Babak I : 3. Anak-anak Keluarga Oetomo.

*klik multimedianya sambil membaca.

Tak ada yang menyangkal putri sulung Pak Roesdi adalah anak yang cerdas, bahkan beberapa kenalan bapak guru itu menyayangkan kalau Ambar terlahir sebagai wanita bukannya sebagai pria. Dia mewarisi otak bapaknya. Konon, Pak Roesdi sendiri bisa berbahasa Mandarin sebelum terjadi pergolakan politik di tahun 1965 sampai 1966 yang mengakibatkan tulisan Mandarin dilarang penggunaannya.

Ambar bisa bahasa Mandarin, dia banyak membaca dari buku-buku milik bapak yang sekarang harus dibakar agar tidak dicurigai oleh penguasa. Suaminya tahu akan hobinya membaca buku, ia sering memanjakan istrinya dengan buku-buku baru bila ia berkesempatan menemani ayahnya ke kota sebelah. Kota tempat tinggal mereka adalah kota kecil, tidak ada toko buku yang buka di sana. Kadang-kadang Harjo mengajak istrinya ikut serta karena menurut pengakuan Ambar di hari pertama mereka menikah, ia belum pernah naik mobil. Pria dengan rahang kokoh itu tak habis pikir bagaimana hidup seorang manusia modern bila tak pernah naik mobil. Namun meski istrinya kampungan, Harjo tetap mengaguminya. Ambar rajin, bahkan ayah mertuanya mempercayakan usaha konveksi ke tangannya. Tugas Ambar hanya mengawasi para pekerja.

"Aku tak bisa menjahit, Pak," aku Ambar.

Goh Tjong Lai yang sedang duduk di kursi kerjanya sambil merokok tetap sibuk melihat angka-angka di buku catatannya. Tanpa melirik Ambar, ia berkata, "Tidak perlu orang yang mahir menjahit untuk punya usaha konveksi, Anakku. Bapak juga tak bisa menjahit."

Harjo berdiri di samping Ambar dan menyikut lengannya.

"Bilang terima kasih pada Bapak," bisiknya. Ambar adalah wanita yang penurut jadi ia mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.

"Jangan sampai karena diberi kepercayaan oleh Bapak, kau melupakan tugasmu mengurus suami dan keluarga," sahut ibu mertua Ambar. Lastri tiba-tiba saja masuk ke ruang kerja itu.

"Mana mungkin, Ambar lupa tugasnya, Bu. Ambar istri yang berbakti dan rajin. Keluarga kita beruntung bermantukan Ambar," balas Harjo dengan nada bangga. Lastri kelihatan mencibir sekilas.

"Bagus! Sekarang, sudah jam berapa? Masih belum ada yang menyiapkan makan malam. Sebentar lagi adek-adekmu mau makan. Mereka mau makan apa?"

Belum sempat Harjo menjawab, Ambar yang nurut langsung menjawab, "Baik, Bu. Ambar ke dapur dulu. Siapin makan malam."

Ambar pun pergi keluar sebelum Lastri mengiyakan.

"Ibu ... mengapa menyusahkan Ambar padahal kita punya pembantu?"

Suara Harjo terdengar sampai ke luar ruangan.

"Apa Bapak serius menyerahkan usaha konveksi pada Ambar?" tanya Lastri tanpa menjawab sindiran putra sulungnya. Goh Tjong Lai menjawab dengan suara gumaman. Tetap saja sibuk menghitung pemasukannya.

"Kalau konveksi diambil alih oleh Ambar, Koesman bagaimana, Pak?"

"Anak itu tak bisa diharap. Hanya ingin main cewek saja. Usaha penjahit bisa gulung tikar kalau dia terus-terusan memacari para janda kembang di kota ini."

"Bapak!" tegur Lastri. Tjong Lai mendehem.

"Sampai kapan kita terus menutupi tabiat jeleknya. Kau mau menunggu salah satu janda pacarnya hamil lalu menuntutnya tanggung jawab?"

"Bapak!"

"Entah mencontoh siapa anak itu? Keluarga kita tak ada yang sepertinya!"

"Bagaimana pun juga dia anakmu, Pak."

Tjong Lai menarik napas panjang. Pada akhirnya, diletakkannya buku dan alat hitungnya. Tak ada gunanya tetap menghitung untung atau rugi ketika istrinya sedang memancing keributan dengannya.

"Kau sudah tau, kau sadar kalau anakmu yang satu itu nantinya akan bikin masalah. Aku berusaha menyelamatkan usaha kita sebelum akhirnya kita dibuat bangkrut olehnya."

"Pak!!!"

"Bu, Harjo rasa Bapak ada benarnya. Ibu ingat sudah berapa kali para lintah darat mencari kita karena masalah Koesman. Koesman memang harus berubah, kalau tidak ..."

"Harjo! Sejak kapan kau berubah menjadi penentang ibumu sendiri!" potong Lastri sambil mendelik pada Harjo.

"Bu ..."

"Harjo benar. Kalau Koesman begini terus, lebih baik dia aku kirim ke Jawa. Biar dia merasakan bagaimana tak enaknya hidup di rantau."

"Bapak! Teganya kau pada anak kandungmu sendiri. Apa Koesman bukan darah dagingmu, Pak? Dan kau ... Harjo ... apa yang membuatmu menentangku sebagai ibumu? Karena kau sudah beristri lalu kau menganggap ibumu ini bukan nyonya rumah ini lagi? Tak kusangka, menikah membuatmu durhaka."

"Ibu ... Harjo tak bermaksud menentang Ibu."

"Istri macam apa yang membuat suaminya menjadi anak durhaka. Katakan Harjo ..."

"Sudah, Bu. Suaramu kedengaran sampai ke luar. Nanti semua orang bergunjing. Mereka akan menduga apa yang terjadi dengan keluarga kita, Ambar baru saja menjadi menantu kita. Ingat, Bu. Ibu yang meminta agar pernikahan harus segera dilakukan. Ibu yang merengek agar kita memberikan mas kawin yang besar supaya keluarga Ambar tak bisa menolak pinangan kita. Sekarang ... Ibu kok menyalahkan dia karena masalah Koesman. Aku yang ingin dia jadi pengawas di sana. Kenapa Ibu jadi menyalahkan Ambar? Harjo juga tidak salah. Siapa yang tahan dengan ancaman dari para preman itu? Ibu saja tak mau bertemu dengan mereka saat mereka datang mencari Koesman!"

Jarang sekali Harjo melihat ayahnya bisa hilang kesabaran. Namun hari ini, dia melihat Tjong Lai emosi dan kemarahan ayahnya akibat dari kebengalan anaknya yang ketiga.

"Pak ..."

Suara Ambar pelan terdengar di ambang pintu, wanita itu tak berani melangkah masuk, sebab menyadari suasana tegang di antara ketiga orang yang berada di dalamnya. Lastri terlihat kesal dan bersiap untuk meledak lagi. Berbeda dengan Goh Tjong Lai yang malah menatap menantunya dengan tatapan sayang.

"Ada apa, Ambar?" tanyanya sebelum Lastri memarahi semua orang di sana. Ambar tampak ragu-ragu dan menelan ludah. Beberapa langkah sebelum ia sampai di pintu, sempat terdengar olehnya, namanya disebut dalam pertengkaran. Di mana Harjo berusaha membela Tjong Lai.

"Itu ... makan malamnya sudah siap ..."

"Ah iya. Aku sudah lapar sekali. Ayo, Pak ...."

Harjo agak ragu melirik pada Lastri karena kuatir ibunya akan meneriaki dirinya.

"... Bu ... yuk makan. Dipanggil Ambar."

Lastri berdehem. Ia sadar, jika pertengkaran dilanjutkan di depan menantunya, dirinya sendiri yang akan malu. Bagaimana pun juga, nyonya rumah keluarga ini adalah Lastri, bukan Ambar. Dia harus menjaga kepalanya agar tetap tegak di depan semua orang.

Lalu dengan punggung lurus, Lastri berbalik dan berkata, "Ayo, kita makan."

Wanita itu dengan angkuh berjalan dari ruang kerja menuju ruang keluarga. Ketika Lastri sudah beberapa di luar, Harjo buru-buru mendekati istrinya dan menyentuh lengannya.

"Yuk ..."

Sebagai menantu yang baik, Ambar memanggil Tjong Lai. "Pa, ayo kita makan."

"Sebentar. Bapak selesaikan hitungan ini. Sebentar menyusul."

Ambar mengangguk, lalu sambil bergandengan tangan dengan Harjo, keduanya menuju ke ruang makan. Lastri sudah duduk di sana bersama adik-adik Harjo. Meja makan keluarga Oetomo adalah meja panjang yang khusus dipesan kepada pengrajin kenalan Tjong Lai. Meja biasa tak akan bisa menampung anak-anak Harjo yang berjumlah 12 orang, walaupun jarang semua anaknya bisa berkumpul dalam satu meja makan.

Malam itu saja, Koesman tak kelihatan batang hidungnya. Lastri melirik tempat duduk anak ketiganya yang kosong.

"Ke mana Koesman?" tanyanya pada Lintang.

Lintang yang biasanya duduk di sebelah Ambar adalah anak ketujuh. Dialah anak keluarga Oetomo yang melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Sebagai mahasiswa, ia juga terlibat aktif dalam organisasi. Keluarga Oetomo kuatir dengan sepak terjangnya. Bahkan Nonik, anak kelima pernah bilang kalau pada satu masa nanti, Lintang akan menjerumuskan keluarga ke penjara karena kegemarannya berdemo.

"Kau tidak lihat Abangmu Koesman?" ulang Lastri. Lintang angkat bahu, pandangannya tertuju pada sambal teri merah yang terhidang di meja. Ia sudah menelan ludah berkali-kali tapi ibunya masih tetap bertanya soal Koesman.

"Bu, kami tak tahu di mana Koesman. Paling juga nanti pulang sendiri kalau sudah bosan sama janda."

"Kurang ajar, kau!"

Lintang, lelaki muda tampan yang usianya terpaut delapan tahun dengan Harjo, cengengesan. Dia merasa beruntung karena tidak duduk dekat ibunya. Bisa-bisa dijewer telinganya kalau dirinya dalam jangkauan Lastri.

"Jadi kapan kita makan?" tanya Hadi, putra bungsu keluarga. Usianya 12 tahun, seumur dengan adiknya Ambar yang ketiga.

Anak ini duduk di samping Lastri dan ibunya memperlakukan dia dengan kasih sayang dengan mengelus kepalanya.

"Sebentar ya, Di. Kita tunggu Bapak. Nah, itu Bapakmu."

Tjong Lai duduk di kursi paling ujung, di sebelah kanannya ada Harjo. Lelaki itu begitu bapaknya duduk, ia berdiri dan mengambilkan nasi untuk orang tuanya, tapi dicegah oleh ibunya.

"Apa-apaan Harjo, biar Ambar yang melakukannya."

Harjo diam lalu berpikir memang benar juga ibunya kalau seharusnya Ambar yang mengambil nasi untuk kedua orang tuanya. Namun sebelum memberi kode pada istrinya, wanita itu sudah berdiri dan mengambil alih sendok nasi dari tangan suaminya. Ambar menyendokkan nasi ke dalam piring Tjong Lai sesuai dengan porsi yang diingatnya. Tidak terlalu banyak.

"Nasinya terlalu sedikit, Ambar," tukas Lastri. Ambar menambahkan sedikit lagi nasi ke piring ayah mertuanya. Lalu ke piring Lastri.

"Ibu tidak makan sebanyak ini. Ini bukan porsi Ibu."

"Maaf, Bu," ucap Ambar. Kemudian mengambil kembali sebagian nasi yang sudah ada di piring Lastri.

"Eh, mau taruh di mana itu? Nggak boleh, nasi yang sudah diambil ditaruh kembali. Taruh di piringmu sendiri," omel Lastri. Ambar menurut. Ditaruhnya sisa nasi ke dalam piring sendiri, padahal suaminya sudah memberikan piring nasinya tapi urung karena lirikan tajam mata ibunya.

Ambar lalu membantu Hadi, karena dia yang paling bungsu, tapi ketika piring Hadi sudah diletakkan di tempatnya dan ia pun berniat duduk, Lastri bersuara lagi.

"Lho, kuahnya kok, kurang asin, ya. Hambar rasanya."

"Masa sih, Bu?"

Lastri mengangguk pada Citra.  Anak kedelapan itu menyicipi kuah sop baso ayamnya.

"Iya, agak hambar. Biar aku ambilkan kecap asin."

"Duduk, Citra. Biar Ambar yang ambil. Dia yang masak dan dia yang tahu porsi kecap asin yang pas. Nah, Ambar ... ambil kecap asinnya."

Ambar menurut. Dia bangkit dan bilang, "Baik, Bu."

Ia pun pergi ke dapur dan kembali dengan kecap di dalam piring kecil. Lastri menambahkan kecap ke dalam kuah lalu mengecapnya.

"Nah, ini lumayan. Tapi ada yang kurang. Apa ya, Non?" tanya Lastri pada putrinya yang paling tua. Noni.

Sang putri bingung. Biasanya yang paling suka masak-memasak itu Puspa, adiknya.

"Kurang bawang goreng, Bu," jawab Puspa. Dia baru saja ingin berdiri, lalu urung ketika Lastri bilang, "Ambar ..."

Lagi-lagi menantu penurut itu pergi bahkan sebelum mulai menyendok. Lalu, baru saja duduk, tiba-tiba Lastri bilang ingin air putih hangat.

"Bu ..."

Ambar menyentuh lengan Harjo ketika dilihatnya ingin menyatakan keberatannya pada Lastri.

"Tidak apa-apa, Kak Harjo. Aku ambilkan air hangat buat Ibu. Ibu sering mengeluh kakinya kedinginan kalau malam. Jadi minum air hangat bisa mengurangi rasa dingin."

"Ya, maksud Ibu begitu. Keluarga kita sangat beruntung mendapatkan menantu yang pengertian, ya kan, Pak?"

Ambar bergegas pergi ke dapur dan mengambil air hangat. Tetapi bahkan setelah air hangat, istri Harjo itu tetap tak bisa duduk. Ada saja yang perlu diambil. Ibu mertuanya minta banyak. Mengeluh kakinya sakit dan tak bisa bergerak, sumpitnya jatuh dan minta sumpit baru. Ambar jadi urung makan. Begitu bisa duduk, semua anggota keluarga sudah selesai makan dan meninggalkan meja. Lalu pembantu membereskan piring kotor.

"Maaf, Nyonya ... piringnya kami angkat?"

"Apa kau tidak lihat istriku belum makan?" teriak Harjo. Ambar menepuk tangan suaminya agar tak marah pada pembantu yang tidak mengerti kalau dia belum makan.

"Tidak apa-apa, Kak Harjo. Ambar makan di dapur saja sama mereka," ujar Ambar berusaha menenangkan pria berahang kokoh itu.

"Maafkan Ibu, Ambar," desah Harjo pelan. Ambar mengangguk.

"Tidak apa-apa, Kak. Ibu tidak salah."

Malam itu, untuk pertama kalinya Ambar makan di dapur bersama para pembantu. Awalnya para pekerja rumah tangga itu agak canggung karena tidak tahu alasan menantu keluarga bisa duduk di dapur bersama mereka. Namun lama kelamaan karena sikap hangat Ambar, mereka bisa ngobrol akrab, bahkan dari pembicaraan itu, istri Harjo berhasil mengorek makanan kesukaan suaminya.

"Nyonya ..."

Seorang pembantu yang berusia paling muda memanggil Ambar sambil tergopoh-gopoh.

"Ada apa? Nyonya masih makan," tanya pembantu lainnya.

"Anu ... dipanggil Nyonya Besar di kamar. Nyonya disuruh mijitin kakinya," jawab pembantu kecil.

"Bukannya kamu yang dapat tugas pijitin Nyonya Besar?"

Dia menggeleng dan menjawab, "Nyonya Besar nggak mau saya pijat. Katanya harus Nyonya."

Ambar makan dengan segera. Nasinya yang tinggal dua suap, ia jejalkan saja di mulutnya lalu menegak air putihnya dengan cepat.

"Cepat, Nyah ... Nyonya Besar tampak kesal ..."

Ambar berlari kecil menuju kamar mertuanya. Satu-satunya kamar tidur yang letaknya di lantai satu. Sedangkan kamar Harjo dan anak-anak lainnya ada di lantai dua rumah ini.

Ambar tiba di ambang pintu kamar mertuanya. Ia menarik napas dulu sebelum mengetuk pintu.

"Bu, ini Ambar," panggil Ambar sambil mengetuk pintu dengan pelan.

"Masuk! Mengapa kau lama sekali? Kakiku kedinginan. Ambil minyak kayu putih itu!"

"Iya, Bu."

Ambar melihat sebotol minyak kayu putih di meja rias, lalu mengambilnya dan memberikannya pada mertuanya. Lastri menyodorkan kakinya dan menantunya itu baru sadar kalau ibu mertuanya minta dipijat.

"Ah iya. Sebentar, Bu."

Ambar mengelap kedua tangan ke bajunya sendiri sebelum membuka tutup botol minyak dan menuangnya ke telapak tangannya.

"Aduh! Kau pijat apa, Ambar?" pekik Lastri sambil menendang tangan menantunya dengan kasar.

"Maaf, Bu. Sakit, ya Bu? Ambar tak sengaja, Bu. Sakit di mana, Bu?" tanya Ambar panik.

"Sudah! Tak usah bikin keributan supaya Harjo ke sini. Nih, pijat yang lebih pelan!"

"Ya, Bu."

"Memangnya ibumu tak pernah menyuruhmu memijat kakinya? Sampai pijat pun tak becus."

"Ada, Bu."

Dua jam kemudian, Ambar kembali ke kamarnya dan mendapati Harjo sudah tertidur pulas. Ditatapnya pria yang baru saja menjadi suaminya sebulan ini. Suara dengkurannya terdengar nyaman di telinga Ambar.

Tidak apa-apa, Kak Harjo. Ini adalah kewajibanku sebagai menantu. Asal kau bersamaku. Aku pasti bisa.

Ambar kemudian berbaring di samping Harjo dan tertidur dengan kepala bersandar di bahu suaminya.

*Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top