Meski langit runtuh, berdirilah di sampingku

Nyimas Senja
23.10.24

Perjalanan menuju kota lebih jauh dari yang kukira. Seumur hidup, aku memang belum pernah menginjakkan kaki ke sana, tapi kini dengan mudahnya kesempatan itu datang padaku seperti keajaiban. Bahkan di dalam mimpi pun aku tidak berani berharap dapat mendapatkan kebebasan seperti ini.

Perempuan yang telah menikah, tempatnya hanya ada di dalam rumahnya. Tidak ada ruang untuk bisa bersuara. Apalagi jika perempuan itu hanya berstatus sebagai perempuan cadangan yang jika tuannya butuh, barulah dia berguna. Jika beranak pun, status perempuan cadangan ini hanya memiliki kekuatan selama anak-anak itu menyusui padanya, setelahnya dia tetap akan menghabisi hari-hari di dalam rumah yang lebih mirip penjara.

"Mau mencoba?"

Aku melihat sebatang rokok yang disodorkan Raden Mas Banyu padaku. Rokok itu sebesar jempolnya dan sudah terbakar setengah. Aroma rokok memenuhi kereta kuda kami semenjak awal perjalanan. Aku semula khawatir paru-parunya bisa meledak sewaktu-waktu sebab tak cukup kuat menampung asap.

"Cobalah."

Aku menatap Raden Mas Banyu dengan kening yang berkerut. Mencium aromanya sudah cukup membuatku merasa gerah, tidak mungkin bisa aku memasukan itu dalam mulutku.

"Tidak seburuk aromanya."

"Kenapa Raden memberikan saya kesempatan untuk keluar dari rumah. Apalagi mempercayai saya untuk membantu menjual tembakau dan cengkeh. Apa Raden tidak takut mendapat penilaian yang buruk?"

"Semakin buruk maka semakin baik, aku tidak pernah peduli dengan reputasiku," ucapnya sambil tersenyum. "Bagaimana kalau kita coba berbicara lebih santai? Jika kamu memanggilku begitu, orang-orang akan menganggap aku adalah majikanmu. Panggil saja Mas Banyu. Mas Banyu terdengar lebih akrab."

Nyi Imah yang sudah melayani Raden Mas Banyu semenjak remaja pernah mengatakan padaku. Laki-laki yang kini duduk di hadapanku menghisap rokok, memang gemar membuat orang lain selalu salah paham padanya, dia hangat sekaligus berjarak pada waktu yang bersamaan. Kadang dia bisa tampak sangat serius, kadang dia bisa terlihat sangat santai. Aku bisa merasakan sekarang bahwa perkataan Nyi Imah adalah kebenaran.

"Saya juga akan lebih sering menyentuhmu di depan umum. Sedikit pelukan. Sedikit ciuman. Kalau kamu keberatan, katakan sekarang."

Sejak kapan seorang laki-laki bertanya lebih dulu mengenai hal yang ingin dia lakukan pada perempuannya? Aku mengerutkan kening lebih dalam.

"Saya tidak punya hak untuk melarang Mas Banyu melakukan apa yang ingin Mas Banyu lakukan."

Dia mengeluarkan gumpalan asap dari hidung, lalu menjorokkan tubuhnya ke arahku. "Ada satu hal yang paling saya tidak suka darimu," katanya sambil menatap mataku lekat-lekat, "Kamu terlalu menerima nasib."

"Jadi menurut Mas Banyu, saya harus memberontak?"

"Itu bukan ide buruk. Memberontaklah sekali-kali, buat keributan. Selama dua tahun ini, saya tidak pernah melihatmu melakukan hal gila. Bukankah hal yang normal jika seorang gadis yang dipaksa menikah dengan orang asing akan memberontak? Tapi kamu justru sebaliknya. Terlalu menerima nasib. Sibuk mengerjakan urusan rumah, urusan dapur, tidak pernah berusaha untuk menonjolkan diri."

"Saya juga belajar menulis, belajar memainkan beberapa alat musik dan membatik. Saya pikir itu cukup membuat saya sibuk."

Senyuman di wajah Raden Mas Banyu semakin melebar. "Alasan saya sudah jelas, bukan? Kenapa saya mengajakmu untuk menjual tembakau dan cengkeh. Kamu hanya sibuk di dalam duniamu sendiri."

"Perempuan seperti saya tidak akan bisa membantu banyak usaha Mas Banyu dalam berdagang."

Alis kiri Raden Mas Banyu terangkat. Kini matanya menyipit. "Perempuan sepertimu? Menurutmu, kamu perempuan seperti apa, Senja?"

"Pastinya bukan perempuan seperti yang sering menemani Mas Banyu di atas ranjang."

Tawa Raden Mas Banyu pecah. Aku pun terkejut dengan perkataanku sendiri.

"Asal kamu tau, saya tidak pernah suka dengan perempuan sepertimu. Tapi harus saya akui, kejujuranmu membuat saya terhibur."

"Kejujuran saya?"

Dia mengangguk. "Dengan kata lain, kamu sudah menilai bahwa saya selalu tidur dengan banyak perempuan."

"Saya hanya menilai dari penampilan Mas Banyu setiap pulang dari kedai minuman," jawabku membela diri.

Dia kembali menyesap rokoknya. "Semakin buruk akan semakin baik. Saya tidak akan mengelak penilaianmu tentang saya. Selama kamu bisa membantu, saya akan menghargainya."

"Saya tidak berjanji akan menghasilkan uang. Mungkin Mas Banyu akan merugi saat kita kembali pulang."

"Bagaimana hidupmu bisa biasa-biasa saja jika menikahi orang seperti saya?"

Kini aku berlaga menyipitkan mata seperti apa yang dia lakukan beberapa saat lalu, "Orang seperti apa Mas Banyu sebenarnya?"

"Kamu penasaran?"

"Saya hanya bertanya."

Raden Mas Banyu terkekeh geli. "Kenapa tidak mencari tau dari dulu?"

"Saya tidak punya kesempatan."

"Atau tidak punya keberanian?"

Perhatianku teralihkan saat melihat ada peluh meluncur mulus dari keningnya. Dua kancing baju teratas yang dia kenakan sengaja dibuka. Kumis yang belum dicukur menambah maskulinitasnya. Lihatlah sinar matahari yang mulai tenggelam di ufuk itu, menyentuh kulitnya yang kecoklatan. Katakan padaku. Bagaimana bisa ada perempuan yang tahan untuk tidak menggoda laki-laki sematang ini?

"Berapa harga yang harus saya bayar untuk kebebasan yang diberikan Mas Banyu?"

"Kebebasan apa yang kamu maksud?" Tanyanya dengan pandangan tak mengerti, atau mungkin pura-pura tidak mengerti. Sengaja kusimpulkan begitu.

"Kebebasan untuk keluar rumah, mencoba untuk ikut berjualan tembakau. Seorang gundik tempatnya hanya berada di dalam sangkar. Saat tuannya memutuskan membuka sangkar itu. Saya tau ada yang perlu saya bayar setelahnya."

Jari jemari Raden Mas Banyu menjauhkan rokok dari bibirnya yang penuh ranum. Dia menggaruk dagunya yang memiliki garis terbelah seperti sungai. Raut wajahnya berubah dalam hitungan detik. Dia menatapku sama seriusnya seperti kemarin. Mata hitamnya tidak mudah untuk dibaca. Mungkin aku sudah mengusik kesenangannya, tapi aku perlu tau, apa yang sedang aku hadapi.

"Kesetiaanmu."

"Apa?"

"Bayar kebebasan itu dengan kesetiaanmu."

Aku diam, mencoba mencerna.

"Bagaimanapun kondisinya. Apa pun keadaannya. Saya ingin kamu berada di sisi saya. Meski langit runtuh. Meski matahari tidak lagi terbit. Meski tidak ada udara yang kembali bertiup. Meski tidak ada lagi bintang-bintang yang bersinar. Saya ingin kamu tetap ada di samping saya."

Bukankah itu harga yang terlampau mahal? Bukankah itu berarti aku harus menggadaikan jiwaku padanya? Kenapa dia memilihku jika seorang gadis bernama Ambarsari akan datang dalam hidupnya?

Raden Mas Banyu mendekatkan wajahnya kembali, "Bagaimana, Senja? Kamu menerima persyaratan itu?"

🌹🌹🌹

Hai guys, 2 part di minggu ini sudah up ya. Sampai ketemu diminggu depan.

Jangan lupa like dan support aku selalu,
see you, Luv ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top