Bab 8

Bab 8


Hal pertama yang Anggi ingat setelah membuka mata adalah senyum pongah, menenangkan dan mendebarkan hati milik seseorang. Pria yang selalu mengirim pesan menanyakan kabar membuat hatinya menghangat dan juga takut di waktu bersamaan. Membaca pesan sarat akan kekuatiran adalah hal baru baginya, begitu juga dengan rasa ragu yang mengikuti. Meski kejadian itu sudah berselang beberapa hari.

Ia tahu Alfa adalah pria baik dengan pekerjaan yang mengagumkan. Karena tidak semua orang bisa memiliki kesempatan mengerjakan apa yang dikerjakannya sejak usia muda, dan Anggi kagum melihatnya. Namun, kekaguman itu tidak cukup besar untuk menghapus semua keraguan di hatinya. Bujuk rayu Alfa menjadi masalah bagi Anggi. Karena pria dengan senyum menawan itu bisa membuatnya menyetujui apapun permintaannya jika ia tidak bersikeras untuk menahan diri.

Anggi selalu memutar otak mencari cara untuk membuat pria itu mundur dan mengerti bahwa mereka berdua tidak seharusnya memiliki hubungan apa-apa.

Alfareza
Morning sunshine
Hari ini ada waktu untuk makan siang

Nope. Sorry, jadwalku padat hari ini.
Makasih tawarannya.

Tanpa ragu Anggi mengetikkan penolakan yang ia berikan selama beberapa kali Alfa mengirim pesan ajakan makan siang. Anggi berkata dalam hati, ini adalah jalan yang benar. Alfa memintanya untuk tidak kemana-mana, ia bisa melakukan itu. Namun, pria itu tidak mengatakan bahwa ia tidak boleh menolaknya. Saat ini yang dipikirkan hanya satu, ia tidak bergerak dan tidak memberikan kesempatan atau celah sedikitpun untuk Alfa.

Alfareza
Dosen juga butuh makan, Nggi

Anggi tertawa membaca pesan yang ia putuskan untuk mengabaikannya, setidaknya hingga jam kerjanya selesai nanti sore. Siang itu ia memilih untuk konsentrasi dengan apa yang ada di meja kerja termasuk tulisan yang harus ia tunda. Karena setiap kali membacanya, Anggi tak bisa menahan diri untuk tidak membayangkan senyum menggoda Alfa. Bahkan ia bisa membayangkan reaksi pria itu jika membaca hasil tulisannya—yang tidak akan dia izinkan. Tumpukan hasil tugas yang ia berikan minggu lalu pun belum disentuhnya sama sekali, karena ia tak bisa memusatkan pikirannya saat ini.

“Permisi.” suara itu membuat gerakan jarinya terhenti. Tanpa mengangkat kepala pun ia tahu  siapa pemilik suara lembut dan sedikit serak yang baru saja membuka pintu ruang kerja yang sayangnya dalam keadaan penuh. The Hebrings—julukan yang ia berikan untuk ketiga rekannnya—masih berada di sana, dan ia bisa melihat mata berbinar yang mereka tujukan pada Alfa saat ini.

Pria dengan penampilan rapi tersebut membawa satu kantong plastik yang terlihat penuh dan meletakkan di atas meja di mana semua mata tertuju. “Selamat siang ibu-ibu dosen yang saya hormati. Saya mau antar makan siang untuk—”

“Tunggu … kamu sudah lulus kan?” tanya Dinar—yang paling nyinyir—di antara semuanya. Perempuan berusia empat puluh lima itu memandang Alfa dengan mata menyipit, terlihat berpikir. “Kamu … Alfa, iya, kan?”

Darah Anggi mendidih mendapati Alfa tersenyum lembut ke arah Sintya—yang paling ganjen—ketika perempuan itu berdiri dan mendekatinya. “Alfareza … yang punya digital marketing agency itu, kan? Kita sering bahas mahasiswa yang sukses dan kamu salah satu yang sering banget kita bahas. Meski kamu enggak pernah masuk ke kelas saya, tapi ikut bangga, lho,” kata perempuan yang berusia beberapa tahun di atasnya. Tanpa disadari, Anggi mengepalkan tangan ketika mendengar Sintya mengetahui tentang pekerjaan Alfa. Membuatnya ingin tahu dari mana perempuan itu tahu apa pekerjaan Alfa saat ini.

Anggi masih mencoba untuk konsetrasi dengan pekerjaan ketika mendengar pertanyaan yang Aulia—paling menjengkelkan—membuatnya semakin mendidih. “Alfa kok tahu kalau kita-kita belum makan siang, atau jangan-jangan kamu ke sini karena ada maunya. Kamu ke sini cari Sintya, ya?!”

Sintya memang selalu menjadi dosen yang dielu-elukan bukan karena prestasinya, tapi karena penampilannya yang selalu modis. Ditunjang dengan wajah cantik yang tak pernah lepas dari make up membuat hampir semua orang memujinya. Seperti saat ini ketika mendengar dua orang melambungkan nama Sintya tinggi-tinggi. Bahkan ia mendengar Dinar berkata betapa cocoknya Sintya dan Alfa yang terlihat sepadan kalau jalan berdua.

Anggi menutup telinganya dengan earphones dan menaikkan volume musik yang pasti akan membuatnya merasa pusing nanti. Ia tidak peduli. Yang diinginkan hanya menghilang dari sini, tapi  Anggi sadar tidak bisa melakukan itu tanpa mendatangkan kecurigaan The Hebrings yang pasti akan mereka bahas selama berbulan-bulan. Karena itu ia memilih bertahan dengan musik di telinganya, hingga satu kotak makan di letakkan tepat di atas tumpukan kertas yang sedang di bacanya.

“Makan dulu, Ay!” kata Alfa yang menundukkan kepala hingga posisi mereka berdua menjadi terlalu dekat. “Nanti kerja lagi, sekarang makan dulu!” Anggi mengangkat kepala dan mendapati Alfa tanpa senyum memandang ke arahnya. “Atau perlu aku suapin?”

“Kamu panggil apa barusan?” tanya Anggi sambil melepas earphone. Keningnya mengernyit bingung mendapat panggilan yang tak pernah ia dapatkan.

“Ay … salah?!”

Anggi meletakkan bolpen dan menatap tajam Alfa yang masih mempertahankan wajah datarnya tanpa senyum yang masih membuatnya terpana. “Anggita Damayanti. Boleh dong aku potongnya jadi Ay. Iya, kan?”  Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang Alfa lakukan padanya. Ia merasa tiga pasang mata menatapnya tajam dengan pandangan penuh curiga.

Anggi memutus pandangan mereka berdua, meraih ponsel, laptop dan juga buku catatannya. Melirik Alfa tajam sebelum memandang ke arah tiga orang perempuan yang menatapnya curiga, “Enjoy your lunch ladies.” Tanpa mempedulikan keheranan yang tampak di wajah Alfa, Anggi membuka pintu dan keluar menghindari semua ornag. Ruang kerjanya terasa sesak setelah melihat kelakuan mereka bertiga beberapa saat lalu. Ia melangkah cepat menuju kantin yang pasti ramai, tapi Anggi lebih memilih duduk di sana dari pada mendengarkan ocehan berbau rayuan di ruang kerjanya.

Anggi memesan satu gelas juice alpukat sebelum mencari tempat duduk yang kosong. Namun, ia segera mengutuk diri sendiri ketika teringat ia keluar ruangan tanpa membawa dompet. “Bodoh!” rutuknya pelan.

“Mbak, saya bayar nanti enggak apa-apa. Dompet saya keting—” kata-katanya tertelan kembali ketika ada lengan yang melewati pundaknya dan meletakkan selembar uang berwarna hijau di atas counter. Dari aroma parfum yang menelisik ke dalam hidungnya saat ini, ia tahu siapa yang berdiri di belakangnya saat ini.

“Duduk di sana,” ajak Alfa setelah meraih gelas tinggi berwarna hijau kecoklatan yang diulurkan padanya beberapa saat lalu. “Aku enggak gigit, Ay. Duduk sana, yuk.”

Tidak ingin menimbulkan keributan, Anggi mengikuti langkah lebar Alfa membelah keramaian dan menemukan satu meja kosong yang membuatnya keheranan. Bagaimana Alfa bisa mendapatkan meja ketika semenjak tadi ia tak bisa menemukannya. “Aku usir yang duduk di sini,” kata Alfa ketika mendapati keningnya mengernyit.

“Alfa!” tegurnya tak bisa menahan diri.

“Enggak, Ay. Ini tadi kebetulan barusan kosong waktu aku masuk nyari kamu. Curigaan banget, sih!” Ia memutar bola mata ketika mendapati senyum di bibir Alfa, dan ia bisa mengerti apa yang membuat The Hebrings terkesima hari ini. Alfa memiliki aura yang berbeda dengan semua pria yang pernah mencoba untuk mendekatinya selama ini. Ada sesuatu yang membuatnya merasa semua hal menjadi satu.

Hepi sandei gut pipel
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top