7

Hubungan Zaid dan Nusaiba tampak semakin rumit. Gadis itu sama sekali tak memedulikan Zaid walau pria itu sudah berusaha menjelaskan.

Kesalahapahaman itu masih berlanjut. Kemarin malam, Zaid tak berhasil memberikan penjelasan soal izinnya kepada Nusaiba. Di tengah kemelut petengkaran keduanya, Zidan terbangun dan menangis karena menyadari pertengkaran mereka. Mau tak mau Zaid dan Nusaiba harus berhenti,  menunjukkan pada Zidan bahwa mereka baik-baik saja.

Tapi pagi ini, Nusaiba tak ingin berpura-pura lagi. Usai sholat subuh, ia bergegas berbenah. Memasukkan beberapa barang keperluannya untuk dibawa pulang ke rumah Abah. Tak banyak, hanya peralatan make up, pengisi daya, ponsel, dan dompet. Ia telah memesan ojek online untuk mengantarkannya ke rumah Abah.

"Kamu mau ke mana?"

Zaid sedikit cemas tatkala kembalinya ia dari jogging, Nusaiba telah siap untuk pergi. Bergegas ia mendekat, menahan gadis itu pergi.

"Aku mau ke rumah Abah."

"Jangan seperti ini, Cha. Masalah kita belum selesai, kita bicarakan dulu baik-baik, ya? Semalam saya belum selesai bica ...."

"Ah." Tangan Zaid ditepis. "Aku kangen Abah sama Ummi, kok. Kenapa dilarang? Besok puasa, aku mau sahur pertama di rumah Abah-Ummi. Salah? Nggak boleh? Dosa kamu ngelarang istri ketemu orang tuanya sendiri," ketusnya.

"Bukan ngelarang, Cha. Tapi, kamu ke sana di saat yang kurang tepat." Zaid melirik Zidan yang masih terlelap. "Ayo, ikut saya keluar sebentar. Kita selesaikan kesalahpahaman ini."

"Nggak sempat. Tukang ojeknya udah di depan kompleks."

Tas ransel mininya siap dipanggul. Tak ingin Nusaiba pergi sebelum masalah mereka selesai, ia mengambil paksa tas gadis itu. Tangan Nusaiba ditarik, membawanya masuk ke kamar sebelah. Tentu saja dengan segala perlawanan dari gadis itu.

Bu Widi yang melihat ulah keduanya, mendadak panik. Beliau tak tahu masalah apa yang terjadi dalam rumah tangga sang putra, tapi beliau sadar bahwa beliau tak berhak ikut campur. Bu Widi memilih mundur, bergegas ke dapur seolah tak melihat kejadian apa pun sebelumnya.

Sementara di kamar Zidan yang kosong, Zaid berusaha menenangkan Nusaiba yang berontak. Kedua tangan gadis itu tak berhenti memukulinya lantas dipeluk erat.

"Biar saya menjelaskan sampai selesai, Cha."

"Nggak mau dengar! Lepaskan!"

Sayang, usaha Nusaiba untuk lolos berakhir sia-sia. Zaid terus mendekapnya erat hingga gadis itu lelah dengan sendirinya. Tubuh Nusaiba melemah. Semalaman ia tak bisa tidur. Ia hanya memejamkan mata, tapi nyawanya senantiasa terjaga.

Tak lama berselang, suara isak lirih Nusaiba terdengar. Kedua tangannya meremas erat ujung kaos olahraga yang Zaid kenakan. Zaid paham perasaan gadis itu, hingga ia tetap membiarkan pelukan itu untuk membuatnya tenang.

Namun, beberapa saat kemudian, isak lirih perlahan menghilang disertai dengan melemahnya tubuh mungil itu dalam pelukannya. "Cha?" Pelukannya dilerai perlahan. Nusaiba hampir melorot ke lantai jika saja Zaid tak sigap menahannya. "Ya Allah, Cha!"

***

Zidan tak berhenti menyeka air mata yang mengalir di kedua pipinya. Tangannya tak lelah memijat pundak hingga lengan Nusaiba agar sosok yang ia panggil 'Bunda' itu segera sadar dari pingsannya. Ia takut kehilangan Nusaiba. Ia sangat menyayanginya melebihi apa pun walau mereka baru dua minggu bertemu.

Ketika itu Zidan baru saja terbangun. Ia turun dari ranjang hendak mencari kelibat sang ibu. Namun, ketika ia membuka pintu, terdengar pekikan sang ayah di kamar sebelah. Tak lama setelah itu ayahnya keluar sembari membopong tubuh ibunya yang tak sadarkan diri ke kamar mereka. Zidan panik, ia berlari menyusul Nusaiba ke ranjang sembari menangis hebat, memanggil 'Bunda' berkali-kali. Tentu saja panggilan itu tak bisa ditanggapi Nusaiba.

"Tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan dan juga agak demam. Jadi, ini saya kasih obat. Di minum 3 kali sehari, ya? Nanti si mbak-nya disuruh istirahat yang banyak. Besok kan udah puasa, ya? Kalau nggak kuat, jangan dipaksa. Demi kesembuhan dia juga."

"Baik, Pak." Zaid menjawab segala saran yang diberikan dokter kenalan mamanya tersebut dengan patuh. Tentu saja ia akan mendengarkan nasehat dokter karena tak ingin terjadi sesuatu lebih buruk terhadap istrinya.

Gadis itu masih belum sadarkan diri. Abah dan Ummi telah tiba beberapa menit sebelum dokter itu. Mereka menerima panggilan dari Zaid dan mengatakan bahwa Nusaiba pingsan. Sebagai seorang Ibu, tentu Ummi cemas. Beliau terus berada di sebelahnya sembari membalur pelipis sang putri dengan minyak kayu putih. Hijab serta ikat rambutnya Ummi lepas, agar Nusaiba tak pengap. Begitu beliau meraba telapak tangan dan kakinya, terasa sangat dingin, sementara bagian tubuh lainnya terasa hangat. Napas gadis itu menderu serta wajahnya pias nyaris tanpa warna.

"Bunda Jidan baik-baik aja, kan, Nek?" Di tengah kekhawatirannya, Zidan bertanya pada Ummi Zulaikha demi memastikan kondisi ibunya.

"Bunda baik-baik aja, Nak. Bunda hanya perlu istirahat, nanti pasti sembuh," jelas Ummi.

Mendengar penjelasan Ummi, Zidan sedikit lega. Namun, air matanya terus keluar dan diseka berkali-kali. Ia tak akan beranjak sejengkalpun dari sebelah sang ibu sampai ibunya itu membuka mata.

"Sekarang, cerita sama Mama, Abah, Ummi, tentang apa yang terjadi."

Sepeninggalan dokter kenalan Bu Widi dari rumah, beliau menyeret Zaid ke ruang tengah. Beliau juga mengajak Abah Yusuf dan Ummi Zulaikha untuk mendengar penjelasan Zaid.

"Memangnya kenapa, Bu Widi?" Ummi tak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Sebelum Ucha pingsan, mereka itu terlihat ndak akur. Saya sih ndak mau ikut campur awalnya. Tapi, jika keadaan seperti ini, saya ndak bisa diam saja, Bu. Yang pasti saya menyalahkan anak saya di sini. Dia sebagai suami harus bertanggung jawab sama apa yang menimpa istrinya," ujar Bu Widi.

"Zaid nggak perlu disalahkan sepenuhnya, Bu." Abah buka suara. "Kami juga memahami bagaimana kelakuan anak kami, Ucha. Jangankan Zaid yang baru kenal beberapa minggu, saya yang sudah kenal sejak dia dalam perut Ummi-nya saja sering kesal sama dia. Wajar jika Zaid bersikap sedikit lebih tegas."

"Ah, sudah memang fisik Ucha aja lemah, Bu Widi. Dia nakal, tapi penyakitan. Nggak perlu diambil pusing itu," ujar Ummi. "Sudah biasa."

"Tapi, ada baiknya jika kamu cerita sama kami, Zai. Apa ada masalah serius seperti yang Mama-mu bilang?" Abah bertanya serius kali ini.

Setelah berusaha menenangkan perasaannya sendiri, Zaid mulai bercerita.

***

Kemarin.

Usai belanja di pasar kemarin, Zaid tidak bisa fokus mengerjakan apa pun. Selain menjabat sebagai pimpinan tertinggi di An-Najiah menggantikan sang ayah, Zaid juga mengurus toko serba ada yang memiliki 8 lantai. Toko yang diberi nama Zidan Mart tersebut menjual berbagai kebutuhan masyarakat mulai dari pakaian, tas, sepatu, peralatan sholat, ATK, barang pecah belah, alat kecantikan, hingga cafe yang ada di lantai atap.

Oleh karena lockdown, Zaid hanya bisa bekerja dari rumah. Sesekali ia akan datang ke toko untuk memastikan keadaan toko yang tetap buka dengan waktu terbatas tersebut.

Namun, semenjak dirinya tak sengaja melihat Olivia di pasar, pikiran Zaid kacau. Sesekali ia ke An-Najiah tapi pikirannya kosong, lalu ia pulang ke rumah tapi seperti orang linglung. Ketika Bu Widi bertanya sesuatu, Zaid tak menanggapi, begitu juga ketika Nusaiba atau Zidan yang mengajaknya bicara.

Zaid tak bisa terus seperti itu. Ia memutuskan menghubungi salah satu rekannya di masa lalu, Danu. Dahulu Danu juga sama seperti Zaid. Hanya saja, hidayah mendatangi rekannya itu melalui seorang wanita sekitar 2 tahun lalu. Berbanding terbalik dengan Zaid, justru karena seorang wanita ia terjerat maksiat.

Rekannya tersebut mengenal banyak orang dari berbagai kalangan. Demikian juga sebaliknya. Zaid menanyakan perihal keberadaan Olivia yang selama ini menghilang selama enam tahun. Tentu saja Danu tak langsung mengiyakan permintaan pria itu. Ia bertanya mengenai alasan Zaid menanyakan perihal wanita itu. Danu hanya takut, Zaid terjebak ke lembah yang sama untuk ke dua kalinya.

"Kamu itu udah punya istri, Zai. Jangan coba-coba bikin masalah kamu. Ingat Abi-mu." Danu mencoba mengingatkan melalui sambungan telepon kemarin sore.

"Saya ingin bertemu dia walau sekali saja. Bukan untuk kembali sama dia. Nggak. Saya hanya ingin penjelasan dari dia. Dan juga ... Saya nggak bisa terus menyembunyikan Olivia dari Zidan. Zidan harus tau siapa ibu kandungnya suatu saat nanti."

"Untuk apa, Zai? Bukankah itu akan menyakiti anakmu? Dia sudah mengakui istrimu itu sebagai ibunya, jangan sampai kamu merusak kebahagiaan dia dengan memperkenalkan Olivia ke dia. Percaya kata-kataku, Zai. Anakmu akan kehilangan senyumnya kalau tau bagaimana asal muasal dia bisa terlahir."

Zaid mendesah. Ia juga tak ingin itu terjadi, tetapi Zidan berhak tahu.

"Paling tidak, dia harus tau siapa ibu kandungnya, Dan," jawabnya.

"Maka cukup beri tau dia siapa nama ibunya. Itu aja, udah."

"Danu, plis."

Terdengar helaan napas di seberang panggilan. Danu terlalu kesal dengan kekeraskepalaan Zaid. Walau telah hijrah, sifat Zaid yang satu itu kadang masih sering muncul.

"Tunggu. Aku cari tau ke temanku yang buka lapak di sana," putus Danu akhirnya.

Cukup lama Zaid menunggu. Hingga usai maghrib, sebuah chat masuk dari Danu. "Baru sebulan ini dia jualan di sana. Dia jual sayur liar kayak miding (pakis), genjer, kangkung, dan ntah apa lagi. Dia jualan di pinggir pasar. Udah nikah lagi, tapi suaminya ditangkap karena kasus pembegalan."

"Apa ada alamat yang bisa saya datangi?"

"Jangan macam-macam, Zai."

"Saya nggak akan macam-macam."

Tak ingin ambil pusing, Danu langsung mengirim alamat Olivia, dan Zaid tak membuang-buang waktu. Usai menerima pesan berisi alamat sang mantan kekasih, ia mengambil jaket, helm, kunci motor, lalu pergi setelah pamit singkat pada Nusaiba. "Saya keluar sebentar "

Hingga di sanalah ia berada. Sebuah gubuk kecil tak jauh dari lokasi pembuangan limbah rumah tangga, ia melihat wanita yang dicari selama enam tahun ini tengah menyusun kardus-kardus bekas. Beberapa karung usang berisi botol dan gelas minuman plastik bertumpuk di sisi rumah. Tak lama setelah itu, seorang balita perempuan yang Zaid perkirakan berusia 3 tahun keluar, memanggil wanita yang kini berhijab itu dengan sebutan 'Mamak'.

Miris? Tentu saja. Jadi, inikah ganjaran yang Allah berikan untuk perbuatan Olivia sang wanita malam, pezina, menikah tapi menyimpan banyak pria di luar sana termasuk Zaid, hingga akhirnya dicerai sang suami pertamanya kala itu.

Melihat kehidupan Olivia saat ini membuat Zaid mengucap syukur pada Sang Pencipta, karena walau ditegur melalui kecelakaan berat, tapi ia masih diberi kehidupan yang cukup mapan. Pantaskah ia mengeluh akan masalah yang sering menimpanya, sementara di posisi berbeda dialami Olivia dengan sangat menyedihkan seperti itu?

"Mamak, Nana mau susu."

Samar-samar dari kejauhan dapat Zaid dengar balita perempuan itu meminta susu pada ibunya. Namun, jawaban yang diberikan Olivia cukup mengiris hati Zaid.

"Nanti ya, Nak. Mamak kumpulin kardus-kardus ini. Mamak jual, lalu Mamak beli susu untuk Nana."

"Bapak ndak pulang? Bapak bawa susu."

Usai menyusun kardus berkas, Olivia beranjak mendekati sang putri. Saat balita lain tumbuh sehat dengan tubuh menggemaskan, tidak dengan anak Olivia. Tubuhnya kurus. Wajah dan pakaiannya kusam. Rambut sebahunya tampak acak-acakan seperti tak dikeramas beberapa minggu.

"Bapak belum bisa pulang, Nak. Jadi, nggak bisa bawa susu. Tapi, Mamak janji besok kita beli susu, ya?"

Balita itu mengangguk. Tak ada rengekan seperti balita kebanyakan yang apabila keinginannya tak dipenuhi, maka akan merengek hingga menangis.

Tanpa sadar Zaid menitikkan air mata. Pria itu menengadahkan wajah ke langit, menghadang air matanya kembali jatuh. Hatinya sesak, sungguh.

Usai menenangkan hatinya sendiri, Zaid melangkah memasuki halaman rumah Olivia yang tidak pantas disebut halaman rumah. Beberapa sampah plastik berserakan. Sepertinya tertiup angin dari tumpukan sampah warga tak jauh dari rumahnya tersebut.

"Assalamualaikum."

Senda gurau antara Ibu dan anak tersebut terhenti ketika mendengar sapaan salam.

"Wa'alai ...." Olivia terbelalak. "Wa ... Wa'alaikumsalam." Olivia tampak panik. Ia tak berani menatap wajah itu lagi. Ia tak siap. Selama ini dirinya telah berusaha menyembunyikan diri. Tapi, ternyata Singkawang itu sempit. Ia tak menyangka Zaid akan menemukan keberadaannya dalam keadaan menyedihkan seperti ini.

"Apa ... Kabar, Olivia?"

***

"Olivia menyesali semua perbuatannya di masa lalu. Dia sudah bertaubat, sama seperti saya, Bah. Dia juga sudah diganjar Allah dengan kehidupan yang menyedihkan." Zaid melanjutkan ceritanya. Tiga pasang mata setia mendengarkan dalam keheningan.

"Dulu dia memang sengaja meninggalkan Zidan ke kami untuk memberikan ganjaran karena saya nggak mau bertanggung jawab yang telah menghamilinya. Tapi, itu lebih baik karena dia nggak nuruti perintah saya untuk menggugurkannya. Saya lega karena anak saya hidup berkecukupan di sini. Saya nggak bisa membayangkan jika Zidan hidup seperti Nana." Zaid mengusap air matanya. "Saya berusaha menjelaskan sama Ucha bahwa Olivia ingin merajut kembali hubungan kami yang sempat putus selama enam tahun. Tak lebih dari sebatas menjalin silaturahmi antar sesama muslim. Saya ingin minta izin pada Ucha demi menghargai dia sebagai istri saya, untuk menjalin hubungan silaturahmi dengan Olivia. Nggak lebih dari itu. Tapi, hhh ..."

"Abah paham, Zai. Sudah jelas Ucha yang salah paham. Sudah Abah duga." Abah menyeruput kopi hitam yang Bu Widi hidangkan. "Nanti biar dijelaskan lagi ke Ucha. Kalo dia nyerocos terus, mulutnya dilakban juga boleh. Abah ijinin."

Bu Widi terkekeh. Beliau sedikit lebih lega sekarang. Ternyata masalah tersebut yang telah membuat anak dan menantunya itu ribut tadi pagi. Jika seperti itu, beliau juga siap menjelaskan semuanya pada Nusaiba.

"Tapi, kamu juga harus pintar-pintar membatasi silaturahmi dengan lawan jenis, Zai. Apalagi dia sudah bersuami, kamu sudah beristri. Fitnah ndak kenal kopiah sama jilbab, Nak." Bu Widi menasehati.

"Iya, Ma. Zaid paham itu."

"Kalau begitu ..." Ummi berdiri. "Ayo, kita masak, Bu Widi."

"Ayo, Bu. Nanti sekalian kita sahur bersama di sini, ya, Bu, Pak Yusuf?"

"Eh?"

"Iya. Ini kan ramadhan pertama kita berbesanan. Jadi, malam ini menginap di sini, dan sahur bersama di sini. Ucha pasti senang, Bu," lanjut Bu Widi.

"Gimana, Bang?" Ummi meminta keputusan sang suami.

"Boleh-boleh saja. Nanti Abang pulang dulu kalo Ucha udah sadar. Ada urusan sedikit di Darul Ulum. Sekalian bawa pakaian gantimu."

"Baiklah."

***

"Ngh." Dua jam tak sadarkan diri, Nusaiba akhirnya terbangun. Ia melenguh, dan pusing langsung mendera.

"Bunda?"

Perlahan matanya terbuka. Orang pertama yang ia lihat adalah Zidan. Wajah anak itu tampak sangat mengkhawatirkannya.

"Bunda udah bangun? Bunda, ini Jidan. Bunda masih ingat Jidan, kan?"

"Hm." Hanya gumaman singkat itu balasan atas pertanyaan penuh kekhawatiran dari Zidan.

Zidan kecil hati. Matanya mulai berkaca-kaca, dan diseka dengan cepat. Lengan ibunya itu terus dipijat, tetapi Nusaiba lekas menariknya.

Tak tahan lagi, air mata yang sejak tadi menggenang akhirnya tumpah juga. Sebisa mungkin Zidan tak terisak. Ia ingin terlihat kuat agar bisa menjaga Bunda. Tapi, Bunda seolah melupakannya.

Pintu kamar terbuka, membuat Nusaiba menoleh. Abah muncul dan wajah Nusaiba sontak berubah senang. "Abah."

"Udah sadar?" Abah duduk di pinggir ranjang.

Dengan manja Nusaiba merentangkan tangan, berharap Abah memeluknya. Namun, bukannya menerima sebuah pelukan, Abah malah menjentik dahi putrinya tersebut.

Zidan langsung panik. Pria yang ia panggil 'Kakek' itu ditatap cemas. "Kakeek. Kenapa Bunda Jidan dipukul? Bunda Jidan lagi sakit, Keek." Dahi ibunya langsung diusap. Ia tak ingin ibunya kesakitan. Zidan sayang Bunda Ucha.

Bisakah Nusaiba terharu sekarang?

"Zidan. Bunda Zidan itu nakal. Makanya Kakek jentik keningnya."

"Nakal kenapa?"

"Pokoknya, Bunda Zidan ini sangat nakal," ujar Abah lagi.

"Ucha salah apa?" Nusaiba juga tak terima.

"Udah sering Abah bilang. Kamu itu sok paham, makanya selalu salah paham. Ujung-ujungnya nyiksa diri sendiri, pingsan. Udah gitu, nyalahin Zaid." Sekali lagi dahi Nusaiba Abah jentik.

"Sakit, Baah."

"Kakeeek." Zidan membela sang ibu.

"Iya, iya. Kakek udah selesai. Abah keluar."

"Bah? Abah mau pergi gitu aja? Ummi mana? Abah??"

Blam.

***

Kedua pipi Nusaiba memerah sekarang. Bukan karena demamnya yang belum turun, melainkan karena kenyataan yang ia terima perihal kesalahpahamannya semalam. Ia malu, sungguh. Ummi menatapnya dengan delikan tajam.

"Sok paham terus," marah Ummi.

Mereka berkumpul di ruang tengah tanpa Abah dan Zidan. Abah sengaja mengajak Zidan bermain di halaman rumah bermain kembang api, agar anak itu tak mendengar cerita yang belum pantas Zidan dengar.

"Yaa ... Salah dia juga nggak coba jelasin dari awal." Nusaiba tetap membela diri, walau ia tahu tak akan ada yang membelanya.

"Kamunya yang suka motong omongan orang. Emosi terus yang diutamakan, ujung-ujungnya salah paham."

Nusaiba mengerucutkan bibir. Rambutnya yang tergerai digaruk merasa gatal. Kini, ia tak lagi malu memperlihatkan surai hitam sepunggungnya itu dilihat Zaid. Lagi pula, pria itu sudah melihatnya dua kali dengan pagi ini, bahkan sudah berani menghirup aromanya.

"Jadi, masalah ini selesai, ya? Nggak ada lagi kesalahpahaman." Bu Widi bersuara.

Nusaiba mengangguk, dan Zaid gemas dengan tingkah istrinya yang satu itu. Setidaknya dengan kesalahpahaman mereka kemarin, ia jadi tahu bahwa Nusaiba tak rela suaminya mendua. Jika demikian, bolehkan Zaid berpikir bahwa Nusaiba mulai takut kehilangannya?

"Ayaaah ... Malam ini Jidan tidur sendiri di kamar Jidan, ya? Kata Kakek, Jidan udah besar jadi ndak boleh tidur sama Ayah sama Bunda lagi. Kata Kakek juga, kalo Jidan endak tidur sama Ayah sama Bunda, Jidan akan dapat adek."

"Uhukk!" Nusaiba tersedak ludahnya sendiri. Sementara Zaid menanggapi dengan kekehan kecil.

Abah masuk sembari bersenandung kecil, bersikap seolah beliau tak pernah mengajari Zidan berkata demikian.

"Jidan mau adek, Yah. Bisa?"

"In Syaa Allah bisa. Zidan berdo'a sama Allah, ya? Semoga Bunda lekas sembuh dan bisa kasih Zidan adek."

Nusaiba spontan melotot. Seenak jidat pria itu berkata 'bisa'. Memangnya siapa yang mengizinkan pria itu menyentuhnya? Memberi Zidan adik, katanya?

Mimpi!

***

Tamaaaaaat.

Belum.

Eh?

Ntahlah.

Hahahah ....



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top