Bab 10
Bab 10
“Gigi gingsul kamu,” kata Alfa setelah beberapa saat keduanya terdiam ketika langkah mereka berhenti di sebelah mobil SUV berwarna hitam yang terlihat bersih dan mengilap.
“Maksud kamu?” tanyanya yang tidak mengerti dengan arah pembicaraan Alfa. Selama beberapa langkah mereka keluar dari kantin, tak ada satu orang pun yang mengatakan sesuatu dan tiba-tiba Alfa mengatakan tentang gigi gingsulnya.
Alfa membuka kunci pintu mobil dan meletakkan tas berisi kotak makan siang. “Saat di kafe malam itu, gigi gingsulmu yang buat aku yakin kalau itu kamu.” Anggi terkejut dengan kalimat Alfa. Karena selama ini, gigi yang tumbuh tidak di tempatnya tersebut selalu membuatnya tidak percaya diri untuk tersenyum lebar.
“Waktu itu aku lihat kamu ketawa lepas sama Tiara, dan aku tahu itu kamu meski penampilanmu sudah berubah. Senyum kamu enggak berubah, Nggi. Aku bisa mengenalinya sampai kapanpun.” Anggi tidak tahu harus menjawab apa, saat ini pikirannya terlalu penuh dengan kejutan yang Alfa beri siang ini. selain itu, ia harus bersiap berhadapan dengan biang gosip yang pasti tidak akan berhenti membicarakan tentang dirinya. Ia juga tidak akan heran jika beberapa dosen akan mendengar hal tersebut.
Anggi memandang ke segala arah kecuali pria yang memandangnya dengan seringai nakal di wajahnya. “Kamu enggak bakalan mundur, iya, kan?” tebaknya dengan jantung berdetak kencang dan berdoa semoga Alfa menjawab tidak.
“Nope! Aku punya banyak sifat jelek, mudah menyerah bukan salah satunya. Kamu pasti sudah tahu itu, Ay.” Setiap kali mendengar panggilan Alfa, membuat sesuatu bergetar di hatinya. Istimewa, itulah yang dirasakannya dan ia berusaha untuk menekannya dalam-dalam, karena ia tak ingin pria itu mengetahuinya.
“Makasih makan siangnya,” kata Anggi. “Hati-hati di jalan.” Ia membalik badan bersiap untuk meninggalkan Alfa dan mulai memikirkan cara untuk menghadapi gosip. Selama ini ia berhasil menghindari semua pembicaraan kecuali tentang usia termuda di jajaran dosen fakultas teknik informatika. Mulai saat ini ia harus bersiap tentang berita hubungan dengan mantan mahasiswanya.
“Kenapa enggak ngomong apa-apa tentang senyum kamu?” tanya Alfa menghentikan langkahnya.
Anggi kembali memutar badannya dan melihat ke arah pria yang terlihat memegang sajadah di tangan kanannya. Ia kembali bisa mendengar nasehat ibunya saat ini. “Aku belum salat Zuhur,” kata Alfa ketika mendapati arah pandangnya saat ini. “Kenapa, Nggi?”
“Enggak apa-apa. Hati-hati, besok enggak usah datang antar makanan lagi!" ancamnya sebelum kembali memutar badan menuju arah yang harus di tempuhnya untuk kembali ke ruang dosen.
“Gimana kalau ntar kamu kangen aku, Ay!” teriak Alfa tidak mempedulikan lirikan beberapa orang. Anggi berbalik dan melangkah cepat mendekati pria yang terlihat santai dengan sajadah di pundak kanannya.
Anggi mengacungkan telunjuk kanannya ke arah alfa yang lebih tinggi darinya. “Alfa … kamu—”
“Siang Bu, Pak,” sapa beberapa mahasiswa yang melintas di dekat mereka berdua. Protes yang ada di ujung lidah ia telan kembali karena tidak ingin menjadi pusat perhatian di area parkir yang mulai ramai.
“Kira-kira mahasiswa kamu ngiranya aku juga dosen atau suami kamu, ya?”
“Embuh, Al! Sak karepmu!” jawabnya jengkel. Anggi segera memutar badan dan meninggalkan pria yang tampak bahagia mendapat sapaan Pak beberapa saat lalu. Ia berjalan cepat dan menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang, karena tak ingin Alfa melihat secercah senyum yang tak bisa Anggi tahan saat ini.
“Kenapa kasih tahu Alfa makanan favoritku, Ti?!” tanyanya setelah mendengar suara Tiara di ujung sambungan. “Kamu kok malah dukung Alfa, sih!” Tawa Tiara semakin menjadi membuat jengkel yang ada di hatinya kembali muncul.
“Gini ya, Nggi!” kata Tiara tenang menjawab omelannya.
“Ti … kamu tahu kalau aku sama dia enggak akan ada cerita.” Anggi berusaha meyakinkan Tiara yang terdengar bersemangat. “Jadi jangan kasih dia celah sama sekali, dong!”
Dua tahun lalu Anggi memiliki seseorang yang berakhir dengan sakit hati. Pria itu memilih untuk bersama perempuan lain yang bisa memenuhi keinginannya. Sesuatu yang ia jaga hanya untuk suaminya di masa depan. Ia tidak menyesali kejadian itu, tapi kesedihan yang dirasakannya membuat Tiara menjadi bersemangat setiap kali ada seorang pria yang menunjukkan ketertarikan padanya, seperti saat ini.
“Alfa itu cuma pengen kesempatan untuk deketin kamu. Masalah kamu mau enggak sama dia … ya terserah kamu,” jawab Tiara. “Lagian dia cuma pengen tahu kamu suka makan apa, bukannya tanya ukuran baju, sepatu atau bahkan ukuran jari kamu, kan! Satu lagi yang harus kamu ingat, Alfa bukan si tukang selingkuh yang buat kamu nangis dua tahun lalu!”
Tidak ingin membantah Tiara ketika ia berada di mode jendral seperti saat ini, Anggi menutup telepon dan meneruskan langkah menuju ruangannya. Bersiap untuk mendapatkan pertanyaan, sindiran, lirikan atau mungkin cibiran. Sesuatu yang sudah biasa ia dapatkan ketika berada dalam ruangan bersama mereka bertiga.
Kurang pengalaman, bau kencur, bahkan nepotisme pernah mereka sebut ketika bersenang-senang membicarakan tentang orang lain dan dengan sengaja menyisipkan tentang dirinya. Selama ini yang Anggi lakukan hanya diam dan keluar dari ruangan ketika mulai membuatnya merasa kewalahan. Anggi akan mencari tempat lain untuk bekerja, seperti kantin.
Bangunan berstruktur baja tersebut seolah menjadi ruang kerja keduanya. Di sana ia bisa bekerja dengan lebih tenang meski suara setiap orang ataupun musik selalu mengisi ruang dengarnya. Bagi Anggi semua itu jauh lebih merdu ketimbang suara tiga orang yang sibuk membicarakan kejelekan atau kesuksesan sesama dosen atau mahasiswa dengan nada mencemooh.
“Sudah pulang pacarnya, Nggi?” pertanyaan yang ia dapatkan begitu membuka pintu ruangannya. Anggi berusaha tenang dan mengatur napas sebelum menjawab pertanyaan yang terdengar sinis datang dari Sintya yang sibuk menyapu ulang bedaknya.
“Enak ya punya pacar masih muda gitu. Siang dibawakan makan, kalau malam ditemenin juga enggak, Mbak?”
Anggi tidak punya masalah dengan mereka bertiga. Meski mereka kerap mengeluarkan komentar yang terkadang membuatnya ingin melayangkan satu atau dua pukulan ke wajah ketiganya. Saat ini ia bersyukur memiliki pengendalian diri dan masih bisa tersenyum menahan untuk tidak mengatakan apa-apa. Namun, ketika mendengar komentar Dinar membuatnya melupakan kesopanan yang selama ini ia pegang erat.
“Ya ampun, Bu. Selama ini enggak pernah dapat jatah dari suaminya apa, ya? Kok ngurusi malam hari saya, tapi makasih, lho,” katanya tanpa melihat atau bahkan melirik ketiga perempuan di belakangnya. Tanpa mempedulikan mereka, ia merapikan beberapa buku yang akan digunakan untuk mengajar. “Permisi semuanya, saya ada pekerjaan yang lebih penting.”
Anggi tidak merasa puas setelah berkomentar pedas pada mereka bertiga, hal itu justru membuatnya merasa seperti mereka. Nyinyir dan bermulut pedas, dan ia menyalahkan Alfa karena membuatnya berubah jadi sinis.
Alfa oh Alfa ... Kamu buat hatiku. Eh, hatinya bergetar.
Makasih sudah sepuluh hari menemani langkah mereka berdua.
😘😘😘
Shofie
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top