Abimanyu

Nyimas Senja
1.11.24

Semenjak malam saat Raden Mas Banyu pulang dengan seorang perempuan. Aku semakin yakin, posisiku tidaklah terlalu penting. Raden Mas Banyu menolak saat aku berusaha memapahnya ke dalam rumah. Dalam keadaan mabuk pun dia tetap tidak tertarik padaku. Dia justru membiarkan perempuan itu yang mengantarnya sampai ke dalam kamar kami. Ya kamar kami, yang seharusnya hanya diisi aku dan Raden Mas Banyu. Tidak seperti perkataan Dahayu. Aku bisa melihat dengan kedua mataku, mereka saling bercumbu di atas ranjang itu.

Untuk menutupi rasa kecewaku siang ini aku berencana akan mulai mencari toko yang bisa kusewa untuk menjual tembakau dan cengkeh. Raden Mas Banyu tidak memberikan arahan apa pun saat semua barang dagangan kami sudah sampai dan siap dijual. Mungkin perempuan-perempuan di kedai minum itu lebih penting daripada menambah uang dalam sakunya. Jadi aku akan mengambil langkah sendiri. Anggap saja ini sebuah tantangan baru, aku lebih bersemangat daripada terus memikirkan kejadian semalam.

Aku sengaja menyewa delman untuk mengatarku berkeliling. Aku pasti tidak akan sanggup pergi ke beberapa tempat sekaligus dengan hanya berjalan kaki, ditambah pengetahuan minim tentang daerah yang baru kutinggali, tidak akan membantu banyak. Demi menghemat waktu, kubiarkan kusir delman itu membawaku menunjukan ke beberapa tempat, dengan bermodal kecil aku tidak akan sanggup menyewa tempat besar, terlebih jika itu berada di pusat pasar.

Pikiranku teralihkan saat roda delman berhenti berputar dan kusir turun dari tempat kemudinya. "Ini toko yang saya bilang tadi, Ndara."

Kulihat sekilas bangunan berukuran sedang di depanku, tampak cukup menjanjikan sepertinya, tapi aku ragu bisa menawar biaya sewanya. Toko ini lebih besar dari toko-toko yang sudah kudatangi. Baru saja aku hendak berjalan menuju pintu masuk toko untuk menemukan pemiliknya, seketika perhatianku teralihkan saat ada seseorang yang keluar dari sana.

Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat sekarang. Wajah laki-laki itu tampak begitu mirip dengan suamiku. Tidak ada perbedaan di antara wajah keduanya. Alis yang tegas, belahan dagu yang jelas, bibir yang ranum, semuanya seperti dicetak sama persis. Jika aku tidak mengingat perkataan Dahayu, aku akan percaya bahwa yang ada di depanku sekarang adalah Raden Mas Banyu bukannya orang lain. Hanya warna kulit, cara berpakaian dan cara berjalannya saja yang bisa aku bedakan dari keduanya.

Laki-laki yang kutebak sebagai Abimanyu itu menggunakan tongkat untuk berjalan. Kaki kirinya pincang, dan dia mengenakan setelan baju yang lebih mirip seperti pakaian prajurit, tapi kulit wajahnya yang putih mulus justru membuatku mengerutkan kening, tidak mungkin jika dia prajurit dengan pangkat rendah.

"Senja."

Ada kepiluan yang memancar dari matanya saat memanggilku. Pandangannya jelas seperti orang yang telah usai menunggu. Abimanyu membenarkan letak anak-anak rambutku yang berada di kening dan menyisipkannya di belakang telinga dengan gerakan lembut yang membuat jantungku berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

Bukan, dia bukan Raden Mas Banyu, tidak ada aroma rokok dari tubuhnya. Bagaimana bisa dia menyentuhku seolah-olah aku ini adalah kekasihnya. Aku berusaha menarik kesadaranku sendiri. Kuciptakan jarak di antara kami yang cukup besar. Dia tidak terlihat merasa tersinggung saat aku mundur beberapa langkah.

"Kupikir pertemuan pertama kita tidak seharusnya di tempat seperti ini, tapi apa boleh buat, aku tidak punya banyak pilihan."

Pikiranku menyuruhku kabur, pergi menjauh, tapi mulutku justru bergerak lebih dulu. "Maaf, Gusti."

"Gusti?"

Aku mengurungkan niatku untuk pergi saat Abimanyu mengulang panggilanku untuknya. Dia tersenyum, hampir-hampir tertawa. Aku juga tidak tau kenapa aku memanggilnya begitu. Aku merasa bodoh seketika.

"Apa dengan kakakku, kamu juga seperti ini?"

Aku tidak ingin memberikan informasi apa pun pada orang asing meski dia adalah saudara kembar suamiku sendiri. Jadi aku lebih memilih diam walau sekarang Abimanyu memangkas jarak kami.

"Apa aku tampak seperti orang jahat, Senja?" tanyanya kemudian, masih dengan senyuman. Perbedaan selanjutnya yang bisa kutemui, Raden Mas Banyu tidak sering tersenyum seperti Abimanyu.

"Saya harus pergi."

"Tidakkah kamu merasa aneh, Senja? Seorang suami menyuruh istrinya berjualan tembakau dan cengkeh di pusat kota?"

Abimanyu menaikan alis kirinya menunggu jawaban yang tak kunjung kuberikan. "Apa kamu tidak peduli dengan reputasimu sebagai seorang perempuan? Tidakkah kamu berpikir bahwa kakakku mencoba mempermalukanmu?"

Aku hanya diam saat dia memprovokasiku.

"Jika kakakku benar-benar peduli denganmu. Seharusnya dia tidak membawamu ke kota ini, tidak seharusnya dia menyuruhmu berjualan tembakau dan cengkeh saat dia sibuk mabuk di kedai minuman bersama para pelacur."

Setelah mendengar kalimat terakhirnya, aku kemudian menemukan kebenaran dari perkataan Dahayu. Tanpa berpikir dua kali, aku memalingkan wajahku dan bergerak untuk kembali naik ke atas delman.

"Kakakku hanya memanfaatkanmu untuk balas dendam, Senja. Entah apa yang dia janjikan padamu, tapi menurutku dia sama sekali tidak tertarik menjadikanmu sebagai istrinya."

Saat aku telah duduk di kursi, kuperhatikan kembali wajahnya dengan perasaan yang lebih tenang. "Saya tau."

Abimanyu tersenyum lebar setelah aku menjawab perkataannya. "Bagaimana jika seharusnya yang menikah denganmu itu aku, bukan kakakku. Apa kamu akan tetap setenang ini?"

Dia mengambil kesempatan di antara kebingungan dan rasa terkejutku. Abimanyu naik ke atas delman yang kutumpangi tanpa permisi. Kakinya yang pincang sama sekali tidak mengganggu gerakannya. Seperti dapat memahamiku lebih jauh, dia memberikan waktu untukku berpikir dengan menyuruh kusir delman membawa kami pergi lebih dulu.

"Aku akan mengatur urusan sewamu di toko itu. Apa saja yang kamu perlukan, akan aku penuhi. Asal kamu mau ikut denganku."

Aku bisa melihatnya, semua garis wajahnya begitu mirip dengan Raden Mas Banyu. Tidak ada yang terlewat meski sedikit, hanya saja aku bisa merasakan mereka adalah dua orang yang berbeda dalam dua tubuh yang sama. Jika Raden Mas Banyu selalu membuatku salah paham dengannya, Abimanyu justru sebaliknya. Pertemuan kami diawali dengan keterbukaan yang tidak biasa.

Dia menyentuhku dan mengatakan omong kosong yang sayangnya berhasil menarik perhatianku. Caranya menatapku, berbicara padaku, menyentuhku, tidak seperti Raden Mas Banyu yang selalu berusaha menyembunyikan sesuatu. Abimanyu terasa begitu jujur.

"Aku tidak seperti kakakku, Senja. Aku tidak akan mengecewakanmu. Tidak akan menyakitimu. Apalagi menduakanmu."

Mataku terbuka lebar dan seketika bahuku menegang. Apa dia bisa membaca pikiranku?

"Aku tidak terkejut jika kamu pada akhirnya tidak bisa menahan diri saat menghadapi dia. Apa yang kalian lakukan di pasar tempo hari bukan sesuatu hal yang biasa. Apalagi kamu mencampakkan kakakku setelahnya."

"Itu bu...."

"Jangan mencoba berbohong. Tidak ada cukup rahasia yang bisa kalian sembunyikan di kota ini, khususnya karena wajah kami yang kembar. Mau tidak mau aku juga mendapatkan perhatian khusus akibat dari aksi kalian berdua."

"Lebih baik sekarang Gusti turun. Saya tidak ingin terlibat masalah apa pun di antara Raden Mas Banyu dan Gusti."

"Abimanyu. Namaku Abimanyu. Jangan panggil aku seperti kamu memanggil tuanmu."

Perkataan yang sama. Permintaan yang sama.

"Aku tidak akan turun sebelum menunjukkan sesuatu."

Abimanyu memberikan perintah pada kusir dengan sekali tepukan pundak dan delman yang kami tumpangi berpindah jalur menuju jalan setapak yang membelah hutan. Jika semula aku masih bisa melihat orang berlalu-lalang. Di jalan ini hampir tidak ada orang sama sekali. Hanya ada suara jangkrik dari kejauhan yang memecah keheningan. Sedikit rasa takut memenuhi dadaku, bagaimana jika Raden Mas Banyu melihatku bersama Abimanyu? Bagaimana jika apa yang dikatakan Dahayu tentang Abimanyu adalah kebenaran? Bagaimana jika aku dijebak?

Tetapi rasa takut itu tidak menetap lama karena kini kebingungan memelukku lebih erat. Abimanyu membawaku ke sebuah rumah. Rumah itu berpagar tinggi dengan susunan batu-batu bata berwarna kemerahan. Ada pos penjagaan yang diisi pasukan pembawa tombak, panah dan pedang. Seperti markas pasukan, tempatnya cukup tersembunyi tapi pasti setiap orang di kota ini tau keberadaannya karena kedatangan kami bersamaan dengan perginya gerombolan pedagang sayur yang keluar dari rumah itu.

Delman kami berhenti di teras, dan Abimanyu turun lebih dulu. Satu tangannya terulur mengundangku. Kusambut dengan perasaan ragu. Mungkin aku akan terlibat masalah lagi, mungkin Raden Mas Banyu akan marah padaku lagi, tapi apa yang lebih penting dari mengetahui kebenaran melalui banyak sudut pandang? Bukannya itu hal yang akan membuatku dapat memahami situasi dengan lebih cepat?

Dia membawaku ke sebuah ruangan, tempat banyak barang mewah berada. Guci-guci dan lukisan menjadi penghias yang cukup apik. Aku belum pernah datang ke rumah sebesar ini. Bahkan rumah Raden Mas Banyu tidak dipenuhi dengan banyak barang mewah. Sebelum aku sempat menyadarinya, Abimanyu mengunci pintu ruangan tempat kami berada sekarang, di situlah aku tau, mungkin seharusnya aku tidak mudah mempercayainya sejak awal.

"Tunggulah sebentar, akan aku tunjukan sesuatu padamu yang mungkin membuatmu lebih mengenal siapa kakakku sebenarnya."

Abimanyu menggeser beberapa buku di rak yang paling dekat dengannya, dia membuka sedikit cela yang tertutup kain hitam. Di sana sebuah lubang kecil menghubungkan dua ruangan sekaligus. Sangat memungkinkan bagi orang di setiap ruangan bertukar kabar. Aku bisa mendengar orang-orang tengah berbicara dalam nada marah dan salah satu suara orang itu sangat kukenal. Abimanyu yang bisa membaca raut wajahku hanya memberikan sinyal agar aku tidak bersuara.

"Aku sudah membawanya. Jangan ingkari janjimu."

"Kau benar-benar tidak peduli dengan nasib gadis itu? Dia sedang berkeliaran mencari toko untuk menjual tembakau dan cengkeh."

"Terserah kau mau melakukan apa pun padanya, dia akan tetap setia padaku, akan menuruti perintahku, meski aku menyuruhnya tidur denganmu, dia pasti tidak akan menolak."

"Kupikir kau sudah jatuh cinta dengannya."

"Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan anak dari pembunuh ibuku."

❤️❤️❤️

Jeng jeng jeng.....

Sampai minggu depan ya my Luv ❤️

Jangan lupa votenyaaaaaaaa!!!!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top