Bab 5
Bab 5
Setelah kelulusannya lima tahun lalu, Alfa tidak berusaha untuk melupakan atau mendekati Anggi meski tidak ada larangan untuk itu. Pekerjaan yang ia kurangi untuk konsentrasi menyelesaikan kuliah kembali meminta perhatian penuhnya. Ia berhutang pada lima orang anak buahnya untuk mencurahkan semua waktu, tenaga dan pikirannya. Alfa menyisihkan Anggi dari pikirannya untuk sementara waktu, hingga pertemuan dua minggu lalu.
Ia terkejut melihat perempuan yang mirip dengan mantan dosennya. Namun, Alfa tidak yakin karena perempuan itu terlihat berbeda. Meski perubahan itu membuat rasa yang ada dihatinya semakin berkembang. Wajah Anggi tidak terlihat berbeda, bahkan terlihat awet muda di banding dirinya yang memiliki uban di kepala. Gigi gingsul di sebelah kanan perempuan itu membuatnya yakin bahwa perempuan berhijab yang dilihatnya adalah Anggita Damayanti.
“Pagi, Bu,” sapanya ketika melihat perempuan yang terlihat cantik dengan celana panjang warna hitam di padu dengan kemeja berwarna kuning pucat.
“Mundur, Al! Saya enggak mau orang lihat kita jalan beriringan!” Ketakutan yang terdengar jelas di suara Anggi menghentikan langkahnya, meski ia sudah menanti kedatangan dosennya lebih dari tiga puluh menit. “Saya dosen kamu!”
Alfa mengusap kasar wajahnya ketika potongan kenangan kembali datang di sela-sela pekerjaannya. Ketakutan di wajah Anggi pagi itu seolah menjadi pengingat bahwa langkah yang diambilnya saat itu terlalu terburu-buru tanpa memikirkan konsekuensi dari tindakannya. Semua karena ia terpana dengan kecantikan perempuan yang berusia lima lebih tua darinya. Beberapa kali ia melirik pintu masuk di sela-sela rapatnya hari itu, berharap akan menemukan wajah yang kembali mengisi malam-malamnya.
Alfa memerlukan waktu untuk mengalihkan pikiran dari waktu yang berjalan lambat baginya. Matanya tak lelah melirik pintu masuk sepanjang hari berharap melihat Anggi melewatinya. Namun, hingga pukul lima sore, ia tidak melihat Anggi melewati ambang pintu kafe. Ia pun berpikir mungkin perempuan itu ragu dan memutuskan untuk membatalkan rencananya, karena Anggi pasti bisa menebak bahwa ia berencana untuk meneruskan rencananya dulu.
Selepas salat Mahgrib, kafe kembali ramai membuat semua orang sibuk termasuk dirinya. Pikiran tentang Anggi pun teralihkan dengan pekerjaan. Hingga dari sudut mata, ia melihat perempuan dengan gamis biru melewati ambang pintu dengan langkah ragu. Jantungnya melonjak kegirangan melihat wajah datar yang saat ini terlihat memindai setiap sudut seolah mencari sesuatu. Alfa segera membatalkan langkahnya dan berbelok menuju Anggi yang terlihat hendak membalikkan badan.
“Assalamu’alaikum,” sapa Alfa tak ingin membuat Anggi mundur. “Please, don’t!” sergahnya ketika melihat kaki Anggi mundur satu langkah. “Aku sudah nunggu kamu sepanjang hidupku. Mulai wajah belum ganteng sampai menawan gini. Enggak kasihan, apa?”
“Gombal!” jawab Anggi ketus. Alfa tersenyum bahagia melihat perempuan di depannya menahan diri untuk tidak tersenyum.
“Kok gombal, sih! Mbok ya kasihan dikit, to, Nggi,” pinta Alfa yang gagal menyembunyikan seringai bahagia di wajahnya.
Wajah cantik di depannya terdiam beberapa saat. “Enggak!” jawab Anggi ketus. Alfa tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Pasalnya selama ini semenjak kejadian di ruang dosen waktu itu, ia jarang mempunyai kesempatan berbicara dengan perempuan yang terlihat semakin cantik setelah menggunakan jilbab. “Buku saya mana?”
Alfa menggerakkan tangan memintanya untuk masuk ke kafe semakin dalam menuju salah satu meja yang terletak di area outdoor. Di bawah kerlip lampu yang di pasang di atas pergola kayu membuat suasana malam terasa berbeda. Ia melihat keraguan tercetak jelas di wajah Anggi, gerak tubuhnya terlihat tidak nyaman sama sekali. Membuat Alfa menjadi merasa bersalah.
“Aku enggak akan memaksamu melakukan sesuatu yang buat kamu enggak nyaman, Nggi,” katanya sebelum meminta Anggi untuk duduk. “Kalau kamu pengen langsung pulang, aku ambil buku kamu dulu.” Meski berat, Alfa tetap melangkah meninggalkan Anggi setelah tidak mendengar jawaban dari bibir perempuan yang semenjak datang hanya mengeluarkan empat patah kata.
“Tunggu!” sergah Anggi menghentikan gerak kakinya.
Alfa bernapas lega mendengar perintah Anggi meski ia bisa mendengar keraguan di suara lembut mantan dosennya tersebut. Ia membalik badan dan tidak menutupi kelegaan yang tergambar jelas di wajahnya, “Alhamdulillah … aku kira kamu bakalan beneran pengen langsung pulang,” katanya setelah kembali di hadapan Anggi yang masih setia berdiri di samping meja. “Duduk, Nggi. Aku ambilkan minum dan buku kamu dulu.”
Tanpa menanyakan apa yang ingin perempuan itu pesan, Alfa segera meninggalkan Anggi yang tampak bingung melihatnya bergerak menuju bagian dalam kafe. Jantung Alfa berdetak kencang, karena tak ingin mengacaukan kesempatan kedua yang datang padanya. ia ingin ini menjadi langkah pertama baginya untuk menjadikan mantan dosen itu menjadi kekasihnya, bahkan ia berharap Anggi setuju untuk menjadi istri bukan hanya sekedar kekasih. Namun, ia sadar perjalanan masih panjang dan Alfa harus sabar. Karena ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Saat masih berstatus sebagai mahasiswa Anggi, Alfa selalu berusaha untuk mencari kesempatan untuk berbicara berdua dengannya. Mulai menunggu di depan kelas hingga bersikap seperti penguntit yang menanti di lapangan parkir. Meski selama itu ia tidak pernah melakukan hal yang diluar norma dan aturan. Namun, sejak menemui Anggi di ruang dosen karena tugas yang sengaja ia tunda, Alfa membuat perempuan itu tidak nyaman. Karena tanpa ragu Alfa menunjukkan sikap tertariknya. Anggi selalu menghindar bahkan selama di dalam kelas, ia tak pernah mendapati dosennya itu mengarahkan pandangan padanya sama sekali. Karena tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, kali ini ia bertekad untuk melakukan semuanya dengan benar dan pelan. Ia tidak mau membuat Anggi ketakutan dan kembali menghindarinya.
Alfa meletakkan segelas coklat panas dan juga beberapa potong brownies di depan Anggi yang menatapnya dengan gugup. “Sorry, bikin kaget, ya.” Ia juga meletakkan buku bersampul coklat di atas meja. Melihat kecepatan Anggi meraih buku tersebut membuat keningnya mengernyit keheranan dan tersenyum geli.
“Silahkan. Ngehindar dariku juga butuh tenaga, kan, Nggi,” kata Alfa meyakinkan perempuan yang mendekap buku seperti nyawanya tergantung di sana. Perempuan yang selalu terlihat kuat dan mandiri terlihat berbeda dengan seseorang yang duduk di depannya sambil mendekap buku di depan dadanya saat ini. Rasa penasarannya pun semakin memuncak.
“Boleh tanya sesuatu,” pinta Alfa yang tak melepas pandangan dari perempuan dengan mata lebar yang terlihat ragu memandang ke segala penjuru. Kening Alfa mengernyit bingung melihat perempuan di depannya.
“Mau tanya apa?” tanya Anggi setelah beberapa saat terdiam.
“Kamu ngamati aku?” tanya Alfa. “kenapa? Untuk apa semua detail yang kamu tulis di buku itu.” Alfa menyandarkan punggung dan menunjuk buku yang masih Anggi dekap erat. “Maaf aku lancang membukanya, tapi aku jadi semakin penasaran karena bukan hanya detail tentangku dan Tiara di sana. Karena aku membaca banyak nama di sana. Semua itu untuk apa, Nggi?”
Mata yang semenjak tadi tertuju ke segala arah kecuali padanya, kini menatapnya dengan tajam. Bukan sorot marah yang Alfa terima saat ini, tapi sesuatu yang lain dan ia tak bisa mengartikan itu. Tidak ada senyum di bibir perempuan di depannya, meski begitu Alfa bersyukur karena Anggi terlihat lebih ramah. Tidak membentangkan jarak dan terlihat lebih santai.
“Saya—”
“Ganti aku, dong, Nggi,” sela Alfa yang merasa berjarak setiap kali Anggi menggunakan kata saya. “Aku bukan mahasiswa kamu lagi, dan saat ini kita enggak ada di kampus. Please jangan pakai kata saya,”
Deheman Anggi seolah melegakan tenggorokan membuat Alfa semakin penasaran dengan apa yang ada di pikiran Anggi. “Saya … aku,” kata Anggi mengganti sebutannya. “Aku enggak ngerti harus gimana ngejawab pertanyaan kamu, Al.”
“Jawab apa adanya, Nggi. Aku enggak akan menyela atau bahkan menghakimi apapun jawabanmu.” Alfa meyakinkan Anggi untuk menjawab pertanyaan yang berputar di kepalanya semenjak menemukan buku itu.
Anggi tersenyum mendengarnya dan Alfa terbang ke langit ke tujuh melihat itu. Perempuan yang terlihat mulai sedikit santai di dekatnya tersebut seolah ingin menceritakan rahasia besar yang selama ini disimpannya. “Itu … buku risetku, Al.” Meski saat ini Alfa gatal ingin bertanya, tapi ia berusaha untuk menahan diri dan tetap menutup bibirnya. “Riset untuk buku.”
“Buku?” tanya Alfa gagal menahan diri.
“Novel,” kata Anggi pelan tapi masih terdengar jelas di telinganya. “And I’m stuck!”
Dibilang mirip, ya emang mirip. Tapi ada sesuatu yang beda antara Mas Alfa dan bapaknya. 😁😁😁
Aniweeeey ... Happy reading guys.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top