2# Benci
"Gue gak ngerti," ucap Sonya. Cewek itu meneguk es teh manisnya, lalu menatap Keira yang mengunyah permen dengan santai. "Kok bisa lo bertahan di kelas unggulan? Gue yang enggak bego-bego amat juga gak bisa sampe masuk ke kelas unggulan. Lah, elo? Kok bisa?"
Keira tertawa. Ia meludahkan permen karetnya ke tempat sampah, lalu berkata santai, "Karena gue cantik, kali?"
"Cantik enggak cukup, Kei. Lo pikir ini sekolah para model apa? Ini SMA biasa, Kei." Sonya mengernyit, agak sebal.
Keira mendelik pada sahabatnya itu. "Ya mana gue tahu, Nya. Gue bahkan udah lama mikir kenapa gue gak dikeluarin aja dari sini."
Sonya memangku dagu dengan kedua tangannya. "Tapi ... apa lo enggak bosan, kayak gini terus?"
"Kayak gimana maksud lo?"
"Ya gini, jahilin orang terus. Kayak apa yang elo lakukan sekarang ini. Gak bosan?"
"Gak ada kata bosan buat jahilin orang, Nya. Jadi jawaban gue, ya enggak," ucap Keira enteng.
"Gue jujur sama elo, ya. Yang gak suka sama lo itu banyak, Kei. Jangan diteruskan. Ubah sikap elo. Gue sebagai teman cuma bisa mengingatkan doang." Sonya berkata serius.
Namun Keira menatap Sonya, tak kalah serius. "Cuma ini yang bisa gue lakukan buat ngalihin pikiran gue."
Keira menghela napas, pandangannya menerawang. "Jadi, ya gue gak mungkin bosan."
....
Matahari telah meninggi. Menyebabkan serangan udara panas yang menyengat. Murid-murid kelas XI-1 sudah berkumpul di pinggir lapangan, seperti biasa tampak disiplin dan tepat waktu. Mereka duduk berdekatan, menunggu guru olahraga.
Lain dengan Keira. Gadis itu suduk sendirian di bawah pohon yang rindang, dengan malas memandang teman-teman sekelasnya yang menurutnya terlalu rajin. Rasanya Keira sangat mengantuk, karena tadi malam tidak sempat tidur. Berkali-kali, kepalanya menunduk dan matanya terpejam karena diterpa angin siang.
Semilir angin memang menjadi pengantar tidur yang ampuh. Mata Keira semakin berat dan gadis itu duduk memeluk lutut di bawah naungan pohon yang rindang, lalu jatuh tertidur.
....
Keira mengerjap, matanya membuka. Keadaan di sekitarnya sudah sepi. Langit juga sudah mulai menguning, tanda sang senja sebentar lagi datang.
Keira bangun dengan susah payah. Sepertinya dia ketiduran. Dan tak ada satu orang pun yang membangunkannya. Jahat sekali.
Keira mendengus dan bangkit berdiri, saat menyadari bahwa di bahunya tersanpir sebuah jaket dengan wangi yang tidak asing. Keira langsung tahu ini jaket siapa. Jadi dia menoleh dan menemukannya.
Di sana, bersandar pada pohon yang sama dengannya, Putra terduduk. Matanya terpejam dan dia pasti juga tertidur. Diam-diam, Keira tersenyum. Ah, Putra memang baik dengan caranya sendiri. Keira senang. Dihampirinya pemuda itu, lalu bahu Putra diguncangnya pelan.
"Put, bangun," kata Keira. Diguncangnya bahu Putra sekali lagi, tapi cowok itu tak kunjung terbangun.
"Put, lo mau nutup gerbang sekolah? Bangunlah, jangan ngegembel di sini." Jengkel karena Putra tak kunjung bangun, Keira mengguncangnya lebih keras.
"WOY PUTRA! LU IS DET YA?!" pekik Keira. Putra masih tak bergerak.
Keira panik. Dipikirnya Putra sudah tak bernyawa. Mau digotong, gak kuat. Tadinya Keira ingin langsung pergi, tapi kasihan.
Keira berjongkok di samping Putra, lalu mendekatkan jari telunjuknya ke hidung cowok itu. Ada hembusan napas, kok, pikirnya. Keira mendekatkan wajahnya, meneliti wajah Putra. Iya, cowok itu memang tertidur, sepertinya.
Dan tiba-tiba, seperti jumpscare di film hantu, mata Putra terbuka.
Lalu cowok itu melompat berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.
"WOY!" jeritnya. "Jadi cewek itu gak boleh nyosor! Masa depan gue masih panjang!"
Keira yang terduduk di tanah saking kagetnya ikut bangun, melempar jaket Putra ke arah sang pemilik, lalu mengangkat tangan kanannya dan menggeplak kepala Putra sekuat tenaga. "Sinting ya lo. Gue juga pilih-pilih, kali! Ge-er banget sih! Dasar piktor!"
Putra mendecak, lalu memakai jaketnya kembali. "Jangan marah, aduh. Gue 'kan kaget, Kei." Putra tersenyum membujuk pada Keira.
Keira tak menjawab, hanya mendengus sebal.
"Lo kenapa bisa ada di sini, Put?" tanya Keira akhirnya.
"Lo ketiduran. Gue kasian aja ngeliat ada anak cewek tidur kayak gembel di bawah pohon, jadi gue temenin deh lo," jawab Putra santai.
"Kenapa lo gak bangunin gue?"
"Karena gue tahu, lo pasti gak tidur 'kan, tadi malam?" tebakan Putra memang tepat sasaran. Keira mingkem.
Mereka berdua berjalan tanpa suara, menuju kelas Keira yang telah sepi. Tidak ada siapapun disana, kecuali mereka berdua. Ya, wajar saja. Sudah pukul lima lebih sedikit. Gerbang pun sudah akan ditutup sebentar lagi. Hanya ada beberapa anak basket yang sedang beres-beres di lapangan.
Keira meraih tasnya, dan melirik agenda kelas di dinding. Keira Sara Thalia, alpa. Tanpa keterangan. Keira menunduk, dan tanpa sadar menggigit bibir bawah. Dia memang tidak akan pernah diterima di sini. Tidak akan pernah.
Putra tidak memperhatikan. Cowok itu sibuk dengan ponselnya. Sesekali tersenyum geli dan mendengus.
"Kei, ini parah banget. Masa' si Agus ... eh, Kei?" Putra menatap Keira yang langsung mengalihkan pandangannya.
"Yuk, balik," ajak gadis itu cepat. Kakinya ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini dan kembali ke rumah, meski tempat itu juga neraka baginya. Setidaknya di rumah ada kamar, dia bisa sendirian.
Putra berjalan cepat, menyusul Keira yang hampir berlari. Diraihnya tangan Keira, "Hei, tunggu sebentar."
Keira berhenti berjalan, tapi menolak menatap Putra. Matanya menatap ke bawah dan jelas sekali kalau gadis itu sedang menahan tangis. "Lo kenapa, hm?" tanya Putra lembut.
Keira menggeleng, lalu menghembuskan napas pelan. "Gue kepingin pulang. Ayo." Dia memarik tangannya dari genggaman Putra dan berbalik, menuju gerbang sekolah.
Putra tak menjawab lagi, hanya mengikuti langkah kaki gadis itu dalam diam.
Sementara Keira melirik lengannya yang tertutup seragam. Haruskah? Lagi?
....
Andromeda, 2 Maret 2019.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top