Hubungan yang tak utuh


Nyimas Senja
15.10.24

Ibu selalu berkata padaku. Perempuan ibarat barang dagangan yang jika telah retak, sulit untuk diperbaiki. Penyesalan tidak akan merubah apa pun. Pilihan-pilihan di dalam hidup kita lah yang menentukan segalanya. Ada saatnya perempuan akan keluar dari rumah untuk membangun keluarganya sendiri. Hari demi hari akan terlewati pada proses pendewasaan yang terlalu malu untuk aku bahas. Kami hanya diajarkan untuk tunduk dan patuh meski jaman sudah banyak merubah tatanan tradisi.

Aku pikir selama aku berhati-hati menjalani hidupku, tidak akan ada kata penyesalan yang bisa kurasakan. Aku sudah menyadari posisiku. Aku menjaga apa yang seharusnya aku jaga. Aku membentuk diriku dengan banyak keahlian agar kelak bisa hidup di dalam dunia yang selalu kuidam-idamkan. Bebas melakukan apa saja tanpa memandang jenis kelaminku. Namun pada kenyataannya, dunia seperti itu tidak benar-benar ada, tidak ada perempuan yang memiliki banyak pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Saat usiaku menginjak sembilan belas tahun, orang-orang mengatakan sudah lebih dari sekedar cukup bagiku mengejar segala kesenangan diri sendiri. Kini saatnya menghentikan langkah dengan mengikat hasrat pada janji setia sehidup semati pada seorang laki-laki.

Aku tidak terkejut jika perempuan memang selalu dikejar dengan agenda pernikahan, tapi aku tidak pernah tau bahwa hubungan itu bisa sangat rumit dan menyesakkan. Aku tidak pernah benar-benar tau akan terikat sangat kuat pada satu orang yang semula kupercaya dapat menjadi sandaran atau sekedar teman menghabiskan hari-hari. Justru kini jadi orang yang memenjarakanku pada aturan tradisi.

Berada di antara kemungkinan. Aku bisa merasakan banyak hal. Dia tidak pernah mencintaiku, atau tertarik meski hanya sedikit. Aku memang tidak cantik. Keluargaku juga tidak kaya. Aku tidak pernah bisa dikatakan cukup pantas untuk jadi istrinya. Meski merasa begitu, aku tidak berani bertanya, kenapa dia menikahiku? Kenapa kami harus bertahan selama ini untuk menipu banyak orang? Bukankah apa yang kami lakukan adalah sebuah dosa? Aku tidak berani bertanya sebab aku sendiri pun tidak punya jawaban yang pasti kenapa mau menikahinya.

"Sudah dua tahun, belum ada kabar baik. Anak-anak dilahirkan sebagai bukti bahwa pernikahanmu bahagia, nduk."

"Beberapa orang memang butuh waktu lebih lama untuk mendapatkan anak. Bukannya itu hal biasa, Bu."

"Tapi umur Senja sudah tidak muda."

"Dia baru dua puluh satu tahun. Masih sangat sangat muda. Telat sedikit tidak apa-apa to."

"Jamu yang Ibu kirimkan, kamu rutin minum?"

"Iya, Bu."

"Jangan terlalu lama menunda, layani suamimu dengan baik, ibu tau kamu mungkin tidak suka dengan suamimu, tapi dia tetap harus dilayani, ibu dan bapakmu sudah tua, jika besok mati, bagaimana nasibmu jika suatu hari Raden Banyu membawa istri sah'nya ke rumah ini?"

"Bu, jangan bicara seperti itu. Senja pasti sudah berusaha. Bagaimana kalau kita pulang sekarang? Sudah sore."

Ibu menelan emosinya dengan senyuman masam. "Jika hanya kamu yang berusaha, nduk. Sampai kapan pun anak itu tidak akan lahir. Posisimu tidak akan pernah aman."

Aku hanya bisa menatap ibu dengan tenang, berusaha untuk menutupi kekhawatiran. Mba Ratih selalu melindungiku dengan banyak cara. Jika keberuntungan itu ada, maka menjadi adiknya adalah keberuntungan bagiku. Mba Ratih mampu memuaskan seluruh harapan orang tua kami. Karenanya aku tidak terlalu banyak diperhatikan atau ditekan oleh orang tuaku sampai akhirnya titah itu datang untuk menarikku pada nasib buruk.

Tidak ada kesedihan yang lebih mendalam daripada menjadi seseorang yang tak pernah diinginkan. Aku tidak terlalu cantik, tidak juga pintar, dan belum memiliki anak-anak setelah dua tahun menikah menjadi pelengkapnya. Desas-desus semakin nyaring terdengar, tapi keberadaan Mba Ratih menjadi air yang meredakan rasa penasaran semua orang. Aku sangat bersyukur untuk itu. Sayangnya, semua yang kini kusyukuri pasti tidak akan berlangsung selamanya.

Orang-orang semakin tidak sabar. Ibu terus bertanya bagaimana usahaku untuk memberikan keturunan bagi keluarga ini. Semakin hari, aku semakin terpojok.

"Jangan terlalu diambil hati perkataan Ibu ya. Tuhan sudah mengatur semuanya."

Aku mengangguk, mengiyakan. Aku mengantarkan kepergian mereka dengan lambaian tangan, melepas kekhawatiran dalam dada sepenuhnya setelah kereta kuda yang membawa Ibu dan Mba Ratih hilang dari pandangan.

Kini kesepian kembali menyergapku. Rasa tak berarti menjadi lebih menyakitkan dari bisanya. Seandainya Ibu dan Mba Ratih tau hubunganku dengan Raden Mas Bagas tidak pernah berjalan seperti layaknya suami istri. Hidupku pasti akan benar-benar dianggap gagal. Perempuan yang tidak diinginkan sama seperti sampah yang layak dibuang. Apa semua ini benar-benar takdirku?

🌹🌹🌹

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top