dalam kesulitan dan memang terbukti. Entah sudah berapa kali keluarga Oetomo dihadapkan pada situasi harus berhadapan dengan para preman atau para wanita yang diberi harapan palsu oleh Koesman. Tjong Lai pernah menyarankan agar putranya itu mengambil salah satu wanita itu sebagai istrinya supaya hidupnya lebih terkontrol, tapi Lastri langsung menolak ide suaminya. Menurutnya Koesman harus memiliki istri dari keluarga baik-baik yang bisa mengurus suami dan anak-anaknya kelak, sebab Koesman memiliki modal yang bagus.

"Modal bagus gundulmu!"

Tjong Lai tak sepaham dengan istrinya. Hardjo sendiri sepaham dengan bapaknya, hanya dia tak setuju kalau Koesman harus menikah dengan segera. Mengurus diri sendiri saja tak becus ditambah lagi mengurus keluarga. Kasihan wanita yang menjadi istrinya.

Ah ...

Harjo menggeleng lemah. Memikirkan adiknya yang satu ini membuatnya pusing. Koesman benar-benar harus berubah baru bisa bertemu dengan jodoh yang baik seperti Ambar.

Bibir lelaki itu mengukir senyuman ketika hatinya tanpa sengaja mengeja nama istrinya. Tadi pagi, istrinya yang baik hati dan ringan tangan itu membuatkan sarapan bubur ikan kesukaannya. Harjo tidak mengerti darimana istrinya tahu kalau menu tersebut adalah favoritnya.

"Ambar ..." panggilnya lembut. Pandangannya menyapu seisi ruangan ukuran empat kali empat itu. Ia mengira akan melihat ruangan yang sumpek, tapi di luar dugaan, ruangan bekas adiknya tampak nyaman dan adem. Istrinya duduk di depan mesin jahit menghadap ke jendela. Menyadari kehadiran suaminya, Ambar menoleh dan bibirnya tersenyum manis.

"Kak Harjo ... kenapa ada di sini?" tanyanya sambil menyambut kedatangan Harjo dengan riang.

"Ada perlu di pasar tadi. Aku beli kue angku kesukaanmu. Rasa kacang hijau," kata Harjo sambil menggoyang-goyangkan kantongan plastik berisi kue di depan istrinya. Ambar menerima kantongan dan langsung melihat isinya. Dia memang sedang lapar padahal tidak melewatkan sarapan. Apalagi dibawakan kue angku, Ambar tak akan menolak. Namun begitu kantongan terbuka dan harum kuenya keluar, wanita itu malah mau muntah.

"Huwek!"

Mendadak Ambar pusing, kepalanya berdenyut-denyut. Ia sendiri heran kenapa ingin muntah.

"Huwek!"

Lagi.

"Ambar ... ada apa?" tanya Harjo kuatir sambil diusapnya punggung istrinya dengan lembut.

"Bawa pergi kuenya!" pinta Ambar pelan. Ia takut suaminya tersinggung karena menolak pemberiannya, kuatir Harjo akan menganggapnya istri tidak tahu diri. Namun bau yang menguar dari kantongan plastik tersebut memang membuat indera penciumannya mengirimkan signal penolakan ke otaknya.

Harjo segera mengambil kantongan itu dari hadapan Ambar dan meletakkannya sejauh mungkin darinya.

"Ada minyak kayu putih di sini?" tanyanya pada Ambar sambil membantunya duduk di depan mesin jahit. Ambar menggeleng sambil memijat tengkuknya.

"Kau kelelahan. Dan ..."

Harjo melihat kain jahitan yang ada di atas mesin.

"Kau bilang pada ayah bahwa kau tak bisa menjahit ..."

"Aku baru belajar," balas Ambar agak malu.

"Ayah tak memintamu ikut menjahit. Kau cuma perlu duduk dan mengawasi karyawan," tukas Harjo pelan.

"Aku bosan, Kak. Jadi aku minta Bik Sumi ajarin jahit. Itu aku sudah berhasil bikin pola bajumu."

"Bajuku?"

Ambar malu-malu memandang suaminya lalu mengangguk.

"Aku juga pengen jahit baju bayi ...."

Apa?

Harjo tersentak. Bayi, kata Ambar. Kalau dia tak salah dengar.

Bayi!

Harjo menatap Ambar yang kini sedang menunduk dan menyembunyikan wajahnya. Lalu ia jongkok di hadapan istrinya sambil menggenggam kedua tangannya.

"Ambar ... coba ulangi apa yang kau katakan tadi. Aku takut salah dengar, Dik."

Ambar masih menunduk tapi Harjo tahu kalau wanita itu sedang tersenyum malu-malu. Ia menyukai senyum milik istrinya terutama kalau sedang menunduk begitu.

"Iya, Kak. Kita akan segera punya bayi," ujarnya pelan.

"Bayi ..." Eja Harjo pelan. Bibirnya tersenyum semringah. Direngkuhnya bahu istrinya dan dipeluknya dengan perasaan sayang.

"Bayi ... kita akan punya bayi."

Ambar mengangguk dalam pelukannya. "Iya, bayi."

"Apa aku ketinggalan berita?"

Harjo mendongakkan kepalanya. Di depan pintu ruangan, Lintang dengan gaya acuhnya bersandar sambil melipat tangannya di depan dada.

"Sejak kapan kau berdiri di sana?"

Lintang mengangkat kedua bahunya dan menurunkan letak kacamata gelapnya sampai ke hidung.

"Sudah lama juga. Apa kau mau bawa Kakak Ipar ke rumah sakit?" tanyanya.

"Kenapa harus dibawa ke rumah sakit?" Harjo balas bertanya. Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ini zaman apa, Harjo Oetomo? Wanita yang sedang hamil memang harus memeriksakan kehamilannya ke rumah sakit. Kau kira ini zaman ibu waktu hamil kita?"

Harjo mendelik pada Lintang. Gaya dan nada bicaranya memang tak sopan. Adik lelakinya yang anak kulihan adalah satu-satunya saudaranya yang tak pernah memanggilnya dengan sebutan yang layak. "Dia ngomong apa?" tanyanya kepada Ambar dengan bingung.

Ambar memasang wajah sama bingungnya lalu menggeleng lemah. Keduanya lalu sama-sama memandangi Lintang dan minta penjelasan. Sementara pria bermata segaris itu mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Begini ... Kakak dan Kakak Iparku tercantik. Zaman sekarang ini, tak harus sakit baru periksa ke klinik. Tau kan klinik kandungan?"

"Nggak!" jawab Harjo ketus. Adiknya suka sok pintar, hanya karena dia yang meneruskan sekolah sampai perguruan tinggi. Memang harus diakui, di antara anak-anak keluarga Oetomo, Lintang yang paling cerdas. Goh Tjong Lai juga mengakui. Ia bahkan pernah bilang andai Lintang tak usah sekolah tinggi dan mau terjun dalam usaha keluarga, ia pasti lebih berhasil dibanding ayahnya sendiri. Umur balita, anak itu sudah duduk diam memperhatikan ayahnya berdagang. Usia tujuh tahun, dirinya sudah bisa menghitung uang. Lintang memang berbeda dibanding saudara-saudaranya. Andai saja kepintarannya bisa dibagi kepada Koesman sedikit saja.

"Dik Ambar ngerti, Lintang bilang apa?" tanya Harjo.

"Anu ... Kak Harjo ... mungkin maksud Lintang itu klinik untuk memeriksakan ibu hamil ..."

Lintang menjentikkan jarinya.

"Tepat!"

Ia tersenyum senang karena pada akhirnya ada yang mengerti apa yang sedang dibicarakannya.

"Aku punya kenalan dokter kandungan. Nanti aku kenalkan."

"Iya, Lintang! Nanti. Sekarang keluar sana! Aku mau bicara sama kakak iparmu," usir Harjo halus. Namun ekspresi wajah Lintang menunjukkan kalau ia tak mau pergi. Bahkan ia menarik sebuah kursi kayu dan duduk dengan santainya.

"Bicara saja, aku pura-pura nggak dengar."

"Pergi sana! Kuliah!"

"Nggak ada kuliah hari ini jadi aku datang membantu Kakak Ipar."

"Ah, pergi saja sana. Pergi demo mahasiswa. Kau kan hobi berdemo!"

"Nggak! Aku sekarang punya hobi lain," balas Lintang sambil tersenyum.

Harjo tidak tertarik untuk mengorek keterangan dengan hobi Lintang yang baru. Ia lebih tertarik untuk mengusir anak itu dari ruangan tersebut.

Nyonya Rumah.

Hari ini, tahun 1997.

"Sedang apa, Bu?" tanyaku ketika melihat Ibu sedang melamun sambil memandangi album foto. Sudah pasti bukan foto Bapak. Kami tak punya fotonya di rumah ini.

"Pamanmu waktu muda. Lihat! Ganteng abangmu," tukas Ibu sambil menunjuk foto masa muda Paman Lintang. Aku memandangi pria muda yang sedang tersenyum dalam album foto yang ada di pangkuan ibu. Harus kuakui kalau Paman memang gagah pada masa mudanya. Aku yakin kalau banyak gadis yang jatuh cinta padanya. Entah mengapa sampai kini, Paman tidak menikah.

"Bu ... boleh Bima tanya sesuatu?"

Ibu menatapku dan tersenyum.

"Kau ingin tahu mengapa Pamanmu tidak menikah?"

Aku menjawab dengan senyuman. Ibu sudah bisa menebak isi hatiku bahkan sebelum aku bicara.

"Pamanmu Lintang hampir menikah, Bima. Waktu itu. Setelah Ibu melahirkan kakakmu."

"Bima tidak tahu hal itu, Bu. Lalu kenapa batal?"

Ibu tidak menjawab. Ia menutup album foto itu dan berdiri.

"Ibu lelah. Lain kali kita bicara lagi."

Lalu Ibu meninggalkan aku yang terus memikirkan alasan Paman Lintang tidak menikah sampai saat ini. Mungkinkah Paman Lintang ...

Aku menggeleng. Aku harus bertanya pada Kakakku. Mungkin mereka tahu.

Nyonya Rumah.

🌷Maafkan Cici yang kelamaan update. Bukan lupa, bukan writer block. Lagi migrain efek hormon. Padahal banyak ide bikim cerita baru tapi harus kutunda karena takut yang lama terbengkalai. Tetal baca dan komen, ya. Terutama soal Lintang Oetomo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top