Babak I : 11. Burung Feniks.

*phoenix atau fenghuang (burung yang melambangkan simbol hubungan suami-istri).

👆mulmed.

Voted dulu sebelum baca, mana tau lupa. 🤣

Sekarang, 1999.

"Paman tau kalau dia tak akan diterima dalam rumah kami. Kenapa masih membawanya untuk bertamu?"

Paman Lintang menghela napas panjang mendengar pertanyaanku. Aku sengaja mendatangi rumahnya untuk menyatakan keberatanku karena dia membawa orang yang telah membuat hidup Ibu berantakan ke rumah kami di saat merayakan ulang tahun Ibu.

"Bagaimana pun dia Bapakmu, Bima. Dia sudah berkali-kali lepas dari kematian. Dia pasti menyesali perbuatannya di masa lampau," katanya sambil membuat teh.

"Paman ... dia menyesali boleh. Tapi kami tidak harus menerimanya."

"Bapakmu tidak menuntutmu menerimanya. Dia ingin ketemu kalian dan minta maaf sama Ambar."

"Apa Paman pernah bertanya kami mau nggak menemuinya?"

Paman mendorong poci berisi teh sampai air panasnya tumpah. Dia pasti sangat kesal karena ucapanku yang keras. Sejak dulu, dia tak pernah marah padaku, betapa nakalnya aku. Aku pernah memukuli temanku yang menghina keluarga kami lalu Paman juga yang pergi menemui guru sekolahku dan menuntut anak itu minta maaf padaku.

"Aku ingat ... kau selalu ingin menemuinya waktu itu ..."

"Sudah lama, Paman. Aku sudah lupa," jawabku datar.

"Bagaimana pun kita yang sekarang, Nak ... jangan sampai melupakan asal-usul kita. Bukankah ibumu selalu mengulang-ulangi nasehat ini padamu dan kakak-kakakmu?"

"Paman Lintang, aku dan kedua kakakku berbeda!" seruku keras. Kemudian kubalikkan badanku meninggalkan Paman yang masih diam tak membalas seruanku. Kutinggalkan dia dalam kebisuan. Biarlah dia berpikir lagi, alasan apa yang mendasari aku menolak keras Harjo Oetomo menginjakkan kakinya di rumah kami.

Nyonya Rumah.

3 Oktober 1971.

"Awas!" Lintang meneriakan kata agar Maya lebih memperhatikan lilin kecil yang baru dihidupkannya. Namun telat, lelehan cair nan panas itu telah mengenai kulit tangan wanita itu.

"Aduh!"

Lilin warna hijau itu lepas dari tangannya tapi padam ketika menyentuh tanah. Lintang menarik tangan Maya dan meniupnya pelan.

"Sakit?"

Maya meringis dan mengangguk.

"Sebentar ... aku ambil salep dulu," ujar Lintang meninggalkannya sendiri. Maya tak merasa nyaman bila ia ditinggal sendirian di rumah Lintang. Bukan karena takut tapi agak keder menghadapi ibunya Lintang. Nyonya rumah keluarga Oetomo itu suka bertanya tentang latar belakang keluarga Maya. Tak ada yang perlu dia sembunyikan tentang keluarganya. Bapaknya punya pabrik tembakau, ibunya ibu rumah tangga biasa. Dia punya dua saudara perempuan, tidak ada saudara laki-laki. Karena itu, sebagai anak perempuan, dia diperbolehkan sekolah, supaya bisa punya kesempatan untuk bertemu dengan pria yang berpendidikan, kata bapaknya. Keluarga yang baik itu penting, pesan kedua orang tuanya, bibit, bebet, dan bobot. Namun, Maya tak ingin semua orang tahu kalau di balik alasannya kuliah adalah karena keluarganya ingin menantu yang berpendidikan tinggi. Lintang juga tidak tahu. Maya Lestari menjadi satu dari sedikit perempuan yang mengenyam pendidikan di universitas negeri di awal orde baru, merupakan sebuah kebanggaan bagi keluarganya. Apalagi adik-adiknya juga mengikuti jejaknya.

"Hei, melamun. Di mana Lintang?"

Ambar datang menghampiri Maya sambil menggendong Arjuna, cucu kesayangan keluarga Oetomo.

"Ah, Kak Ambar. Lintang mengambil salep. Tanganku kena lilin," jawab Maya sambil menunjukkan kulit tangannya yang menjadi kemerah-merahan.

"Wah, ini harus segera diberi salep kulit kalau tidak bisa melepuh. Sebentar ya, aku ambilkan."

"Jangan, Kak. Lintang sudah ambil. Kakak duduk di sini saja temani Maya," sahut Maya sambil menahan lengan Ambar agar tidak pergi. Ambar urung pergi. Dia kembali duduk di samping Maya.

Maya berkesempatan main dengan Arjuna. Sejak tiba di rumah Oetomo, ia tak memiliki kesempatan untuk menggendong anak ganteng yang baru berusia setahun itu. Endang, kakak Lintang selalu mencari kesempatan untuk bicara dengannya, begitu juga dengan Lastri. Maya merasa risih, padahal Lintang tak memaksanya untuk memenuhi undangan keluarga Oetomo untuk merayakan perayaan bulan purnama. Maya datang dengan sukarela.

"Kak Ambar usianya berapa tahun ini?" tanya Maya sambil memjawil pipi Arjuna.

"21 kalau Maya?"

"Seumuran Lintang. 22. Aku lebih tua," jawab Maya sambil tertawa.

"Oh."

"Kata Lintang ... Kak Ambar ... boleh panggil nama, ya sekarang?"

Ambar mengangguk.

"Kata Lintang, Ambar pintar masak dan bikin kue. Kue nyonya yang sering Lintang bawa katanya Ambar yang bikin."

"Itu cuma ala kadarnya. Ibuku yang bikin. Waktu kecil, ibuku bikin kue, aku dan adik-adikku suka ikut membantu," jawab Ambar merendah.

"Ibuku tak suka bikin kue. Rumah kami ada tukang masak. Kami mau apa, tinggal bilang. Aku jadi ingin belajar bikin kue karena ..."

Maya tak melanjutkan kalimatnya. Dia terlihat ragu dan tak berani menatap kakak iparnya Lintang.

"Lintang, ya?"

Maya ragu-ragu mengangguk.

"Bukannya kamu yang punya buku resep itu?" tanya Ambar bingung.

"Buku resep apa? Aku nggak punya buku resep. Aku baru tahu kalau Lintang sering beli buku resep, makanya aku ingin belajar masak. Kukira dia sedang pacaran dengan wanita yang suka masak."

Kedua wanita itu sama-sama bingung dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Maya sedang menebak wanita yang mungkin disukai Lintang, di antara temen kuliahnya, yang mana yang hobi bikin kue. Sementara Ambar mulai meragukan pemilik buku resep Lintang ternyata bukanlah Maya. Namun berdasarkan informasi yang diperoleh dari Harjo, yang menyukai Maya adalah Endang, tapi adik iparnya yang itu juga sudah dijodohkan dengan Shinta. Semakin berpikir, Ambar semakin pusing.

"Jadi ... sebenarnya Lintang punya teman dekat nggak?" tanya Maya dengan nada lirih. Ambar dengan jujurnya menggeleng.

"Setahuku ... nggak."

Buku itu tetap menjadi pertanyaan di dalam kepalanya.

"Kamu ada hati sama Lintang, ya?" tanya Ambar hati-hati. Pertanyaannya belum terjawab, Lintang sudah datang membawa salep. Maya kembali menelan ucapannya.

"Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Lintang. Dia membaca situasi di mana wajah kedua wanita itu menunjukkan sedang menyembunyikan sesuatu.

"Tidak!"

"Kami sedang bicara tentang kue bulan."

Jawaban yang berbeda membuat Lintang menatap keduanya bergantian. Curiga.

"Arjuna, you tell me. I believe you!"

Ambar menunjukkan wajah cemberut. Ia sebal kalau Lintang mulai bicara pada Arjuna dalam bahasa asing yang tak ia mengerti. Sementara Lintang memberikan kode jempol pada anak itu. Si Anak tertawa cekikikan seolah mengerti apa yang dikodekan pamannya.

"Lama-lama aku curiga kau dan anakku sedang membicarakan aku," sindir Ambar. Lintang tertawa.

"Kok tau? Okay, Boy!"

Arjuna memamerkan giginya yang baru ada empat dan mengeluarkan suara seperti setuju dengan Lintang.

"Good!"

"Aku harus belajar bahasa Inggris!" tekad Ambar sampai Maya tertawa.

"Maya ajari mau?"

"Ah, jangan! Nanti aku dan Arjuna tak bisa bicara tanpa diketahui lagi."

Maya tertawa terbahak-bahak ditambah lagi melihat ekspresi Ambar yang tampak kesal.

"Kau mau olesi salep ke tangan Maya, nggak? Kalo nggak, nanti tangannya berbekas kau harus tanggung jawab," tukas Ambar. Maya diam, wajahnya berubah kemerah-merahan karena digoda oleh Ambar.

"Iya, iya. Aku juga tak sudi punya pacar yang nggak bisa masak. Bisa kelaparan aku nggak dikasih makan," canda Lintang. Ditariknya tangan Maya pelan dan diolesinya dengan salep yang dibawanya.

"Biarkan saja, Maya. Lelaki yang mengasihimu nanti pasti akan makan apapun yang kau sajikan. Sekalipun hangus!"

Lintang mencibir. "Apa Harjo begitu?"

Maya tampak canggung dengan candaan Lintang dan Ambar. Memang tak bermaksud untuk menyindir dirinya tapi membuatnya berpikir kalau pria yang di sampingnya sedang mengakui kalau sebenarnya Maya tidak mendapat tempat di hatinya. Perubahan di wajah Maya dapat dibaca oleh Ambar sampai wanita itu menepuk bahunya dan berkata, "Jangan dimasukkan ke dalam hati. Lagi Lintang pernah bilang kau calonnya nanti nggak wajib bisa masak."

"Hei!" Lintang protes.

Maya memaksakan seulas senyuman, dia tak ingin Lintang tahu kalau di dalam hatinya telah terukir nama pria itu.

"Maya, dipanggil Endang tuh!" tukas Lintang setelah selesai mengoleskan salep ke tangan wanita itu. Maya mendongak menatap manik mata Lintang. Dia benci mengakui fakta bahwa pria ini mengundangnya merayakan bulan purnama untuk menyodorkannya kepada saudara laki-lakinya. Kadang ia menghibur diri, pada suatu saat nanti, Lintang akan sadar akan kehadirannya. Namun sebelum itu, ia harus membuat Endang menyerah soal dirinya.

"Kalau keluarga Maya merayakan bulan purnama juga?" tanya Endang berusaha basa-basi agar tidak canggung pada Maya. Gadis itu mengangguk tapi tak mengeluarkan suara.

"Ibu selalu menyukai perayaan bulan purnama. Katanya kami wajib berkumpul di saat ini ketika orang tua masih lengkap. Nanti kalau aku sudah berkeluarga, aku juga akan menerapkan hal yang sama pada keluargaku."

Maya mulai mencari cara agar bisa membuat Endang berhenti mengharapkannya. Dia tak ingin menjadi musuh keluarga Oetomo, masih ingin menjadi teman bagi Lintang sampai pria itu menyadari kehadirannya tepat sebagai pendampingnya. Pertama-tama ia harus mulai dari Endang.

"Dek Maya, sekarang sudah punya pacar?"

"Aku ... belum."

Endang tersenyum sedikit. Manik matanya tampak membesar. Dia memang ganteng, memiliki mata lebar, hidung mancung, tubuhnya tinggi dan tegap. Bisa dikategorikan anak keluarga Oetomo yang paling ganteng. Namun dia tak sedikit pun bisa menggerakkan hati Maya. Baginya pria itu terlalu kaku. Dirinya lebih menyukai pria yang aktif dan tak bisa diam seperti Lintang.

"Belum punya pacar, ya? Padahal Dek Maya pasti banyak yang suka."

"Anu ..."

"Dek Maya terlampau pemilih, ya?" Maksud dari pertanyaan Endang bukanlah untuk menghakimi tapi sekedar menggoda wanita pujaan hatinya. Sementara wanita yang digodanya menggeleng dan berusaha mencari cara untuk menjauhkan pria itu.

"Aku belum ingin punya pacar, Kak. Mau selesai kuliah dulu. Bapak menuntut agar aku memberi contoh yang baik yang bisa diikuti oleh adik-adikku," tukas Maya dengan buru-buru. Dalam hati berharap agar pria itu menyerah.

Lelaki berambut tebal yang ada di depannya  tersenyum hangat, sebelum berkata, "Ya, aku mengerti."

Maya bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya ia tak menjadi musuh bagi Endang. Itu saja cukup baginya. Kesempatan memenangkan hati Lintang masih terbuka untuknya.

"Kue apa ini?"

Maya mendengar suara seorang wanita tak jauh dari tempatnya. Dia mendongak dan melihat kakak ipar Lintang, Rita sedang melepehi kue buatan Ambar ke lantai.

"Tidak enak! Bik, ambilkan minuman untukku!" perintahnya dengan gaya angkuh pada salah satu pembantu rumah yang sedang menggendong anaknya Koesman yang baru beberapa bulan lalu dilahirkan.

Maya tidak kenal Rita dan tak pernah bicara dengannya meski pernah beberapa kali bertemu dalam pesta pernikahan kakak perempuan Lintang. Namun dia tahu kalau wanita itu bukanlah wanita yang ramah. Dia angkuh dan congkak. Bersikap seolah-olah dirinya adalah menantu yang paling berkuasa dan akan mewarisi kekayaan keluarga Oetomo.

"Kau sariawan?" tanya Lintang dengan maksud menyindir. Pria itu dengan santainya berdiri bersandar pada salah satu tiang rumah sambil melipat tangannya. Di mata Maya, Lintang tampak begitu gagah. Dia tidak setampan Endang, tidak semenarik Harjo, tapi punya ciri khas tersendiri yaitu cuek dan semaunya.

"Apa sih, Lin?" tanya Koesman sambil menyenggol lengan adiknya.

"Tuh, istrimu sakit. Bawa pulang sana," tukasnya enteng. Koesman memandangi istrinya dengan seksama, meneliti wajah di depannya apakah memang seperti yang dikatakan Lintang kalau istrinya sakit.

"Nggak. Dia nggak sakit. Anakku yang sakit," tukas Koesman. Lintang menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sudah tau sakit, kenapa kau datang?"

"Ibuk yang nyuruh."

"Ibuk yang nyuruh karena Ibuk nggak tau anakmu sakit. Pulang sana! Urus anakmu! Ngerusuh aja di sini. Ngerujak boleh!"

Tawa Maya hampir saja meledak, tapi masih bisa ditahan. Kalau sampai dia tertawa, bisa-bisa dia yang dijadikan bahan rujak sama Rita, istrinya Koesman.

"Rit ... pulang, yuk. Kasihan Kris. Kalau panasnya makin tinggi gimana?" tanya Koesman. Rita mendelik.

"Setahun sekali perayaan gini. Aku kan ingin lihat bulan juga."

"Tapi ..."

Koesman tak berani melanjutkan ucapannya karena istrinya melotot lagi. Sementara itu Kriswanto, anak mereka mulai merengek dalam gendongan pembantunya.

"Tik, Kris dibawa ke kamar Ibu saja. Biar tiduran di sana," tukas Ambar pelan. Rita melirik istri Harjo dengan ekor matanya, kelihatan kurang senang.

"Boleh, ya, Rit. Nanti aku bawain minyak kayu putih. Mungkin Kris masuk angin karena lama di luar. Aku juga mau bawa Arjuna masuk."

Rita tak mau menjawab, hanya mendengkus sebal. Koesman yang mengangguk mengijinkan Kris dibawa pergi oleh pembantunya. Daripada dia diomeli istrinya karena perayaan tahunan, lebih baik Kris diserahkan kepada Ambar.

"Dek Maya. Maaf, nggak bisa temani kamu ngobrol. Ini hadiah buatmu," tukas Ambar sebelum pergi membawa Arjuna masuk ke rumah. Ia menyerahkan bungkusan plastik yang berisi kain bersulam feniks yang Maya tebak adalah sprei.

"Ambar ... aku belum mau menikah," tukas Maya cepat. Dia benar-benar mengagumi pekerjaan tangan berupa sulaman halus di atas kain berwarna merah muda itu. Dia yakin sekali kalau sulamannya dikerjakan oleh Ambar. Lintang pernah menyinggung tanpa sengaja kalau bajunya dijahit oleh kakak iparnya.

"Simpan saja sampai waktunya tiba. Kau akan memerlukannya kelak," bisik Ambar pelan. Lalu ia meninggalkan Maya bersama Endang dan Lintang.

Sepeninggalan Ambar, Maya mendongak menatap Lintang. Sedangkan pria itu sedang membelakanginya, menatap punggung kakak iparnya yang menghilang masuk ke dalam rumah.

Dia salah paham. Dia pasti mengira kalau buku resep itu adalah milik Maya lalu mempersiapkan kain itu untuk menggantikan bukunya.

Nyonya Rumah.

Noted : Pas 2000 kata. Komenlah sekali ini. Apa saja. Jangan next karena Cici nggak tau mau balas apa. Yang salah-salah tanggal, tahun pun boleh. Biar rame. Mana tahu Cici juga salah letak tanggal jadi masih bisa diperbaiki.

Nih, kasih hadiah foto Lintang pas pengenalan mahasiswa. Tahun 1966 ada nggak kayak ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top