8 (Tamat)

Makan bersama keluarga di meja makan bersama itu menyenangkan. Terkadang, walau yang tersedia hanya makanan sederhana, akan terasa nikmat asal dinikmati bersama-sama.

Hal demikian juga yang Nusaiba sukai. Walau ramadhan tahun ini dirinya tak bisa berkumpul bersama kakak laki-laki, kakak ipar, dan para keponakannya, ia bisa menikmati sahur pertama bersama Abah, Ummi, dan keluarga Zaid.

Hanya saja, Nusaiba tak bisa terlalu lama menikmati kebersamaan itu. Usai menikmati makan sahur bersama, Nusaiba bergegas pamit kembali ke kamar. Bukan ia tak ingin membantu membereskan bekas makan mereka, tetapi pusing di kepalanya masih kian terasa. Suhu tubuhnya masih hangat dan tenggorokannya tak nyaman, kering.

Semalam Zaid hampir tak bisa memejamkan mata. Tidur Nusaiba sangat gelisah dengan keringat membanjiri wajahnya. Tanpa gadis itu sadari bahwa semalam Zaid terus menjaganya sembari sesekali mengompres dahinya.

Zaid telah menyarankan Nusaiba untuk tidak puasa terlebih dahulu karena kondisinya belum pulih. Dokter juga menyarankan demikian. Hanya saja Nusaiba sulit diberi diberitahu. Zaid khawatir, karena Nusaiba hanya sahur dengan seteguk sereal.

"Makan kurma dulu, ya?"

Zaid menyusul Nusaiba ke kamar. Ia membawa beberapa biji kurma, air hangat, dan obat dokter yang harus diminum.

Nusaiba mendudukkan kembali tubuhnya. Kurma yang suaminya ulur, diterima lalu dimakan.

"Lagi?"

Nusaiba menggeleng.

"Ya, udah. Minum obatnya dulu."

Melihat beberapa butir obat yang Zaid ulurkan, ditatap Nusaiba horror. "Aku udah mendingan, kok. Nggak perlu obat lagi."

Tentu saja Zaid tak akan percaya begitu saja. Dahi gadis itu diraba, bukannya membaik seperti yang Nusaiba bilang, melainkan semakin memburuk. Suhu tubuhnya lebih hangat dari sebelumnya.

"Jangan puasa aja dulu, ya? Badanmu makin hangat."

Zaid ditatap tak suka. "Yang punya badan siapa, sih? Orang mau puasa kok malah dilarang?"

"Bukan melarang tanpa alasan, Cha. Kamu lagi sakit. Nanti kalau sudah sembuh, mau puasa 24 jam juga saya izinkan."

Nusaiba melotot. "Biar aku langsung koid, ya? Biar nanti kamu bisa balikan sama Olip-Olip itu."

"Ya, Allah. Kalo ingin kamu koid, udah dari awal saya kasih racun ke makanan atau minumanmu. Buat apa sekarang saya susah payah nyuruh kamu makan dan minum obat kalau ujung-ujungnya saya ingin kamu mati?"

"Siapa tau hanya settingan, kan? Karena ada Abah sama Ummi di depan."

"Terserah kamu, deh, Cha. Minum obat ini." Zaid mendekatkan obat ke bibir Nusaiba. Gadis itu hanya tinggal membuka mulut, dan Zaid siap menyuapi. Tapi, Nusaiba tak akan patuh begitu saja.

"Remukin dulu di sendoknyaa."

"Waduh? Jadi, dari tadi minum obat pake remukin dulu?" Zaid terkekeh. "Kalah sama Zidan ini."

Nusaiba tak peduli. Sejak dulu ia minum obat memang seperti itu. Tak peduli jika ia dibilang anak kecil. Obat orang dewasa itu pahit. Nusaiba tak kuat jika tak diremukkan.

"Itu, airnya air gula, kan?"

Alis Zaid terangkat. "Jadi? Udah pake remukin, minumnya air gula juga?" Kemudian ia menggelengkan kepala.

"Nggak ada air gula, nggak mau."

Zaid tercengang, sebelum berkata, "Saya jadi punya dua balita di rumah ini," lantas beranjak menuju dapur.

Tak peduli apa kata pria itu, Nusaiba tetap dengan pendiriannya. Rasanya tak ada yang salah jika minum obat dengan cara diremukkan terlebih dahulu, sebelum ditenggak dengan air gula. Dokter juga tidak melarang, bukan?

Tak lama kemudian Zaid muncul, membawa segelas air gula hangat. Obat yang sudah diremukkan sebelumnya diletakkan ke sendok dan disuap kepada sang istri. Bergegas Nusaiba menenggak air gula hingga tandas, membuat Zaid menatapnya tak habis pikir. Ternyata, tak hanya punya wajah imut menggemaskan, istrinya itu juga punya jiwa balita lebih dari Zidan.

"Pinter anak Abah," ledek Zaid. Pucuk kepala gadis itu diusap, sebelum beranjak dari sana. "Istirahat dulu. Nanti udah masuk waktu subuh, saya bangunin."

Tak ada tanggapan.

"Kamu dengar, kan, Cha?"

"Hmm ..."

"Bagus. Anak baik. Selamat istirahat."

Blam.

***

Adzan subuh telah berkumandang setengah jam lalu. Nusaiba sama sekali tak berkutik, masih setia dengan lelapnya. Namun, ketika suara guyuran air dari dalam kamar mandi dan wangi sabun sukses membuat nyawanya terpanggil. Perlahan ia membuka mata yang terasa lengket, dan spontan membelalak ketika seseorang dari kamar mandi keluar hanya mengenakan handuk sebagai bawahan.

"Itu ... Serius Zaid?" gumam hatinya. Selama ini ia hanya melihat Zaid dalam balutan baju koko, pakaian casual, pakaian olahraga, dan kemeja saat hendak pergi ke kantornya di toko atau An-Najiah. Tak pernah sekali pun ia melihat pria itu bertelanjang dada, dan ya ampun suamiku pelukable banget, ya Allah.

"Cha, Abang Laundry udah ngantar pakaian kita belum?"

Mata itu mengerjap beberapa kali. Nusaiba seolah disadarkan oleh pertanyaan yang pria itu ajukan. Pria itu sibuk mencari pakaian dalam lemari pakaian mereka.

"Nggak ada," jawabnya.

"Aduh. Kenapa abangnya telat ngantar, ya? Biasanya 3 hari udah diantar."

"Kenapa?"

"Baju koko saya kayaknya habis."

Sejak dulu, Zaid dan ibunya sering menggunakan jasa laundry untuk mencuci pakaian mereka. Tak ada asisten rumah tangga, cukup membuat Bu Widi kewalahan. Apalagi beliau yang merupakan kepala sekolah, serta menjadi salah satu pengurus An-Najiah membantu Zaid di sana, tentu membuat beliau tak punya waktu mengurus cucian yang menumpuk setiap hari.

Hal itu masih berlanjut hingga Nusaiba menjadi menantu di sana. Bu Widi sama sekali tak berpikir untuk menghambakan sang menantu mengerjakan semua pekerjaan rumah selayaknya budak. Bagi Bu Widi, Nusaiba adalah menantu bukan pembantu.

Melenguh kecil, Nusaiba mencoba turun dari ranjang. Tapi, kembali terduduk saat kedua kakinya tak sanggup menahan bobot tubuhnya. Ia terlalu lemah dan kepalanya masih pusing.

"Katanya mau bangunin aku sholat subuh. Ini udah jam 5, bangunin apanya?" Meski tubuhnya lemah, bab mengoceh tak ada kata lemah bagi Nusaiba.

Zaid memutuskan mengambil kaos abu-abu yang mencetak dada berototnya. Nusaiba kemudian ditatap. "Saya juga terlambat bangun, Cha. Ini aja saya belum sholat. Ketiduran tadi."

Sarung di penyidai pakaian Zaid ambil lantas dikenakan sebelum akhirnya handuk itu dilepas. Pikiran gadis itu membayangkan yang tidak-tidak. "Apa di balik sarung itu Zaid nggak pake apa-apa?" Kemudian bergidik.

Menyadari tatapan istrinya itu ke area sensitifnya, Zaid berceletuk, "Dia nggak akan terbang, kok, Cha." Kemudian terkekeh. Sajadah dihamparkan. "Mau sholat berjama'ah, nggak?"

Salah tingkah, Nusaiba mengerjap. Tergagap ia menyahut, "Tu ... Tungguin," lalu bergegas ke kamar mandi, bahkan mengabaikan sakit di kepalanya.

***

Saat ini Zaid dan Nusaiba berdua di  ruang tengah. Abah dan Ummi telah pulang setelah sholat subuh. Awalnya Nusaiba membaringkan tubuhnya di sofa panjang dengan kepala di lengan sofa. Namun, ketika Zaid datang, pria itu mengambil alih posisi lengan sofa dengan menjadikan pahanya sebagai bantal kepala gadis itu. Nusaiba memekik, siap beranjak dari sana tapi Zaid menahannya.

"Nggak usah sungkan. Biar Abang bantu pijitin kepala istri Abang yang sakit."

Nusaiba bergidik. Setelah sholat subuh bersama tadi, Zaid semakin berani terhadap Nusaiba. Pria itu juga tak lagi menyebut dirinya sendiri 'Saya' seperti biasa, tapi 'Abang' yang sempat Nusaiba larang sebelumnya.

Walau demikian, tak Nusaiba pungkiri bahwa ia merasa nyaman dengan pijatan Zaid di area kepalanya. Pusingnya sedikit berkurang dan matanya tiba-tiba terasa berat.

"Zidan ke mana? Yang buka Tayo ini siapa?"

Mata yang hampir terpejam itu kembali terbuka, kemudian menjawab, "Nyusul neneknya ke sekolah."

Televisi menyala menayangkan kartun Tayo yang Zidan sukai, tapi anak itu telah menghilang menyusul neneknya yang tengah memantau keadaan sekolah yang kosong karena guru diliburkan menyambut ramadhan kemarin.

"Ngomong-ngomong soal Olivia ...." Nusaiba memutar posisi yang awalnya menghadap televisi, menjadi menghadap perut Zaid. Ia mendongak, menatap langsung manik mata suaminya. "Apa nasibnya semenyedihkan itu?"

"Seperti yang Abang ceritakan semalam," jawab Zaid singkat.

Nusaiba mendadak sedih. Walau bagaimana pun, Olivia kini telah berubah. Ia seorang istri yang berjuang sendirian membesarkan buah hatinya seorang diri. Apalagi semalam Zaid mengatakan bahwa anaknya yang masih berusia 3 tahun, tumbuh dengan tubuh kurus dan sangat tak terawat. Kebutuhan gizinya tak terpenuhi.

"Kasian anaknya." Ujung kaos Zaid dipilin. "Semalam mereka sahur pake apa, ya? Apa mereka punya beras? Lauk pauknya? Susu anaknya gimana? Kasian, ih."

Dahi Zaid berkerut. "Kenapa sekarang kamu jadi mikirin dia?"

"Ish." Zaid digeplak. "Kamu nggak punya hati, ya, sama kalangan kurang mampu seperti itu? Dia sendirian, Zai."

"Panggil Abang, Cha." Zaid memotong.

"Nggak."

"Kenapa? Kurang manis? Kalau begitu, panggil sayang juga boleh." Kemudian Zaid terkekeh.

"Ih. Geli."

"Panggil Abang, Cha. Nggak susah, kok. Nggak akan Abang buli, malah semakin Abang sayang," godanya

Pipi Nusaiba memerah. "Jangan potong omonganku, ih." Ia berusaha mengalihkan ketegangannya.

Berhenti tertawa, Zaid menghela napas. "Abang nggak mau rumah tangga kita kembali terjadi kesalahpahaman jika Abang terlalu memperhatikan dia."

"Aku nggak cemburu kali. Bantu aja kenapa, sih?"

"Yang bilang kamu cemburu itu siapa?"

"Ee ... Ituu ... Mmm ... Ah, bantu aja dia. Kasian anaknya, Bang."

Mendengar kata terakhir sang istri, hati Zaid berdesir hangat. Ia terkekeh, lantas mengecup dahi gadis itu kilat.

Nusaiba melotot, dahinya disentuh. "Kenapa main cium-cium?"

"Makasih udah manggil saya Abang," jawab Zaid.

"Jangan nyari-nyari kesempatan, ya. Ini puasa, nanti puasanya batal baru tau rasa."

"Berarti habis buka puasa nanti boleh, dong."

"ZAID!!"

***

Sesuai kesepakatan Nusaiba dan Zaid, mereka memberikan bantuan kepada Olivia dan anaknya. Nusaiba memang pantas diganjar Allah dengan segala ujian yang Dia berikan kepada Olivia. Namun, sebagai sesama manusia, mereka juga berkewajiban membantu mereka yang tengah kesulitan.

Kehidupan di masa lalu biarlah berlalu. Nusaiba kini telah belajar menerima semua yang Allah beri untuknya. Termasuk suami yang baik serta anak tiri yang menyayanginya.

Senyum bahagia yang terpatri di wajah kecil Nana, anak Olivia, menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Nusaiba. Anak kecil itu begitu polos, tak berhak ikut menanggung kesalahan sang ibu di masa lalu. Sembako, kebutuhan Nana, peralatan mandi, beberapa pasang pakaian baru turut diberikan kepada Olivia dan putrinya.

Zaid hanya menunggu dari dalam mobil, membiarkan Nusaiba mengantar barang-barang bantuan kepada Olivua sendirian. Ia tak ingin Olivia mengetahui bahwa dirinyalah yang telah memberikan semua bantuan tersebut. Ia hanya ingin menghindari segala kemungkinan yang akan terjadi di kemudian hari.

"Aku bahagia liat mereka tersenyum tadi." Nusaiba membuka obrolan begitu mobil yang dikemudikan Zaid bergerak meninggalkan lokasi rumah Olivia. "Nana seneng banget tadi dapat baju baru. Kasian bajunya udah lusuh dan sobek di beberapa bagian."

"Kamu bilang apa tadi pas datang bawa bantuan?"

"Aku bilang, kalo aku relawan yang memberikan bantuan untuk masyarakat kurang mampu, di tengah pandemi virus ini."

"Emang dia percaya sama muka galak kayak kamu?"

Plakk.

"Enak aja. Muka imut gini dibilang muka galak."

"Gimana nggak dibilang galak sama Abang, badan Abang udah biru-biru ini kamu pukul, cubit setiap hari."

"Siapa suruh suka bikin kesal?"

"Abang itu romantis, Sayang. Bukan bikin orang kesal." Zaid menaik-turunkan alisnya. "Habis buka puasa nanti, kita buka-bukaan, ya?"

Plaakkk!

"Jangan macam-macam, ya! Aku pulang ke rumah Abah!" marah Nusaiba.

Menanggapi amarah sang istri, Zaid terbahak kencang. "Maksud kamu apa, Cha? Buka-buka apa?"

Pletaak.

Satu sentilan berhasil Zaid layangkan ke dahi gadis itu. "Otakmu itu jangan suka mikirin yang jorok-jorok, Cha. Maksud Abang, buka-bukaan tentang kelebihan dan kekurangan kita. Buka-bukaan soal masa lalu kita yang nggak diketahui orang selama ini. Kita ini pasangan suami-istri, berhak mengetahui apa pun tentang pasangan kita. Kalau Abang, sih, sudah menceritakan semuanya sama Ucha. Giliran Abang ingin mendengar semuanya tentang istri Abang. Entah tentang makanan kesukaa, makanan yang nggak disukai, atau mungkin tentang mantan. Ceritakan semuanya." Nusaiba ditatap dengan senyum menggoda, "Atau mau buka-bukaan yang itu juga boleh. Abang siap memberi Zidan adek."

"ZAIIIID!!!"

"Hahahaha ..."

***

Allah SWT tidak melihat seseorang dari paras rupawan dan harta melimpah, melainkan ketakwaanya.

Masa lalu tak bisa diulang. Jadikan ia sebagai pembelajaran untuk membenahi kehidupan di masa mendatang. Tak ada yang berhak menghakimi pahala dan dosa seseorang melainkan hanya Allah SWT seorang.

Seseorang yang menurutmu buruk, belum tentu lebih buruk darimu. Demikian sebaliknya, seseorang yang menurutmu baik, belum tentu lebih baik dari dirimu.

Setiap hamba tak luput dari dosa. Maka dari itu, bertaubatlah.

"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" (QS. An-Nur: 31).

*** TAMAT***

Alhamdulillah selesai.
Jika ada salah-salah kata dalam tulisan saya ini, mohon dikoreksi. Karena setiap manusia tak luput dari khilaf.

Karya saya ini tak bermaksud menggurui, tapi ambillah hal positif dari kisah di dalamnya. Jika salah, mohon ditegur, jangan dicaci. Sesungguhnya kalimat cacian merendahkan karya seseorang tanpa saran sama sekali tak memberi manfaat apa pun.

Extra Part? In Syaa Allah ada. Khusus yang manis-manis aja. Selanjutnya akan dikabari, ya.

Minal aidil wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top