Bab 13
Bab 13
Sepanjang waktu kuliah, Anggi tak bisa mengalihkan pikirannya dari pria yang duduk di kantin menantinya. Seseorang yang tak pernah ia bayangkan akan menunggunya , ia bahkan tidak berharap akan melihatnya dalam waktu dekat seetelah ia mengetahui bahwa Alfa mengambil cuti dari kafe. Ia tak bisa membantah mendengar alasan yang didengarnya beberapa saat lalu. Siapa yang bisa menyalahkan Alfa ketika alasan tidak memberinya kabar karena pria itu hanya ingin konsentrasi untuk melakukan ibadah.
Ia bahkan merasa iri saat ini, karena belum mendapatkan kesempatan untuk pergi ke tanah suci seperti yang Alfa lakukan beberapa hari lalu. Ada kerinduan di dada membuat semua yang dirasakannya beberapa hari lalu menghilang dengan sendirinya. Anggi masih bisa mengingat wajah lembut Alfa ketika mengatakan wajahnya selalu muncul dalam ingatannya. Ia tak bisa protes karena seseorang hanya ingin bisa beribadah dengan baik, dan Anggi sadar tidak memiliki hak untuk meminta Alfa memberi kabar tentang keberadaannya.
Anggi bersiap untuk kembali menuju kantin menemui pria yang menanti hingga kelasnya usai. Langkah yang dimulainya dengan sedikit ragu menjadi semakin yakin ketika melihat pria itu berdiri saat ia memasuki kantin yang ramai. Senyum itu seolah menyapu semua yang membuatnya meragu dengan keberadaannya. Kehangatan mengisi hatinya seiring langkah kaki membawanya menuju Alfa yang membuat hati dan otaknya berjalan berlawanan arah.
“Maaf udah buat kamu nunggu, Al,” katanya setelah duduk di depan Alfa seperti beberapa saat lalu sebelum ia pergi untuk melaksanakan kewajibannya. “Aku mau kamu tahu, kalau kamu enggak punya kewajiban untuk kasih kabar, apalagi untuk sesuatu yang sebesar itu. Terima kasih untuk ini, ya.” Anggi menunjuk kantong coklat yang masih berada di atas meja sejak ia pergi meninggalkan kantin. “Aku senang dan juga iri mendengar kamu pergi Umroh sama ibu kamu.”
“Semoga Tuhan segera menyegerakanmu untuk datang ke tanah suci,” kata Alfa tulus ke arahnya.
“Aamiin,” jawabnya tak kalah tulus.
“Aamin, kita pergi berdua setelah Pak Penghulu bilang sah, oke.” Anggi terdiam tak bisa menjawab doa Alfa yang membuat otaknya berhenti berputar. Bagaimana bisa pria itu mengatakan sesuatu dengan santai, berbeda dengannya yang saat ini tersenyum kikuk dengan kepala tertunduk “Diaminin dong, Ay! Doa yang baik lho itu!”
“Alfa!” Anggi membelalakkan mata tidak percaya dengan doa pria itu. Ia berusaha menyelipkan marah, tapi Anggi bisa merasakan pipinya menghangat dan tak ingin Alfa melihat hal itu.
“Kenapa waktu itu cari aku ke kafe?” Anggi bernapas lega mendengar pertanyaan yang membuat suasana canggung di antara mereka berdua menghilang.
“Aku,” jawabnya ragu. “Jujur … aku enggak tahu kenapa mencarimu malam itu. Entah karena aku enggak mendengar kabar darimu atau mungkin ….”
“Tulisan kamu buntu lagi?” tebak Alfa tanpa melepas pandangan darinya. Anggi kaget mendengar pertanyaan itu, karena ia hanya pernah menyebut tentang hal itu sambil lalu dengan suara pelan. Ia tak tahu bagaimana bisa Alfa mendengar dan mengingat hal itu.
Anggi memandang Alfa dengan mata terbelalak tidak percaya. “Kamu dengar yang aku bilang waktu itu?” Anggukan Alfa menjawab pertanyaan dan membuatnya salah tingkah. Karena ia tak ingin Alfa mengetahui ia kesulitan dan membutuhkan bantuan, meski Tiara mengetahui tentang hal itu.
“Kamu butuh bantuanku?”
Ada sesuatu yang membuatnya tergelitik mendengar pertanyaan yang disertai dengan seringai jail ke arahnya saat ini. Pria yang seolah memiliki banyak hal untuk ditawarkan padanya membuat Anggi memutar otak memikirkan pertanyaan dengan maksud tertentu itu.
Selama menjadi penulis, ia hanya pernah meminta satu orang untuk menjadi nara sumbernya. Selain itu, ia selalu menggunakan orang-orang disekitarnya untuk tokoh dalam bukunya, tanpa mereka ketahui. Hal tersebut membuatnya bekerja dengan santai tanpa berpikir untuk berhadapan dengan mereka. Saat ini ia mendapat tawaran untuk langsung bertatap muka dengan seseorang yang bisa membuatnya keluar dari kebuntuannya. Mendengar cerita yang bisa membuatnya membangun karakter si tokoh dalam novelnya.
“Aku enggak keberatan kamu eksploitasi, Nggi. Enggak tiap hari kamu dapat tawaran yang menggiurkan seperti ini, kan?” Ia tak bisa menahan tawa melihat wajah Alfa yang terlihat seolah tidak melakukan sesuatu. Wajah datar yang tidak cocok untuk pria itu justru membuat Alfa terlihat menarik. Anggi mengikuti gerakan tangan yang menyugar rambut beruban itu, tapi ia segera menyadari itu adalah kesalahan. Karena matanya justru terpaku dan tersenyum ketika mendapati gerakan itu membuat Alfa terlihat seperti anak-anak.
“Mau kamu apa, sih, Al?” tanyanya dengan nada frustasi setelah tersadar dari lamunannya. “Kamu tahu enggak akan ada cerita antara aku dan kamu.”
“Kenapa enggak?” Ia terdiam membuang muka ke arah lain. “Kamu tahu apa yang aku mau, Nggi! Tapi aku sudah buat janji sama diri sendiri untuk pelan-pelan kali ini, karena enggak mau ambil resiko kamu mundur dan ngehindar lagi seperti waktu itu.”
Anggi menghembuskan napas kasar karena tak tahu harus berkata apa, ia berdiri dan meminta Alfa untuk tidak mengikutinya. Ia membutuhkan waktu untuk berpikir, karena setiap saat yang dihabiskannya bersama pria itu membuat otaknya semakin tumpul dan hatinya menari bahagia. Ia menolak untuk mengambil keputusan berdasarkan kata hati. Karena baginya, keputusan haruslah diambil dengan obyektif dengan kepala dingin bukan dengan hati.
“Aku butuh waktu,” pintanya. “Aku hubungi kamu kalau sudah tahu apa yang harus aku lakukan tentang ….” Anggi menunjuk dirinya dan Alfa secara bergantian. “Makasih, ya. Aku telepon kamu nanti.”
Langkahnya semakin cepat menuju ruangan untuk mengambil barang-barangnya sebelum menuju parkir khusus dosen untuk pulang. Hari ini ia tidak ada kuliah sore, dan ia berencana untuk menghabiskan waktu di rumah memikirkan tentang langkah yang harus diambilnya. Godaan untuk menerima tawaran Alfa terlalu besar, karena ia ingin bisa menyelesaikan buku terbarunya. Namun, di saat yang bersamaan, membayangkan menghabiskan waktu bersama pria yang membuat jantungnya berdegup kencang bukan sesuatu yang diinginkannya.
***
Sekuat tenaga ia berusaha menghindari untuk terlibat dengan seseorang dari lingkungan tempatnya mengajar. Baik dosen ataupun mahasiswanya. Anggi merasa hal itu tidak sesuai dengan aturan norma yang berlaku di masyarakat. Namun, Alfa membuatnya memikirkan untuk melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.
Selama ini ia selalu menunjukkan ketidak tertarikannya pada siapapun yang berusaha untuk mendekatinya. Anggi menarik garis keras agar tidak ada seorangpun yang mendekatinya di kampus. Kecuali Alfa yang datang dengan senyum menawan membuatnya berpikir untuk menurunkan pagar pembatas tersebut.
Anggi merasa senyum dan pandangan salah satu mahasiswanya—yang bernama Alfa—tujukan padanya terlalu mengintimidasinya. Ia tak pernah merasa seperti saat ini, semua terasa terlalu berlebihan. Anggi berusaha untuk bersikap layaknya seorang pendidik, menekan semua urusan pribadi dan konsentrsi dengan pekerjaannya, meski terkadang sulit.
Semenjak ia melihat pria itu, ia menjadi lebih berhati-hati. Ia tak ingin kembali merasakan efek yang Alfa datangkan padanya, karena itu Anggi mencoba untuk menghindar darinya dan itu bukan sesuatu yang sulit untuk di lakukan. Ia tahu Alfa adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, menjadikan pria itu tidak terlalu banyak mengambil kelas.
Anggi mengenyahkan potongan kenangan yang membuat garis hidupnya bersinggungan dengan seorang Alfareza Tamawijaya. Ia memandang layar ponsel membaca nama Alfareza seminggu setelah pertemuan mereka di kantin. Menimbang kedua pilihan yang ada di depannya, setelah melewati masa berpikir yang diwarnai dengan pertentangan antara hati dan pikirannya.
Enggak ada kata selain terima kasih untuk semua vote dan komen teman-teman semua.
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top