Keluar dari sangkar
Nyimas Senja
23.10.24
Pagi-pagi sekali saat ayam masih sibuk berkokok, embun di udara masih tebal terasa dan sinar matahari tampak malu-malu muncul di antara jajaran pepohonan yang menjulang tinggi menyentuh langit, utusan dari Kraton datang dengan membawa surat untuk Raden Mas Banyu. Memecah ketenangan pagi ini dengan banyak pertanyaan mencuat. Cukup untuk membuat semua orang penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sudah menjadi aturan bahwa gundik tidak boleh menampakkan diri di hadapan para tamu. Jadi aku tidak berusaha untuk tau apa yang mereka bicarakan. Aku memilih menyibukkan diri untuk membersihkan taman belakang. Ada begitu banyak pekerjaan yang menunggu. Namun saat aku baru saja menyentuh kelopak bunga mawar yang kutanam beberapa bulan lalu. Nyi Imas menghampiriku dengan tergopoh-gopoh sambil menarik sedikit ujung jarik yang dikenakannya.
"Nduk, nduk. Hentikan semua pekerjaanmu."
"Ada apa, Nyi?"
"Orang-orang dari kota itu datang untuk mendesak Raden Mas Banyu menerima pernikahan dengan putri Ambarsari."
Seharusnya aku tidak terkejut, tapi ucapan Nyi Imas membuatku tertegun beberapa saat. Ambarsari, nama gadis itu indah.
"Senja. Aku sudah menganggapmu sebagai putriku sendiri. Katakan dengan jujur. Apa seminggu lalu, pada malam Raden Mas Banyu pulang dari kedai minuman, dan kamu memilih merawatnya sendiri di dalam kamarnya. Dia telah mengambil apa yang paling penting dari dirimu?"
Aku tau maksud Nyi Imah. Aku juga masih bisa mengingatnya, ciuman yang terasa samar itu jelas pernah benar-benar terjadi di antara aku dan Raden Mas Banyu. Dua tahun dalam penantian. Kemajuan yang terjadi di antara kami tidak lebih dari sekedar ciuman yang tak dipenuhi oleh hasrat membara yang sering kudengar dari orang-orang. Hanya sebatas ciuman tanpa rasa mendalam. Tak berarti. Meski aku masih bodoh masalah itu, aku paham bahwa Raden Mas Banyu hanya bergerak karena tuak yang diminumnya.
Kuputuskan untuk membalas tatapan kedua manik mata tua Nyi Imah yang membesar penuh harap dengan raut wajah menyesal.
"Dia belum melakukannya?"
Aku menggelengkan kepala. Berpura-pura merasa kecewa. Untuk meredakan harapan Nyi Imas yang sempat melambung tinggi, aku tersenyum lebar padanya.
"Apa yang sebenarnya Nyi Imah takutkan? Bukannya itu kabar baik? Raden Mas Banyu memang membutuhkan seorang istri sah. Yang setara dengannya. Dari namanya saja aku tau, pasti dia perempuan yang terpelajar dan cantik."
"Bagaimana dengan dirimu? Apa kamu akan baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja, Nyi."
"Hanya untuk sekarang, bagaimana nanti? Bagaimana jika istri sah Raden Mas Banyu mengusirmu? Bagaimana jika Raden Mas Banyu semakin tidak melihatmu? Kamu tidak khawatir?"
"Aku akan pergi jika dia menginginkan aku pergi."
"Begitu saja?"
"Lantas harus bagaimana?"
Nyi Imas menggapai kedua tanganku dengan perasaan gemas yang tidak bisa dia tutupi. "Kamu harus lebih menunjukkan diri. Jangan hanya menunggu Raden Mas Banyu datang padamu. Jika seperti ini terus. Ada baiknya jika kalian berpisah daripada membuatmu terkurung tanpa kepastian, tapi aku semakin tidak rela jika kamu diceraikan dalam keadaan suci. Itu sebuah penghinaan, Senja."
Aku hanya tersenyum mencermati kekhawatiran di kedua manik mata tua Nyi Imah. Setiap ibu pasti akan mengkhawatirkan masa depan anaknya. Aku merasa beruntung diperlakukan baik oleh Nyi Imas.
"Raden mencarimu, pergilah menemuinya." Nyi Imas meremas tanganku sebelum pergi menuju dapur. Seperti melepaskan rasa kesalnya padaku untuk terakhir kalinya.
Sepanjang langkah yang kuurai menuju Raden Mas Banyu. Tidak ada yang mampu aku pikirkan. Saat menatap punggungnya yang menghadap ke arahku pun, tidak ada rasa khawatir yang menggelayuti hatiku. Aku sekali lagi hanya tersadar bahwa laki-laki itu memiliki daya tarik yang sulit ditolak. Harusnya aku memang merasa beruntung menjadi gundik Raden Mas Banyu. Dia tampan. Dia pintar. Dia terpandang.
Berapa banyak perempuan yang sudah melayaninya di atas ranjang? Pertanyaan seperti itu beberapa kali muncul dalam benak. Tapi aku selalu memutuskan untuk tidak mencari tau dan tidak mau tau. Semua itu tidak ada urusannya denganku.
"Tutup pintunya."
Aku manut, kututup kedua daun pintu yang saling berpasangan itu, dan kembali berdiri menghadap Raden Mas Banyu. Sebelum pandanganku menatap lantai, kulihat kedua tangannya yang meremas sesuatu.
"Saya ingin tau. Seberapa saya bisa mempercayaimu?"
"Sebesar keinginan Raden Mas Banyu mempercayai saya," jawabku tanpa berpikir dua kali.
Dia mendengus pelan seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk bernapas dengan benar. Meski kami jarang sekali berbicara satu sama lain, aku bisa mendengar gumpalan emosi yang coba dia tahan dalam dadanya. Dalam diam aku menunggu apa yang sebenarnya ingin dia katakan.
"Bantu saya, akan saya kabulkan semua keinginanmu."
Kuberanikan diri untuk menatap ke arahnya. Mencari jawaban dari pertanyaanku.
"Bersiap-siap untuk pergi besok, bawa barangmu, kita akan ke kota. Selama berada di sana, kamu harus bekerja membantu saya menjual tembakau, dan cengkeh."
Perkataannya jelas mengandung kekesalan, tapi aku yakin, bukan aku yang menyulut emosinya. Karena aku tidak ingin salah paham, aku bertanya dengan mataku, apa yang dia maksud adalah apa yang kini aku pikirkan? Perempuan menjual tembakau dan cengkeh bukanlah perkara biasa.
"Selama berada di sana, kamu harus berperan menjadi istri saya."
Sebenarnya dia bisa saja menjadikanku sebagai istrinya. Terlalu banyak kesempatan yang bisa dia ambil. Namun permintaan yang kini dia perlihatkan membuatku semakin bingung. Ada kerapuhan di balik kata-katanya, tatapannya penuh kemarahan sekaligus kesedihan. Aku belum pernah melihatnya seperti itu.
"Bersikaplah sebagai istri. Kamu bisa melakukannya?"
"Apa termasuk dengan urusan ranjang?" Akhirnya kuputuskan untuk mengatakan isi pikiranku kepadanya secara langsung.
"Tentu, tentu saja kita akan berbagi tempat tidur selama berada di sana." Raden Mas Banyu membuang sesuatu yang semula dia genggam ke pojok ruangan.
"Tapi bukan hal umum bagi perempuan menjual tembakau dan cengkeh."
"Kamu bisa menghitung dan membaca?"
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Bersiaplah, bukankah ini kesempatanmu melihat dunia luar? Selama kamu tinggal di sini, kamu jarang sekali keluar, bukan?"
Kesempatan yang diberikan kepadaku pastilah tidak diberikan secara cuma-cuma. Aku tidak takut untuk terjun di dalamnya, berapa pun harga yang perlu kubayar, hanya saja, apa mungkin akan semudah itu menipu semua orang untuk percaya bahwa kami adalah sepasang suami istri?
Terlebih aku bukanlah seseorang yang terpelajar dalam berbisnis. Menjual tembakau dan cengkeh sama saja seperti menjual sekotak penuh batangan emas. Kemustahilan yang dia minta tidak bisa kupahami. Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?
🌹🌹🌹
Part selanjutnya akan up jam 10 nanti ya. Jangan lupa like-nya, Luv ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top