Bab 1

Bab 1


Suara langkah kaki memasuki kelas tak membuat pandangannya beralih dari tumpukan slide dan juga buku di atas meja. Anggi masih sibuk sendiri tanpa memperhatikan mereka yang berjalan melewati ambang pintu untuk mengikuti kuliahnya pagi itu.

"Pagi, Bu," sapa beberapa mahasiswa yang memasuki kelasnya. Anggi menjawab pelan tanpa mengangkat kepala dari bahan kuliahnya. Setelah beberapa saat, Anggi merasakan perasaan yang sama seperti beberapa hari lalu. Seolah ada yang memperhatikannya. Tengkuknya meremang meski beberapa kali ia mengusap kasar bagian belakang kepalanya tersebut. Tiba-tiba napasnya terasa sesak hingga sulit untuk mengambil napas dalam.

"Selamat pa—" Anggi terdiam ketika mendapati wajah yang masih jelas dalam ingatannya duduk di deretan terdepan dengan mata tertuju padanya, seperti siang itu. Untuk beberapa saat otaknya kosong tanpa tahu apa yang harus dikatakannya di depan semua mahasiswanya pagi itu. Hingga suara langkah beberapa orang memasuki kelas membuatnya kembali bisa menguasai diri.

Perkenalan yang ada di kepala Anggi buyar, karena tatapan tajam diselingi sorot mata jail tertuju padanya meghilangkan semua yang sudah ia persiapkan. Ada sesuatu yang berbeda dari cara Alfa memandang, meski semua mata saat ini juga tertuju padanya. Anggi tak tahu apa yang berbeda. Namun, sejak hari di mana pandangan mereka bertemu, ia merasa harus menghindari pria beruban yang menyita pandangannya di tengah keramaian kantin beberapa hari lalu.

Ketika ia tersadar dari keterkejutan, pria yang terlihat hanya fokus padanya saat itu tak melepas pandangan. Membuat napasnya tercekat dan mendadak pendek, sesuatu yang tak pernah Anggi rasakan ketika berhadapan dengan mahasiswanya selama ini.

Ingatan tentang Alfareza Tamawijaya kembali muncul di permukaan tak lama setelah ia melihat senyum seseorang yang terlihat mirip dengan pria dalam bayangannya. Anggi pun menajamkan mata mencoba untuk mengenali karena posisi pria itu membuatnya tak bisa leluasa mengamati. Sedetik kemudian matanya terbelalak tidak percaya dengan apa yang saat ini di lihatnya. Ia tak mengerti, dari semua kafe yang tersebar di setiap sudut kota Surabaya, kenapa saat ini ia harus bertemu kembali dengannya. Satu-satunya mahasiswa yang pernah membuatnya ragu untuk memasuki kelas.

Dengan cepat Anggi berpaling dan menutupi sebagian wajahnya ketika ia bisa melihat dengan jelas pria yang beberapa menit lalu menjadi obyek perhatiannya. Ia menunduk dan sesekali melayangkan pandangan hanya untuk meyakinkan senyum itu bukan sekedar bayangan. Pashmina yang dipakai terbukti bisa menjadi alat penyamaran dan membuatnya aman. Karena hingga beberapa saat Alfa tak terlihat menyadari telah menjadi pusat perhatiannya. Anggi tak bisa berpaling melihat senyum dan interaksi Alfa bersama beberapa orang di depannya.

Lagu berjudul Memori terdengar pelan mengisi latar belakang terasa pas dengan apa yang terjadi padanya saat ini. Bibirnya melengkung ka atas ketika ia melihat pria itu membenarkan letak kacamatanya. Tidak ada mahasiswa pecicilan, menjengkelkan dan seenaknya. Karena pria yang menjadi obyek perhatiannya saat ini terlihat berbeda. Anggi bisa merasakan energi yang terpancar dari seorang Alfareza berbeda dengan mahasiswanya beberapa tahun lalu.

Menyadari hal itu, Anggi mengeluarkan buku catatannya dan mulai menulis segala hal yang bisa ia lihat dari  Alfa dengan senyum menawannya. Dalam sekejap ia mendapatkan tokoh untuk yang akan dibuatnya, dan berpusat pada seorang pria yang pernah ia hindari beberapa tahun lalu. Senyum tak bisa hilang dari wajahnya dan Anggi bisa merasakan semangat menulisnya kembali datang. Setelah beberapa bulan ia merasa berhadapan dengan tembok tinggi tanpa ada celah untuk dilewati. Tanpa pintu, jendela atau apapun yang bisa ia gunakan untuk melewati atau menghancurkan penghalang tersebut.

Hingga Anggi berada di ruang kerjanya keesokan hari, ia masih tak mampu menghapus senyum itu dari kepalanya.  Ia mengusap kasar wajah tanpa make upnya sebelum berdiri menuju ruang kelas setelah menyadari jam mengajarnya harus segera dimulai. Ia menyimpan cerita tentang sesuatu yang tidak mungkin terjadi di tumpukan kenangan dalam kepalanya. Alfa bukan sesuatu yang baik untuk diingat, meski riset dadakannya waktu itu membuat serbuan kenangan itu merangsang otaknya untuk kembali bekerja.

Mengganti tokoh cerita bukan pilihan untuk saat ini, karena semenjak keluar dari kafe, Anggi mendapat ide yang langsung dikerjakannya tak lama setelah meletakkan semua barang-barangnya di atas meja makan. Bahkan ia hanya berhenti untuk salat dan makan sebelum kembali melarikan jarinya di atas keyboard menyusun kata demi kata menjadi kalimat yang mengambarkan efek dari senyum pria itu bagi setiap perempuan yang melihatnya.

"Pilihan yang bodoh, Nggi!" katanya ketika langkahnya semakin dekat menuju kelas. "Kerja kerja, jangan mikir dia aja!" katanya sebelum melangkah  melewati ambang pintu dan melihat beberapa mahasiswa sudah datang memenuhi kelas.

Seakan belum cukup pikirannya di penuhi dengan Alfa semenjak pagi, ia tersadar kelas yang dipakainya adalah kelas yang sama ketika ia melihat pria itu untuk kedua kalinya. Entah apa yang terjadi dengan kepalanya saat ini, Anggi tak bisa menyingkirkan alfa meski ia sudah berusaha untuk mengunci kembali kenangan itu.

"Saya sudah kasih waktu dua minggu untuk mengerjakan tugas yang saya minta. Semua teman sekelas kamu bisa mengerjakannya dan menyerahkan tepat waktu. Kenapa kamu enggak bisa?!" tanya Anggi menatap lurus ke arah Alfa yang terlihat santai duduk di kursi depan meja kerjanya. Hari itu ia terpaksa menemui mahasiswa itu karena Alfa menunggunya hingga jam kerjanya selesai.

"Saya bukannya enggak bisa serahin tugas tepat waktu. Saya hanya mau menyerahkannya secara pribadi," jawab Alfa dengan sorot mata yang tak kalah serius darinya.

"Kenapa? Kamu tahu saya selalu mementingkan tugas dari pada ujian, kan?" tanya Anggi yang semakin tidak mengerti dengan kalakuan mahasiswanya tersebut.

Alfa tersenyum ke arahnya, dan tanpa Anggi sadari, ia menahan napasnya. "Karena saya butuh alasan untuk bisa ketemu berdua sama Ibu!" jawaban tegas Alfa membuatnya tak bisa berkata apa-apa. "Lagian saya sudah letakkan tugas di atas meja ibu sejak tadi pagi. Jadi secara teknis, saya sudah menyerahkan tugas. Ini hanya alasan biar bisa ngelihat ibu dari dekat aja!" Anggi masih menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja memasuki ruang dengarnya.

Tak ingin berlama-lama bertatap muka dengan pria yang membuatnya tak nyaman, Anggi meminta Alfa keluar dari ruangan. "Oke ... tugas kamu saya terima. Silahkan keluar, saya masih ada pekerjaan!"

"Makasih untuk waktunya, Bu Anggi. Semoga bisa ngobrol berdua di tugas berikutnya." Matanya melotot tak percaya dengan apa yang Alfa katakan sebelum meninggalkannya sendiri dengan jantung yang berdetak kencang.

 

***

Mutiara
Nongkrong, yuk!
Aku jemput habis Mahrgib!

Pesan yang Anggi dapat ketika ia meletakkan semua barang bawaannya di atas meja makan sore itu membuatnya menghela napas berat. Setelah kenangan tentang tugas Alfa mengisi pikirannya sepanjang jalan menuju rumah, yang diinginkannya hanya meneruskan pekerjaan hingga tengah malam.

Rumah kecil yang ia beli setelah rumah kedua orang tuanya terjual hanya terdiri dari dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Satu ruangan besar yang terdiri dari dapur, ruang makan dan ruang tamu menjadi satu membuat rumahnya terasa lapang. Anggi sengaja tidak menginginkan dinding pemisah untuk ketiga ruangan tersebut karena ia menyukai konsep bangunan tanpa sekat yang membuat rumahnya terasa lapang.

Aku malas nyetir, Ti

Mutiara
Aku yang nyetir! Aku butuh pengalihan

Anggi menghentikan kegiatannya dan mengerti alasan Tiara mengajaknya keluar malam ini, meski saat ini bukan akhir pekan. Fahri is back. Setiap kali sahabatnya secara tidak sengaja bertemu dengan pria yang selalu terlihat rapi tersebut selalu membuat pikirannya kacau. Tekadnya untuk tidak kembali bersama Fahri pasti akan goyah setiap kali pertemuan itu terjadi. Tiara tak bisa menahan pesona pria yang berprofesi sebagai pengacara tersebut, dan Anggi sudah bisa memperkirakan hal tersebut.

Kapan ketemu Fahri

Mutiara
Sok tahu! Aku enggak ketemu dia, Nggi.

Halah, enggak mungkin

Mutiara
Kita berangkat habis Mahgrib pokoknya!

Tiara perempuan yang tak pernah mendapat jawaban tidak dari siapapun terkadang bisa menjengkelkan, tapi Anggi menyayanginya dengan sepenuh hati. Karena semenjak SMA, hanya Tiara yang menemani ketika dunianya hancur. Dekapan dan genggaman tangan yang membuat Anggi kuat berjalan meski kedua orang tuanya sudah berkalang tanah. Tiara menjadi bagian berharga dalam hidupnya hingga saat ini.

Alhamdulillah ... Akhirnya bisa ketemu teman-teman lagi, dan menjadi bagian dari barisan Zodiac Series.

Moga-moga bisa menjadi teman ngeteh atau ngopi teman-teman semua.

Semangat memulai tahun baru, semoga di tahun ini kita semua menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Love you all
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top