Puteri Pembanyun

Bukan usahaku yang membuat Raden Mas Banyu berhenti melakukan apa yang semula menjadi niat utamanya, tapi satu hunusan anak panah yang menembus bilik kereta kuda kamilah yang membuatnya berhenti memperlakukanku dengan kasar. Aku bisa melihatnya, darah meluncur mulus dari lengan kiri Raden Mas Banyu. Darah itu menghentikan tindakannya yang membabi buta. Dia keluar tanpa memperdulikanku yang berusaha mati-matian untuk tidak menangis.

Kedua tanganku yang gemetar tidak bisa kusembunyikan. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Semua kacau sebelum sempat aku memulainya. Kulihat anak panah yang tertancap berlumuran darah Raden Mas Banyu, siapa yang berniat membunuhnya?

Kuberanikan diri mengintip keluar. Aku menemukan jawaban dari pertanyaanku setelah melihat Abimanyu berdiri berhadapan dengan kembarannya, Raden Mas Banyu.

"Aku harap itu sama sekali tidak akan meninggalkan bekas. Tidak seperti ulahmu yang membuatku cacat seperti ini. Bagaimana kabarmu, Kang Banyu?"

Raden Mas Banyu tidak menjawab pertanyaan Abimanyu, tapi matanya tertuju pada kaki adiknya itu. Aku bisa melihat jelas ada rasa menyesal yang tergambar dari sorot matanya. Dia bahkan tidak memperdulikan darah yang keluar dari lengannya mengucur membelai tanah Mataram yang makmur.

Gerimis turun di tengah cahaya matahari yang terang benerang. Rasa sakit di dalam hatiku belum hilang, tapi melihat Raden Mas Banyu terluka, sesuatu yang asing mengusikku lagi. Aku tidak suka melihatnya seperti ini. Sebagian dari diriku ingin tidak peduli. Sebagian lagi menginginkan hal lain. Hal yang tidak masuk diakal.

"Apa sebenarnya niatmu membantu Senja?"

"Seharusnya Kang Banyu yang lebih paham kenapa aku harus membantunya."

"Kau mengatakan apa padanya sampai dia berperilaku begitu?"

Abimanyu melirik sekilas ke arahku, dia sepertinya tau dari tadi aku memperhatikan mereka berbicara. "Sesuatu yang seharusnya dia tau."

"Kau jatuh cinta padanya?"

"Haruskah aku memperjelasnya? Dari awal dia wanitaku dan kau membawanya ke sini untuk dijadikan pelacur. Lalu kau marah saat ada laki-laki yang mendekatinya. Coba jelaskan padaku, apa kau juga jatuh cinta padanya? Karena sikapmu sekarang berbanding terbalik dengan apa yang kau katakan pada Empu Seno."

Kerutan yang dalam muncul di antara alis mata Raden Mas Banyu. Seperti menemukan jawaban, wajah Raden Mas Banyu kembali merah padam. "Kau memata-mataiku?"

"Tidak ada rahasia di sini."

"Jangan pernah lupakan apa yang telah ayahnya lakukan pada ibu, padamu."

Abimanyu maju selangkah mendekati Raden Mas Banyu. "Kau yang meninggalkan ibu. Kau yang membuatku begini. Dan kau juga yang merebut dia dariku. Senja tidak tau apa-apa, tapi kau dengan liciknya memanfaatkan kebaikan Senja dengan berdalih membalaskan dendam kami? Jangan mencari pembenaran atas perilakumu yang salah."

Abimanyu tidak bisa menahan tawanya, raut wajahnya mengejek geli. "Berhenti bersandiwara, dan katakan pada Senja, apa yang seharusnya dia tau. Jangan menjadikan dia umpan. Itu tidak akan mempengaruhi apa pun."

Pada saat itulah Raden Mas Banyu melihat ke arahku. Sesungguhnya aku tidak berharap apa pun. Jika Raden Mas Banyu ingin mengatakan dengan jujur tentang kebenaran yang perlu kutau, aku akan menerima meski itu hal terpahit dalam hidupku. Aku tidak ingin merubah sudut pandangku yang sejak awal baik tentangnya, aku sungguh-sungguh tidak ingin termakan hasutan Abimanyu, Dahayu atau Wastu. Aku ingin mengenal Raden Mas Banyu dari dirinya sendiri.

Sayangnya meski harapanku sudah sesederhana itu, tetap tidak mampu membuat hubungan kami yang sudah berjarak sejak awal menjadi kembali membaik, aku masih berusaha untuk tetap tenang dan melihat keduanya. Bagai mata pedang yang berbeda. Abimanyu yang jujur padaku, dan Raden Mas Banyu yang selalu menyembunyikan sesuatu. Aku berada di antara dua orang yang selalu berselisih paham.

"Kembalikan dia padaku, dan akan kupermudah semuanya untukmu."

Ucapan Abimanyu itu tidak membuatku melepas pandangan kepada Raden Mas Banyu yang masih terus melihatku tanpa berkata-kata. Benarkah selama ini kehadiranku hanya dimanfaatkan? Benarkah tidak ada perasaan apa pun di dalam hatinya untukku? Lalu apa arti dari ciuman-ciuman yang sudah dia lakukan? Lalu apa arti dari perilaku dia barusan?

"Kondisi Sultan semakin memburuk. Tinggal menunggu waktu saja, jika ingin mempercepatnya kita bisa mempertemukan dia dan puteri yang paling tidak dia harapkan kehadirannya. Mungkin ini saatnya untuk menunjukkan kemampuan Senja menjadi mata pedangmu? Bunuh Sultan dan rebut tahtanya."

Aku menunggu dan terus menunggu Raden Mas Banyu mengatakan sesuatu yang melegakan hatiku. Tapi dia hanya diam, menatapku seolah-olah ada samudra yang membentang di antara kami. Terlalu jauh. Tak terjangkau. Kami memang tidak pernah bisa bersatu, dan aku tidak mungkin bisa setara dengannya, meski begitu, bukankah aku masih berhak mengetahui apa pun yang perlu kutahu?

"Menikahlah dengan Ambarsari, ceraikan Senja, kembalikan dia padaku. Maka aku tidak akan mengusikmu lagi. Semua harus kembali pada posisinya."

"Aku tidak akan naik ke atas tahta dan menjadi pion dari ketamakan Gajahwong."

Abimanyu mendengus. "Aneh sekali rasanya jika kau bertahan pada pilihanmu yang satu ini. Kau hampir kehilangan akal saat Senja disentuh para brandal itu, tapi kau masih berlaga tidak memiliki perasaan apa pun, kau tidak ingin melepasnya, tapi tidak juga ingin mengikatnya."

Abimanyu melihat ke arahku lagi. "Kakakku memang pengecut, Senja. Akan aku katakan siapa dirimu sebenarnya."

"Tutup mulutmu, Abimanyu!"

Alis kiri Abimanyu terangkat. "Haruskah? Kau pikir dengan menahannya, kau akan membuat Gajahwong bertekuk lutut? Kau pikir itu cukup?" tanya Abimanyu sembari melangkah mendekatiku. Dia mengulurkan tangan kanannya, mengundangku untuk datang dalam dekapannya.

"Kau berhak tau siapa orang tuamu sebenarnya, Senja."

Aku melihat dari arah belakang Abimanyu ada pasukan berkuda yang datang, orang terdepan dari pasukan itu bertubuh tinggi dan besar. Dia mengenakan pakaian kehormatan yang meski baru pertama kali kulihat, aku bisa menebak dialah jendral Gajahwong. Seorang yang selama ini dibicarakan Dahayu dan Wastu.

Semua pasukan yang dia bawa bergerak mengelilingi Raden Mas Banyu dengan mengarahkan anak panah, beberapa di antaranya bahkan mengayunkan pedang dan memaksa Raden Mas Banyu bertekuk lutut. Dia terjatuh tanpa bisa melawan.

"Usahamu sia-sia, Kang. Mungkin kau lupa, kita masih bersaudara. Apa yang kau pikirkan, dan sembunyikan. Aku pasti tau."

Aku hendak membantu Raden Mas Banyu, tapi aku teringat bagaimana koyaknya pakaianku. Tidak mungkin aku keluar dalam keadaan setengah telanjang di tengah-tengah pasukan negeri ini. Laki-laki yang kutebak sebagai Gajahwong turun dari kudanya dengan gerakan luwes, dia berjalan bukan ke arah Raden Mas Banyu atau Abimanyu, tapi justru ke arahku yang masih berada di atas kereta kuda dengan penampilan yang berantakan. Saat jarak di antara kami hanya beberapa langkah, dia berlutut memberi hormat dengan menancapkan pedangnya di atas tanah dan kepala menunduk ke arahku.
Aku mencari penjelasan dari siapa pun yang bisa kulihat, tapi tak ada yang bergerak dari posisinya masing-masing. Bahkan Abimanyu pun melakukan hal yang sama seperti jendral Gajahwong.

"Salam hormat hamba pada Puteri Pembanyun."

❤️❤️❤️

Guys, aku ijin telat update untuk minggu depan ya. Aku lagi keluar kota seminggu dan nggak memungkinkan untuk nulis.

Pokoknya kalian harus teror aku kalau aku gak update, oke??? Janji???

See on top my luv ❤️

Jangan pelit vote biar cerita ini jadi tranding.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top