Babak I : 16. Surat Cinta.
Mulmed. 👆
[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]
Sungai Thames, musim semi 1972.
Pagi Ambar, di sana sudah siang ya? Arjuna sudah tidur siang. Apakah dia sudah bisa mengucapkan kalimat lengkap? Masih sering manjat box? Box-nya kekecilan. Waktu beli bukannya sudah kubilang. Tapi kau tergiur karena harganya lebih murah.
Ambar Sayang ... kau terlalu hemat. Sudah menjurus pelit. Aku tau sih, kau memang lebih suka menyimpan uangmu daripada membeli hal-hal yang tak perlu, tapi ini kan demi Arjuna.
Kau sudah mendepositokan uangmu kan seperti yang kubilang?
Ambar ... kau boleh beli emas, tapi kau juga harus punya dana di bank. Kalau perlu kau tinggal ambil. Tak perlu nunggu seperti kau jual emas. Dengarkan nasehatku sekali ini.
Jangan bilang nanti aku tak menasehatimu. Kadang kau memang suka ngeyel.
Dari : Lintang yang cerewet.
Nyonya Rumah.
Abbey Road, Liverpool, musim panas 1972.
Ambar! Aku berada di kotanya The Beatles. Sekarang lagi berdiri di penyeberangan yang ada di kasetnya band itu.
Tak kusangka bisa berada di sini. Kau pasti iri, iya kan?
Tunggu! Kau ingat The Beatles 'kan?
Itu band kesukaanku. Banyak kasetnya di kamarku. Aku sering nyanyi pakai gitar dengan lagu mereka.
Hey Jude, don't make it bad
Take a sad song and make it better
Remember to let her into your heart
Then you can start to make it better
Lirik yang ini yang pernah kamu artikan dalam bahasa Indonesia. Kamu suka lagu yang ini.
Tak kusangka kau sudah pintar bahasa Inggris. Aku ingat kau suka kesel kalau mendengar aku ngomong bahasa asing. Kau curiga aku membicarakanmu.
Ambar ... kau lucu.
Dari orang yang selalu terhibur oleh kelucuanmu.
Tak lupa ... happy birthday. Kuhadiahkan hatiku untukmu.
Nyonya Rumah.
Mayfair, Agustus 1972.
Ambar yang selalu kurindukan.
Mister Henry memberikan kamera tuanya untukku, karena dia punya yang baru. Sekarang, aku lagi dalam perjalanan untuk memotret tempat yang indah. Aku sedang membayangkan memotret kau sebagai objek kameraku. Tunggu aku pulang, kau pasti aku potret.
Dari aku yang mengagumimu. Lintang.
Hyde Park, Oktober 1972.
"Bagaimana kuliahmu?" tanya Maya. Lintang menganggukkan kepalanya.
"Baik."
"Tidak kangen rumah 'kan?" pancing Maya. Lintang menggeleng. Satu kakinya ditopangkan pada kaki lainnya. Sementara tangan kirinya menopang kepalanya. Dia tampak nyaman duduk di kursi taman.
"Belum," jawabnya sambil tersenyum tipis.
Kangen sampai mau mati rasanya. Berkali-kali dia mengangkat telepon, memutar nomor internasional tapi kemudian ditutupnya sendiri ketika nomornya belum lengkap. Lintang tak tahu apa yang harus dibicarakan bila terhubung dengan Ambar. Hanya tanya kabar, itu menggelikan sekali. Ia tak sanggup melakukannya.
"Aku berkunjung ke rumahku sebelum berangkat ke sini. Siapa tahu orang tuamu ingin titip sesuatu untukmu," kata Maya kemudian.
"Aku tak butuh apa-apa tapi ... terima kasih kau melakukannya untukku," tukas Lintang dengan nada tulus.
"Ya. Kita kan teman." Setengah hati mengucapkannya. Maya masih berharap ada setitik harapan untuk mendapatkan tempat di hati pria yang sedang duduk santai di sampingnya.
"Kakak iparmu ..."
Lintang tetap menjaga ekspresinya tetap datar, seakan tak ada yang bergolak di dalam perasaannya. Padahal sejak Maya mengaku pergi ke rumah keluarganya, sejak tadi ia ingin bertanya bagaimana keadaan Ambar.
"... menitipkan sesuatu padaku."
Maya mengeluarkan amplop kuning dari dalam tas tangannya. Lintang tak bergerak sedikit pun, melihat amplop itu pun tidak.
"Dia kuatir di sini dingin. Aku bilang kalau musim gugur bisa 5 derajat. Kalau musim dingin lebih dingin lagi. Aku cuma menebak, isinya sarung tangan."
"Terima kasih," balas Lintang datar. Dia tak kunjung menerima amplop itu sampai Maya menaruh di atas pangkuannya.
"Arjuna ..."
"Arjuna semakin tampan saja."
Suara keduanya bertabrakan di udara. Maya dan Lintang sama-sama tertawa.
"Kau tidak sering telepon ke rumah, ya?" tanya wanita bermata lebar itu dan dibalas dengan gelengan kepala oleh Lintang.
"Beda waktu dan aku cukup sibuk dengan kuliahku."
"Iya, aku mengerti. Aku kangen, Lintang ..."
Kata-kata penuh kerinduan dari Maya itu terucap begitu saja dari bibirnya. Wanita itu menatap orang yang lalu lalang berjalan di hadapannya tanpa melirik Lintang.
"Maaf ... aku masih mengharapkanmu. Aku tak bisa menghapusmu begitu saja seperti kapur di papan tulis."
Lintang memejamkan matanya. Maya benar, nama yang sudah bersemayam dalam hati tak akan semudah itu dihapus meskipun ia ingin sekali menghapusnya. Semakin kuat keinginan untuk melupakan semakin ingin mati rasanya.
"Kau sudah punya pacar di sini?" tanya Maya.
"Belum. Aku sibuk."
"Cepatlah melupakan yang ingin kau lupakan agar kau tak perlu tersiksa."
"Sok tau!"
Maya meringis.
"Aku selalu penasaran dengan wanita itu, Lintang ..."
"Wanita yang mana maksudmu?"
"Pemilik hatimu. Kau tak pernah mengatakannya. Aku bahkan tanya pada Igun apa dia kenal dengan wanita itu. Dia bilang nggak kenal. Siapa dia, Lintang?"
Lintang mendesah pelan.
"Kalau aku harus pergi sejauh ini untuk melupakannya, kenapa kau harus menempuh perjalanan sejauh ini untuk bertanya, Maya?"
"Kenyataannya meskipun kau pergi sejauh ini ... kau tetap tak bisa melupakannya."
"Kau benar."
"Kau menyedihkan."
"Ya, kuakui."
Maya menepuk-nepuk pundak Lintang.
"Kuharap kau berhasil mengatasinya, Lintang. Pulanglah ketika kau berhasil."
Lintang tersenyum tipis.
"Kau mau ke Kensington Garden?"
Nyonya Rumah.
Picadilly, musim gugur 1972.
Ambar ... di sini sudah musim gugur, daun-daun menguning. Mulai dingin. Kalau malam tiba, angin berhembus, dinginnya menusuk tulang. Kalau kau ada di sini, aku mau dibuatkan jaket hangat. Kau pasti bisa buat. Apa yang kau nggak bisa?
Oh ya, hampir lupa. Sarung tanganmu berguna meski agak kekecilan buatku. Apa kau menggunakan tangan Arjuna waktu merajutnya? Atau karena kau sedang hemat benang? Kalau kau hemat terus, nanti sebelum Arjun dewasa, kau pasti sudah bisa beli rumah sebesar rumah Bapak untuknya.
Sekarang rambutku gondrong, Ambar. Kau pasti mengira aku ikut-ikutan jadi hippy. Kalau aku ada di rumah dengan rambut seperti ini, Ibuk pasti akan mengejarku dengan alat pemangkas rumput milik tukang kebun lalu tak akan mengijinkan aku masuk rumah sebelum rambutku dipotong.
Di sini biaya pangkas mahal. Bisa habis gajiku sebulan kerja bersih-bersih di restoran Pecinan kalau aku pangkas rambut. Mungkin Bapak perlu memikirkan agar bisa membuka satu usaha pangkas di London, khusus untuk para para mahasiswa yang duitnya pas-pasan seperti aku.
Dari rambut gondrong yang merindukanmu.
Nyonya Rumah.
The Marquee Club, 20 Desember 1972.
My dear Ambar.
Aku ada di venue lagi nonton konsernya Queen. Kau tau Queen? Itu band yang lagi naik daun di Inggris.
Jangan ngomel dulu sebelum baca lanjutannya. Aku tau kau pasti akan ngomel karena pelit adalah pangkal kaya bagimu. Tiket konser memang mahal tapi aku dapat murah karena temanku yang fans Queen, nggak bisa nonton padahal dia sudah beli tiketnya. Jadi dia jual kepadaku. Murah sih. Lagipula selama di sini, aku sudah hemat bahkan terlanjur pelit. Nanti uangnya kukumpulkan untuk buka usaha waktu pulang nanti.
Ntah kapan baru bisa pulang.
Aku merindukanmu.
Nyonya Rumah.
Westminster, London, 1 Januari 1973.
Dear Ambar.
Jangan menyalahkan dirimu sendiri karena Koesman. Salahnya karena telah menggunakan barang haram itu. Kau tak bertanggung jawab atas perbuatan orang lain.
Kau selalu begitu. Selalu terlalu baik sehingga semua orang bisa memanfaatkanmu. Koesman itu sudah dewasa bukan tanggung jawabmu untuk menjaganya. Dia punya istri dan anak-anak. Kapan lagi dia dewasa dan menyadari kalau kelakuannya itu merugikan banyak orang di sekelilingnya?
Maaf, Ambar.
Tadi aku telepon untuk mengucapkan selamat tahun baru tapi tak ada seorang pun ada di rumah. Bik Wati yang menjawab telepon dan dia bilang padaku. Arjuna sedang bersamanya dan aku senang sekali mendengar dia memanggil. Hello, Uncle Lin!
Kau mendidiknya dengan baik. Aku bangga padamu.
Dari Lintang yang merindukan suaramu.
Nyonya Rumah.
Chinatown, 2 Februari 1973.
Ambar Sayang ...
Xin nien khuai lek (happy chinese new year).
Aku hampir lupa malam ini menjelang tahun baru. Kalau Tante Rosa tak mengajakku ke Chinatown, aku pasti ketinggalan mengucapkan xin nien khuai lek kepadamu.
Apakah semua anggota keluarga berkumpul? Kecuali Koesman tentu saja. Bapak dan Harjo masih berusaha mengeluarkan dia dari penjara? Kasihan juga istri dan anak-anaknya. Suasana sincia, Koesman ada di sel. Siapa pun pasti ingin berada di rumah ketika sincia.
Termasuk aku. Aku merindukan masakanmu dan kue nyonya buatanmu.
Makanan di Chinatown tak ada yang seenak masakanmu. Tak ada kue nyonya di sini. Aku ingin lemper udang, angku kue, kue tio ciu. Mengingat kue itu selalu ada di meja makan setiap hari perayaan.
Aku kangen dirimu dan Arjuna.
Nyonya Rumah.
"Nulis apa? Lagi makan nulis terus? Nggak peduli sama Tante. Kau kira Tantemu ini statue yang diletakkan di pintu gerbang pecinan?" sindir Tante Rosa pedas. Lintang segera menutup kertas suratnya dari pandangan wanita itu lalu menyimpannya kembali ke dalam tas.
"Nasibku ... Henry sedang tugas di rumah sakit, keponakanku menemaniku tapi sibuk dengan surat-suratnya. Sedihnya ..."
Lintang meringis. Matanya jadi segaris kemudian berubah jadi judes.
"Nggak usah sekejam itu ngomongnya. Teman Tante banyak, bicara seolah Tante kesepian!"
"Kau membuatku malu," kata Tante.
"Ekspresimu jauh dari kata malu," balas Lintang. Tante Rosa tertawa. Wanita cantik yang telah berjasa membesarkan Lintang itu lalu menuang jus anggur ke dalam gelas.
"Kau sudah telepon ke rumah?" tanyanya.
"Belum. Nanti saja kalau sudah pagi di sana."
"Tidak telepon pacarmu? Malam ini kan malam yang istimewa," pancingnya.
Lintang tahu maksud Tante dan ia menggeleng.
"Tidak punya."
"Gadis yang datang menemuimu beberapa bulan lalu, bukan?"
"Bukan. Tante sudah tahu kisahnya. Jangan diungkit lagi. Dia bukan pacarku dan nggak pernah jadi pacarku," jawab Lintang cepat.
Tante Rosa memonyongkan mulutnya, dia tak percaya Lintang bilang tak punya pacar. Jadi lembaran surat yang baru ditulis sampai wajahnya menggambarkan kebahagiaan tingkat tinggi itu ditujukan kepada siapa. Tak mungkin surat kepada teman.
"Makan, Tante. Sudah pesan banyak kenapa hanya dilihatin?"
"Ya, makan. Judes banget, sih. Sama seperti Henry, nggak ada romantisnya."
Lintang mencibir sambil menatap Tante Rosa dengan tajam.
"Herannya Tante mau kawin sama dia dan meninggalkan calon yang sudah dipilih orang tua Tante."
Wanita yang masih cantik di usianya yang hampir lima puluh itu terbahak.
"Nyindir kok telak. Nggak bisa menang dari kamu kalo ngomong."
Tante ngakak, Lintang ikut tertawa tapi cuma sedetik, detik selanjutnya berubah judes.
"Ekspresi macam apa itu?" Tante Rosa memukul bahu lebar Lintang berkali-kali.
"Makan Tante, makan."
Tante Rosa membalik-balikkan siu mie (mie goreng saat Imlek) itu sambil mengucapkan, "Xin nin khuai lek, wan se ru yi, nien nia you yi (selamat tahun baru, semua keinginan terpenuhi, semoga setiap tahun selalu makmur)."
"Gong xi fat cai, hung pao na lai (selamat tahun baru, beri saya angpao)!"
Tante menghentikan gerak tangannya mengaduk mie panjang umur, dia berkata, "Dari sekian banyak ucapan dan harapan, hanya itu yang kau pilihkan untukku."
"Itu kewajibanmu. Aku jauh dari rumah. Tidak dapat angpao dari Bapak dan Ibuk. Apa Tante nggak iba?"
Tante memonyongkan bibirnya. Lalu merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan angpao untuk diberikan kepada Lintang.
"Nih untukmu. Jangan lupa kalo Tante sudah tua dan Henry sudah pensiun, jangan lupa kau yang wajib kasih."
Lintang malah tertawa mendengarnya.
"Tante bisa tua? Kukira Tante masih tetap akan muda."
"Mulutmu!"
"Kenapa dengan mulutku?" tanya Lintang sambil menyentuh bibirnya sendiri.
"Racun! Hati-hati kalau ngomong sama perempuan. Nanti kau dilekati seperti permen karet sampai nggak mau lepas!"
"Ah, Tante. Lintang kan cuma belajar darimu!"
"Diam!"
"Okay!"
Pria tampan bermata sipit itu memberi kode gerakan mengunci mulut dengan tangannya. Sementara Tante Rosa membagikan mie ke dalam dua piring terpisah.
"Kau sudah tahu bagaimana kabar Koesman sekarang? Apa sudah keluar dari sel? Beberapa waktu lalu, aku mencoba telepon kepada ibumu dan mereka masih mengusahakan untuk mengeluarkan Koesman dari penjara," ucap Tante Rosa.
"Hm ..."
"Kenapa Koesman bisa terjebak barang haram itu?"
"Hm ..."
Tak merasa mendapat jawaban, Tante melirik tajam.
"Mister Lin, why don't you speak?"
Lintang memberi tanda silang di depan bibirnya. Mengertilah Tante Rosa kalau keponakannya itu sedang ingin mengoloknya. Dijewernya telinga anak itu.
"I'm so sorry. My apologies. Could you forgive me, Milady," tukas Lintang meminta maaf dengan aksen British. Tante tertawa terbahak-bahak, sampai para pengunjung restoran meliriknya. Secara otomatis dilepaskan jewerannya.
"Mirip Paman Henry kan?"
Tante mengangguk, masih ngakak, airmatanya sampai keluar. Dihapusnya dengan menggunakan sapu tangannya.
"Ah, Mister Lin ... beli baju baru. Henry mau mengajakmu ke pesta yang diadakan duta besar Indonesia. Wajib pakaian resmi dan ... potong rambut!"
Lintang menatapnya dengan curiga. Dasar apa Paman Henry mengajaknya ke pesta duta besar, dia tak kenal siapapun di kedutaan. Jangan-jangan Tantenya memiliki tujuan tertentu.
"Nggak mau pergi, Tante. Aku agak trauma dengan pesta-pesta yang diselenggarakan ibuku yang sebenarnya adalah perjodohan terselubung," tolak Lintang. Tante mengibaskan tangannya.
"Aku bukan ibumu. Kau pikir aku mau menjodoh-jodohkanmu. Aku saja nggak mau. Sudah! Ikut saja. Tenang. Kami sengaja membawamu supaya kau kenal orang-orang Indonesia yang bermukim di London. Mungkin suatu hari nanti akan bermanfaat untukmu. Nggak ada salahnya kenal banyak orang, Mister Lin."
Nyonya Rumah.
Surat yang baru ditulisnya waktu di Pecinan tadi dilipat Lintang dengan rapi, kemudian dimasukkan ke dalam amplop. Amplop itu ditulisnya dengan alamat lengkap rumah Oetomo.
Setelah selesai, dipandanginya amplop berisi ungkapan hatinya lama. Lalu ia mendesah dan berdiri untuk mengambil kotak bulat dari lemari. Dibukanya penutup kotak tersebut dan di dalamnya berisi banyak surat yang tak pernah dikirimnya.
Bertambah satu lagi surat yang dia simpan di dalam kotak. Lintang mendesah pelan.
"Ambarita Roesdi ... aku nggak bisa melupakanmu."
Direbahkan kepalanya ke atas meja sambil memeluk kotak berisi surat-suratnya.
Lintang tertidur di malam menjelang sincia sambil memeluk surat-surat yang tak pernah dia kirimkan untuk Ambar.
Nyonya Rumah.
Dear Ambar.
Aku belajar berdansa. Ada teman kuliahku yang guru dansa. Nanti aku pulang, aku ajari kau (coret) Arjuna berdansa biar dia pintar mengejar cewek.
Aku bercanda. Jangan sewot. Anak baik seperti Arjuna tak akan bertindak sembarangan karena ibunya adalah kau.
Dear Ambar.
Aku beli banyak buku resep. Jangan kuatir, Nyonya. Aku beli di toko buku loak. Tak akan menghabiskan gajiku.
Dear Ambar Sayang.
Arjuna sekarang sedang apa? Sudah bisa menyanyikan lagu The Beatles?
Dear Ambar.
Aku kangen. Hujan di malam ini, aku kangen melihat wajahnya, kangen suaramu, senyumanmu, candamu.
Bisakah kita bertemu sekejap Ambar? Meski dalam mimpi saja. Kuharap kau muncul.
Aku pikir aku tak akan sanggup bertahan selama jauh darimu. Beberapa kali aku berada di depan travel agent, ingin beli tiket pulang tapi kemudian aku sadar kalau pulang, aku tak akan bisa melepasmu. Aku sudah berjanji untuk membiarkanmu bahagia dan tak ingin bergantung padamu. Kuharap ketika aku pulang ke Indonesia, aku benar-benar telah melupakan rasa cintaku.
Ambar, pemilik hatiku.
Nyonya Rumah.
Sungai Thames, musim dingin 1973.
Ambar Sayang.
Musim gugur baru saja pergi. Sekarang salju sedang turun. Aku sedang memakai sarung tangan yang kau titipkan kepada Maya tahun lalu. Aku juga masih memakai baju yang kau jahitkan.
Sudah berapa lama aku pergi dari rumah. Apakah kau pernah mengingatku, Ambar?
Kuliahku sudah selesai, Ambar. Tapi aku belum bisa pulang. Aku takut. Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kepergianku yang semula ingin lepas dari perasaan cintaku makin membawaku terperosok. Jauh darimu membuatku mengenal satu lagi perasaan lain yaitu rindu. Aku tak ingin membicarakanmu pada siapapun, pada Maya, pada Tante Rosa. Tidak siapapun, tidak menyinggung namamu bukan berarti aku telah melupakanmu. Kau malah masuk makin dalam.
Jadi untuk menghadapi rasa takutku, aku cari kerja. Sekarang aku kerja jadi asisten dosen. Selain mendapatkan uang dari sana, aku juga mendapatkan uang dari hasil fotoku. Jadi aku bisa beli banyak buku. Aku merasa bersyukur karena di saat resesi terjadi di Eropa, aku masih bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Ambar ...
Katakan aku harus bagaimana? Aku tak tahu harus kuapakan rasa cinta ini. Tak bisa kubuang begitu saja karena kau begitu berharga. Boleh aku tetap menyimpannya saja? Sampai aku tua nanti.
Tapi kau tak perlu pusing memikirkannya. Perasaan cintaku adalah urusanku, Ambar. Urusanmu mengurus keluargaku sudah cukup banyak. Tak perlu kutambah satu lagi.
Ibuk masihkah keras terhadapmu? Maafkan Beliau, ya. Dia begitu karena Harjo mengasihimu dan Bapak juga. Waktu aku pergi meninggalkan rumah, hal ini yang selalu kukuatirkan. Tapi sepertinya tak perlu, Harjo adalah pelindungmu dan kau kuat seperti batu.
Sadarkah kau, di balik sikapmu yang lemah lembut, kau luar biasa keras kepala. Kelemahan terbesarmu adalah kau terlalu baik sehingga bisa dimanfaatkan orang. Sesekali kau perlu teriak pada orang-orang bahwa kau juga manusia biasa.
Aku mengagumimu, Ambar.
Nyonya Rumah.
Bersambung .....
😭😭😭😭😭😭😭
Next partnya babak kedua.
Yang di KBM mohon maaf karena aplikasiku tak bisa up part 13. See you next part. Komenlah apapun. Kadang komen kamu membuatku jadi tambah ide.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top