Mempertahankan posisi
Nyimas Senja
1.11.24
Malam mulai merangkak semakin muram. Aroma hujan masih bisa kucium dari kejauhan. Aku berusaha memejamkan mata, melupakan ciuman di antara aku dan Raden Mas Banyu. Sayangnya sia-sia usahaku, dan di sinilah akhirnya aku sekarang. Di dalam kamar termenung ditemani secangkir teh jahe yang kubuat sendiri. Saat pikiranku mengambang di atas permukaan kenyataan yang ada, ketukan dari jendela membuatku tersadar dari lamunan. Kuberanjak untuk mendekat, membuka jendela kamarku dan menemukan Dahayu di atas pohon bunga kamboja yang menjulang tinggi, dia tersenyum cerah seperti bulan purnama malam ini.
"Dahayu. Sedang apa kamu di atas situ?"
"Aku boleh masuk, Mbakyu?"
"Bagaimana jika Mas Banyu tau? Kamu tidak boleh ada di sini." Aku menengok ke kiri dan ke kanan, berharap Raden Mas Banyu tidak ada.
"Dia ada di kedai minuman bersama Wastu."
Dahayu masuk ke dalam kamarku melalui jendela tanpa aba-aba. Dia melompat dengan cekatan seperti pendekar yang terbiasa menyelinap. Kuperhatikan penampilannya dari ujung kepala sampai ujung kaki yang tampak berbeda. Dia mengenakan beskap hitam lengkap dengan celana panjang. Tidak ada perhiasan atau pakaian mewah seperti tadi siang. Rambutnya bahkan digelung dan disembunyikan di dalam udeng, semacam ikat kepala yang biasa digunakan para bujang pribumi. Meski mengenakan pakaian laki-laki, dia tetap terlihat cantik.
"Kenapa kamu berpenampilan seperti ini?"
Dahayu melihat penampilannya dirinya sendiri. "Aku memang seperti ini. Lupakan tentang aku. Aku membawa ini untuk Mbakyu."
Dahayu mengeluarkan bungkusan dari dalam tas anyamannya. Kulihat ada gulungan tembakau, beberapa lembar kertas, cairan berwarna kehitaman, coklat dan keabu-abuan di dalam botol-botol kecil. Lalu dia membawa beberapa pakaian yang terbuat dari sutra. Pakaian-pakaian itu indah dan cantik. Aku tidak bisa memahami bagaimana caranya Dahayu membawa semua ini dalam tasnya.
"Belajarlah melinting. Melinting tidak sulit, yang lebih sulit adalah membuat orang tertarik untuk melihat kita melinting. Itu adalah pelajaran pertama Mbakyu."
"Dahayu, aku tidak bisa menerima semua ini, dan jangan panggil aku Mbakyu, aku pikir umur kita tidak berbeda jauh."
"Aku tau, tapi kamu tetap kakak iparku. Seumur hidup aku selalu berharap punya kakak perempuan, bukan justru kakak laki-laki tiri yang dingin dan kejam."
Aku menatap mata Dahayu yang sempat berkaca-kaca, entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi karena tidak ingin menambah masalah aku berusaha mengembalikan barang-barang Dahayu, "Maaf Dahayu. Aku tetap tidak bi...."
"Ada yang belum sempat Wastu ceritakan padamu."
"Aku tidak ingin tau."
"Mbakyu harus tau jika ingin membantu Kang Banyu."
Aku menghela napas. "Mas Banyu sudah melarangku, Dahayu. Jika aku membantah berarti aku mencari masalah."
"Dia terbiasa untuk berkorban, melindungi adik-adiknya, tidak peduli dengan rasa sakitnya sendiri. Tapi tidak semua adiknya memahami maksud baik Kang Banyu."
"Apa maksudmu?"
Dahayu menggelengkan kepalanya. "Jika bertemu dengan laki-laki yang wajahnya mirip dengan Kang Banyu. Jauhi dia."
"Siapa dia?"
"Adik kandung Kang Banyu."
Kerutan di keningku muncul. Belum cukup kebingungan membelengguku. Kini aku harus memahami hal lainnya. "Sebenarnya kalian berapa bersaudara?"
"Banyak, entah berapa, aku tidak tau pasti. Sekarang Mbakyu duduklah. Akan aku ajarkan caranya melinting."
Dahayu sudah lebih dulu duduk sedangkan aku masih berdiri. "Kenapa mereka bisa bermusuhan?"
"Ceritanya panjang, mungkin itu juga alasan Kang Banyu mencium Mbakyu di pasar. Wah, aku hampir mati berdiri saat melihat adegan itu. Kupikir Kang Banyu pintar, ternyata dia bodoh juga. Menarik perhatian dengan mencium istrinya di pasar, di tengah hujan, wah, itu sangat tidak biasa. Itu pasti diluar rencananya."
"Maksudmu?"
Dahayu menghela napas. "Abimanyu ada di sana, di pasar, melihat kalian berdua dari kejauhan. Bersama beberapa orang jendral Gajahwong. Mungkin itu juga alasan Kang Banyu mengejar Mbakyu. Dia pasti khawatir padamu."
Aku hampir tertawa jika tidak mengingat kejadian tadi siang. "Hubungan kami tidak seperti itu."
Dahayu mengangguk lagi. "Aku tau. Kang Banyu belum pernah sekali pun tidur dengan Mbakyu, aku juga tau, hubungan kalian lebih dingin dari embun di pegunungan. Aku dan Wastu tau semua hal yang kami memang perlu tau."
Aku membelalakan mataku. "Bagaimana kamu bisa tau?"
Dahayu merobek satu kertas dan mulai membuat rokok dengan gerakan yang anggun, berbanding jauh dengan penampilannya sekarang. "Kang Banyu seperti biksu. Dia tidak suka berdekatan dengan perempuan. Dia menganggap bahwa perempuan adalah wabah. Bukannya hal aneh jika tiba-tiba Kang Banyu menikah? Lalu mencium istrinya di pasar? Bukankah itu sesuatu yang aneh? Mungkin saat itu ada Amibanyu dan segerombolan pengikut jendral Gajahwong, tapi mata tidak pernah bisa berbohong."
"Dahayu, aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan."
"Selesai. Mudahkan?" tanya balik Dahayu sambil mengulurkan tangannya memberi selinting rokok yang baru dia buat.
Aku menerima rokok itu, kemudian duduk di seberang Dahayu. "Lintinganmu rapi sekali. Apa kamu juga biasa merokok?"
Dahayu meringis. "Terkadang. Mbakyu juga pasti bisa. Hanya saja, aku masih tidak mengerti kenapa Kang Banyu menyuruhmu menjual tembakau? Itu seperti mendorong Mbakyu langsung ke kandang harimau. Apa dia tidak khawatir banyak laki-laki yang tertarik padamu?"
Sebelum sempat aku menjawab pertanyaan Dahayu. Ada suara delman yang masuk ke pelataran rumah. Mungkin itu Raden Mas Banyu.
"Ah, sial, apa Wastu tidak bisa menahannya lebih lama?" Grutu Dahayu. Dia mengintip sedikit dari jendela kamar dan aku mengekorinya.
"Apa yang dilakukan sundal itu? Menjijikan. Wastu benar-benar gila membiarkan Kang Banyu disentuh oleh si sundal."
Aku bisa melihat meski hanya sedikit, bagaimana cara Raden Mas Banyu memeluk dan mencium perempuan yang tidak perlu kujelaskan dari mana asalnya. Jika Dahayu mengatakan kakaknya adalah seorang biksu yang menjauhi perempuan seperti wabah. Tentu apa yang kami lihat sekarang bisa menyangkal dugaannya.
"Pergilah," kata Dahayu sambil mendorongku menuju pintu. "Rebut suamimu dari perempuan itu. Dan jangan pernah percaya dengan omong kosongnya. Kakakku memang pemabuk tapi dia bukan bajingan seperti bapak kami."
"Dahayu berhenti mendorongku."
"Tunggu apa lagi? Cepat!"
"Aku tidak bisa mengganggu Mas Banyu. Dia selalu seperti itu saat di rumah. Pulang dalam keadaan mabuk dan aku yakin dia sering menghabiskan malam bersama perempuan lain, dia tidak suka kalau aku mengganggunya."
"Mbakyu boleh memotong kupingku. Kang Banyu tidak akan mau bercumbu dengan perempuan sundal itu. Jangan melihat dari sekedar apa yang terlihat saja. Aku dan Wastu selalu bertaruh. Kang Banyu masih perjaka."
"Mustahil."
Dahayu membelalakan matanya saat aku mengatakan isi hatiku. "Kamu juga ingin bertaruh? Pakai baju yang kubawa di depan Kang Banyu. Jika dia tidak tergoda, Mbakyu boleh memotong kupingku."
Dahayu tidak memberikanku kesempatan lagi untuk bicara. Secepat kilat dia mendorongku dan menutup pintu kamar. Tidak ada pembantu di rumah ini. Jika aku membiarkan perempuan itu masuk ke dalam, berarti aku memang sengaja membuat diriku semakin tidak terlihat.
Entahlah apa yang sebenarnya kumau. Otak dan hatiku tidak sejalan. Aku memutuskan membuka pintu rumah dan mendapati suamiku mabuk sambil memeluk perempuan yang kini menatapku dengan pandangan sinis.
"Kamu pembantu di sini? Di mana kamar Kakang Banyu?"
"Berikan dia padaku."
Perempuan itu diam sejenak. "Apa katamu?"
"Aku istrinya bukan pembantunya."
❤️❤️❤️
Jambak aja nggak sih kalau suami kita dideketin sama perempuan kaya gini?
Si Senja terlalu baik 🤣
Part selanjutnya aku update agak malaman. Jangan lupa votenya ya guys!!!!
Luv ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top