Killer Queen
"Ide bagus, kan? Toh lo bakal bisa leluasa menyelidiki dia. Gue bakal backup lo, seandainya ada apa-apa." Ganda kembali memamerkan deretan giginya yang menguning akibat tembakau yang dihisapnya bertahun-tahun.
Javas menghela napas. "Hari pertama gue kenalan sama dia, gue udah diborgol dan gue mesti cari cara sendiri buat ngelepas borgolnya. Terus gue harus ngerayu dia biar jadi suami ke-13 gitu? 13 tuh angka sial, Bro. Bisa-bisa mampus gue sebelum sempet bilang saya bersedia."
"Yaelah. Tadi lo ceramahin gue tentang hal-hal mistis atau klenik. Ternyata lo sendiri percaya sama angka sial." Tangan lelaki berkaca mata itu mulai menelisik kembali berkas yang ada di meja. "Banyak yang ganjil tentang korban-korbannya. Itu yang bikin gue kepikiran terus."
"Apa ada pola yang sama? Misal jari yang ilang, kayak kasusnya Jonathan?"
Ganda menggeleng. "Semua kasus beda. Ada yang tabrakan mobil, ada yang jatuh ke jurang. Ada juga yang mati keracunan. Yang paling ngeri, menjadi korban kebakaran di sebuah gudang. Nyaris menghapus semua bukti kekerasan yang ada. Kesamaan mereka cuma satu, pasangan Jenna Salim." Tenggorokan lelaki itu tiba-tiba terasa kering hingga ia terbatuk dengan keras. "Semuanya tanda tangan surat perjanjian itu di depan notaris. Makanya gue sampai ambil kesimpulan, mungkin perjanjiannya itu nggak cuma perjanjian biasa, tapi juga perjanjian dengan iblis."
Tawa keras meluncur dari mulut Javas. "Ya ampun, Gan! Lo kata Jenna istri Lucifer?"
"Siapa tahu, kan? Soalnya korban pada mati mengenaskan lho. Dan si Jenna bisa perfect gitu alibinya. Nggak ada celah. Apalagi kalo lo lihat ekspresi dia tiap kali mengidentifikasi mayat korban atau pas diinterogasi. Hih." Ganda menarik napas panjang. "Sebenci-bencinya istri sama suaminya, ketika suami meninggal, masak iya si istri biasa-biasa aja? Nggak ada sedih, nyesel, atau marah gitu? Flat aja mukanya."
"Mungkin aja emang udah nggak ada rasa saking bejatnya si suami. BTW, Selain suami dan tunangannya apakah ada korban lain yang lo temukan? Mungkin karyawan, ART, atau siapa aja di sekitar Jenna Salim?"
"Gue masih mencari kasus-kasus yang berkaitan. Gue udah kontak rekan-rekan dari polres maupun polsek. Apa pun yang ada hubungannya sama Jenna meskipun bukan pembunuhan. Gue beneran punya feeling kalo si Jenna ini beneran sikopat, Man."
"Lo bilang sikopat itu nggak punya hati. Gimana caranya bikin Jenna jatuh cinta, kalo dia emang nggak punya hati?"
***
Aroma anyir darah menusuk dari sebuah ruangan yang sedikit remang, hanya mengandalkan cahaya dari sebuah lampu yang bahkan sudah berkelap-kelip, tinggal menunggu waktu untuk mati. Selain anyir, ruangan tersebut dikuasai oleh pengap, keringat serta daging membusuk yang bisa membuat siapa pun muntah ketika memasukinya. Terbuat dari papan kayu yang dipaku rapat tanpa ada sisa celah untuk sinar matahari menembus melaluinya, menjadikan tempat itu semakin memiliki nuansa suram.
Seorang lelaki dengan tangan dan kaki terikat di sebuah lingkaran yang menempel pada salah satu dinding, melenguh perlahan. Kepalanya terkulai, lemah tak bertenaga. Darah menetes dari dahinya dan jatuh ke bawah membentuk pola lingkaran tak sempurna di lantai yang juga terbuat dari papan. Sebagian lingkaran itu mengering, sementara di pusatnya di mana selalu ada tetesan darah baru yang terkumpul di sana, masih segar dan basah.
Terdengar suara sepatu hak tinggi yang beradu dengan papan yang menimbulkan suara keriut yang segera menyadarkan lelaki itu. Kepalanya bergerak sedikit demi sedikit, demi bisa membuat matanya melihat sosok orang yang kini berada di hadapannya. Tubuh langsing terbalut gaun mewah berwarna merah darah tegak berdiri, sementara senyum di wajah sosok tersebut terlihat sangat keji. Gigi lelaki itu gemeletuk, sementara ia mencoba mengucapkan sebuah kata yang sangat sulit dengan sisa tenaga yang dimilikinya.
"A-ampuni aku ...."
Sosok yang tengah memindainya itu bergeming. Posturnya sungguh sempurna jika berada di sebuah pameran busana, bukannya di sebuah ruangan yang sama sekali tidak cocok dengan citranya sekarang.
"A-ku berdosa .... Aku salah ...." rintih lelaki itu lagi. "Ampuni aku ...."
Sosok tersebut bergerak, tangannya mengeluarkan sesuatu dari clutch bag berwarna putih yang digenggamnya sejak tadi. Kemudian, dengan santai, ia melemparkannya ke bawah, tepat di dekat kaki lelaki itu hingga si lelaki bisa melihatnya.
Foto-foto si lelaki bersama perempuan tengah telanjang di sebuah sofa, serta di atas ranjang bertebaran di lantai itu. Wajah lelaki itu di foto tampak sangat semringah. Berbanding terbalik dengan wajah lelaki itu saat ini, di mana kaki kanannya mulai dikerubuti lalat karena luka yang ada di sana berhari-hari tak tersentuh antibiotik.
"Ma-maafkan aku ...." Suaranya semakin serak, hingga nyaris tak terdengar.
"Kamu tampak bahagia di foto itu. Lantas mengapa kamu memilih menikah denganku, hm?"
"Ini ... tidak seperti ... yang kamu pikir ...." Susah payah, lelaki itu mengucapkannya dengan napas tersengal-sengal. Matanya sudah mulai kabur, hingga pemandangan di hadapannya tampak samar seperti bayang-bayang.
"Memangnya kamu tahu apa tentang pikiranku, hah?" Sosok tersebut meraih sebuah botol yang berada di atas meja, yang tak jauh dari lingkaran di mana lelaki itu terikat. Ia menyiramkan cairan yang ada di botol tersebut ke kaki kanan si lelaki sementara matanya menatap lekat ke arah lelaki itu. Sontak, erangan keras terdengar memenuhi ruangan tersebut, hingga lelehan air mata membasahi pipi si lelaki.
Tak berhenti sampai di sana, sosok tersebut kini beralih ke cambuk yang tergantung di sisi kiri lingkaran. Ujung cambuk itu kini menjilat tubuh si lelaki beberapa kali, ketika sosok tersebut mengayunkannya sekuat tenaga.
"Tolong, ampun ...." rintih lelaki itu sekali lagi. Ia tidak pernah menduga bahwa mengkhianati pernikahannya bisa membawanya ke hadapan lubang maut. Kini ia tengah berada di antara hidup dan mati, setelah seminggu yang lalu ia mendesah penuh gairah bersama perempuan yang menarik matanya selama setahun ini. Ia berpikir bisa mengelabui istrinya, karena semua langkahnya dipertimbangkan dengan matang. Namun, apa daya, kini ia harus menanggung kesalahannya dengan berada di tempat yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Siksaan demi siksaan terus mendera si lelaki, yang kini sudah memuntahkan apa pun isi perutnya hingga mengotori lantai dan sebagian tubuhnya. Di saat seperti ini, ia akhirnya ingin mengakhiri hidupnya saja. Percuma bisa lolos dari lubang maut, jika harus menghadapi penderitaan yang menyergapnya tanpa ampun.
Sosok tersebut kemudian menuang cairan dari sebuah derijen ke segala arah. Aroma tajam menguar mengusik indera penciuman si lelaki. "To-tolong ... jangan ...." bisik lelaki itu dengan mengerahkan sisa tenaganya. Matanya menatap senyuman yang menghiasi wajah seseorang di hadapannya. Senyuman yang dulu membuatnya terpesona dan tergila-gila, tetapi kini tampak seperti sapaan malaikat maut baginya.
Api mulai tersulut dan tersebar di mana-mana. Lelaki itu berteriak, mencoba melawan kepasrahan yang mengungkung tubuhnya. Meskipun mustahil, ia ingin bertahan.
"Perselingkuhan adalah kesalahan yang tak bisa termaafkan, Sayang."
*episode08*
Hello, Nyonya is back! Ada yang kangen sama Nyonya satu ini? Absen dong!
BTW, buat para Keliners yang mampir ke sini, tolong kasih tahu juga ya di komen, apa kalian suka cerita model cewek yang kejam begini? Soalnya setahuku, yang laris di Wattpad itu ya cewek menye-menye sama lakik bad boy mafia yang posesif. Ha ha ha.
Kalo kalian suka cerita model begini, jangan lupa vomen yang banyak ya. Biar aku semangat nulisnya. Atau mau kasih dukungan berupa beliin aku kopi, boleh banget langsung ke trakteer.id/dhiaz oke? E-nya ada dua.
So, tengkyu buat yang udah baca, dan kasih dukungan. Sampai ketemu di episode selanjutnya ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top