Bloody Mary
Hidup memang tak seindah dan seromantis film, pikir Aryo dengan gusar, saat kakinya menjejak tanah selepas turun dari kendaraan pribadinya. Seperti hari ini, di mana langit bersinar cerah tanpa ada awan berarak yang menggelayuti mentari. Bahkan, pagi tadi, ia dengan jelas mendengar kicau burung selepas membuka mata. Tak ada firasat buruk, tak ada pertanda jelas yang akan mengabarkan berita duka untuknya dalam beberapa jam kemudian.
Aneh bukan, bahwa kematian bisa datang dan mengakhiri hidup seseorang, tanpa adanya peringatan? Atau sesungguhnya sudah banyak pertanda yang bertaburan di udara, hanya Aryo saja yang terlalu bebal untuk mengamatinya. Atau memang, Aryo menyadari semua peringatan itu, tetapi ia lebih memilih mengabaikannya.
Seharusnya Aryo bisa mencegahnya. Seandainya saja waktu itu ia bisa menghentikan sahabatnya, agar tidak menyongsong bencana yang jelas akan terjadi. Aryo tak henti-hentinya menyesali kesalahan yang ia lakukan : mengenalkan Jonathan kepada perempuan sundal itu. Bibir lelaki itu bergetar saat bayangan wajah sahabatnya yang semringah di hadapannya sebulan yang lalu.
"Aku akan menikah. Dia benar-benar cinta sejatiku."
Senyuman yang tertera di bibir Jonathan kala itu memupuskan niat Aryo untuk menentang. Banyak desas-desus terdengar tentang perempuan yang akan menjadi istri sahabatnya itu, Jenna. Sebuah kabar burung yang meresahkan dan mengendap dalam benak lelaki itu. Sesuatu yang tak bisa dienyahkan dan diabaikan begitu saja.
"Kamu yakin? Kalian baru kenal sebulan." Hanya itu penolakan yang bisa Aryo kemukakan. Tak cukup untuk menanamkan keraguan, atau membatalkan niat Jonathan yang sudah bulat.
Anggukan antusias serta binar cerah di mata lelaki itu tak jua sirna bahkan setelah Jenna meminta perjanjian pra nikah yang menurut Aryo, sungguh tak wajar. Namun, sepertinya Jonathan memang tengah dimabuk cinta. Lelaki itu menandatanganinya tanpa perlu berkonsultasi kepada pengacaranya. Sebuah tindakan yang tidak logis atas nama cinta.
"Nath, isi perjanjian itu sungguh ... berat sebelah," bujuk Aryo bahkan lima menit sebelum pernikahan berlangsung. Bahkan pernikahan mereka saja terkesan buru-buru dan tanpa rencana yang matang. Aryo tak peduli bahwa perkataannya terdengar oleh calon istri Jonathan yang kini melirik ke arahnya dengan sebal.
"Dia tidak minta harta, atau menyuruhku berhenti dari hobiku. Dia benar-benar pengertian, Aryo. Dia bahkan mau menggelontorkan dana untuk perusahaanku. Dan kamu tahu, dia tidak mau menjadi penerima asuransi jiwaku. Kurang bukti apa lagi? Lagipula perjanjian itu cuma ungkapan kesetiaan saja, Aryo. Kamu terlalu berpikiran negatif kepada Jenna."
Aryo menantang terik matahari dengan hati masygul. Berita kematian Jonathan masih berdenting lirih di telinga, setelah seorang petugas Kepolisian menelepon melalui gawai sahabatnya.
"Anda adalah orang terakhir yang dihubungi korban melalui hapenya. Kami hendak meminta kesaksian Anda."
Apa yang terjadi? Bahkan pikiran Aryo yang paling liar pun tidak mampu mereka ulang peristiwa naas yang menimpa sahabatnya. Jemarinya terkepal erat saat ia menggeram dengan mata nyalang. Giginya gemeretak, seiring dengan kemarahan yang membuncah naik di dalam dada. Ia takkan mau melepaskan kasus ini. Ia bertekad, ia akan menangkap pembunuh Jonathan. Sampai ia menutup mata, pembunuh Jonathan harus dihukum seberat-beratnya, tanpa ampun.
"Jenna. Perempuan sundal itu. Pasti dia pembunuhnya."
***
Ketika pemakaman sedang berlangsung hikmat, seorang perempuan menyibak kerumunan dan segera menarik kerudung Jenna yang berdiri di sisi kanan makam suaminya.
"Dasar perempuan sundal!" jerit perempuan itu yang segera saja memantik keingintahuan para pelayat yang hadir. Segenap keluarga almarhum bahkan mendesis, merasa terganggu dengan drama yang baru saja terjadi.
Tangan Jenna menangkis perempuan itu dan mendorongnya menjauh. "Apa-apaan kamu?" tegur Jenna dingin. "Kami sedang berkabung. Hormatilah almarhum."
"Kamu perempuan sundal tak tahu diuntung! Kamu kan yang bunuh Nathan? Iya, kan?" seru perempuan berambut pendek sebahu itu dengan lantang. Kasak-kusuk segera terdengar, bahkan Aryo—sahabat Jonathan—ikut bergumam seolah membenarkan. Jenna melirik ke arah ibu mertuanya, yang bahkan tak mau menatap matanya sejak acara dimulai. Perempuan paruh baya itu tak sudi berdiri di sisi menantunya.
Jenna menghela napas. Rasa-rasanya ia sungguh penat dengan semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya, hanya karena ia selalu sial dalam memilih suami. Semua orang lebih percaya bahwa dirinya yang menghabisi suaminya, bukan orang lain. Padahal, semua tuduhan itu sudah dimentahkan di pengadilan.
"Dengar, siapapun kamu, kalau memang kamu punya bukti, bawa saja ke kantor polisi. Buktikan kalau memang aku yang membunuh Nathan. Tapi jangan bikin keributan sekarang. Kami masih melakukan pemakaman." Perempuan itu melambai samar ke arah lelaki yang berjaga tak jauh dari sana. Segera saja mereka menyeret perempuan yang menyerang Jenna menjauh dari sana, sekalipun masih diikuti dengan aksi menjerit-jerit tak kunjung usai.
"Kami sudah berjanji sehidup semati, Jenna! Dia nggak mungkin bunuh diri! Kamu pasti membunuh dia karena kamu nggak ingin kami bersama! Dasar perempuan setan! Kamu pasti tak terima kan, kalau dia lebih mencintaiku daripada kamu!"
Kali ini, kasak-kusuk berubah menjadi ungkapan kekagetan. Wajah-wajah yang hadir dalam pemakaman itu berubah, mata mereka melotot dan berbalik memandang sinis ke arah perempuan yang sedang diamankan itu. Ibu mertua Jenna langsung tak sadarkan diri, merasa terkejut dengan bagaimana kelakuan almarhum putra yang selalu ia bangga-banggakan itu.
Namun, tiba-tiba saja, perempuan itu merangsek lagi, mendekati Jenna dengan pisau teracung. Kini, sudah tak ada lagi yang bisa dikondisikan. Pemakaman Jonathan Wijaya berubah menjadi kekacauan hanya dalam sesaat.
***
"Buatkan kesukaanku, sekarang." Perintah Jenna ketika ia melempar kerudung putih yang membalut kepalanya begitu saja di dalam ruangan yang berfungsi sebagai bar pribadinya. Bagi perempuan itu, ia dan minuman beralkohol tak bisa terpisahkan sehingga ia merasa perlu punya ruangan dan bartender yang khusus untuk melayani dahaganya.
Bartender itu mengangkat alis, tetapi dengan patuh membuatkan minuman kesukaan sang nyonya. Mungkin saja perempuan itu hendak menghilangkan kedukaan karena suaminya baru saja tiada. Matanya sempat terpaku dengan noda merah yang mengering di pakaian Jenna.
"Bukan punyaku, jangan khawatir." Bibir Jenna melengkung membentuk senyuman yang menggoda, sebelum ia menghampiri lelaki yang kini menyajikan segelas minuman berwarna merah pekat di atas meja. Perempuan itu mengalungkan kedua tangannya di bahu sang bartender yang merespons dengan ekspresi gugup. "Are you free tonight, Sam?"
"Nyo—Nyonya ... saya ... Suami Nyonya kan baru saja ...."
"He's dead already. Dan aku sungguh kesepian." Jenna meraih gelas di atas meja dan menenggaknya. Cairan kemerahan itu meluncur turun melewati kerongkongannya, memuaskan dahaga serta dendamnya kepada selingkuhan suaminya itu. Namun, yang tadi itu masih pemanasan. Perempuan itu masih punya banyak cara untuk menghukum si selingkuhan yang tak tahu diri itu. Jenna menyunggingkan senyum, "Hmm. Bloody Mary*."
Bayangan perempuan yang bernama Maria yang tadi menyerangnya di pemakaman—berlumuran darah dan histeris—menari dalam benak Jenna, menyuntikkan endorfin yang memantik egonya. Seperti inilah rasanya mereguk kemenangan.
*Bloody Mary : sebuah minuman koktail yang terbuat dari campuran vodka, jus tomat dan bumbu perasa lainnya termasuk saus Worchestershire, saus pedas, bawang putih, lada hitam, dll. Namun bisa juga untuk menyebut nama Ratu Inggris, Mary Tudor, yang terkenal atas kekejamannya saat memerintah.
*episode01*
Halo, Keliners. Sudah ketemu Jenna? Karakter yang satu ini emang rada nyentrik dan unik.
Inget ya, udah kulabelin 21+, tapi bukan berarti kalian bisa baca adegan penuh desahan doang ya. Nggak, nggak ada. Meskipun Jenna doyan ranjang, tapi nggak bakal ada deskripsi adegan ranjang kayak jurnal berita. No, no. Yang gamblang paling adegan bunuh-bunuhannya 🤣🤣
Oke, ini baru pemanasan, tenang aja. Jadi siapin mental mulai sekarang ya. Jangan kaget kalo ini beda sama tulisanku yang biasanya, karena kali ini aku membebaskan imajinasi seliar-liarnya. Oh ya, kalau ada kritik atau masukan, atau barangkali adegan yang sekiranya rada plothole, komen aja ya. Maklum nulisnya kejar setoran.
Tengkyu Keliners semua, love love ❤❤
DhiAZ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top