Bab 2
Bab 2
Jantungnya meloncat keluar ketika melihat bayangan Alfa memasuki bangunan yang ia dan Tiara tuju saat ini. Anggi menutup bibirnya rapat-rapat karena tak ingin merusak malam curhat Tiara dan tak ingin menceritakan pada sahabatnya tentang Alfa. Bahkan ia tak pernah menceritakan tentang pria itu pada siapapun. Karena Anggi tak ingin menjadikan apapun yang terjadi saat itu menjadi nyata.
"Ti, yakin mau ke sini?" tanyanya lagi sebelum membuka pintu mobil SUV yang Tiara kendarai. "Enggak cari yang lainnya aja." Anggi berusaha untuk mencegah kemungkinan Tiara bertemu dengan Alfa malam ini. "Atau kita makan malam di hotel yang kamu suka aja deh." Restoran di salah satu Hotel bintang lima yang terletak di jalan Embong Malang selalu jadi tempat favorit Tiara. Meski ia harus merogoh kocek sedikit lebih dalam setiap kali mereka pergi ke sana.
Tiara meliriknya tajam dan Anggi tahu apa yang sahabatnya pikirkan saat ini. "Kamu kenapa, sih?! Bukannya beberapa minggu lalu kamu yang pengen banget ke sini. Kamu kan cinta banget sama bangunan lama yang isinya penuh sama hantu jaman belanda gini!" jawab Tiara ketus sebelum kembali sibuk dengan pouch yang berisi dengan peralatan make up.
Anggi berusaha untuk tidak menampakkan apa-apa di wajahnya, bahkan saat ini ia hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya. Meski selama ini ia tak pernah percaya diri karena gigi gingsul di sebelah kanan yang selalu membuatnya tidak nyaman jika harus tetawa lebar. "Ya wis, ayo," katanya pasrah sambil membuka pintu dan meninggalkan Tiara yang masih sibuk dengan bedak compact di tangannya.
Perempuan yang tak pernah keluar rumah tanpa make up tersebut selalu membutuhkan waktu lama sebelum melangkah keluar dari mobil. Bedak, lipstick dan juga semprotan parfum selalu menjadi kewajiban bagi sahabatnya tersebut. Membuatnya jadi terlihat bulukan setiap kali mereka berjalan berdampingan. "Ti, ayo!" teriaknya setelah berdiri menanti Tiara lebih dari lima menit.
Suasana kafe masih seperti dalam ingatannya. Namun, perasaan nyaman sejak ia melangkah memasuki bangunan lama itu tak membuatnya bisa bernapas lega. Anggi berusaha menutupi kegugupannya dengan menggulir tablet, membaca beberapa komen pembaca di salah satu platform berbayar tempatnya memposting tulisan terbaru. Ia memilih untuk mencari tempat duduk dan membiarkan Tiara memesan untuknya. Karena ia memerlukan waktu untuk memindai dan mencari keberadaan Alfa, bukan untuk menemuinya tapi untuk menghindarinya. Namun, hingga ia duduk di tempat yang sedikit tersembunyi, Anggi tak bisa menemukan pria berbadan tinggi tersebut.
"Kamu cari tempat kok ndelik gini, se, Nggi?!" gerutu Tiara yang memerlukan beberapa waktu hingga menemukannya. "Lagian tempatnya bagus gini, kenapa enggak pilih di luar, sih. Ayo!" Tanpa bisa dicegah, Tiara menarik lengannya yang terbebas dan membuat Anggi kesulitan untuk mempertahankan tablet di tangannya. Ia bersyukur masih sempat menyambar tas sebelum sahabatnya berjalan cepat menuju area luar yang terlihat indah.
Anggi tak bisa menutupi kekagumannya. Ia mengedarkan pandangan dan tersenyum mendapati suasana nyaman, membuatnya melupakan kegalauan hatinya. Lampu tergantung di atas pergola beratap menambah keindahan suasana malam itu. Tak terlihat mendung menggelayut membuat banyak orang memilih untuk duduk di luar dan tidak terjebak di dalam ruangan ber-AC. Meski harus rela bergabung dengan mereka yang ingin merokok.
"Di sini kan lebih enak, Nggi. Enggak di ruangan AC melulu. Seharian di kantor, kulitku butuh bernapas," kata Tiara yang sibuk memperhatikan sekitar tanpa mempedulikan Anggi yang menunduk dalam dan berlindung di balik jilbab panjangnya setelah teringat ancaman yang bisa muncul setiap saat. Meski saat ini ia tidak bisa melihat keberadaan Alfa, tapi perasaannya berkata lain. Ia bisa merasa seseorang memperhatikannya saat ini dan Anggi tak memiliki keberanian untuk mencari tahu siapa di balik punggungnya.
Sesekali Anggi mengangkat kepala menjawab pertanyaan Tiara tapi ia tetap menarik jilbabnya hingga menutup sebagian wajahnya dengan alasan asap rokok yang mulai memenuhi udara. Meski Tiara jelas-jelas tidak mempercayai jawabannya tersebut dan Anggi bersyukur sahabatnya saat ini lebih fokus menceritakan pertemuan juga ajakan Fahri.
"Aku nikah sama dia! Kamu bisa bayangin ajakan nikah dari pria yang sudah lima kali putus dariku," katanya bersungut-sungut. "Gimana aku bisa berani menerima lamarannya. Meski Mama Papa bakalan bahagia mendengarnya."
"Halah! Di bibir bilangnya gitu, tapi hati cinta mati. Gayamu, Ti!" seloroh Anggi melihat bibir cemberut Tiara yang segera berganti dengan senyum lebar memperlihatkan gigi rapi hasil perawatan dokter selama ini.
Anggi tak bisa menahan senyumnya lebih lama lagi ketika melihat semburat merah di pipi sahabatnya. Ia tahu sebesar apa cinta Tiara untuk Fahri, dan ia tahu sejauh apapun keduanya berusaha untuk menghindar, mereka akan tetap bersatu. Karena Anggi tahu kedua orang tua mereka sudah saling menyetujui hubungan keduanya.
"Nikah di Bali, dong, Ti. Aku udah lama banget enggak liburan," pintanya dengan menyatukan kedua tangan seolah memohon pada sahabatnya tersebut. "Biar aku bisa extend di sana. Jalan-jalan ke pantai dulu."
"Heh! Orang kalau ke pantai itu pake bikini atau celana pendek, Nggi. Kamu mau ke pantai pakai tunik gini, yang ada malah keseret ombak kamunya." Anggi tertawa melihat reaksi Tiara yang terlihat mulai membayangkan tentang pernikahan.
Dua tahun yang lalu, mereka berdua liburan ke Bali bersama orang tua Tiara. Hampir setiap pagi keduanya menghabiskan waktu di pantai dengan celana pendek atau bikini melekat di tubuh mereka. Tidak melakukan apapun kecuali menikmati hari tanpa kewajiban harus berangkat bekerja, dan ia berharap bisa melakukannya kembali sebelum ada kesibukan baru datang.
Mengingat tentang liburan di Bali, keduanya sibuk membicarakan beberapa tempat yang indah untuk melangsungkan pernikahan hingga ia tidak menyadari seseorang berjalan ke arah mejanya. "Anggi!"
Tawanya terhenti. Jantungnya pun berhenti dan ia bisa merasakan darahnya berhenti mengalir membuat wajahnya pasti terlihat memutih. Anggi tidak berani menoleh untuk melihat asal suara tersebut. Ia menundukkan kepala dalam dan menyesal telah datang ke kafe di mana Alfa berada saat ini. "Kamu beneran Anggi!" Suara yang membuatnya teringat kembali kenangan beberapa tahun lalu membuat Tiara menatapnya dengan kebingungan. Bahkan Alfa tidak memanggilnya Bu, hanya nama, dan sayangnya terdengar berbeda di telinganya saat ini. "Apa kabar?" tanya Alfa meski ia masih menolak untuk melihatnya.
"Eh, temannya Anggi?" tanya Tiara dengan riang. "Aku Tiara, sahabat dia sejak SMA. Kamu—"
"Alfa, cowok yang naksir Anggi mulai dari jaman kuliah." Anggi menoleh dengan cepat ke arah Alfa yang tersenyum melihatnya dan ia kehilangan kemampuan untuk membantahnya. Pandangannya bergantian antara Tiara dan Alfa dengan bibir yang terbuka tertutup beberapa kali tanpa tahu harus mengatakan apa.
"Oh, teman kuliah Anggi. Pantesan enggak pernah kenal, aku jarang kumpul sama teman-teman kuliahnya dulu," kata Tiara menerima uluran tangan Alfa dengan kening mengernyit, karena pria itu tak melepas pandangan darinya barang sejenak. Membuatnya semakin merasa serba salah.
"Bukan, aku bukan teman kuliah, tapi mahasiswanya Anggi."
Anggi membelalakan mata tidak percaya pada pria yang tidal mengalihkan pandangan darinya. Ia tak bisa mendengar panggilan Tiara atau lambaian tangan sahabatnya yang menuntut perhatiannya setelah mendengar jawaban Alfa beberapa saat lalu. Bahkan ia merasa dunianya berhenti berputar dan satu-satunya yang bisa ia lihat adalah pria dengan rambut cepak terpotong rapi dengan senyum menawan di depannya.
"Hai, Al" kata Anggi terbata-bata setelah cubitan Tiara memecah kekakuannya. "Apa kabar?"
"Akhirnya ... aku takut salah lihat. Kamu berubah, jadi tambah ... cantik."
Tidak ada yang berubah dari Alfa saat ini. Meski wajahnya terlihat semakin dewasa, tapi senyum dan rayuan yang disamarkan masih membuat jantungnya berdetak kencang.
Alhamdulillah ... aku kira enggak bakalan bisa update cerita daily seperti yang aku mau. Sejak semalam enggak bisa lihat notif yang masuk, buka list bacaan juga enggak bisa. Dan yang paling membuatku patah hati adalah, enggak bisa posting untuk bab berikutnya.
Sebagai novelis yang perfeksionis dan terkadang pesimis sepertiku, memenuhi jadwal dan target yang sudah aku tetapkan sendiri adalah sebuah kewajiban. Lucu emang, sih. Seperti Anggi, terkadang aku terlalu keras pada diri sendiri.
https://youtu.be/b1kbLwvqugk
It's me, hi, I'm the problem, it's me
eniweeeey ... selamat menikmati Bab 2 Anggi-Alfa. semoga wattpad enggak gondok lagi padaku .
Love, ya!
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top