Babak I : 15. Belajar untuk Melepas.

[Seharusnya ada GIF atau video di sini. Perbarui aplikasi sekarang untuk melihatnya.]

Video kisah Ambar - Lintang ada di chanel youtube saya. 👆

"Itu bukan salahmu, Ambar. Keluar dari kamarmu!"

Hati Lintang perih. Keluarga ini sedang berduka, Endang pergi menghadapi Sang Khalik dalam kecelakaan ketika motornya membawanya tertabrak bus umum yang supirnya ugal-ugalan. Ketika Lastri sadar dari pingsang, dia menyalahkan Ambar karena Endang pamit untuk mengambil pesanan kancing.

Kenapa bukan kau yang mati?

Lastri menampar Ambar bahkan mencekiknya sampai harus dipisahkan oleh para pembantu rumah tangga. Kemudian Lastri pingsan lagi. Lintang tak ada di tempat saat itu karena sedang mengurus mayat Endang yang harus segera dipulangkan ke rumah dan juga melapor pada polisi. Dia hanya mendengar dari para pembantu kalau ibunya menyalahkan Ambar. Keduanya belum bicara karena wanita itu mengurung diri di kamarnya. Arjuna diurus oleh salah seorang pembantu karena Harjo kuatir Ambar tidak sehat.

"Kita harus bicara, Ambar. Kau baik-baik saja 'kan? Aku bawa makanan buatmu. Kau harus makan."

Lintang memutar knop pintu tapi ternyata dikunci dari dalam oleh Ambar.

"Aku harus pergi ke pemakaman. Kasihan Endang kalau aku tidak pergi. Kau baik-baik saja ya, aku tinggal. Harus makan. Arjuna butuh kau. Kami ... butuh kau ..."

Suaranya serak, dia hampir mencetuskan kalimat, aku butuh kau tapi dia menelan kembali kata-katanya. Situasi sudah seperti ini, Lintang tak mau mengambil resiko untuk menambah satu masalah lagi.

"Kau sadar kan kalau sejak masuk rumah ini, kau sudah jadi tiang penyangga? Kau ingat Endang juga bilang dia senang karena kau yang jadi kakak iparnya. Jangan dimasukkan ke dalam hati perkataan Ibuk. Dia bilang begitu karena ..."

Lintang tak pernah menyangka kalau sebagai laki-laki, dia bisa menangis. Dia bersandar pada pintu kayu kamar Ambar. Kamar itu sendiri menghadap Timur dan cahaya masuk melalui jendela depan rumah ke kamar itu. Cahaya matahari pagi menyilaukan pandangannya. Dipejamkannya matanya dan airmatanya makin mengalir.

Endang sudah pergi. Padahal mereka berjanji untuk pergi main badminton bersama. Kakaknya tak akan bisa menepati janjinya.

"Ibu bilang begitu karena dia kehilangan Endang. Kau jangan begitu lagi, Ambar ... Apa nggak kasihan sama Arjuna?"

Lintang harus membawa wanita itu keluar dari rasa kehilangannya, seperti dirinya juga. Mereka harus mengikhlaskan Endang agar kakaknya tenang di alam sana. Ambar tak patut disalahkan, kalau ada yang disalahkan, Lintanglah orangnya. Kecelakaan yang semestinya tak perlu terjadi jika dirinya tetap bersikeras agar kakaknya memakai mobil. Sepatutnya dia tetap memaksa atau mengancam Endang.

Bukankah aku sudah memberikan kunci mobil itu? Kenapa tidak memaksa? Kenapa ... kenapa ... kenapa ...

"Itu salahku ... Ambar ... salahku sepenuhnya. Kau seharusnya tidak perlu ikut menanggung."

Lintang berusaha menahan tangis agar tak terdengar dengan menutup mulut menggunakan tangan tapi airmatanya makin deras sampai napasnya ikut sesak. Berkali-kali ia sampai pada suatu pemilikiran agar dia juga ikut mati saja menemani Endang agar kakaknya tidak kesepian di sana. Tapi dia takut untuk meninggalkan Ambar. Takut wanita itu makin merasa bersalah. Dia takut tak bisa membantu Ambar lagi kalau mati.

Lintang masih duduk bersandar di pintu ketika Harjo datang sambil membawa putranya, Arjuna. Kakaknya jongkok di depannya dan menepuk bahunya.

Lintang baru menyadari kehadirannya ketika tangan mungil Arjuna menyentuh wajahnya yang basah oleh airmata.

Ekspresi wajah Harjo menunjukkan betapa dia sangat terluka karena kehilangan Endang.

"Kenapa dia harus pergi secepat itu meninggalkan kita? Dia masih sangat muda," tukas Harjo pelan. Lintang menghindari untuk menatap wajah kakak sulungnya. Dia menunduk memandangi kakinya.

"Andai waktu itu aku langsung menolak dalam pembicaraan. Endang tak akan pergi. Andai aku tidak keras kepala ..."

"Sudah, Lintang. Hidup dan mati bukan kita yang menentukan. Garis kehidupan Endang sudah ditentukan oleh Yang Kuasa harus sampai di sini. Jodoh kita dengannya terputus sudah. Bukan salahmu, bukan salah Ambar. Jangan menyalahkan diri lagi."

Harjo berusaha menjadi kakak yang baik, memberi semangat pada Lintang, menepuk-nepuk pundaknya. Arjuna kecil yang belum mengerti apa-apa, juga mengikuti gerak-gerik bapaknya dengan memeluk Lintang dan menepuk punggungnya membuat pria itu tertawa dalam tangisan.

"Terima kasih, Lintang karena kau menjaga keluarga ini dengan baik. Kau bisa diandalkan ketika dibutuhkan. Kau juga sangat menyayangi Arjun. Terima kasih, Lintang. Kau memilih keluarga ini untuk kembali bahkan ketika kau punya pilihan untuk pergi."

Ucapan Harjo mengacuh pada Tante Rosa, bisa saja Lintang memilih untuk pergi dan hidup enak di London, tapi ia memilih untuk tinggal bersama keluarganya sendiri. Tapi justru ucapan dari kakaknya itu membuat Lintang mulai memikirkan langkahnya ke depan. Ia berusaha menguatkan hatinya. Bila terus berada dalam situasi sekarang ini, masa depannya akan jalan di tempat. Ia harus segera memutuskan yang terbaik bagi semua, termasuk bagi Maya.

"Den! Den Lintang! Dipanggil Bapak. Upacara pemakaman akan segera dimulai. Bapak perlu Den Lintang."

Harjo memalingkan wajahnya agar pembantu tua itu tak melihat kalau tuan muda nomor satu dalam keluarga itu baru saja meneteskan airmata dengan adiknya. Ajaran orang tua zaman dulu kalau pria sejati hanya boleh meneteskan darah, bukan airmata.

"Pergilah, Lintang. Urusan pemakaman aku serahkan kepadamu. Beginilah kami yang tua malah harus menyaksikan yang muda pergi dulu," desah Harjo pelan. Lintang menghapus airmata dengan ujung lengannya.

"Aku pergi, Kak," katanya sambil menepuk punggung tangan Harjo. Harjo mengangguk.

Lintang bangkit dari duduknya dan berniat meninggalkan kakaknya. Baru beberapa langkah ia jalan, Harjo berkata, "Terima kasih karena kau bisa diandalkan dalam keluarga ini. Kadang-kadang aku pikir kau bahkan lebih baik dariku!"

Lintang tak menoleh, ditegakkan tubuhnya lalu berkata, "Orang yang paling bisa kau andalkan dalam keluarga ini bukan aku, Kak."

Tanpa menyebut nama pun, Lintang tahu kalsu Harjo sadar siapa yang dia bicarakan.

"Tapi hari ini dan selanjutnya, dia akan lebih membutuhkan dirimu. Berjuanglah."

Lintang mengusap wajahnya kemudian meninggalkan Harjo dan Arjuna kecil.

Nyonya Rumah.

Langit pun sedih mengantar kepergian Endang. Setelah pagi yang cerah, sekarang awan tampak gelap ketika peti mati itu akhirnya sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Suasana hati Lintang yang tak berbeda dengan langit. Gelap tapi tak hujan. Dia tak lagi bisa meneteskan airmata. Biarlah kakaknya melihatnya dalam keadaan kuat dan tabah, biar Endang pergi dengan tenang.

"Lintang ... aku turut berduka. Maaf baru sekarang bilang padamu karena aku tak punya kesempatan untuk bicara."

Maya berdiri di sisi Lintang. Semua pelayat sudah pergi satu-persatu, hanya tinggal keluarga dekat dan beberapa teman. Wanita bermata lebar itu mengambil kesempatan untuk bicara pada Lintang ketika pria itu berdiri sendirian memandangi makam Endang dengan tatapan kosong.

Sedetik, dua detik, dan seterusnya Lintang tetap bungkam. Dia tak membenci Maya, bahkan merasa kasihan, hanya mulutnya tak bisa bicara.

Kak, bukankah kau yang seharusnya bilang padanya? Mengapa kau menyerahkan tugas ini padaku?

Ulu hatinya seperti sedang ditombak walaupun dia tak pernah merasakan bagaimana rasanya kalau hidupnya harus berakhir dengan hujaman benda tajam tersebut.

"Kau akan tetap mendiamkanku, Lintang?" tanya Maya lirih. Lintang memejamkan matanya. Wanita itu harus tahu apa yang sedang di pikirannya. Harus. Endang juga menginginkan dia tahu, karena ingin memberikan penjelasan, kakaknya pergi menemui untuk menemuinya.

"Lintang ..."

"Dia pergi menemuimu ..."

Mata Maya terbelalak. Tak percaya apa yang baru didengar telinganya. Dia menatap Lintang, mencengkram lengannya.

"Dia mau bilang kalau sebenarnya lamaran itu berasal darinya. Dia ingin kau tau dan menyerahkan keputusan di tanganmu apakah kau masih ingin menikah dengannya."

Lintang merasakan cengkraman jari Maya makin kuat di tangannya. Wanita itu sedang berusaha menerima kata-katanya.

"Bukan kau ..." Maya mengucapkannya sambil menatap wajah Lintang. Dia masih berharap Lintang asal bicara. Bahkan kalau pria itu bilang sedang bercanda, Maya akan memaafkannya.

Tetapi Lintang menggeleng. "Bukan aku, Maya. Maafkan aku telah membiarkan dirimu berpikir itu aku. Aku tak bisa bicara karena aku berusaha ..."

Maya menampar wajah Lintang. Pria itu sudah mengantisipasi tapi dia tak menghindar. Seandainya rasa sakit di wajahnya bisa menggantikan sakit di hati Maya.

"Teruskan saja ... agar dirimu puas," kata Lintang dengan nada datar. Dia tidak bergerak, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.

Maya mengangkat tangannya lagi ingin menampar untuk kedua kalinya. Kali ini Lintang memejamkan mata, dia menunggu. Namun tamparan tangan tak sampai di wajahnya melainkan berhenti di dadanya. Maya terisak ketika pria itu membuka kelopak matanya.

"Kenapa Lintang?" tanyanya sambil memukul-mukul bahu Lintang. Pria itu diam saja seperti patung. Maya masih terisak, masih memukul, makin lama pukulannya makin pelan tapi tangisannya makin kuat.

"Maafkan aku ..."

Lintang menarik Maya dan mendekapnya erat.

"I'm sorry ..." bisiknya.

Maya semakin terisak dalam pelukannya.

"Aku layak menerima kebencianmu."

Dalam tangisannya Maya berkata, "Kau kira hati itu apa? Bisa mengubah cinta menjadi benci dalam sedetik."

Lintang menunggu sampai Maya tenang baru bicara lagi. Dia percaya kalau sebenarnya wanita itu yang gampang diajak bertukar pikiran bukan tipe keras kepala. Itu awalnya keduanya bisa berteman baik di masa awal kuliah.

"Aku mau pergi ke London."

Maya tertegun. "Wisata?"

Lintang tersenyum tipis dan ia sadari kalau ini senyum pertamanya dalam beberapa hari ini.

"Mau kuliah lagi," jawabnya.

"Terus bagaimana dengan wanita yang kau cintai?"

Lintang tertegun, memandangi Maya dengan bingung.

"Lintang ... aku nggak bodoh. Kau tidak mau bersamaku, ada wanita lain di hatimu. Kenapa kau mau pergi? Karena dia tak mencintaimu atau ...kau tak bisa bersamanya," tukas Maya cepat.

"Jangan sok tahu!"

"Benar 'kan? Kapan mau pergi?"

"Aku harus urus beberapa hal dulu. Mungkin setelah habis sincia (imlek)," sahut Lintang.

"Aku ikut, ya?"

Lintang tersenyum lagi.

"Serius? Aku kuliah bukan wisata."

Maya akhirnya bisa tertawa. "Nggak, deh. Aku mau cari lelaki lain, lalu nikah dan wisata ke London. Ngejekin kamu yang masih sendiri dan sibuk kuliah lalu kamu nyesel."

Lintang terbahak. Maya memang enak dijadikan teman, tak ada kecanggungan antara mereka kalau bicara.

"Masih ada waktu, kalau nyesel sekarang."

"Terima kasih, Maya. Karena sudah menjadi temanku."

"Boleh aku menunggumu sampai kau kembali?"

"Jangan habiskan waktu dan energi."

Nyonya Rumah.

14 Februari 1972, malam menjelang sincia.

"Aku boleh ke London nanti?" tanya Dewi, adik Lintang yang nomor tiga dari belakang.

"Boleh tapi kau harus beli tiket dulu." Lintang sedang main mobil-mobilan bersama Arjuna.

"Tapi aku kan nggak punya duit!"

"Coba kerja lebih rajin, bantuin Bapak. Nanti Bapak kasih uang jajan lebih," jawab Lintang.

"Kenapa nggak kau belikan tiket untukku?" gerutu Dewi.

"Karena aku juga beli dengan duit sendiri, bantuin Bapak. Tuh, usaha Bapak banyak, kau tinggal bilang mau bantu di mana. Atau belajar jahit sama Kak Ambar."

"Sama Ibu nggak boleh. Katanya nggak boleh deket sama Ambar."

"Kak Ambar!" ralat Lintang.

"Kau juga nggak panggil dia dengan sopan."

"Aku ... lebih tua darinya." Lintang memberi alasan.

"Bum bum!" celoteh Arjuna.

"Duh, anak ganteng Paman. Nanti kalau Arjuna sudah dewasa, Arjuna bantuin Eyang, ya. Banyak belajar dari Ibu."

Arjuna mengangguk dan tertawa riang.

"Dia ganteng seperti Harjo. Kalau seperti Ambar ..."

"Apa nggak bisa ngomongin hal baik di malam
sincia gini, Dek? Ambar nggak seperti kalian punya waktu dandan, jalan-jalan. Tugasnya banyak di rumah ini, masak, ngurus kalian, ngurus usaha Bapak. Seharusnya kalian juga ikut membantu. Apalah sebagai modal kamu masuk menjadi menantu orang," kata Lintang.

"Buat apa? Aku nggak mau jadi pembantu!"

"Ambar bukan pembantu. Perhatikan itu baik-baik."

"Hei, kenapa ribut di sini? Baru abis makan malam keluarga." Harjo muncul di teras samping. Lintang melirik ke sana-sini dan lega karena Ambar tak bersama kakaknya.

"Aku hanya memintanya membelikanku tiket ke London," jawab Dewi.

"Biar nanti aku yang beli," jawab Harjo membuat Dewi kegirangan.

"Bener?"

Harjo mengangguk.

"Tapi kau harus kerja dulu 2 tahun di toko obat," jawab Harjo membuat Lintang terbahak.

"Bagus, Jo. Aku dukung. Semua harus kerja kalau mau hidup enak. Duit tidak jatuh dari langit. Selama matahari masih terbit pasti ada yang bisa dikerjakan."

Harjo menunjuk Lintang dengan telunjuknya.

"Aku suka caramu!"

Dewi tampak cemberut karena kedua kakak laki-lakinya saling mendukung satu sama lain hingga tak satu pun yang membelanya.

"Kita kan nggak miskin. Biar saja Bapak yang cari duit."

"Bapak kan sudah tua," jawab Lintang.

"Terus kenapa kau pergi kuliah lagi. Bukannya udah cukup sekolahmu. Harjo saja nggak sampai kuliah. Apalagi Koesman."

Harjo berdehem. "Sebenarnya aku juga ingin tanya Lintang. Kenapa tiba-tiba mau pergi ke Inggris. Dulu Tante berkali-kali minta kamu pergi, kamu tolak. Kenapa mengubah keputusanmu?"

Lintang tersenyum tipis. Dia sudah pasti tidak akan memberikan alasan kepergiannya kepada keluarganya, biarlah disimpannya sendiri.

"Aku menerima beasiswa, Jo. Sayang kalau nggak kuambil," jawab Lintang. Tidak sepenuhnya berbohong. Tante Rosa membantunya mendapat fasilitas tersebut setelah ia menyatakan mau ke Inggris.

"Berapa lama kau pergi?"

"Belum tau. Mungkin dua tahun atau lebih."

"Kapan berangkat? Biar kuantar."

"Akhir bulan. Nggak usah diantar, Jo. Aku sama Pak Kirman saja," jawab Lintang.

"Kuantar. Kau pergi, belum tau kapan kembali. Dua tahun itu lama. Selama 2 kali sincia nggak bisa berkumpul bersama."

Lintang mendesah pelan. Dia hanya tidak suka ada acara perpisahan yang menyedihkan, terutama dirinya takut melepaskan Ambar. Takut tak sanggup untuk meninggalkannya. Keputusan untuk pergi ke London bukanlah karena ingin jauh dari rumah, tapi karena tak ingin tergantung pada wanita itu. Kian lama berada dalam satu rumah, kian membawa Lintang tak bisa hidup tanpa Ambar. Disadarinya waktu menerima telepon tentang kecelakaan Endang. Dia tak bisa apa-apa tanpa kakak iparnya. Betapa menyedihkannya hidup kalau begitu. Oleh karena itu, dirinya harus pergi sejauh mungkin. Belajar untuk melepaskan dan melupakan. Ke London.

"Padahal aku senang kalau Arjun dekat denganmu, Lintang. Dia pasti tumbuh menjadi anak yang benar," tukas Harjo. Sementara Arjuna melepaskan mobilnya dan duduk di pangkuan Lintang.

"Dia akan jadi anak yang benar karena memiliki orang tua yang baik dan ... calon dokter."

Harjo tertawa.

"Darimana kau bisa bilang dia calon dokter?" tanyanya.

"Lihat nih!" Lintang menujuk Arjuna yang sedang mencubit wajah pamannya, kelihatan seperti akan mencolok matanya Lintang. Anak itu cengengesan ketika dicubit balik pipinya oleh Lintang. Harjo tertawa melihat kedekatan anaknya dengan adik laki-lakinya.

"Kau beneran nggak mau nikah sama Maya?"

Lintang menggeleng dan tersenyum tipis.

"Jaga Bapak ya, temeni jalan pagi biar sehat."

Nyonya Rumah.

"Lho, Den. Mau ke mana bawa koper? Bukannya perginya akhir bulan?" tanya Pak Kirman keheranan karena melihat Lintang sudah rapi dan membawa koper masuk ke bagasi mobil.

"Ke bandara, Pak. Lintang berangkat hari ini. Jangan cerewet, hanya Bapak yang tau. Ibuk masih tidur dan Bapak sudah pergi sama Harjo. Aku mau ke satu tempat dulu sebelum berangkat. Ayo!" Lintang membuka pintu mobil belakang dan duduk di dalamnya. Pak Kirman bingung. Kalau menuruti keinginan tuan mudanya pasti nanti dimarahi oleh nyonya besar, tapi kalau tak dituruti, kasihan Lintang yang sepertinya memang sudah siap untuk pergi. Uang tiket pesawat mahal.

"Den Lintang pamit dulu sama Nyonya Besar. Nanti Nyonya sedih," ujar Pak Kirman.

"Lagi tidur. Kalau dibangunkan lebih marah. Jalan saja, Pak. Lintang sudah tulis surat buat Bapak. Nanti mereka pasti mengerti," ujar Lintang. Dia memberikan rasa aman melalui tatapan matanya dan Pak Kirman akhirnya masuk ke mobil.

"Kita ke pabrik konveksi dulu, Pak. Sebentar saja."

Lintang hanya ingin melihat Ambar bukan untuk pamit. Dia meminta Pak Kirman memarkirkan mobilnya agak jauh. Diliriknya arlojinya, jam segini biasanya Ambar akan berada di luar pabrik untuk mengurus pengiriman barang.

Tak lama kemudian, wanita yang Lintang tunggu muncul bersama Arjuna yang sedang digandeng olehnya. Ambar bicara dengan para pekerja pengiriman, lalu memeriksa barang untuk dikirim. Biasanya Lintang senang datang di saat Ambar sibuk, supaya dia bisa membantu mengawasi Arjuna yang mulai lasak.

"Nggak mau pamit, Den?"

Lintang menelan ludah mendengar pertanyaan Pak Kirman. Tergiur untuk mengucapkan perpisahan, tapi takut tak bisa melepaskan. Tak bisa melupakan tanpa melepaskan.

"Pamit saja, Den. Bukankah selama ini hubungan kalian baik?"

Lintang menggeleng. "Tidak, Pak. Begini saja cukup. Pak Kirman, tolong bantu Nyonya kalau ada kesulitan."

Lintang tak mengalihkan matanya dari Ambar sebab ia takut kehilangan satu detik, takut kalau sudah di London, wajah Ambar telah buram di pikirannya.

Tolol!

Bukankah kau pergi untuk melupakannya? Bukankah kau tak ingin pikiranmu melekat padanya?

Lintang merasa sesak. Belakangan ini dia tak tahu apa keinginannya. Dia hidup hanya untuk memastikan kebahagiaan Ambar. Bila wanita itu tertawa, dia bisa merasakannya.

Aku pergi, Ambar. Jangan sedih. Kau harus bahagia karena jika kau tidak bahagia, aku juga tidak.

"Jalan, Pak."

Selamat tinggal, Ambar Roesdi. I love you.

Nyonya Rumah.

Ambar merasakan kehadiran seseorang mengawasinya tapi dia tidak tahu siapa orangnya. Dikibaskannya rambut tebalnya lalu diikatnya. Kemudian ia berbalik dan melihat mobil yang tampak tidak asing melaju melewati pabrik. Tapi dia masih tak bisa menebak siapa orang yang mengawasinya karena tak bisa melihat plat polisinya.

Bersambung.

😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭

Komenlah yang panjang yang nangis sedih, emoji, stiker wp juga udah bisa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top