Laki-laki dan cintanya

Aku memandang pantulan diriku di depan cermin. Semenjak mendapati Raden Mas Banyu mengatakan sesuatu tentang orang tuaku, ada kemarahan yang tidak bisa kubendung, tapi kebingungan lebih dulu mempengaruhiku. Seperti layangan yang terlepas dari tali pengikatnya. Aku kehilangan arah dan tujuan untuk menaruh kepercayaan.

Kenapa dan bagaimana Abimanyu sengaja menunjukkan kebenaran padaku masih menjadi tanda tanya. Aku yakin dia tidak melakukan semua itu secara cuma-cuma. Bagaimana bisa Abimanyu bersikap sangat tenang berhadapan dengan anak pembunuh ibunya jika ucapan Raden Mas Banyu itu benar? Bukankah harusnya dia merasa marah atau dendam padaku?

Aku menggelengkan kepala, tidak mungkin seorang petani biasa seperti bapak dan ibuku membunuh seorang ningrat. Apalagi orang itu adalah adik kandung dari Sultan. Jika bapak atau ibuku mampu melakukan pembunuhan, tidak ada tempat di negeri ini yang cukup aman untuk kami tinggali bersama. Kami sekeluarga pasti tidak mungkin bisa hidup dalam kedamaian, apalagi sampai menjalin hubungan pernikahan dengan keluarga korban. Aku memang tidak terpelajar, bukan dari kalangan terpandang, tapi juga tidak bodoh untuk paham bahwa semua yang dikatakan Raden Mas Banyu adalah kebohongan. Entah apa maksud dan tujuannya, tapi jika dirunut dengan perilakunya selama ini, semua informasi yang kudapat dari Abimanyu terasa begitu masuk akal.

Raden Mas Banyu boleh saja menolakku, tidak menginginkanku sebagai istrinya. Dari dulu aku sudah tak peduli. Dua tahun ini hidup sebagai istrinya yang masih suci kuanggap sebagai nasib yang harus kuterima. Aku tidak pernah merasa tersinggung, tidak pula pernah marah meski dia menghabiskan malam-malamnya dengan perempuan lain di depan mataku. Tapi jika dia sampai memfitnah orang tuaku, apa aku juga harus diam? Kesetiaan yang dia minta padaku, haruskah aku berikan?

Aku memejamkan mata, menghela napas dalam-dalam, kedua telapak tanganku mencengkram jarik yang kukenakan.

"Bagaimana jika seharusnya yang menikah denganmu itu aku, bukan kakakku. Apa kamu akan tetap setenang ini?"

Tidak. Aku tidak peduli dengan siapa seharusnya aku menikah. Dengan siapa seharusnya aku menghabiskan hidup. Perkataan Abimanyu tidak akan mempengaruhiku. Toh, sejak awal aku memang tidak layak dinikahi kaum ningrat. Perbedaan kasta terlampau besar, apa yang bisa aku harapkan dari itu? Dunia tempatku hidup tidak membiarkan perempuan bersuara. Aku selalu sadar diri bahwa jika tidak bisa menikah atas dasar cinta, setidaknya kita harus menikah dengan orang yang sepadan. Kesalahanku, aku tidak menikah dengan orang yang setara denganku.

Hari ini adalah hari pertamaku berjualan tembakau dan cengkeh. Aku mengenakan pakaian yang Dahayu berikan. Kebaya yang potongannya memamerkan daya pikat terbesar perempuan. Meski tidak bisa membohongi diri bahwa aku merasa canggung dan risih dengan penampilanku sekarang, semua tetap harus coba kulakukan demi mendapatkan pelanggan. Kubiarkan rambutku terurai dengan hiasan bunga kencana yang terbuat dari emas. Jika aku gagal menikahi laki-laki yang sepadan denganku, aku akan berusaha menjadi sepadan untuk diriku sendiri sebagai perempuan bebas yang berhak secara penuh mengatur hidupnya.

Aku akan menganggap semua yang kudengar, yang kulihat tentang Raden Mas Banyu sebagai bagian dari kerikil tajam. Aku tersandung, itu sudah pasti. Tapi aku tidak akan berhenti sampai di sini. Meski Raden Mas Banyu tidak memberikan arahan apa pun padaku. Meski dia menyuruhku berjalan sendiri tanpa tujuan. Meski dia memanfaatku sedemikian rupa. Aku akan tetap bergerak sebagai mana mestinya.

Kulangkahkan kakiku keluar rumah dengan keyakinan dan percaya diri yang tidak hampir penuh setengahnya. Kusir delman membawaku menjauh dari rumah. Hiruk pikuk suasana pagi hari menyambutku dengan kemeriahan yang asing. Ya, aku siap dengan segala kemungkinan yang akan aku hadapi semenjak hari ini. Kumainkan sedikit kantung wewangian yang kubuat dan kuikat di bagian pinggulku. Berusaha menambah rasa percaya diri, aku akan memaksimalkan kemampuan yang kumiliki.

Setiap orang yang berpapasan denganku, melihatku tanpa berkedip. Bisik-bisikkan yang terlalu keras terdengar, mengusikku. Aku tau, mereka semua, orang-orang kota ini, yang tidak kukenali, mereka memperhatikan bagaimana penampilanku. Aku tidak secantik gadis kota yang terawat, aku tau itu, dan mengenakan pakaian terbuka di tengah kota pastilah sangat menarik perhatian mereka. Meski begitu aku tidak peduli. Sudah terlambat untuk berputar arah.

Delman yang kunaikai berhenti di depan toko. Seorang laki-laki tua berjenggot putih terburu-buru menyambutku. Kulangkahkan kaki menuruni delman dengan hembusan napas yang terasa menyesakkan. Aku harus siap dengan semua perhatian ini. Aku bukan lagi Senja yang lugu dan mudah dibodohi.

"Nyimas. Sugeng rawuh, Gusti Abimanyu sudah menitipkan pesan kepada saya untuk melayani Nyimas selama berjualan di toko ini."

Aku mengangguk, memutuskan memasuki toko sambil memperhatikan semua barang-barang jualanku dan papan nama yang tertulis di atas pintu masuk. Nyimas Senja.

"Siapa yang mempersiapkan ini semua, Ki?"

"Tentu saja Gusti Abimanyu. Gusti menyuruh saya untuk menata semua barang-barang Nyimas. Semua sudah saya beresi, sudah saya siapkan. Jika ada lagi yang dibutuhkan Nyimas, bisa langsung panggil saya."

Aku tidak tau Abimanyu bisa menepati janjinya. Padahal tadinya aku sudah bersiap untuk sibuk menata semua barang-barang hari ini baru melayani pelanggan. Berarti sekarang aku hanya butuh pembeli pertama.

"Terimakasih, Ki. Semua sudah sesuai."

"Nama saya Ki Sasum. Nyimas bisa panggil saya kapan pun dibutuhkan. Saya akan kembali dulu ke belakang."

Aku mengangguk, membiarkan Ki Sasum berlalu. Saat belum sepenuhnya aku menikmati pemandangan toko pertama yang kusewa. Segerombolan laki-laki bertubuh kekar datang padaku dengan memecah kerumunan orang-orang yang menonton kedatanganku sedari tadi. Tidak hanya aku yang terkejut, tapi orang-orang yang semula bergerombol di depan toko, mendadak kocar-kacir seperti melihat hantu.

"Jadi ini toko baru penjual tembakau?" tanya salah satu dari mereka.

"Benar, ada yang bisa saya bantu?"

"Dari mana semua tembakau yang kau jual, Cah Ayu?"

"Dari gunung Sindoro. Semua berkualitas, Ki."

"Ah, jangan memanggilku dengan sebutan Ki. Bagaimana jika kau memanggilku ... Kakang?"

Suara tawa memenuhi seluruh area tokoku. Tawa itu terdengar seperti meledek.

"Dia lebih cocok jadi anakmu, Garong."

"Aaah, aku ini masih muda, masa disamakan dengan Ki Sasum. Kau sudah menikah? Kalau belum, mau jadi istriku?"

Suara tawa lebih menggema dari sebelumnya. Aku sadar akan menghadapi godaan semacam ini, tapi aku tersenyum alih-alih menanggapi dengan amarah.

"Kang Garong, suka tembakau seperti apa?"

Laki-laki yang ingin aku memanggilnya dengan sebutan Kakang, maju selangkah mendekatiku. Wajahnya yang penuh bekas luka semakin bersemu merah. "Kau bisa melintingkan rokok?" tanyanya sambil menyentuh ujung daguku.

Aku terdiam beberapa saat, tapi kemudian berhasil mengendalikan emosiku sendiri. Aku kembali tersenyum dan memenuhi permintaan pelanggan pertamaku. Tapi saat aku hendak berbalik untuk memilih tembakau terbaik. Laki-laki kekar itu justru menarikku mendekat sampai punggungku menabrak dadanya.

"Ada apa, Nduk? Kau tampaknya ragu. Tidak seperti pakaian yang kau kenakan sekarang ini, berani, sungguh membuat semua laki-laki tergoda. Kau sengaja pamer dua gunungan punyamu, bukan? Tenang saja, kami bisa menjadi pelanggan tetapmu, asal kami boleh mencicipi manis rokok bekas bibirmu itu."

Aku mencoba memberontak tapi orang lain yang entah siapa menarikku menjauh lebih dulu. Barulah kusadar setelah melihat wajahnya yang penuh dengan kemarahan. Raden Mas Banyu menempatkanku di belakang tubuhnya.

"Hey, ada masalah apa kau .... Abimanyu?"

"Pergi dari sini atau kubunuh kalian satu persatu."

"Kang Garong, lebih baik kita pergi sebelum pasukan Gajah Wong datang. Kau tau betul Abimanyu itu kaki tangan Gajah Wong."

Laki-laki bernama Garong itu meludah lalu angkat kaki tanpa mengatakan sepata kata. Aku bergegas berusaha menjauh dari cengkraman Raden Mas Banyu setelah mereka semua pergi dari tokoku. Meski baru sekali bertemu Abimanyu, aku tidak akan tertipu dengan wajah mereka yang kembar.

"Apa kamu sengaja berpakaian seperti ini?" tanya Raden Mas Banyu dengan nada bicara yang jelas penuh dengan sindiran.

"Bagaimana saya berpakaian, sama sekali bukan urusan Mas Banyu."

"Bukan urusan saya katamu? Kamu pikir mereka tidak tau siapa kamu? Siapa saya?"

Aku menatap kedua manik mata Raden Mas Banyu bergantian, enggan untuk membalas amarahnya, kutinggalkan dia tanpa menjawab pertanyaannya.

"Senja!"

"Berhenti membentakku! Aku datang ke kota hanya punya satu tujuan. Menjual tembakau dan cengkeh seperti permintaanmu. Bagaimana caranya aku menjual semua barang ini, bukan urusan Mas Banyu."

Raden Mas Banyu diam sesaat, dia tampak terkejut saat aku balik marah padanya. "Dengan menjual diri sebagai perantaranya?"

"Bukannya itu yang Mas Banyu mau? Tidak perlu berbasa-basi lagi."

"Sekarang kamu tidak ada bedanya dengan pelacur. Berpakaian terbuka seperti ini. Kamu berharap mereka akan memandangmu sebagai perawan suci?"

Aku maju selangkah mendekat. "Saya memang masih perawan, Mas. Bagaimana cara orang memandang saya, bukan urusanmu, saya tidak peduli mereka menilai saya sebagai pelacur atau perawan. Jika tidak ada lagi yang ingin Mas Banyu katakan, lebih baik pergi dari sini, dan tunggu laporan saya dalam berdagang. Saya akan pastikan memberikan keuntungan."

"Kamu bekerjasama dengan Abimanyu?"

Aku hanya diam.

"Ikut saya."

Raden Mas Banyu menarik tanganku lagi, begitu kencang dan cepat. Beberapa kali aku tersandung sebelum akhirnya masuk ke dalam kereta kuda dengan bilik pelindung. Raden Mas Banyu memberikan isyarat untuk sang kusir dan kami berdua melesat cepat meninggalkan toko. Aku yang tidak lagi berusaha untuk sabar, mencoba melepaskan diri, kutendang apa pun yang membatasi pergerakanku, tapi Raden Mas Banyu mengunci tubuhku lebih dulu. Dia bahkan membekap mulutku dengan ciumannya. Kesal tidak mampu membalas, aku memandang Raden Mas Banyu dengan pandangan permusuhan, tidak peduli apa yang dia pikirkan tentangku sekarang, aku tidak punya alasan untuk bersikap baik padanya. Kugigit bibirnya sampai dia melepas ciuman di antara kami.

"Apa aku perlu melakukannya di sini untuk membuatmu berhenti?" Raden Mas Banyu bertanya dengan napasnya yang memburu. Tatapannya tajam menembus jantungku.

Aku tidak mengerti apa maksudnya, aku tetap bergerak sebisaku, tidak ingin menyerah begitu saja. Namun setelah dia merobek jarik yang kukenakan dengan sekali percobaan, aku tau apa yang ingin dia ambil. Kesucianku. Sesuatu yang sejak lama seharusnya jadi miliknya.

❤️❤️❤️

Sampai di sini, apa kalian memahami perasaan Banyu kepada Senja?

Apa kalian tau motif sebenernya yang disembunyikan Banyu?

Kalau masih bingung. Mending pegangan. Tenang, nggak semua harus bisa dimengerti. Sama seperti cinta.

Wkwk, ditunggu part selanjutnya ya, aku update agak malaman. Jangan lupa vote! Supaya aku semangat!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top