Babak I : 13(+1). Jari yang Menekuk ke Dalam.
*perumpamaan kuno tentang keluarga. Darah yang sama akan tetap saling menjaga. Cici nggak nemu istilah yang pas waktu tanya Oom Google. Jadi translate bebas saja.
Mulmednya Eyang Titiek Puspa.
Like dulu, nanti lupa.
Semua anggota keluarga Oetomo bisa merasakan perang dingin antara Endang dan Lintang. Keduanya saling menghindar, bahkan ketika waktu makan malam bersama. Endang muncul di ruang makan, Lintang makan di dapur. Bahkan terkadang tak makan. Tak seorang pun berani bertanya karena Lastri sudah mewanti-wanti, kalau salah satu bisa saja meledak jika ada yang menyinggung.
Tjong Lai yang sudah menyatakan kesediaan untuk menjelaskan kepada keluarga Maya juga diberi peringatan oleh Lastri bahwa tidak ada yang bisa mereka bicarakan kalau kedua anak mereka masih main kucing-kucingan. Lintang tetap pada pendirian bahwa dia tidak bersalah karena tidak tahu apa-apa, tentang Maya itu jelas adalah kewajiban Endang. Sedangkan Endang merasa sangat dirugikan. Baginya Lintang seperti penyakit kusta yang menggerogoti tangannya dan harus segera diamputansi.
Ambar tahu sedikit saja bagaimana cerita kesalahpahaman ini terjadi, meminta tolong pada suaminya, Harjo untuk mendamaikan keduanya dan menyelesaikan kesalahpahaman dengan keluarga Maya.
"Bagaimana caranya, Dek? Lintang sendiri takut nyakitin Maya? Terus mau diapain?"
"Kak, yang kutau Lintang punya kekasih yang dia cintai. Terakhir aku sadar kalau bukan Maya. Dia nggak akan bisa nikahin Maya. Maya juga nggak mau nikah sama Endang," tukas Ambar dengan nada bingung. Harjo mengerutkan keningnya.
"Kamu tau Maya bukannya suka sama Endang?" tanyanya. Ambar mengangguk.
"Kapan?"
"Itu ... waktu perayaan bulan purnama. Aku cuma menduga waktu itu."
"Terus pacarnya Lintang siapa? Kamu tau?"
Ambar menggeleng.
"Kukira kau tahu. Lintang kan sering ngobrol sama kamu, sering ngajari bahasa asing. Lama-lama anakku kau ajari bahasa yang bapaknya sendiri nggak ngerti."
"Ih, Kak, kok gitu ngawur. Kan bagus kalau Arjun bisa banyak bahasa. Nanti bisa ke luar negeri. Mana tau bisa ikut Sea Games, bisa ngomong Inggris lancar," kata Ambar dengan semangatnya.
"Tuh, tuh kalau lagi ngomongin Arjun, pasti langsung kayak Pak Soekarno," gurau Harjo. Ambar tampak tersenyum malu-malu.
"Kakak jangan nyindir gitu. Ambar kan malu."
"Sini, peluk dulu."
Ambar menoleh ke kiri dan kanan, takut ada pembantu atau saudara Harjo yang lain di ruang tamu. Lalu buru-buru ia mendekati suaminya dan memeluknya sejenak. Harjo mendaratkan kecupan ringan di kening istri. Layaknya anak remaja yang takut ketahuan sedang mencium pacarnya, Ambar mendorong tubuh suaminya agar menjauh.
"Kenapa?" tanya Harjo.
"Malu kalo ketauan ..."
"Kan suami istri."
"Malu kalau ada Ibu."
"Apa Ibu nggak pernah muda?"
"Kak!"
"Sudah, mau berangkat kerja dulu. Sampai nanti sore."
"Mau Ambar antar makan siang?" tanya Ambar penuh perhatian. Harjo menggeleng, lalu memasukkan beberapa berkas ke dalam tas.
"Tidak usah, Ambar. Nggak usah sibuk ke sana-sini. Biar makan siangku diantar oleh Pak Kirman. Jaga Arjun baik-baik."
"Tentu, Kak."
"Kamu jadi beli box untuk Arjun? Kan susah kalau kau kerja, dia suka manjat."
"Belum, Kak. Belum sempat lihat mau yang seperti apa. Arjun kan makin lama makin tinggi, bisa manjat. Takutnya kalau terlalu pendek, dia bisa manjat keluar."
"Ya. Nanti kalau aku sudah nggak sibuk, kita pergi bersama."
"Baik, Kak."
Harjo memeluk istrinya lagi sebelum berangkat. Ambar mengantar kepergian suaminya dengan melambaikan tangannya. Kepala Harjo muncul dari jendela mobil, mengusir istrinya masuk. Tapi wanita itu malah menggeleng dan mengatakan kalau ia akan masuk kalau suaminya sudah pergi.
Sepasang mata sendu memandangi keharmonisan Harjo dan Ambar. Mata milik Lintang. Ia tak berniat memata-matai kemesraan kakak dan kakak iparnya, dirinya tak sengaja melalui teras samping dan melihat Harjo memeluk istrinya. Ingin berpaling tapi tak bisa, ingin pergi tapi kaki tak mau melangkah, menjadi saksi bisu cinta kakaknya.
Sejak dia menyadari kalau hatinya diisi oleh Ambar, sekuat tenaga Lintang berusaha agar tidak cemburu kepada Sang Kakak. Dirinya tak bisa berbuat apa-apa, karena takdir cintanya tak mengijinkan untuk meneriakkan nama yang terukir di hatinya. Terus menyalahkan nasibnya yang buruk karena baru bertemu dengan belahan hatinya ketika wanita itu telah menjadi milik kakaknya. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menyimpan perasaannya.
Ada kalanya, ketika wanita itu tersakiti di dalam keluarganya, ia ingin memeluk Ambar, tapi Lintang tahu diri kalau itu bukanlah tugasnya. Dalam ketidakberdayaannya justru dibelanya kakak iparnya di depan Lastri dan membuat kesal ibunya.
Perasaan cinta memang aneh.
Lintang sudah tahu Ambar tak bisa dimiliki. Wanita itu 100 persen mencintai Harjo, walaupun keduanya dijodohkan. Tapi semakin dia sadar kecintaan Ambar pada suaminya, semakin kuat pula perasaannya terhadap wanita itu. Dia tak bisa berbuat apa-apa untuk membunuh perasaannya, yang kata supirnya perlahan-lahan bisa hilang, tapi nyatanya tidak.
Ketika Lastri mengatakan kalau di antara Lintang atau Endang, salah satunya harus menikahi Maya, ia pikir mungkin itu saat yang tepat menerima cinta yang lain. Mungkin dengan sedikit dorongan dirinya bisa mencintai Maya seperti mencintai Ambar. Pak Kirman pernah bilang kalau orang dulu juga begitu. Dijodohkan lalu saling cinta. Mungkin perlu usaha untuk menumbuhkan perasaan cinta. Namun makin berusaha, dia semakin iba pada Maya. Lintang pasti tak akan bisa menatap wanita itu sepanjang mereka bersama karena merasa bersalah.
Ambar adalah kekuatannya, di mana siapapun tak bisa mengambil perannya. Dia bisa menghentikan Lintang berbuat semaunya dan membuatnya tetap waras. Cintanya bisa tak kesampaian tapi dirinya akan memastikan kalau wanita itu akan hidup dengan baik di dalam keluarga Oetomo. Lintang akan menjaganya tanpa mengambil peran Harjo. Itu saja cukup untuknya.
Bahagianya Ambar adalah bahagianya.
Lintang menarik napas panjang, membalikkan badan dan meninggalkan teras samping rumah sebelum Ambar menyadari kehadirannya. Biarlah wanita itu tetap tak melihat ke arahnya, biarlah hanya dia yang menatap dalam keheningan.
Pria itu lalu berdiam diri ke kamarnya. Sudah beberapa hari sejak kesalahpahaman mempelai pria terjadi, Lintang tak pergi bekerja. Biasanya urusan keuangan dia yang ambil alih, tapi sekarang lagi malas ketemu Tjong Lai. Bapaknya memang tak seperti Lastri yang tetap berkeras harus bermantukan Maya, tapi lepas tangan dengan urusan penjelasan kekeliruan mempelai.
Lintang maunya bicara pada Maya dengan kehadiran Endang, tapi kakaknya masih sangat emosi dan tak mau menerima penjelasan kalau adiknya itu sama sekali tak ada hubungan asmara dengan Maya.
Endang mengira selama setahun belakangan ini, setelah Maya bilang mau konsentrasi kuliah, Lintang mendekati wanita pujaan hatinya. Jadi sekarang wanita itu ingin menikah dengan adiknya, bukan dirinya.
Endang memang tolol, pikir Lintang.
Lintang tak pernah sekali pun berpikir untuk menikah dengan wanita itu. Tapi kemudian ia teringat wajah Maya yang bahagia sewaktu menatapnya malu-malu dalam pertemuan itu, dirinya mulai curiga kalau wanita itu menaruh hati padanya.
Maya mencintai Lintang.
Sejak kapan?
"Lintang, kau ada di dalam?"
Ambar!
Lintang bangkit dari tempat tidur, merapikan rambut dan kaus jeleknya yang biasanya dipakai tidur. Namun bagaimanapun baju tidur dirapikan, tetaplah kusut. Diseretnya kakinya menuju pintu kamar dan membukanya.
Ambar berdiri di depan sambil membawa nampan berisi sarapan dan teh.
"Bik Anum bilang kau belum makan sejak kemarin malam. Aku bawakan bubur ayam dan cakwe."
"Aku tidak mau makan," jawab Lintang malas tapi dia memberi jalan kepada Ambar agar bisa masuk dan meletakkan nampan di meja di dalam kamarnya.
"Makan saja sedikit. Aku mau bicara juga. Kau mau makan sambil bicara atau nanti?"
Lintang mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Sekarang saja!" jawabnya sambil duduk di pinggir tempat tidur. Dia tak mungkin duduk di kursi karena hanya ada satu kursi.
Lintang menarik cangkir berisi teh itu lalu menimumnya perlahan-lahan. Dia benar-benar lapar ternyata. Perutnya kosong, teh panasnya bebas terjun ke lambungnya.
"Aku kira aku juga telah menjadi penyebab kesalahpahaman yang sedang terjadi ini, Lintang."
Lintang menarik mangkuk berisi bubur ayam yang wanginya sangat menggoda itu. Dia taruh di hadapannya lalu mulai mengaduk.
"Kau ingat waktu aku beri hadiah pada Maya tahun lalu? Aku kira kalian pasangan. Sungguh!"
Lintang mulai menyendokkan bubur ke mulutnya.
"Aku nggak tau kalau Endang menyukainya. Waktu Ibu menyiapkan lamaran, aku nggak tahu kalau yang dilamar itu Maya. Andai aku tahu, pasti kejadian ini tidak perlu terjadi."
"Ibuk memang penuh rahasia. Jangan heran," ucap Lintang pelan.
"Itu tetap salahku. Sebagai orang yang mengurus keluarga ini ..."
"Aku tak perlu kau urus, Ambar," tukas Lintang pelan tapi tegas. Dia tak menatap Ambar melainkan tetap menyantap buburnya. Ambar tercengang menatap Lintang karena kata-katanya itu.
"Aku tersinggung, lho."
"Bukan urusanku kalo gitu!"
"Ih, kok gitu?"
"Aku bukan anakmu. Nggak usah kau urus-urus. Sekalipun aku suamimu juga nggak perlu kau urus!"
Setelah menyerocos, Lintang kemudian menyesal sedetik kemudian. Sekalipun aku suamimu, bukanlah perumpamaan sempurna yang bisa diucapkan seenaknya mengingat dia adalah adik iparnya Ambar. Tetapi Ambar tertawa.
Lintang lebih memilih dipukul daripada Ambar tertawa. Melukai harga dirinya.
Apa dia pikir aku nggak layak jadi suaminya sampai menertawakan pernyataanku?
Lintang melotot kesal. Tapi matanya tetap segaris sebagaimana pun dia berusaha untuk mendelik.
"Diam bisa? Kalau nggak ..."
"Baik!" jawab Ambar, membuat kode dengan tangannya kalau ia akan menutup mulutnya, tapi ekspresinya tetap lucu karena menahan tawa.
"Memang kenapa kau ketawa tadi?"
"Tidak kenapa, kok!"
"Pokoknya nggak usah ikut campur masalahku!"
"Iya."
"Lain kali kalau aku ribut sama siapapun, jangan dekat-dekat."
"Lho, kenapa?"
"Takut kena kamu. Kalau kamu luka gimana?"
"Nggak. Aku kuat, kok."
"Pokoknya nggak boleh. Janji, ya? Kalau nggak ... nggak kupinjami buku lagi," ancam Lintang serius.
"Kok jadi suka ngancam?"
"Biar! Nggak kuajari bahasa Inggris lagi!"
"Ih!"
"Nggak mau gendong Arjun lagi!"
"Kok bawa-bawa Arjun?"
"Biar kapok. Aku tau kau pasti nggak peduli sama dirimu sendiri, tapi kau pasti sedih kalau Arjuna nggak dapat perhatianku lagi."
"Kekanak-kanakkan!"
"Asal tujuanku tercapai," jawab Lintang.
"Jangan ribut sama Endang lagi. Bagaimana pun ... dia kakakmu. Kalau ada yang dirasa nggak pas, bicarakan dulu," tukas Ambar pelan.
Asal kau ada ... aku mampu. Tetaplah di sini, Ambar. Tak perlu kumiliki.
"Tentang pernikahanmu ... Kalau ada orang yang harus menemui Maya, akulah orangnya. Endang nggak salah."
"Dia salah karena bilang ke Ibuk kalau Maya memintanya menunggu sampai lulus kuliah, nyatanya nggak gitu," sahut Lintang datar.
"Maya ada bilang begitu padanya?"
"Mana kutahu ... itu kata Endang dan aku percaya."
Ambar menggigit bibirnya dan berpikir.
"Sepertinya aku memang harus menemui Maya untuk memperjelas hal ini," katanya pelan. Disentuhnya lengan Lintang.
"Antarkan aku menemuinya. Maksudku ... agar ini juga jelas bagi Endang. Maksudku begini ... jika kau ingin menikah dengannya pun bagi Endang harus jelas."
"Aku tidak mau menikah ..."
Ambar memandang Lintang. Begitu juga sebaliknya.
"Aku yang pergi!"
Endang berdiri di depan pintu. Sosok tingginya menghalangi cahaya masuk melalui pintu kamar dan tubuhnya membentuk siluet.
"Aku yang akan bicara dengan Maya. Lintang benar, aku yang salah!"
"Sejak kapan kau menguping di sana?"
Endang melangkah masuk dan menjawab, "Sudah lama juga."
Ambar berdiri, bermaksud menepi agar kedua kakak-beradik yang sedang bersitegang itu bisa bicara baik-baik. Tapi Endang mencegahnya.
"Tetap duduk saja, Kakak Ipar. Biar kau juga ikut mendengar."
"Aku memang tadinya berniat bicara padamu, sampai aku mendengar kalian bicara tentang Maya. Tunggu dengarkan aku, Kak Ipar. Biarkan aku selesai dulu," pinta Endang ketika melihat Ambar hampir membuka mulut.
"Aku mungkin terlalu bodoh. Tak seperti Lintang yang berpendidikan, aku mengartikam sikap Maya kalau ia memberiku kode untuk menunggu dirinya lulus kuliah. Aku nggak tau kalau wanita yang kucintai itu ternyata menyukai adikku."
"Aku yang salah, Endang. Aku tau dia suka Lintang tapi aku malah tidak bilang ..."
"Kak, ini antara aku, Maya, dan Lintang. Kau sama sekali nggak ada hubungannya. Jadi kuputuskan hari ini mau menemui Maya. Mau ngomong sama dia kalau hari itu akulah yang melamar, bukan Lintang. Kalau dia masih mau nikah denganku, maka aku akan datang melamarnya atas namaku sendiri. Tapi jika dia maunya sama Lintang, aku akan bilang ..."
"Aku nggak mau nikah!"
"... aku akan bilang kalau kejadian itu adalah kesalahpahaman. Lintang datang untuk namaku dan sama sekali tak bisa ngomong karena keberadaan orang tuanya."
"Aku ikut!"
"Tak perlu. Ini bukan urusanmu!" sembur Endang pada Lintang.
"Ini urusanku kalau aku harus sampai dipaksa nikah dengan wanitamu!" Lintang membalas semburan kakaknya.
"Kau lucu! Kenapa disuruh nikah sama Maya nggak mau? Apa salahnya dia? Dia cantik, baik, berpendidikan. Memang kau bisa cari yang lebih baik dari dia?"
"Aku punya orang lain!"
Endang dan Ambar sama-sama terkejut.
"Siapa wanita itu kalau bukan Maya?" cecar Endang.
"Bukan urusanmu!" sembur Lintang.
"Kenapa kau sembunyikan dari kami?"
"Karena ... ah! Kenapa kau urusi aku? Urus sana Maya. Pokoknya aku dan dia nggak ada hubungan apa-apa. Murni teman. Aku ajak dia main ke rumah karena kau yang minta. Soal tanggal lahirnya, Ibuk sendiri yang tanya sama dia, aku nggak tau. Aku nggak tau waktu Bapak dan Ibuk mau melamar, aku cuma disuruh antar. Aku baru tau waktu dalam perjalanan dan nggak bisa kabari Maya. Bisa coba bayangkan gimana aku di situ tiba-tiba disebut orang tuanya Maya sebagai calon mempelai? Cukuplah cuma kita saja yang begini, adik-adik kita nggak perlu sampai dijodoh-jodohkan lagi. Zaman berubah sudah. Jangan lagi kita sebagai orang muda diatur pernikahannya karena tanggal lahir yang cocok, status keluarga. Terus kalau cocok, nggak ada cinta, apa bisa bertahan dalam kehidupan rumah tangga?"
Endang yang berdiri sejak tadi lalu duduk di samping adiknya.
"Aku tau kau banyak ngomong, tapi aku nggak tau kalau kau cerewet."
"Diam!"
"Aku diam!"
Ambar yang tertawa.
"Diam!"
"Diam!"
"Kalian dua bersaudara unik sekali! Aku juga sering ribut dengan adik-adikku, tapi nggak seperti kalian berdua."
Ambar masih tertawa-tawa. Lintang ikut tertawa lalu diam dengan tiba-tiba dan menunjukkan wajah judesnya, ciri khasnya.
"Nggak lucu!" omelnya.
"Nggak usah sok galak! Aku nggak takut padamu!" balas Ambar tak kalah judes.
"Pokoknya aku nggak mau kau ikut campur masalahku, ngerti!"
"Urusan adik-adik Harjo adalah urusanku!"
Endang menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan tak sabaran.
"Aku mau pergi, silakan lanjutkan ribut di sini. Pinjam motormu, Lintang," pinta Endang. Lintang bangkit dari tempat tidurnya dan mengambil jaket yang tergantung di dinding kamar. Jaket berwarna hitam itu jahitan Ambar. Dirogohnya saku dan menemukan kunci mobilnya. Lalu dilemparkannya kepada kakaknya. Endang berhasil menangkap kuncinya. Namun ia ngomel ketika menyadari adiknya memberikan kunci mobil bukan motor.
"Motor, aku nggak perlu mobil."
"Mau ketemu calon istri, pakai mobil saja."
"Motor, Lintang. Jangan sok! Krani kesayangan Bapak!" sindir Endang pedas.
"Nggak usah ngomong gitu. Mobilnya aku beli karena kerja sama Bapak," balas Lintang karena tersinggung. Endang tertawa.
"Tau ... kami semua ingin sepertimu, bantuin Bapak biar kita juga bisa punya rumah dekat bandara seperti yang Ibuk inginkan," tukas Endang sambil tertawa. Si Tampan dengan mata bagai burung elang itu melemparkan kunci mobil kembali pada Lintang.
Lintang kembali mencari kunci motor dan melemparkannya kepada Endang.
"Tapi aku harus cari alasan kenapa harus ke kota kalau Ibuk tanya."
"Kebetulan, aku mau ambil kancing untuk pabrik. Kau bisa bilang sama Ibuk kalau kau perlu ambil pesanan kancing, gimana?"
Endang menunjuk Ambar dengan telunjuknya sampai Lintang menurunkan tangan itu.
"Nggak sopan!"
"Aku cuma mau bilang dia pintar! Dulunya aku nggak peduli siapapun yang jadi istri Harjo. Sekarang aku merasa senang kalau dialah yang menjadi kakak iparku."
Pujian yang keluar dari mulut Endang, tapi Lintang tak merasa nyaman mendengarnya. Jarang sekali dia merasa cemburu pada Harjo, tidak pernah. Hanya terkadang menyesali waktu dan jodoh yang tak berpihak padanya.
"Aku pergi."
"Oii! Awas saja kalau wajah tampanmu itu nggak bisa bikin Maya luluh, akan kutendang kau!" ancam Lintang garang. Endang bangkit sambil memasukkan kunci ke dalam saku.
"Bagaimana penampilanku?" tanyanya pada Ambar. Wanita itu menilai penampilan adik iparnya dari kaki sampai kepala. Endang tak perlu mengenakan baju bagus, wajahnya saja sudah menarik.
"Looking good!" pujinya jujur.
"Dia bilang apa?"
"Ah ... sudahlah pergi sana! Pergi!" usir Lintang sebal. Diusir oleh Si Adik, Endang keluar dari kamar itu.
"Kak!" panggil Lintang. Endang menoleh, tatapannya lurus menatap adiknya. Usia mereka terpaut lumayan jauh, hubungan mereka juga tak dekat karena Lintang yang dibesarkan oleh Tante Rosa, tapi mereka memiliki darah yang sama, sudah sewajarnya saling menyayangi. Kelima jari tangan akan menekuk ke arah dalam. Sebuah perumpamaan dari orang tua zaman dulu kalau jari itu adalah melambangkan keluarga.
"Ke depannya mari kita menghabiskan banyak waktu bersama. Kakak suka main badminton? Ayo, kita main badminton!"
Endang tertawa, tawa yang sangat tulus. Dia menganggukkan kepalanya.
"Kau ajari aku main gitar, ya. Atau ... kau bisa ajari aku bahasa Inggris supaya aku ngerti kalo ada orang yang sedang mengejekku," katanya sambil melirik Ambar.
"Aku nggak menjelekkanmu!"
Lintang tertawa. "Baik, Kak!"
Nyonya Rumah.
+1
"Nyonya, Nyonya, ada telepon dari rumah sakit!"
"Ada apa? Kenapa kau lari-lari di rumah? Main petak umpet? Kau kira rumah ini tanah lapang?" omel Lastri pedas pada pembantunya yang terlihat sedang syok.
Si pembantu muda yang baru bekerja selama sebulan itu tampak panik. Dia menelan ludah sebelum bicara lagi.
"Itu ... Den Endang masuk rumah sakit. Polisi yang telepon katanya ..."
Cangkir itu meluncur jatuh dari tangan Lastri, pecah berkeping-keping ketika menghantam lantai ubin tanah liat.
Mulut Lastri menganga lebar, matanya mendelik, tangannya gemetar.
Ambar kebetulan sedang melewati kamar mertuanya dan melihat kejadian itu.
"Ada apa, Nik?"
Si Pembantu masih syok.
"Itu ... Den katanya Pak Polisi kecelakaan!"
"Den? Den siapa?"
Siapapun itu, pikir Ambar. Bisa suaminya, bisa Lintang. Tangannya mulai gemetar. Namun ia menguatkan diri. Apapun berita yang disampaikan Anik, dia harus kuat.
"Endang!!!" teriak Lastri sebelum jatuh pingsan.
Ambar berlari berusaha menangkap tubuh mertuanya sebelum jatuh.
"Ibu! Bu!"
Mertuanya jatuh di pangkuannya.
"Anik! Ambilkan air hangat!" perintah Ambar. Dia berusaha membuka kancing jaket krah Cina yang dipakai Lastri dan memberikan pijatan di lengannya.
Si Pembantu walau awalnya syok, berhasil menuang air hangat ke dalam cangkir dan menyerahkannya kepada Ambar.
"Panggil Lintang!"
Hanya nama Lintang yang pertama dipikirkannya agar dapat membantunya karena suaminya sedang tak ada di rumah. Tapi sebelum pembantu pergi, Lintang muncul. Dia datang karena mendengar suara ribut-ribut.
"Ada apa?" tanyanya. Dia kelihatan syok juga melihat ibunya terkulai lemah.
"Sesuatu terjadi pada Endang. Kau harus telepon rumah sakit. Biar aku urus Ibu."
Lintang masih belum pergi, ia ragu meninggalkan Ambar mengurus ibunya sendiri.
"Tunggu apa lagi? Pergi, Lintang. Endang butuh bantuan! Percayalah padaku! Aku bisa mengurus Ibu!"
Aku percaya, Ambar Sayang. Aku percaya kau bisa. Akulah yang tidak bisa apa-apa tanpamu.
"Pergi!"
Lintang berlari seperti robot, otaknya berpikir apa yang harus ia lakukan. Dia bingung dan linglung.
Rumah sakit, polisi, Anik.
Dia harus tanya Anik, darimana polisi itu menelepon.
Nyonya Rumah.
Cici kok sedih? Padahal udah janji mau main bareng. 😭😭😭😭😭
Ci tebar next part, ya.
Lintang : Selamat tinggal. Kau harus bahagia. Sebab kalau kau tidak bahagia, aku juga tidak.
Maya : Sekarang aku benar-benar mengerti kenapa kau tak pernah menyadari kehadiranku? Kau bohong soal buku resep.
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Yang punya aplikasi KBM, minta subscribe-nya ya, kalau bisa follow. Christina Suigo.
Keasikan ngetik sampai lupa up part ini. Komen panjang dan banyak, ya. Biar jebol notif. Like dan share.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top