Bab 6
Bab 6
Berhadapan sedekat ini dengan Alfa bukan sesuatu yang mudah bagi Anggi. Senyum yang seolah tak pernah lepas dari bibir Alfa terkadang membuatnya lupa dengan semua keraguan yang hinggap di hatinya sampai beberapa detik setelah ia melewati ambang pintu kafe, sebelum salam Alfa menghentikannya. Ia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke segala penjuru, tapi entah kenapa selalu kembali dan berakhir pada Alfa yang masih setia menatapnya. Terlebih lagi setelah ia menyebut alasan di balik buku yang masih didekapnya erat. “Enggak banyak orang tahu, tapi … aku menulis novel, Al.”
Alfa terlihat terkejut, tapi Anggi bisa merasakan itu bukan sesuatu yang buruk. Bahkan ia bisa melihat kekaguman di mata pria yang selalu menatapnya tajam dengan senyum di bibir. Membuat ketegangan perlahan meninggalkan pundak Anggi dan ia bisa menyandar dengan napas lega.
“Anggita Damayanti, kamu enggak tahu seberapa lega, kagum dan bangganya aku mendengar itu.” Senyum Alfa menular, bibirnya melengkung meski ia masih merasa ragu untuk melakukannya itu. “Maaf … aku enggak tahu,” kata Alfa ketika mendengarnya menyebut nama pena yang ia pakai. “Aku enggak pernah baca novel romance. Tunggu, yang kamu tulis ini novel romance, kan?” tanya Alfa meyakinkan diri.
“Iya, romance, Al. Kalau nulis horror, yang ada, aku takut di rumah sendiri,” jawabnya pelan dengan senyum. Ia kembali melayangkan pandangan ke segala penjuru, bahkan ia sudah menghitung jumlah lampu yang ada di atasnya. Dua kali.
“Aku temenin!” Anggi menolehkan kepala dengan cepat sampai terasa pening. Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang pria itu katakan padanya. Wajahnya terlihat santai, tapi ia merasakan kesungguhan dari dua kata yang terdengar sambil lalu tersebut. “Kenapa?” tanya Alfa ketika melihatnya terdiam.
“Enggak apa-apa,” jawab Anggi berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka.
“Kenapa?” tiba-tiba ia memiliki keberanian untuk menanyakan pertanyaan yang muncul sejak pertama kali ia melihat mahasiswa dengan uban di kepala, menatapnya tajam dengan senyum di bibir. Jika Alfa terkejut, Anggi tidak bisa melihatnya, karena yang dilihatnya saat ini adalah seorang pria yang tidak memalingkan pandangan darinya.
“Kenapa apanya?” tanya Alfa. Wajah mantan mahasiswanya itu terlihat tenang, berbeda dengan hatinya yang masih bisa mengingat kejadian siang itu.
“Kenapa mandangin aku terus waktu itu?” Anggi melihat kernyitan di kening Alfa ketika ia menanyakan hal tersebut. “Di kantin, waktu pertama kali kita ketemu. Lupa?”
Suara tawa Alfa mendatangkan perasaan nyaman diperutnya. Seolah mereka dua orang yang saling mengenal puluhan tahun. Seakan-akan duduk berdua di dalam kafe adalah hal yang wajar untuk mereka lakukan berdua. Membuatnya merasa dekat dan terasa intim, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dengan siapapun. Termasuk kekasih terakhirnya dua tahun lalu.
“Aku membeku, terpana atau apapun itu. Pertama ngelihat kamu, yang terpikir adalah, apa yang dikerjakan perempuan itu. Tapi, saat kamu angkat kepala dan anehnya melihat lurus ke arahku. Seolah kamu sadar sepanjang waktu aku lagi merhatikan dan itu buat aku enggak bisa berpaling. Hanya bisa tersenyum seperti orang bodoh dan aku bersyukur siang itu sudah melihatmu.”
“Aku dosen kamu, Al!” katanya dengan sedikit keras. Anggi merasa harus menegaskan hal itu pada pria yang menatapnya dengan cara yang sama seperti pertama kali ia melihatnya. “Enggak seharusnya aku dan kamu ….”
“Pertama, kamu bukan dosenku, lagi!” kata tegas itu membuat Anggi terkejut. Wajah serius Alfa yang tidak pernah dilihatnya terlihat mengintimidasi, tapi dalam waktu yang bersamaan membuatnya merasa aman. “Kedua, aku dan kamu tidak terjadi sesuatu.” Alfa memajukan badan, matanya lurus ke arahnya. “Setidaknya belum.” Anggi membuka mulut hendak membantah, tapi ia urungkan ketika pertanyaan Alfa membuatnya terdiam.
“Kenapa memilih jadi penulis?” tanya Alfa yang memebuatnya bernapas lega karena tidak membahas tentang masa lalu.
“Kenapa aku memilih menjadi penulis?” Anggi mengulangi pertanyaan Alfa dengan suara berbisik, seakan memberi waktu pada dirinya sendiri untuk memikirkan sebuah jawaban yang pas untuk menjawab pria yang masih setia memandangnya. “Ceritanya panjang, Al.”
Alfa menopang dagu dengan tangan kanan lalu berkata, “Aku punya waktu sepanjang malam, kalau masih kurang … kita bisa lanjutkan besok. Besoknya lagi, dan besoknya lagi. Aku punya waktu sepanjang yang kamu mau.” Jantungnya kembali berulah mendapati rasa nyaman yang kembali datang seiring kalimat penuh janji terdengar tegas tanpa ada keraguan Alfa berikan padanya.
Salah satu hal yang membuatnya memutuskan untuk menghindari Alfa adalah, rayuan yang kadang pria itu selipkan di setiap kalimatnya. Meski ia tidak yakin itu ditujukan padanya, ia tetap memutuskan untuk menghindar. Karena ia tak ingin menjadi buah bibir teman dosennya yang bisa mengendus cerita dari kejauhan. Anggi tidak ingin menjadi bahan gosip mereka, seolah menjadi dosen termuda tidak cukup menjadikan dirinya topik setiap kali mereka membicarakan tentang kampus.
Malam ini, Anggi kembali merasakan ketakutan yang sama. Ia bisa merasakan perasaan yang muncul di hatinya, seperti beberapa tahun yang lalu sejak kejadian di kantin. “Kenapa pengen tahu? Ceritaku enggak terlalu menarik dibanding semua pencapaianmu.”
“Aaaa … ada yang sudah mencari tahu ternyata,” goda Alfa ke arahnya. Setelah pertemuan dua minggu yang lalu, Anggi menyempatkan diri untuk mencari tahu tentang perjalanan mantan mahasiswanya tersebut. Karena ia memerlukan riset tentang masa lalu Alfa yang akan menjadi tokoh utama di buku terbarunya. Setidaknya itu yang ia katakan setiap kali senyumnya terbit ketika mantan mahasiswanya tersebut melintas di pikirannya.
Anggi mengulum senyum dan mengangguk malu, “Riset, Al. Aku butuh riset untuk buku terbaruku.”
“Riset atau karena kamu penasaran, aku tetap bersyukur. Karena dengan begitu kamu jadi ngerti dengan pekerjaanku. Jadi ke depannya enggak bakalan protes.”
Anggi terhenyak, memundurkan kepala dan mengernyitkan kening. “Protes kenapa? Apa hubungannya pekerjaan kamu sama aku, Al?” tanyanya masih merasa bingung dengan kalimat Alfa yang teras memiliki arti tersembunyi.
“Protes karena aku kurang merhatikan kamu,” jawab Alfa seraya menaik turunkan alis ke arahnya. Jantungnya berdetak kencang menyadari maksud di balik jawaban Alfa
“Kamu—”
“Kenapa memilih untuk nulis? Padahal pekerjaanmu sekarang juga enggak bisa dibilang santai, kan?”
Anggi mengulum senyum dan bersyukur Alfa kembali mengalihkan pikirannya dari kecanggungan, kembali pada topik tentang alasannya menulis. Meski dengan menceritakan pada Alfa membuat jarak yang masih ia pertahankan akan semakin pendek dan membuat hubungan mereka berdua menjadi berbeda. Sesuatu yang Anggi takut untuk mengakui bahwa ia sedikit ingin tahu seperti apa hubungan mereka ke depannya.
Setelah mengembuskan napas mengatur detak jantungnya, Anggi menceritakan tentang kedua orang tuanya dan rasa kesepian yang terkadang datang. Ia tak tahu apa yang membuat Alfa berbeda, hingga membuatnya bisa membuka diri seperti saat ini. “Aku enggak tahu kamu pernah ngerasakan atau enggak, perasaan kosong yang akhirnya membuat kepalaku semakin gaduh.
“Aku anak ketiga dari lima bersaudara,” kata Alfa menjawab rasa penasarannya.
“Aku iri,” kata Anggi sebelum tersenyum malu. “Sorry, selama ini aku enggak pernah tahu rasanya memiliki saudara di rumah. Satu-satunya yang bisa aku anggap saudara, hanya Tiara.”
“Kapan-kapan aku ajak kamu ke rumah. Ibuku pasti suka sama kamu.” Anggi kembali terdiam dengan mata membulat sempurna, karena Alfa kembali membuat suasana menjadi canggung dengan komentar abigunya. “Ini bukan ajakan untuk nikah, Nggi. Setidaknya belum … ini hanya ajakan untuk main ke rumah.”
Anggi tidak pernah menghadapi pria seperti Alfa yang bersikap seolah mereka berdua memiliki hubungan, meski hanya sebuah pertemanan. Kenyataannya adalah mereka dosen—mantan dosen—dan mahasiswanya. Ia tidak pernah berani untuk membayangkan ada sesuatu yang lebih di antara mereka, meski Anggi tidak menampik perasaan yang timbul ketika mengingat Alfa. Namun, ia yakin itu bukan cinta. hanya sebuah ketertarikan yang tidak akan berubah menjadi sebuah rasa lebih dari itu.
Sebelum mengatakan sesuatu yang bodoh, Ia berdiri dan meminta maaf pada Alfa sebelum berjalan cepat menuju kamar mandi. Anggi meletakkan kedua tangan di atas perut dan mengatur napas hingga ia kembali merasa tenang. Entah berapa lama ia berada di dalam kamar mandi tanpa mempedulikan Alfa yang terlihat terkejut dengan sikapnya. Ia tidak keluar hingga napasnya benar-benar kembali normal.
Bab 6 di tanggal 6 January 2023. Sesuai tanggal banget aku postingnya ya ini.
😘😘😘
Happy reading guys
Have a blissful friday
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top