Bab 7

Bab 7

"Kamu enggak apa-apa?!" tanya Alfa begitu melihat Anggi keluar dari kamar mandi. Selama beberapa menit ia berdiri di depan pintu menanti dengan hati was-was sambil mengulang kembali kejadian beberapa saat lalu di dalam kepalanya. Mencoba mencari kata atau sikap yang membuat Anggi berlari dengan wajah pucat. Meninggalkannya dengan prasaan bersalah mencengkram hati.

"Anggi," panggil Alfa ketika tidak mendapatkan jawaban dari perempuan yang memandangnya dalam diam. "Kamu kenapa? Aku ada salah ngomong, ya?" Alfa meminta Anggi untuk duduk kembali. Secangkir teh panas Alfa dorong ke arah perempuan yang sesekali masih menghembuskan napas berat.

"Aku enggak apa-apa. Maaf udah bikin kamu kuatir ... kalau emang kuatir," kata Anggi yang mencoba mencairkan suasana. Alfa tak melepas pandangannya. Kepalanya pun masih penuh dengan pertanyaan setelah melihat sikap perempuan mandiri yang terlihat panik.

"Ya kuatir, lah, Nggi," jawabnya.

Alfa mengikuti gerakan kaku Anggi meraih cangkir dan menyesap sedikit demi sedikit cairan hangat yang Alfa siapkan. "Kamu percaya dengan jatuh cinta pada pandangan pertama?" tanya Anggi memandangnya dengan mata lebarnya. "Aku enggak," kata Anggi tanpa menanti jawaban darinya. "Bagiku, cinta enggak bisa datang dengan kecepatan cahaya. Cinta datang seiring waktu. Karena jika datang dengan cepat, dia bisa pudar dengan cepat. Itu menurutku." Alfa menatap Anggi yang mengarahkan pandangan ke kegelapan malam di antara kerlip lampu di atas kepalanya. Ia tidak bisa membaca raut wajah perempuan yang membuat jantungnya berhenti beberapa saat lalu.

"Aku tahu apa yang sedang kamu coba, Al. Sesungguhnya aku sudah bisa membaca gelagatmu semenjak hari pertama kamu masuk ke dalam kelasku." Alfa tidak berusaha untuk menyela atau bahkan menghentikan kalimat Anggi. Ia telah berjanji akan melakukan semuanya dengan perlahan, tapi sepertinya mulut usilnya gagal melakukan tugasnya malam ini.

Ia tak mengalihkan pandangan, mengamati setiap inchi wajah Anggi dan menyimpannya ke dalam kotak ingatan istimewanya. "Seperti saat ini ... caramu memandangku, membuatku ...."

"Membuatmu bisa merasakan sebesar apa perasaan yang ada dihatiku untukmu. Betul?" tanya Alfa tanpa malu. "Aku enggak akan menampik semuanya, Nggi. Iya, aku jatuh cinta sama kamu semenjak status kamu masih sebagai dosenku. Tapi aku menghargaimu. Saat kamu menghindar, aku pun berhenti. Meski aku yakin kamu merasakan hal yang sama-"

"GR!" sela Anggi membuatnya tertawa bahagia. "Gimana bisa kamu menyimpulkan hal menggelikan seperti itu. Kita hampir enggak saling mengenal, Al."

"Kasih aku kesempan untuk mengenalmu," kata Alfa yang tidak mendapat jawaban. Alfa tidak pernah merasakan apa yang ada di hatinya saat ini. Ada perasaan muncul setiap kali ia memikirkan tentang perempuan yang selalu menatapnya tajam. "Apa yang aku rasakan bukan sesuatu yang impulsif, kalau itu yang kamu pikir. Karena perasaan ini datang semenjak hari pertama aku melihatmu."

"Nah ... itu impulsif, kan?!" kata Anggi ke arahnya dengan wajah keras.

Melihat keyakinan Anggi, ia segera merasa bahwa meyakinkan perempuan di depannya tidak akan berjalan semudah yang dibayangkannya. Seperti Anggi yang yakin bahwa perasaannya hanyalah emosi sesaat, Alfa juga meyakini bahwa Anggi menyangkal tentang perasaannya.

"Berapa lama kita enggak pernah bertemu, Nggi?" tanyanya dengan tenang.

"Enggak tahu, empat Lima tahun mungkin," jawab Anggi acuh. Perempuan berjilbab yang membuatnya harus bersabar itu memandangnya dengan mengernyitkan kening.

Alfa melipat tangan di depan dada, "Empat tahun, sembilan bulan dan dua puluh Lima hari. Itu adalah waktu terakhir kita ketemu, bukan saat wisudaku, tapi ketika kita selisih jalan di depan ruangan kepala jurusan."

Mata bulat Anggi terlihat semakin lebar mendengar jawabannya. Ia mengingat berapa lama ia tidak melihat wajah Anggi, bahkan seperti penguntit yang terobsesi, ia masih bisa mengingat warna baju yang mantan dosennya itu pakai.

"Aku ...."

"Aku yakin apa yang aku rasakan bukan sekedar emosi sesaat atau impulsif," katanya dengan tenang. Meski Alfa ingin berteriak meyakinkan pada perempuan di depannya bahwa apa yang ada di hatinya bukan perasaan yang hanya datang untuk berlalu dan menghilang. Karena apa yang ada di hatinya datang untuk menetap. Ia tidak tahu kenapa Anggi tidak bisa melihat hal itu. "Kamu ragu."

"Ini bukan keraguan, Al. Aku merasa perasaan kamu itu sesuatu yang tidak mungkin," kata Anggi menatapnya tajam. "lagian, aku dosen kamu-dulu-dan aku lebih tua darimu. Kamu bisa dapatkan semua perempuan yang kamu mau dengan usia yang lebih muda dibanding aku."

Alfa tersenyum lega, karena keberatan yang Anggi katakan bukan karena ia tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Melainkan tentang kepantasan yang menurut perempuan keras kepala itu tidak lah wajar. Ia bahagia mendapati kenyataan itu. "Jadi ... kamu merasa enggak pantas karena kamu mantan dosen dan lebih tua dariku, begitu?"

"Iyalah. Kamu seharusnya sama perempuan yang masih muda. Usia dua puluhan dengan semangat hidup menyala-nyala, bukan dengan perempuan tiga puluhan yang hidupnya hanya di habiskan dengan kampus dan menulis. Kamu butuh perempuan yang hidup, Al!"

"Tapi aku maunya kamu, gimana, dong?" senyum di bibir Alfa semakin lebar mendapati Anggi yang salah tingkah di depannya. Perempuan berjilbab tersebut terlihat bingung sebelum memasukkan buku coklatnya ke dalam tas lalu berdiri.

"Aku harus pulang. Makasih untuk ... bukunya." Tanpa memberi kesempatan pada Alfa untuk menjawabnya, Anggi berjalan cepat menuju pintu keluar. "Berhenti ngikuti aku. Al!" Alfa hanya diam tanpa kata mengikuti Anggi hingga perempuan itu berhenti di sebelah city car berwarna abu tua.

"Kamu sadar enggak, Nggi. Keberatan kamu hanya dua, pekerjaan dan umur. Tapi kamu enggak bilang kalau kamu enggak punya perasaan untukku," katanya setelah dengan sengaja menyandar di pintu mobil Anggi. "Enggak ada larangan antara dosen berhubungan dengan mahasiswanya yang sudah lulus beberapa tahun lalu. Aku juga enggak tahu kalau ada larangan berhubungan dengan pria yang lebih muda darimu."

Anggi terlihat kesal dan ia semakin bahagia melihatnya. Alfa masih melipat tangan di depan dada, sengaja tidak melihat ke arah perempuan yang beberapa kali terdengar menghembuskan napas berat. Ia tahu sudah membuat Anggi kesal, tapi Alfa sudah bertekad untuk melakukan segala cara untuk mendekati mantan dosennya tersebut.

Dari sudut mata, ia bisa melihat Anggi membuka pintu belakang dan memasukkan tas sebelum menutup pintu dan menyandar di sana menatap di kegelapan malam seperti dirinya. Dua orang dengan pikiran yang saling bertautan, meski keduanya tidak menyadari itu. "Aku bohong kalau bilang enggak merasakan sesuatu, Al. Tapi kamu harus tahu ... aku enggak percaya dengan perasaanmu yang datang dengan kecepatan cahaya seperti itu."

"Kalau gitu ... kasih aku kesempatan untuk membuktikan ke kamu kalau perasaan ini bukan hanya sekedar emosi sesaat," pinta Alfa setelah merubah posisi tubuhnya menghadap Anggi yang masih setia menatap langit. "Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku!"

"Kamu ngutip lagu buat gombalin aku," kata Anggi terlihat tersenyum geli.

Alfa menegakkan badan, sedikit menekuk kaki hingga pandangannya sejajar dengan perempuan di sebelahnya. "Pertama, ini bukan gombalan. Kedua, aku merasa lagu itu pas untuk menggambarkan apa yang saat ini aku rasakan." Alfa berhenti sejenak. "Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta kepadaku ... beri sedikit waktu ... kasih kita berdua kesempatan, Nggi." Tanpa menjawab lagu yang ia nyanyikan, Anggi membuka pintu mobil dan menutupnya setelah mengucapkan salam.

Hepi wiken guys.
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top