Bab 12
Bab 12
Dua minggu lebih akhirnya Alfa bisa kembali mengerjakan pekerjaan yang harus ditinggalkannya. Karena kecelakaan yang bapaknya alami, pria yang masih terlihat gagah di usianya jatuh terpeleset dan membuat tulang ekornya memar. Dokter melarangnya untuk melakukan perjalanan jauh. Perjalanan ibadah yang kedua orang tuanya rencanakan, hampir batal. Ia pergi menemani Titi yang tidak tega meninggalkan suaminya.
keharmonisan dan kebersamaan kedua orang tuanya selalu membuat Alfa iri. Rasa cinta yang begitu kuat terpancar dari mereka berdua menjadikan ia dan keempat saudaranya tumbuh di lingkungan penuh kasih. Ia pun berdoa semoga Tuhan mengirimnya seseorang seperti sang ibu mencintai bapaknya. Saling mendukung dalam kebaikan dan menjadikannya dan sang istri kelak menjadi pribadi yang lebih baik. Sepanjang ia berdoa di depan Kabah, hanya satu wajah yang selalu terlintas di pikirannya.
Alfa tak ingin mendahului kehendakNya, tapi ketika mendapat berita kemunculan Anggi di kafenya beberapa malam yang lalu, ia merasa mendapat jawaban dari semua doa-doanya. Ia sengaja tidak mengaktifkan nomer yang berisi dengan pekerjaan karena ia tidak mau ada sesuatu yang bisa mengganggu ibadahnya, sayangnya ia menyimpan kontak Anggi di sana.
Siang itu, senyumnya terkembang sempurna. Sessekali ia melirik kantong coklat yang ada di kursi penumpang, ada harapan dan doa di sana. Senyum tak pudar dari wajahnya sepanjang jalan menuju kampus yang ia hapal di luar kepala, tempat di mana tambatan hatinya berada.
Melihat jam yang melingkar di pergelangan kanannya, ia tahu saat ini Anggi masih ada di kelas. Pria yang tak bisa berhenti tersenyum itu sengaja datang ketika Anggi masih di dalam kelas. Karena ia ingin berada di depan pintu ketika Anggi keluar dari kelasnya. Membayangkan kejutan yang ia rencanakan membuat jantungnya berdetak cepat, tak sabar ingin segera melihat wajah terkejut seorang Anggita Damayanti.
Gaya berpakaian Alfa yang terlihat seperti layaknya mahasiswa tidak membuatnya berbeda berada di sekitar mereka yang masih berjuang untuk lulus. Bahkan ia bertemu dengan beberapa dosen yang dikenalnya sebelum menuju kelas yang ia tahu Anggi akan berada di sana.
Karena tak ingin memecah konsentrasi perempuan yang sedang menjelaskan sesuatu di depan kelas, Alfa berdiri di samping jendela terjauh dari posisi Anggi. Hatinya berdetak kencang, tak bisa mengalihkan pandangan dari perempuan yang selalu berada di hatinya selama ini.
Meski alfa tak bisa mendengar suara yang membuatnya terhanyut setiap kali mendengarnya. Namun, ia bisa merasakan kelembutan dan ketegasan di setiap kata yang meluncur dari bibir perempuan bertunik biru muda itu.
“Alfa kamu denger, enggak?” Alfa mengangguk malas meski sebenarnya tak ada satu kata pun yang memasuki ruang dengarnya. Ia hanya konsentrasi memandang gerakan bibir perempuan yang terlihat kesal melihatnya. “Apa yang barusan saya katakan?!”
“Hah? Ibu barusan tanya sesuatu?”
“Alfa!” hardik Anggi yang memandangnya dengan wajah semakin terlihat menahan marah. “Saya sudah pernah bilang tentang tugas kamu, kenapa masih—”
“Terakhir, sumpah ini yang terakhir,” kata Alfa membuat dosennya berhenti. “Setelah ini saya mundur. Setidaknya beri saya kesempatan untuk memandang ibu sedekat ini untuk terakhir kalinya.”
Suara tawa yang terdengar, memecah lamunan kenangannya bersama Anggi beberapa tahun yang lalu. Alfa masih bisa ketika Anggi mengajar yang selalu santai dan tidak membuat semua mahasiswanya mati kebosanan. Membuatnya betah berlama-lama duduk di barisan terdepan memandang wajahnya.
Hampir tiga puluh menit ia berdiri mengamati Anggi ketika melihat bahwa jam kuliah itu hampir usai dan ia bergegas menuju depan pintu hingga mata perempuan itu tertuju padanya saat berjalan menuju pintu. Ada lega dan juga rindu ketika pandangannya bertemu dengan Anggi, tapi perempuan tersebut pandai menyembunyikan. Karena tak lama setelah mata Anggi membulat melihatnya, ekspresi dingin itu kembali menyelimuti wajah yang membuatnya rindu.
“Selamat pagi, Bu Anggi,” sapa Alfa setelah mendengar Anggi menjawab salamnya. “Kapan hari cari aku ke kafe, ya? Kangen, ya?”
Hanya kedikan pundak yang di dapatnya sebelum perempuan itu berlalu meninggalkannya seperti orang bodoh dengan senyum di bibir. Langkah kakinya yang lebih panjang tidak membuat Alfa kesulitan untuk menyusul langkah Anggi. Namun, perempuan yang terlihat menahan diri setiap kali bertemu dengannya tersebut berjalan cepat untuk menghindarinya.
“Ay, bisa bicara sebentar,” teriaknya ketika langkah Anggi semakin jauh meninggalkannya. “Kalau enggak mau aku ngomong di depan dosen yang lain, bisa kita ke kantin sebentar. Aku janji enggak bakalan lama, karena aku tahu kamu ada kuliah lain tiga puluh menit lagi.”
Langkah Anggi berhenti dan perempuan itu memutar tubuh menghadap ke arahnya dengan mata menyipit. “Gimana kamu tahu kalau aku ada kuliah setengah jam lagi? Jawab, Al?!”
Alfa tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Anggi, ada perasaan bahagia yang tak bisa ditahannya saat ini. Bahkan wajah garang perempuan di depannya tak menyurutkan kebahagiaannya. Ia menunjuk ke arah kantin meminta Anggi untuk berjalan terlebih dahulu, sebelum ia bergerak mengikuti lembaian jilbab perempuan tersebut. Ia tidak berusaha untuk menyejajarkan langkah, Alfa menahan diri untuk berada dua langkah di belakang Anggi yang tak menoleh ke arahnya sejak perempuan itu bejalan menuju kantin.
Alfa meletakkan dua gelas teh hangat dan duduk di depan Anggi yang terlihat sibuk dengan ponsel di tangannya. “Kamu pasti butuh minum yang hangat setelah kuliah tadi. Minum dulu,” pinta Alfa yang mendapati ekspresi tidak yakin di wajah perempuan yang hanya meliriknya sebelum kembali menekuri ponselnya. “Dan ini buat kamu.”
Alfa tersenyum lega ketika melihat Anggi meletakkan ponsel dan meraih kantong coklat yang penuh dengan banyak hal termasuk beberapa botol air zam zam. “Maaf enggak ngabari kamu sama sekali.” Kedikan pundak kembali Alfa dapatkan ketika Anggi menjawab permintaan maafnya. “Sehari setelah pertemuan terakhir kita, aku berangkat umroh nemein Ibu karena Bapak jatuh dan dokter melarangnya untuk bepergian.”
“Enggak apa-apa,” jawab Anggi yang terlihat acuh, setidaknya mencoba untuk terlihat acuh di matanya. “Kamu enggak punya kewajiban untuk kasih kabar, Al.”
“Aku emang enggak punya kewajiban untuk itu, setidaknya belum. Tapi aku ingin kamu tahu alasanku enggak kasih kabar ke kamu.” Anggi mengangguk padanya, memberikan izin untuk bercerita. “Aku enggak membawa ponsel yang berisi dengan pekerjaan. Bodohnya, aku simpan nomer kamu di ponsel yang itu. Namun, aku bersyukur karena dengan begitu aku bisa konsentrasi untuk beribadah. Karena, Nggi … kamu selalu hadir di pikiranku dan itu bisa merusak semua yang ingin aku dapatkan di sana. Sorry.”
Anggi terlihat serba salah setelah mendengar penjelasannya, dan beberapa kali ia melihat bibir perempuan itu terbuka dan tertutup kembali seakan tak tahu hendak berkata apa. Hingga waktu berlalu dan perempuan itu berdiri, “Aku harus ngajar lagi, Al.” Meski ia kecewa karena Anggi tidak memberikan komentar apa-apa pada penjelasannya, Alfa tetap mengangguk dan tersenyum ke arah perempuan yang bersiap untuk meninggalkannya. “Kalau enggak keberatan nunggu, aku balik ke sini abis ngajar. Tapi—”
“Aku tunggu di sini!” sela Alfa tak ingin membuat Anggi merasa ragu. Ia berhasil meyakinkan perempuan yang tersenyum kikuk ke arahnya. Alfa bersedia melakukan apapun untuknya. Ia akan dengan senang hati menunggu, sampai kapanpun. “Aku kangen kamu, Ay,” kata Alfa sesaat sebelum Anggi meninggalkannya.
Ada yang kangen Mas Alfa, enggak?
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top