Bab 4

Bab 4

Alfa membaca setiap lembar yang berisi informasi tentang dirinya. Tinggi badan, model rambut hingga kerutan yang muncul di ujung mata setiap kali ia tersenyum tertulis rapi di buku dalam genggamannya. Namun, bukan hanya tentang dirinya, karena ada banyak nama yang juga berisi tentang detail orang tersebut, termasuk Tiara. Kerutan di keningnya semakin dalam ketika membaca tentang detail pekerjaan yang Anggi tulis di sana. Mantan dosennya yang semakin terlihat cantik tersebut menulis detail pekerjaan dengan rapi dan jelas meski ia belum pernah menceritakannya.

“Sebenarnya buat apa kamu nulis ini semua, Nggi?” tanya pria yang tak berhenti mengecek ponsel. Namun, sayangnya ia tidak menemukan satupun pesan yang ia tunggu sejak dua minggu lalu.

“Lama banget bales pesannya, sih, Nggi!” Ketidaksabaran membuatnya tak bisa bekerja dengan baik akhir-akhir ini. karena pikirannya hanya tertuju pada ponsel yang tak kunjung menerima pesan dari Anggi. “Sabar, Al … sabar.” Alfa meringis ketika ia tanpa sengaja meletakkan ponsel terlalu keras. “Ya ampun, Nggi … kamu benar-benar bikin aku kacau, sampai enggak terasa kalau banting ponsel gini!”

Denting halus memecah keheningan malamnya, dan matanya terbuka sempurna. Ada harap cemas mewarnai hati resah yang membuatnya semakin sulit untuk melupakan seorang Anggita Damayanti.

+62 822-00**-****
Assalamu’alaikum Alfa, saya Anggi.
Kalau enggak merepotkan, bisa titipkan bukunya di kafe aja ya. InsyaTuhan besok sepulang ngajar saya ambil.
Makasih

Wa’alaikumsallam. Lama banget balas pesannya, Nggi?

Alfa menatap langit kamarnya dengan senyum tak lepas dari bibir setelah membalas pesan yang Anggi kirim beberapa saat lalu. Sebaris kalimat pembuka kesempatan yang selama ini ia idam-idamkan. Ia tak tahu apa yang Tuhan persiapkan untuknya. Namun, Alfa yakin jika Anggi berjodoh dengannya, Tuhan akan mempermudah jalannya. Senyum di bibirnya semakin lebar karena di dalam hati, ia yakin perempuan yang saat ini berpenampilan berbeda tersebut adalah jodoh kiriman Tuhan untuknya.

***

Pagi datang membawa semangat baru bagi Alfa yang tak bisa berhenti menarik bibirnya ke atas. “Itu kenapa bibirnya senyum-senyum enggak jelas, Mas?” Titi—sang ibu—memicingkan mata ke arahnya yang tak bisa menghapus cengiran konyol dari wajahnya sejak membaca pesan Anggi semalam.

“Ojo medhen-medheni Ibu, Mas[1]!” hardik Titi ketika ia melingkarkan tangan di sekeliling pundak sang ibu yang lebih pendek darinya. “Kamu kenapa, to?!”

Bahagia yang membuncah di dada, tak bisa ia tahan.  “Anak ibu lagi bahagia ini.” Tanpa menjawab pertanyaan sang ibu, Alfa mencium pipi perempuan nomor satu di hatinya sebelum berjalan ke arah dapur. “Alfa!” teriak ibunya setelah ia melepas ciuman keras di kedua perempuan yang masih terlihat cantik meski sudah memiliki beberapa orang cucu

Semenjak ada dirimu. Dunia terasa indahnya ….” Alfa bernyanyi tanpa mempedulikan lirikan curiga ibunya. Ia bahkan tidak melihat raut wajah usil sang bapak yang melihat kelakuannya beberapa saat lalu.

Dapur selalu menjadi pusat dari rumah kedua orang tuanya. Ruangan terbuka dengan meja makan kayu jati peninggalan sang nenek selalu menjadi tempat mereka berkumpul, seperti saat ini. Alfa berusaha menikmati sarapannya di bawah pengawasan bapak ibunya yang sesekali meliriknya dengan penuh kecurigaan.

Jatuh cinta berjuta rasanya
Biar siang biar malam terbayang wajahnya
Jatuh cinta berjuta indahnya
Biar hitam biar putih manislah nampaknya

Gerakan tangannya terhenti dan melirik tajam Arya—sang bapak—yang menyanyikan lagu lawas milik Titik Puspa dengan senyum jail di bibir. “Bapak ngerti kenapa dia nyengir koyo kuda gitu.” Alfa terdiam sesaat dan kembali menikmati sarapannya. “Anakmu lagi jatuh cinta, Bu. Dunia serasa milik berdua,” sindir Arya yang sibuk menghitung kotak makan yang tersusun rapi di atas meja makan.

Aroma masakan yang membuat rumah mereka selalu menjadi tempat nyaman untuk pulang, membuat paginya terasa lebih sempurna. “Halah … Bapak sama Ibu kadang-kadang juga lupa kalau punya anak. Lima anak seperti tak kasat mata kalau udah peluk-pelukkan. Iya, to!” protesnya mengingat kelakuan kedua orang tuanya yang tak pernah malu memperlihatkan kemesraan di depan kelima anaknya selama ini.

Tawa ibunya membuat Alfa semakin bersemangat untuk melayangkan protes, tapi segera ditelannya kembali ketika mendengar jawaban sang ibu yang mengatakannya dengan santai. “Alhamdulillah, Pak. Ada yang mau sama anak Ibu yang satu ini. Dari kemarin Ibu kuatir, jangan-jangan dia belok.” Tanpa mempedulikan kedua orang dengan sorot mata jail di mata mereka, Alfa mencium pipi ibunya kembali.

“Alfa berangkat dulu. Doakan aku, ya!” teriaknya dengan penuh semangat. “Hari ini mau ketemu calon pacar, moga-moga setelah ini berubah jadi calon istri.” Tawa kedua orang tuanya mengiringi langkah Alfa keluar dari rumah. Dengan senyum dan energi baru, ia siap bertemu dengan perempuan yang berhasil menyita hati dan pikirannya selama ini.

Alfa selalu merasa berbeda semenjak kecil. Ia memiliki tubuh yang paling tinggi di antara semuanya. Kulit putihnya juga menjadikan ia  semakin berbeda dengan semua orang. Selain itu ia tidak memiliki minat yang sama dengan saudaranya. Namun, yang membuatnya mencolok adalah uban di kepalanya yang muncul semenjak ia duduk di bangku SMA. Alfa menjadi

”Bukannya uban tanda ajal sema—” Alfa tak sempat menyelesaikan kalimatnya. “Ibu kenapa to?” Tangannya tak berhenti menggosok puncak kepala yang beberapa saat lalu menjadi tempat pendaratan sendok nasi lengkap dengan beberapa butir menempel di rambutnya.

Alfa terkejut mendapati wanita  yang selalu tersenyum lembut ke arahnya, kini terlihat menahan marah dan ia bisa melihat sedih yang sempat ia lihat di sana. “Uban di kepalamu bukan berarti ajalmu makin dekat, Mas! Semua orang juga bakalan mati. Enggak usah mikir aneh-aneh. Kamu udah dengar penjelasan dokter, kan?”  Autoimun alopecia atau vitiligo yang menyerang rambut, mengakibatkan hilangnya pigmen yang berfungsi mewarnai rambut. Membuat Alfa semakin berbeda dengan semua orang.

Tangan kanannya masih mengusap-usap kepala dan mencoba mencari butiran nasi yang menempel di rambutnya. “Iya Ibu sayang, aku dengar semuanya,” kata Alfa setelah mendekat dan memeluk sang ibu dari belakang. “Rasanya aneh aja punya uban padahal rambut Bapak aja belum ada ubannya.”

Sepotong kenangan melintas dipikirannya ketika ia menyugar rambut pendek yang masih diwarnai uban sesaat sebelum Alfa melewati ambang pintu kafe untuk bekerja. Hari ini akan menjadi istimewa karena pada akhirnya ia bisa memandang Anggi dengan suasana yang berbeda. “Kerja dulu, Al!” perintahnya pada diri sendiri dengan antusias yang terpancar darinya.

Hari ini semua pekerjaan seolah membuat pikiran tersita sepenuhnya. Hingga tidak ada sedetikpun bayangan Anggi terlintas ketika ia mengerjakan pekerjaannya dan juga pembukuan kafe yang harus diperiksanya sebagai salah satu tugas sebagai manager meski ia tidak terlalu menikmatinya.

Disaat Ian dan Kiya—kedua kakaknya—tahu apa yang diinginkannya sejak usia remaja, ia bahkan tidak memiliki minat di bidang tertentu saat masuk SMA. Hingga Indra—adik ibunya—memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun ke tujuh belas. Semenjak itu, Alfa jatuh cinta pada dunia fotografi dan videografi. Kecintaannya pun bertambah besar ketika lulus SMA ia berkenalan dengan dunia Digital Marketing.

Seperti mendapatkan harta karun, Alfa merasa mendapatkan sesuatu yang bisa menyelamatkan hidupnya. Ia menyerap semua ilmu tentang pembuatan foto, video, website dan semua hal yang berhubungan dengan dunia digital secara otodidak dengan mudah. Ia bahkan memilih teknik informatika untuk menunjang pekerjaan yang digelutinya semenjak lulus SMA dan di sanalah ia bertemu dengan seseorang yang mendiami hatinya.

Ada beberapa hal yang membuatnya menyesal, tapi mengambil cuti saat kuliah bukanlah salah satunya. Ia bahkan bersyukur mengikuti nasehat sang bapak kala itu. “Bapak bangga melihat semua usahamu untuk berdiri di atas kakimu sendiri, Mas. Enggak ngikuti jejak Bapak atau Ibu. Tapi … Bapak perhatikan kamu mulai kewalahan,” kata sang bapak. “Pilih salah siji, Mas. Nek kowe sayang ngeculno salah siji, njupuk cuti sik, ae. Terusno nek kerjoan wis mulai longgar.” [2]

Masih segar dalam ingatannya ketika pandangan mereka saling mengunci, dan seketika ia lupa untuk bernapas. Dunia di sekitarnya tiba-tiba menghilang, begitu juga suara gaduh yang mengisi pendengarannya beberapa saat lalu. Seperti anak remaja yang baru pertama kali jatuh cinta, Alfa tak bisa menahan bibirnya untuk melengkung ke atas. Ia tersenyum dan tersenyum tanpa mempedulikan meski wajahnya terlihat menggelikan. Rambut sedikit panjang dengan diwarnai uban yang terlihat aneh untuk pria berusia dua puluh empat membuat Alfa terlihat berbeda dibanding teman-temannya.

“Kamu kenal cewek rambut pendek yang duduk di situ tadi?” tanya Alfa menunjuk meja di mana perempuan pencuri hatinya duduk beberapa saat lalu.

Seng endi? Enggak ngerti aku, Mbah,”[3] jawab temannya yang selalu memanggilnya Mbah—karena rambut ubannya—waktu itu. Masih jelas di ingatannya ketika mulai kelas pertama di hari berikutnya. Karena di sana, ia bertemu dengan perempuan yang membawa hatinya pergi. Anggita Damayanti, dan saat ini ia tak sabar ingin bertemu dengannya untuk kembali memulai yang pernah tertunda.

[1] Jangan nakut-nakutin Ibu, Mas

[2] Pilih salah satu, Mas. Kalau kamu sayang melepas salah satu, ambil cuti saja dulu. Teruskan saat pekerjaan sudah mulai longgar.

[3] Yang mana? Enggak tahu aku, Mbah.


Untuk teman-teman yang sudah baca Kanthi(l) past I kenal dengan tokoh yang nyempil di atas. 😂😂😂
Rasanya sayang kalau enggak dimasukkan, karena mereka pasangan yang enggak bisa dilupakan.

Selamat menikmati kegalauan dan ketidakjelasan mereka bertiga.

Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top