Bab 9
Bab 9
“Kamu ngapain ke sini, sih , Al?” tanya Anggi dengan nada frustasi yang terdengar jelas. Bahkan wajah stress yang tidak ia tutup-tutupi terlihat jelas bagi siapapun, dan ia tidak berencana untuk diam melihat kelakuan seenaknya Alfa yang datang begitu saja.
“Enggak seharusnya kamu datang! Mereka bertiga adalah biang gosip, dan kamu datang membawa banyak amunisi buat mereka bertiga!” kata Anggi tanpa basa basi. “Kamu ngebiarin mereka melihat kamu dan aku, mereka pasti menyebar cerita yang enggak-enggak tentang kita. Dan yang paling parah adalah, mereka bisa memutar balikkan semua cerita menjadi seperti naskah sinetron kejar tayang, Aaaal.”
Anggi menutup wajah dengan kedua tangan, “Panggilan kamu untukku … itu pasti buat mereka berpikir ….” Anggi diam kehilangan kata-kata. “Aku enggak ngerti harus ngomong apa lagi, Al.”
Suara-suara di sekitar mereka tak terdengar lagi ketika ia membuka mata dan konsentrasi pada senyum pria yang duduk di depannya. Terlihat menenangkan bahkan membuatnya nyaman, meski beberapa saat lalu hatinya terbakar amarah. “Kamu cemburu?” tanya Alfa.
“Hah?!” tanyanya dengan mata membulat tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Ketenangan dan kenyamanan yang beberapa saat lalu datang menyelimuti hatinya, kini kembali membara karena amarah yang tak bisa ia jelaskan. “Hah! Apa maksudmu?!”
“Kamu pasti marah melihat sikap mereka tadi. Kamu juga marah melihat sikap Bu Sintya, iy—”
“Tunggu!” selanya. “Kenapa kamu panggil Bu Sintya bukan hanya Sintya. Padahal dia hanya beda beberapa atahun denganku.”
“Ay … enggak mungkin aku manggil dia Sintya, ntar, dia GR. Bahaya kalau Bu Sintya kira aku naksir dia.”
Anggi memutuskan untuk tidak mengindahkan apapun yang Alfa katakan. Meski di dalam hati, ia ingin membantah atau sekedar mengomentari. Namun, ia sadar jika membuka bibir saat pria itu mode cerewet seperti saat ini membahayakan misinya untuk menolak pria yang masih saja belum menyerah.
Pria yang beberapa saat lalu masih sibuk menceritakan tentang serbuan pertanyaan The Hebrings ketika melihat sikapnya, tiba-tiba berhenti karena ia tak kunjung menyentuh kotak makanan yang Alfa letakkan di depannya. Kotak berwarna putih dengan garis abu gelap membuatnya penasaran, tapi Anggi menahan diri untuk tidak menyentuhnya.
“Buka, Ay!” perintah Alfa.
“Berhenti penggil aku Ay, Al!” sungut Anggi yang merasa geli mendengarnya memanggil Ay. “Anggi!”
Alfa mendorong kembali kotak makan yang beberapa saat lalu ia dorong karena mendengar Al memanggilnya Ay. “Aku akan berhenti manggil kamu Ay, kalau kamu manggil aku Sayang.”
Anggi meletakkan bolpen dengan sedikit keras dan memandang tajam pria di depannya. Napasnya mulai memburu melihat sikap Alfa yang terkesan tidak menghargainya saat ini. Memaksakan kehendak dan menjengkelkan. “Kamu tahu … aku enggak nyangka kalau kamu itu keras kepala, pemaksa dan enggak bisa menghormati orang lain!”
Alfa tidak terlihat tesinggung, bahkan saat ini Anggi bisa melihat senyum terbit di bibir pria dengan kumis dan jambang tipis yang terpotong rapi. Kotak makan yang beberapa kali maju mundur di antara mereka kini terbuka dan aroma bakmie kuah Yogya menguar menggoda selera. Tanpa disadari, Anggi menunduk melihat Alfa menuang kuah ke dalam mie yang tercampur potongan tomat, kubis, sayuran hijau dan suwiran ayam.
“Aku bukan cenayang, hanya pandai menggunakan teknologi. Tiara yang kasih tahu kalau kamu lagi pengen bakmie kuah Yogya. Sahabat kamu juga bilang kalau kamu orangnya suka makan.” Air liurnya terbit membayangkan nikmatnya mie khas daerah istimewa Yogyakarta tersebut. Tangannya masih berhenti, berat untuk bergerak karena ia tak ingin menurunkan ego barang sejengkal. Ia tak ingin Alfa merasa mendapatkan angin segar. Namun, melihat mie yang membuat perutnya berontak bukan sesuatu yang mudah untuk Anggi lakuan.
Ia mengangkat pandangan dan bertemu dengan pria yang menunggunya untuk segera menyuap bakmi yang menggoda selera tersebut. ‘Kok kayaknya aku karung banget, ampe dibilang suka makan?’ kata Anggi dalam hati.
“Makan dulu. Aku enggak bakalan mikir macem-macem,” kata Alfa membuyarkan lamunannya.
“Mikir apa?” tanya Anggi menatap ke dalam mata Alfa dengan kening mengernyit. “Aku enggak ngerti.”
Alfa meletakkan sendok di dekat tangan kanannya, dan garpu di tangan kiri. “Makan!” perintahnya. “Aku enggak bakalan mikir kalau kamu gragas[1] atau bahkan udah jatuh cinta sama aku. Aku juga enggak bakalan mikir kalau kamu kagum melihat perjuanganku mendapatkan hatimu.” Anggi mendengus mendengar kalimat sarat dengan kepercayaan diri yang meluncur dari bibir Alfa. “Kalau mau senyum, jangan di tahan, Ay.”
“Aku enggak senyum! Kamu itu, ya!” hardiknya tidak kuat menahan diri lebih lama. “Enggak ada kerjaan lain apa?” tanya Anggi sambil meraih sendok dan mulai mengaduk mie yang masih terasa panas di depannya. “Meski aku masih marah, tapi makasih udah bawain makanan kesukaanku ke kampus.”
Anggi tahu saat ini Alfa tersenyum melihatnya menyantap makanan yang dibawanya dengan lahap hingga tak tersisa. “Kamu enggak makan?” tanyanya setelah memasukkan sendok dan garpu ke dalam kotak makan, menutup dan memasukkan ke dalam kantong yang Alfa bawa.
“Sebenarnya aku kira tadi bisa makan sepiring berdua.” Gerakan Anggi terhenti dan melihat Alfa dengan ekspresi tidak percaya. Pria yang memandang lekat dengan senyum di bibir itu terlihat tanpa ekspresi.
“Kamu gimana, sih, Al! harusnya kan ngomong, bukan diem aja!” bentak Anggi bersiap untuk berdiri memesan makan untuk Alfa ketika ada tangan terulur menahan gerakannya meski kulit mereka tidak sampai bersentuhan. “Aku pesenin kamu makan dulu. Enggak lucu dong kalau kamu jauh-jauh ke sini bawa makanan, tapi kamunya belum makan. Tangannya pinggirin, Al!” Alfa menarik tangannya dan meminta Anggi untuk duduk kembali.
“Pertama, makasih untuk perhatiannya. Sampai mau pesenin aku makan siang. Kedua, aku cuma bercanda tentang makan sepiring berdua sama kamu. Karena kita bisa lakukan itu kalau kita sudah menikah.”
“Alfa!” hardiknya membuat tawa Alfa semakin lebar. Pria yang siang itu terlihat rapi membuat beberapa kepala mahasiswi menoleh ke arahnya semakin membuat Anggi meradang. Bahkan beberapa orang terlihat mengenali, menghampiri dan menjabat tangannya. “Kamu belum makan, enggak seharusnya aku makan tanpa menanyakan padamu terlebih dulu tadi.”
“Ketiga, ini hari Kamis. Aku puasa hari ini, Nggi.”
Entah harus tertawa atau bahkan menangis mendengar kalimat Alfa yang membuatnya teringat mendiang sang Ibu. “Pilih pria yang shalih, Nggi. Pilih yang mencintai ibunya, salatnya tepat waktu, puasa senin kamis.” Anggi harus menahan air matanya ketika bisa mendengar suara sang ibu mengatakan hal tersebut. Di saat ia siap untuk menghalau semua usaha Alfa, Tuhan justru membuatnya melihat salah satu keistimewaan pria tersebut. Anggi mengerucutkan bibir dan tersenyum masam. Semua pikiran buruk tentang Alfa di kepalanya hilang seiring dengan informasi yang ia dapatkan beberapa detik lalu.
Setelah terdiam beberapa saat, ia memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Aku nulis semua hal tentang kamu di dalam buku coklatku karena tokoh di dalam novel terbaruku berdasarkan tentang dirimu.” Anggi tidak pernah merencanakan untuk mengatakan hal tersebut. Namun, saat ini, membahas isi buku coklat jauh lebih aman dari pada otaknya kembali mengulang pesan sang ibu.
“Tunggu … aku jadi salah satu tokoh di novel kamu?” tanya Alfa padanya dengan mata berbinar dan nada yang terdengar kagum dan juga tidak percaya. “Aku jadi tokoh utama, tokoh pembantu atau jadi antagonis gitu.”
Anggi sudah bisa memperkirakan hal ini tidak akan bisa Alfa lupakan begitu saja. Ia bisa memperkirakan keusilan yang akan membuat pria itu merasa medapat angin segar dan pintu yang terbuka lebar untuk dirinya. Meski Anggi tidak membukanya. “Aku tahu!” Anggi melihat Alfa dengan bibir cemberut. “Tokoh kamu pasti ganteng, badannya tinggi, loveable guy, baik hati dan punya digital marketing agency. Iya, kan?” Ada sesuatu dari cara Alfa menyugar rambutnya, ada sinar jail seperti anak kecil yang terpancar jelas di wajah pria di depannya.
[1] Suka makan, pemakan segalanya
Untuk teman-teman yang sudah sudah jatuh cinta pada Mas Alfa ... Thank you yaaaaaa.
Moga-moga aku berhasil gambari Taurus dan Cancer dengan baik.
Hepi mandei
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top