I Can See You

"Masya Allah, tanah kuburan suami belum basah, sudah ngegoda daun muda!"

"Namanya cahaya surga, tapi kelakuan kayak kerak neraka! Amit-amit dah!"

"Iya bener. Nyonya Nurjannah tuh terlalu kebagusan buat dia. Yang bener tuh Nyonya Durjana!"

Telinga Jenna jelas menangkap suara salah satu asisten rumah tangganya yang bernama Mbak Yan sedang membicarakannya bersama Nuri dan Roro. Bola mata perempuan itu berputar, tetapi ia tak mau ambil pusing dengan omongan orang-orang yang hanya bisa menggunjingnya di belakang. Lihat saja jika ia mengambil tindakan, mereka akan sujud mencium kakinya dengan bersimbah air mata. Najis. Jenna berdecak. Sudah lama, omongan miring tentangnya tidak pernah ia gubris atau memengaruhinya.

Lagipula para ART itu pasti membicarakan aksinya bernama Sam sore tadi, selepas acara pemakaman suaminya. Tangan Jenna menggaruk rambutnya yang halus, sembari terkekeh-kekeh. Sayangnya, permainan Sam sama sekali tidak bisa memuaskan hasratnya. Pemuda itu terlalu naif dan lugu. Perempuan itu berdecak.

Jenna sungguh ingin sekali berpesta pora tetapi segala tetek bengek bernama tata krama dan sopan santun, yang mengharuskan janda seperti dirinya untuk menjaga diri selama beberapa saat, membuatnya harus menahan diri. Belum lagi segala tuduhan pembunuhan yang dilemparkan kepadanya karena kematian Nathan. Semasa hidupnya, lelaki itu sungguh merepotkan Jenna dengan hobi balap yang menguras uangnya, dan ternyata setelah sudah mati pun masih membuat pusing.

Perempuan itu mendecih kemudian keluar ruangan pribadinya, dan berdeham mengejutkan para ART yang sedang bergunjing sembari membersihkan ruang tamu yang digunakan untuk menerima para pelayat sebelum pemakaman dimulai. Tiga orang perempuan muda itu terkejut dan mengatupkan bibir mereka.

Sang nyonya rumah mendengkus dan bersedekap. "Kalau ngomong, mulutnya dijaga. Digaji buat kerja, bukan buat ngobrol!" tegur Jenna sembari berdecak. Jemarinya mengelus meja dari kayu jati yang permukaanya tampak gentat, entah karena apa. Dasar tamu-tamu sialan. Meja itu mulus-mulus saja tadi malam. "Emang kalian pikir saya nggak bisa lihat kalian?"

***

Mata Jenna menelusuri tubuh lelaki kekar yang kini berada di atas ranjangnya, masih terlelap. Perempuan itu tersenyum geli, saat menyadari bahwa lelaki itu benar-benar tidak memiliki kewaspadaan sama sekali. Tangan Jenna kemudian mengutip outer sutra yang ada di tiang ranjang dan mengenakannya sekenanya. Bangkit dari ranjang dan bermaksud membangun teman tidurnya saat ini, Jenna membuka tirai jendela lebar-lebar agar sinar matahari masuk ke dalam kamar.

"Wake up, Baby. Sudah saatnya sadar sekarang," cetus Jenna sembari berdiri menghadap ranjang, dengan tatapan terarah pada lelaki berjas Armani yang membuat dirinya tergoda di pesta tadi malam, meskipun kini jas dan sisa pakaiannya terserak di lantai. Ingatan Jenna serta merta memutar kejadian di mana mereka berkenalan, saat lelaki itu hanya bergumam tidak jelas, seolah masih ingin menghabiskan waktunya di alam mimpi.

"Hi, you must be Jenna?" Suara lelaki itu saja sudah berhasil menggiring pikiran Jenna ke mana-mana. Penampilannya sungguh berkelas dan perlente. Mata Jenna menilai lelaki itu dari ujung rambut hingga ujung kaki, merasa kagum. Sayangnya, nyonya muda itu tidak tertipu. Ia tahu siapa lelaki di hadapannya dan untuk apa ia ada di sana.

"Ya. And you are?" tanya Jenna dengan mimik menggoda. Pengalamannya menghadapi dua belas lelaki yang kini sudah berakhir dengan tragis, membuatnya lihai dalam memperdengarkan sensualitas tanpa terkesan murahan.

Lelaki itu menyodorkan tangan yang disambut Jenna dengan anggun. "Javas. Namaku Javas."

Kini, Javas mulai membuka mata dan merasa terkejut saat menyadari bahwa tangannya terborgol di tiang ranjang milik perempuan yang kini berdiri berkacak pinggang di hadapannya. Meskipun begitu, saat melihat Jenna, mata lelaki itu bahkan tampak seperti singa lapar menatap buruan, karena apa yang tersaji sekarang sungguh menggiurkan. Perempuan itu juga tidak merasa risi, meskipun hanya mengenakan gaun sutra tipis yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang tanpa cela.

"Another game, Baby?" tanya Javas, matanya mengerling menggoda. Tubuhnya yang atletis, seolah terpahat sempurna tidak tertutup oleh sehelai kain pun, tetapi sepertinya lelaki itu sama sekali tidak keberatan.

Jenna melangkah mendekati lelaki itu, menyunggingkan senyumnya yang menggoda. "Sure, Baby. Whatever your game is, I'm always on." Perempuan itu mengelus dada Javas dengan perlahan, sebelum mendorongnya kasar. "Tell your boss, kalau dia memang mau menangkapku, dia harus punya bukti yang kuat, oke Sayang?"

Senyuman di wajah Javas surut, berganti dengan mimik bingung. "Darling, I didn't know what the hell are you talking about."

"I knew who you are, Javas. Or Jav, itu kan nama panggilan kamu di kantor?" Perempuan itu menarik tubuh lelaki itu mendekat kemudian mendaratkan bibirnya yang bersambut dengan kecupan yang bergelora. "I love challenge. So catch me if you can, Babe."

Mata Javas berkelip-kelip penuh dengan kebingungan. "I don't ... understand."

"Hmm. Memangnya kamu pikir aku sebodoh itu, sampai nggak ngerti kalau pihak kepolisian sedang memata-mataiku? Kasus Nathan masih belum ditutup, dan semua orang sepertinya ingin sekali memenjarakanku karena itu." Jenna bersedekap, matanya menelisik lelaki itu seolah ingin menuntaskan gairah yang kembali terpantik oleh lelaki di hadapannya. "Aryo, mama mertua, bahkan para ART-ku yang memanggilku Nyonya Durjana karena aku memilih lelaki yang salah, menuduhkan hal yang sama ... once again. Berulang kali, sampai rasanya bosan. Jadi, ya, mari kita lihat saja, siapa yang akan berakhir di penjara nanti. Aku juga tak sabar menantikannya."

"Pasti ada kesalahpahaman di sini, Sayang. Aku bukan seperti yang kamu pikirkan," sangkal Javas, berusaha meyakinkan perempuan yang masih tampak memesona meskipun tanpa ada riasan di wajahnya itu.

"Really? Sayang sekali." Jenna berdecak. "I love ... a cop. In a handcuff on my bed." Perempuan itu bangkit dari ranjang dan melangkah menjauhi Javas. Ia akan membersihkan badannya di kamar mandi lain bukan yang ada di dalam kamarnya sekarang. "Yang semalam itu, benar-benar malam terbaik dalam hidupku, Darling. Because I felt like we are in different side. A criminal and a cop. A dangerous combination, but challenging. Jadi kalau kamu bukan polisi, permainannya tidak seru lagi, Jav. So see ya, when you are really a cop, Babe." Jenna menggerakkan jemari telunjuk dan tengahnya saat mengatakan a cop. Setelah itu, ia menyeringai dan keluar dari kamar. Tangannya menarik pintu menutup, dan berlalu tanpa memedulikan teriakan Javas.

"Babe, Babe, lepasin dulu borgolnya!" seru Javas dengan panik karena sepertinya perempuan itu benar-benar pergi. Suara gemerincing besi beradu semakin membuat jantung lelaki itu berdegup kencang, sementara suara perempuan "Jenna! Jenna! Lepasin aku dulu, aku bisa jelasin!"

"You must be careful, Babe. He's a cop." Sebuah peringatan dari seseorang tadi malam yang seharusnya menjadi sumber ketakutan Jenna, tetapi perempuan itu hanya mengangkat sudut bibirnya. Polisi atau siapapun terserahlah. Bagi Jenna, ini adalah tantangan.

"Let's the game begin!"

*episode03*

Hello, alhamdulillah bisa update juga bab ini. Yang paling susah adalah menyisipkan kata kuncinya 🙃🙃 entah apakah berhasil atau nggak, secara emang rada aneh. Duh.

So, Jenna udah ketemu Javas. Apakah yang terjadi selanjutnya? Lantas apa yang sebenarnya terjadi kepada Nathan? Apa benar Jenna yang bunuh dia?

Nah, kemarin kan aku sempet ngasih cast Jenna aktris Korea, yang main di It's Okay Not To Be Okay. Kayak gini penampilannya :

Sekarang aku nemu aktris lain yang menurutku sih ini Jenna banget. Kayak gini penampilannya. Aktris Amerika.

Menurut kalian, mana yang lebih cocok? Kasih tahu aku di komen ya. Kalau mau saran boleh kok. Siapa tahu kalian jadi semangat baca kalo castnya aktor favorit kalian. Untuk Javas aku masih belum nemu sih. Nanti kalo udah, atau kalian kasih ide, aku posting lagi.

Tunggu episode berikutnya ya!

Love,
DhiAZ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top