Babak I : 2. Perjodohan.
Awal tahun 1969.
Ambar malu-malu lalu menunduk tanpa berani menatap pria tampan dengan tatapan mata teduh yang duduk di hadapannya. Haryo Oetomo, putra sulung keluarga terpandang di kota kecil itu, yang berusia genap 27 tahun ini, datang bersama kedua orang tuanya untuk melamar wanita yang ditemuinya secara tak sengaja di pasar beberapa waktu lalu. Haryo yang sehari-hari bekerja membantu usaha orang tuanya pada hari itu sedang naik sepeda untuk membeli kue apem pesanan bapaknya. Di sanalah dia bertemu dengan Ambar, anak seorang guru sekolah dasar, yang kebetulan pagi itu sedang menitipkan kue buatan ibunya untuk dijual di toko Cik Lili.
Harjo tak bisa melupakan senyuman manis yang menggetarkan hatinya seketika. Dia hanya bertanya kepada Cik Lili nama pemilik senyum malu-malu itu.
Ambarita namanya. Rumahnya ada di gang kecil di belakang pasar. Anak Pak Roesdi.
Cik Lili tersenyum penuh arti ketika memberitahu Haryo, sebab wanita itu mengerti kalau cinta sudah mulai tumbuh di hati pria yang paling diminati di kota kecil itu.
Sebagai putra sulung keluarga kaya, wajar kalau Haryo selalu menjadi incaran kaum ibu yang memiliki putri di usia duapuluhan. Di kota kecil ini, siapa yang tak kenal dengan keluarga Oetomo. Goh Tjong Lai, ayah Harjo adalah pemilik tanah sekaligus menjalankan usaha menjahit yang memperkerjakan puluhan karyawan. Anak-anak keluarga Oetomo ada 12 orang, tujuh putra dan lima putri. Semuanya memiliki wajah yang rupawan karena konon menurut kabar Goh Tjong Lai berasal dari keluarga bangsawan Dinasti Qing di China yang kemudian melarikan diri ke Indonesia. Berbeda dengan Goh, istrinya yang bernama Sam Lie adalah perempuan keturunan China yang dilahirkan di Indonesia. Keluarganya lebih dulu tiba di Indonesia sebelum terjadi perang saudara di sana, tapi menurut kabar, mereka juga berasal dari keluarga bangsawan. Sam Lie lalu mengubah namanya menjadi Lastri pada tahun 1966, setelah terjadi pergolakan politik yang menimbulkan sentimen terhadap keturunan Cina.
"Jadi kami sudah lihat hari baik. Kita resmikan saja, ya Pak, Bu. Anak kami Harjo juga tak sabar lagi ingin membawa putri Bapak. Tanggal 28 bulan ini," tukas Lastri, ibu kandungnya Harjo. Wanita cantik, nyonya rumah bercat putih yang paling mewah di kota kecil itu.
Dikatakan kalau dirinya sudah tak sabar, Harjo mencuri pandang ke arah Ambar. Ini merupakan pertemuan ketiga antara kedua insan yang akan segera menikah ini. Pertemuan pertama mereka di pasar dan pertemuan kedua terjadi di depan gedung bioskop. Satu-satunya tempat hiburan di kota itu membuat bioskop itu kerap dikunjungi orang muda pada malam Minggu. Ambar dan beberapa temannya yang ingin menonton film tak sengaja bertemu dengan Harjo yang sedang membeli tiket bersama Poerwo, pekerja sekaligus temannya. Baik Harjo maupun Ambar sama sekali tak berani saling sapa, tapi Poerwo langsung menyapa salah satu teman Ambar yang juga masih saudara jauhnya. Jadilah mereka duduk bersama di dalam bioskop. Namun bahkan ketika mereka duduk berdampingan, Harjo dan Ambar sama sekali tak berbicara.
Pertemuannya dengan Ambar untuk kedua kalinya membuat Harjo banyak melamun. Hal itu tak lepas dari pantauan Lastri. Wanita pintar, nyonya Goh itu tak langsung menanyai putranya, tapi memanggil Poerwo, kacungnya Harjo. Dari mulutnya, keluar sebuah nama.
Ambarita.
Lastri agak asing dengan nama Ambar. Dia tidak bisa baca tulis dalam bahasa Indonesia. Dirinya tak bisa menghapal nama yang bukan berasal dari bahasa Mandarin. Namun ketika Poerwo menyebut Ambar adalah putri sulung dari guru sekolah Pak Roesdi, Lastri langsung tahu. Lalu ia mulai menanyakan perihal gadis yang disukai anaknya pada orang yang dikenalnya, seperti Cik Lili.
Ambar anak yang baik. Dia pintar seperti ayahnya. Sungguh sayang sekali, andai dia laki-laki, Pak Roesdi pasti terangkat derajatnya.
Lastri kemudian bicara pada suaminya. Ia meyakinkan Tjong Lai kalau Ambar bisa menjadi menantu yang baik bagi keluarga Oetomo. Dia juga menambahkan kalau tahun lahir Lastri cocok dengan tahun lahir putra mereka. Pernikahan antara keduanya akan memberikan keuntungan bagi keluarga. Tjong Lai pun bisa diyakinkan. Ketika hal lamaran diceritakan kepada Harjo, pria itu merasa sangat berbahagia karena orang tuanya memberi restu. Lastri kemudian tahu kalau banyak orang tua mengincar Ambar untuk dijadikan menantu karena kecantikan dan kepintaran gadis muda itu, oleh karenanya Lastri menyiapkan mas kawin yang besar yang rasanya tak akan mungkin bisa diberikan oleh keluarga lainnya kepada Roesdi. Meskipun di tahun itu, perekonomian tak menentu tapi usaha Tjong Lai hanya sedikit terkena imbasnya.
"Bukan maksud kami menolak lamaran ini. Tetapi ... kami sebagai orang tua Ambar ingin bertanya dulu pada putri kami, apakah dia benar-benar ingin menerima putra Ibu sebagai suaminya."
Roesdi seorang bapak yang bijaksana menoleh pada putri sulungnya, sementara sang istri mendelik ke arahnya. Dalam tatapannya tersirat kalau lamaran untuk putrinya ditolak, maka tak akan ada lagi mas kawin yang bisa menyamai yang diberikan oleh keluarga Oetomo.
"Nak ... jawablah. Apapun keputusanmu, Bapak dan Ibu akan mendukungmu," ucap Pak Roesdi pelan. Istrinya berdehem dan dehemannya membuat Lastri menyembunyikan senyum sinisnya.
Ambar menunduk, tak berani menatap bapaknya. Usianya masih tergolong muda. Dia baru 18 tahun, masih ingin main sama adik-adiknya, masih ingin bantu ibu bikin kue dan jadi guru seperti bapak, meskipun dia selalu ditertawakan teman-temannya karena punya keinginan jadi guru karena dirinya seorang perempuan. Namun setelah bertemu dengan putra sulung keluarga Oetomo, dia seakan lupa kalau pernah punya cita-cita mulia mendidik anak-anak. Keinginannya hanya satu, ingin bersanding bersama pria bermata teduh itu dan memiliki banyak anak dengannya.
"Ambar ... jangan diam, Nak. Kami semua menunggu jawabanmu," tukas Bapak lagi. Gadis muda itu masih diam karena bingung antara keinginannya yang masih ingin bebas di rumah atau menikah dengan pria pujaan hatinya.
Aku masih muda, pikirnya.
"Maaf, Bu Lastri. Boleh saya minta waktu untuk bicara sama Ambar dulu berdua?" tanya istri Pak Roesdi pelan. Dia tak sabar melihat putrinya yang plin plan, padahal tentang lamaran dari keluarga Oetomo ini sudah menjadi perbincangan selama seminggu di kota mereka. Ambar sudah diberi waktu selama waktu itu untuk berpikir.
"Silakan, Bu," jawab Lastri yang meskipun menjawab dengan sambil tersenyum tapi tetap menunjukkan ketidaksabaran. Ia heran mengapa gadis muda keluarga Pak Roesdi itu belum bisa mengambil keputusan setelah melihat mas kawin yang diantarkan untuk meminangnya. Apalagi putranya Harjo adalah pria yang paling tampan sekota itu, meskipun bukan lulusan universitas ternama, tapi putranya cukup terdidik. Dia akan mewarisi usaha keluarga dan sudah pasti yang menjadi istrinya akan menjadi nyonya rumah menggantikan dirinya, tapi itu nanti. Masih jauh.
Istri Pak Roesdi menarik tangan Ambar dengan buru-buru menuju belakang. Rumah itu tergolong rumah yang sederhana. Tak seperti rumah keluarga Oetomo yang berdiri gagah dengan dua lantai berukuran luas, rumah ini hanya terdiri dari teras, ruang tamu yang merangkap ruang makan, tiga kamar tidur, dan dapur, di mana Ambar dan ibunya sekarang bicara saat ini.
"Nak, bilang iya, Nak. Hidupmu akan enak jadi mantu Tjong Lai," bisik ibunya Ambar, berusaha agar para tamunya tak mendengar kalau ia sedang mendesak putrinya untuk segera menerima lamaran dari Harjo.
"Maksud Ambar, Bu ... Ambar belum ingin nikah dulu. Mau bantu Ibu jualan kue biar adek-adek bisa sekolah sampai lulus. Ambar baru 17 tahun, Bu," tukas Ambar. Juga menjaga suaranya agar tertahan.
"Ambar dengar, tidak akan ada lamaran lain yang lebih baik dari lamaran keluarga Oetomo. Kau tahu siapa Goh Tjong Lai. Sekota ini, siapa yang tidak kenal Tuan Goh? Kau akan jadi mantu keluarga Oetomo. Tanpa kau bantu Ibu jualan kue, dengan menjadi mantu Tuan Goh, kau bisa membantu adek-adekmu, Bar ... percayalah ..."
Ambar menatap ibunya. Dia terdiam mendengar keyakinan dalam kalimat yang dilontarkan oleh wanita yang telah melahirkannya. Dia mulai bertanya dalam hati, sekaya itulah keluarga Oetomo. Setahun berlalu ketika pergolakan politik dan ekonomi, semua lapisan rakyat ikut merasakan, seharusnya keluarga Oetomo juga.
"Waktu usiamu delapan atau sembilan tahun, Ibu ingat kalau kau pernah bilang penasaran ingin masuk melihat isi rumah orang kaya. Ini saatnya, Ambar. Kau bukan hanya melihat isinya, tapi kau bisa menjadi pemiliknya," ujar ibu Ambar.
Ambar menggigit bibirnya sendiri. Ragu mulai mendera.
Bukankah aku bisa mengajukan agar pernikahan ditunda sampai dua tahun lagi?
Namun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Harjo sudah berusia 27 dan adik-adiknya banyak, sudah menunggu agar kakak tertua mereka segera menikah lalu mereka pun akan menyusul. Seandainya hari ini, Ambar mengajukan usul agar pernikahan ditunda, dengan latar belakang keluarga terpandang serta wajah tampannya, Harjo tak akan kesulitan untuk menemukan calon istri yang baru. Seharusnya lamaran ini adalah hal yang baik, Ambar akan menikah dengan pria yang disukainya dan memiliki keluarga yang terhormat. Dia tidak layak untuk tawar-menawar.
"Terima, Bar. Hidupmu akan bahagia. Lupakan impianmu untuk menjadi guru. Kau bisa mendidik anak-anak yang akan kau lahirkan bersama Harjo. Seumur hidupmu, kau tak perlu susah payah bantu Ibu bikin kue lagi."
"Ibu ..." Ambar menatap ibunya lekat-lekat, ingin mencari keyakinan di wajah wanita itu bahwa benar dia akan bahagia jika menikah dengan Harjo. Dia memang menyukai pria itu. Sejak pertemuan mereka di pasar. Tetapi kalaupun menerima lamaran, itu bukanlah karena materi yang ditawarkan keluarga Oetomo.
"Bu, boleh Ami makan kue yang dibawa tamu itu, Bu? Kok sepertinya enak," tanya Ami, adik Ambar yang paling bungsu. Ambar memandangi Ami yang sedang menatap ibu mereka dengan wajah polosnya. Seumur hidupnya, Ami belum pernah makan kue berbentuk keong yang berisi krim. Ambar juga. Kue-kue yang biasa mereka makan adalah kue tradisional buatan ibu.
*Nyonya Rumah*
28 Januari 1967.
Dalam situasi yang belum begitu kondusif, Harjo dan Ambar menikah. Ambar Roesdi resmi menjadi menantu keluarga Oetomo. Gadis muda itu mengenakan gaun pengantin berwarna putih ketika ia dibawa masuk suaminya ke rumah Oetomo disaksikan oleh para tamu yang hadir. Pernikahan itu merupakan suatu kejadian yang dinanti-nantikan oleh masyarakat di sekitar karena inilah pertama kalinya keluarga Oetomo punya mantu. Seorang gadis cantik dari kalangan biasa. Banyak yang memuji kebesaran hati Lastri yang mau menerima gadis dari keluarga yang tak sebanding dengan putranya, tapi ada juga yang mengatakan kalau nasi sudah menjadi bubur. Ambar telah hamil sebelum menikah.
"Ya, aku bersamanya sewaktu dia bertemu dengan Harjo pertama kali. Harjo tak kelihatan mau menikahinya, kok. Malah ... waktu itu Harjo lebih tertarik sama aku."
"Pak Roesdi ini memang sengaja mencari suami kaya untuk anaknya. Aku pernah mau melamar anaknya tapi dia tolak."
"Kau lamar untuk dijadikan gundikmu yang ke berapa?"
"Sehabis Harjo, adiknya akan menyusul. Siapa calon selanjutnya?"
"Sstt ... diam. Pengantinnya tiba."
Pintu mobil berhiaskan bunga anggrek dibuka oleh seorang anak lelaki yang masih kerabat keluarga mempelai pria. Harjo muncul dari dalam. Wajahnya terlihat tegang karena pernikahan merupakan hal yang asing baginya dan di luar pagar berdiri orang-orang yang penasaran dengan pernikahannya.
"Pengantin tiba," teriak Mak Comblang. Panggilan Mak Comblang hanyalah kamuflase karena pekerjaan ini sekarang lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki.
Harjo mengulurkan tangannya agar dapat membantu Ambar yang kesulitan keluar dari mobil karena gaun panjangnya. Pria itu tersenyum ketika Ambar menerima bantuan darinya. Ketika berhasil keluar dari mobil, gadis muda yang sekarang menjadi istri Harjo memandangi rumah bercat putih yang berdiri megah. Tidak sembarangan orang bisa menjadi tamu di keluarga Oetomo, hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke rumah mewah itu. Orang-orang yang sudah pernah masuk ke dalam menceritakan keindahannya tapi tak satu pun cerita mereka bisa membuat Ambar merasakan suasana rumahnya.
Ambar menarik nafas panjang. Ada rasa bangga dan puas karena nanti, rumah yang ada di hadapannya ini akan menjadi tempat tinggalnya. Ia tak akan penasaran lagi dengan isi di dalamnya. Diliriknya Harjo yang berdiri di sampingnya. Pria itu masih sama tegangnya seperti waktu menjemputnya dengan mobil mewah itu ke rumah orang tuanya. Inilah pertama kali dalam hidup Ambar, dia naik mobil pribadi. Selama ini dia hanya naik sepeda ke pasar kalau tidak sedang berjalan kaki. Lalu ia biasa naik bis kota kalau menemani ibunya berbelanja ke kota sebelah atau membeli peralatan sekolah yang diperlukan ayahnya.
"Kak Harjo ..."
Pertama kali dia memanggil suaminya.
"Ya."
"Ambar takut tadi waktu naik mobil," aku Ambar dengan nada polos. Harjo menatap istrinya dengan tatapan tak percaya.
"Ambar baru pertama kali naik mobil pribadi."
Harjo mendekatkan bibirnya ke telinga Ambar untuk berbisik lembut, "Tidak apa-apa. Nanti kita sering jalan-jalan, ya."
Ketegangan dalam wajah Harjo lenyap seketika.
*Nyonya Rumah*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top