5
Pukul setengah lima Nusaiba terjaga. Hawa mengantuk masih kentara menguasai dirinya. Bagaimana tidak? Semalam usai terbangun pukul 1 dini hari, ia kesulitan memejamkan mata. Lantunan ayat suci Al-Qur'an dari Zaid sangat syahdu walau sayup-sayup terdengar dari kamar sebelah. Pukul 2 dini hari ia masih setia terjaga. Bergerak gelisah di ranjang dan sempat membuat Zidan merengek dalam tidurnya.
Nusaiba tak ingat pukul berapa ia akhirnya terlelap, yang pasti Zaid belum juga masuk ke kamar mereka. Hingga sekarang ia terbangun dan telah mendapati Zaid bersujud di sajadah, khusyu' melaksanakan sholat subuh.
"Apa dia nggak tidur lagi sampai subuh?" pikir Nusaiba.
Tak ingin melalaikan waktu sholatnya, Nusaiba bergegas menyibak selimut, berlari kecil ke kamar mandi, buang hajat beberapa menit, lalu keluar setelah selesai wudhu.
"Sajadahnya sudah saya siapkan. Silakan." Dengan penuh perhatian dan senyum hangat, Zaid mempersilakan Nusaiba sholat subuh di sajadah yang ia siapkan. Sementara pria itu sendiri melepas baju koko dan juga sarungnya. "Saya mau jogging sebentar di luar. Kalau Zidan bangun, tolong dulu, ya? Saya hanya sebentar, kok."
"Hm," respons Nusaiba.
Zaid kembali tersenyum. "Kalau begitu, saya berangkat. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Usai melaksanakan sholat subuh, Nusaiba beranjak ke dapur. Harum aroma masakan tercium sejak ia membuka pintu kamarnya. Ketika tiba di sana, ia melihat sang mertua tengah menyiapkan sarapan.
"Assalamu'alaikum, Ma."
"Wa'alaikumsalam. Gimana malam pertama tidur di rumah ini? Nyenyak, kan?" Bu Widi bertanya dengan senyum hangat tanpa melepaskan tangannya dari wajan dan spatula.
"Alhamdulillah, Ma. Nyenyak banget."
"Alhamdulillah kalau begitu. Mama senang mendengarnya. Kalau kamu merasa ndak nyaman atau apa, bilang sama Mama saja. In Syaa Allah Mama akan membantu mengurangi ketidaknyamanan itu."
Perkataan sang ibu mertua, ditanggapi Nusaiba dengan senyum kecil. Kebaikan hati sang mertua membuat Nusaiba kadang berpikir bahwa alangkah beruntungnya ia memiliki mertua seperti beliau. Setidaknya, ia tak akan mempunyai kisah dramatis layaknya sinetron azab di saluran kuda terbang. Ummi sering menonton sinetron tersebut di kala waktu senggang usai lelah bertani di sawah.
"Mama masak apa? Ucha bisa bantu?"
Berdiam diri tanpa menawarkan diri untuk membantu cukup membuat Nusaiba tidak nyaman. Meski di rumah ia terkenal sebagai putri tidur yang pemalas, tapi ia juga sadar diri di mana ia berada sekarang.
"Mama masak nasi goreng buat Zidan. Pagi-pagi biasanya dia sarapan nasi goreng sama telur mata sapi. Selain itu dia ndak mau. Bahkan ayam goreng saja lewat. Makanya Mama selalu stok telur banyak-banyak. Zidan ndak akan mau makan kalau bukan lauk telur mata sapi."
"Oo ... Begitu? Boleh Ucha bantu?"
"Kamu masak buat Zaid aja, ya?"
"Ha?" Nusaiba terkejut. "Masak buat Zaid katanya? Masak apa? Aku nggak bisa masak."
Bu Widi terkekeh. Beliau tahu apa yang tengah menantunya itu pikirkan. "Jangan kaget begitu. Zaid kalau pagi ndak makan nasi, kok. Dia cuma makan roti sama selai, buah, dan segelas susu. Ndak susah, kan?"
Mendengar itu, Nusaiba mengusap dada, lega. "Baik, Ma."
Ia beranjak ke meja makan. Di sana sudah tersedia beberapa roti. Ia mengambil beberapa, lalu diolesi selai. Setelah itu ia menyiapkan segelas susu untuk Zaid seperti yang mertuanya titahkan.
Di tengah kegiatannya mengaduk susu dalam gelas, Nusaiba dikejutkan dengan sebuah pelukan sepasang tangan mungil di pinggangnya.
Gadis itu menunduk, dan ia tahu siapa pemilik tangan itu. "Zidan?"
"Eh? Cucu Nenek sudah bangun. Mau Nenek buatkan susu?"
Zidan menggeleng. Wajahnya dibenamkan ke pinggang sang ibu. Ketika Nusaiba hendak melepas pelukan anak itu, Zidan tiba-tiba menangis.
Nusaiba panik, demikian juga dengan Bu Widi. "Kenapa, Zidan?"
"Kok malah nangis?" cemas Bu Widi.
"Hueee ..." tangisnya terdengar menyayat. "Jidan ndak mau Bunda pergiii. Jidan pikir Jidan mimpi ketemu Bunda. Jidan takut Jidan punya Bunda itu hanya mimpii. Hik hik."
Ya, Allah. Mendengar tangis Zidan takut kehilangan dirinya, cukup membuat Nusaiba tersayat. Kepala Zidan diusap, ia berjongkok kemudian memeluk anak itu hangat. "Bunda di sini, kok. Bunda itu nyata, bukan hanya mimpu. Jadi, Zidan jangan takut, ya? Jangan nangis."
"Hiks, hiks. Bunda jangan pergi."
"Iya. Bunda nggak akan ke mana-mana. Zidan akan selalu bersama Bunda." Pelukannya dilerai. Air mata yang membasahi pipi anak itu Nusaiba seka. "Belum cuci muka, kan?" Zidan mengangguk. "Ayo, cuci muka sama gosok gigi dulu."
Keduanya melangkah kembali ke kamar. Dengan telaten Nusaiba membimbing Zidan, mencuci mukanya, dan menggosok gigi anak yang kemarin sempat membuatnya kesal. Tapi, setelah kejadian pagi ini, hati Nusaiba berubah. Ia tak sanggup melihat tangis Zidan takut kehilangan dirinya. Benar kata Zaid dan ibu mertuanya, Zidan terlampau bahagia karena memiliki Ibu untuk pertama kalinya.
Ya, Allah. Anak ini tak berdosa. Dia terlahir bukan atas kehendaknya. Namun, perbuatan kedua orang tuanya lah yang menyebabkan Zidan lahir tanpa sebuah ikatan dan tanpa pernah melihat wajah Ibu yang melahirkannya.
Tanpa sadar, Nusaiba menitikkan air mata. Zidan yang melihat dari pantulan cermin saat ia menggosok gigi, berbalik mencemaskan sang ibu. Kegiatannya menggosok gigi terhenti. "Bunda nangis?"
"Eh?" Bergegas Nusaiba menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya. "Enggak. Mata Bunda pedih (perih). Ayo, selesaikan gosok giginya. Habis itu kita sarapan, ya?"
***
"Assalamu'alaikum." Zaid masuk sembari memberi salam. Tubuh atletis dibalut kaos olahraga dan celana training tersebut tampak berkeringat. Pria satu anak itu tampak maskulin dan terlihat lebih tampan saat mengenakan seragam olahraga dengan tubuh berkeringat.
"Wa'alaikumsalam." Bu Widi menyahut sembari menata sarapan di meja makan.
"Zidan belum bangun, Ma?" tanya Zaid. Keringat yang membanjiri wajahnya diseka menggunakan handuk kecil di lehernya.
"Udah, kok. Mama dan Ucha sempat cemas tadi."
Dahi Zaid berkerut. "Kenapa?"
"Bangun tidur dia tiba-tiba memeluk Ucha, dan nangis. Zidan sepertinya takut, dia punya Bunda kemarin hanyalah mimpi." Bu Widi menyeka air mata yang sempat menggelantung di pelupuk netranya. "Jadi, sekarang dia lagi sama bundanya di kamar."
Zaid terdiam. Mendengar cerita mamanya, rasa bersalah itu kembali muncul. Betapa besar kesalahan di masa lalu yang berakibat tidak baik pada putranya. Rasa tidak nyaman juga timbul terhadap Nusaiba. Istrinya itu pasti tertekan dengan semua rengekan Zidan. Betapa ia mengerti bahwa Nusaiba tidak sudi menganggapnya suami, lantas harus mengurus Zidan yang menganggapnya sebagai Ibu kandung.
Helaan napas itu terembus. "Zaid ke kamar dulu, ya, Ma."
Bu Widi menatapnya, lantas mengangguk.
Pria itu melangkah dengan wajah tertunduk. Punggung kekarnya tampak rapuh sekarang. Beban masalah yang dihadapi seolah tak berujung. Namun, sebisa mungkin Zaid mensyukuri semuanya. Allah tengah menguji keimanannya dan kesungguhannya bertaubat melalui ujian sederhana yang Allah berikan saat ini.
"Mata Bunda endak pedih lagi? Kalau masih pedih, Jidan tiup, ya? Biasanya, kalau mata Ayah pedih, Jidan suka tiupkan. Habis itu mata Ayah endak pedih lagi."
Tangan Zaid terhenti di kenop pintu kamar. Ia urung masuk ketika terdengar celoteh Zidan di dalam sana.
"Udah nggak pedih lagi. Tadi kan kita udah cuci muka bersama. Jadi, pedihnya hilang diguyur air."
"Gitu? Waah ... Kalau Jidan pedih nanti Jidan cuci muka aja, ya? Biar pedihnya ilang."
"Anak pintar. Anak siapa, sih?"
"Anak Bundaa. Hihihiii ..."
"Loh? Bukannya anak Ayah, ya?"
"Anak Ayah jugaa. Tapi, tapi, anak Bunda jugaaa."
"Hahaha ... Anak Bunda yang pintar."
Tanpa sadar Zaid mengukir senyum. Celoteh antara Zidan dan Nusaiba di dalam sana cukup melerai kegundahan hatinya. Walau ia tahu Nusaiba terpaksa melakukan itu demi menghibur Zidan, Zaid tetap akan berterima kasih padanya.
Setelah cukup lama menjadi pendengar di balik pintu kamar, Zaid memutuskan memulas kenop pintu. "Assalamu'alaikuum."
"Wa'alaikumsalam."
"Wa'alaikumsalaam, Ayaah ..." Zidan menampilkan senyum lima jari melihat kemunculan sang ayah.
"Eh? Anak Ayah udah mandi? Tumben jam segini udah mandi? Biasanya paling malas kalau diajak mandi pagi." Zaid menghampiri anak dan istrinya yang tengah duduk di pinggiran ranjang. Nusaiba tengah membantu Zidan mengenakan pakaian. "Jangan-jangan habis ngompol, ya?"
"Ih, endaak. Jidan ndak pernah ngompol lagi, Yaah," protes anak itu.
"Terus?"
"Jidan cuma mau mandi ajaa. Kata Bunda, mandi pagi itu segaar dan ciri orang bersiih. Jidan mau selalu bersih, Yaah. Kata Bunda, Bunda suka anak yang bersiih."
"Oh, ya?" Zaid melirik Nusaiba, dan perempuan itu hanya menampilkan riak santai walau tak sekecut sebelumnya. Sempat ia lihat sedikit gurat senyum di wajah itu.
"Makasih, Cha."
"Ng?" Spontanitas Nusaiba menatapnya. "Makasih buat apa?"
"Sudah membuat Zidan bahagia semenjak kamu hadir di sini. Makasih juga karena sudah mengurus Zidan. Maaf karena sudah merepotkanmu."
Nusaiba tersenyum singkat, hanya sekilas. Tapi, Zaid bahagia. "Nggak masalah. Zidan itu juga anakku. Jadi, sudah sewajarnya aku mengurus dia." Ia selesai memberikan bedak ke wajah tampan Zidan. "Sudah selesai. Ke Nenek sana, ya? Nenek sudah menyiapkan sarapan buat Zidan. Bunda mau mandi dulu."
"Okee ... Tapi, nanti kita sarapannya sama-sama, ya?"
Terkekeh, Nusaiba menanggapi. "Iyaa."
"Yeeaay!" Zidan berlari keluar, meninggalkan Zaid dan Nusaiba berdua di kamar.
Kecanggungan kian terasa. Nusaiba gugup. "Aku ... Mau mandi dulu." Nusaiba berdiri, tapi dengan lembut Zaid menyentuh pergelangan tangannya, sehingga ia harus menatap pria itu.
Zaid ikut berdiri. Istri yang hanya sebatas dadanya itu ditatap, Nusaiba terpaksa mendongak. Pikir Nusaiba, entah apa yang ingin pria itu lakukan. Namun, ketika sebuah kecupan lembut itu melayang ke dahinya, hati Nusaiba berdesir. Tangan yang memegang handuk kecil Zidan itu mengepal guna mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba bergejolak di dadanya.
Telapak tangan kanan Zaid menyentuh ubun-ubun Nusaiba dan membuat istrinya itu mengerutkan dahi tak mengerti. Lalu, tiba-tiba ia merasa kedua kakinya meleleh seperti lilin mencair.
"Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih." Dan ditutup dengan satu kecupan di pucuk kepala Nusaiba.
Mereka kembali saling tatap, tapi dengan perasaan Nusaiba yang kacau balau. Seperti baru saja ada gempa bumi di hatinya. Luluh lantak. Apa yang Zaid lakukan barusan lebih baper dari drama Malaysia yang sering ia tonton di Youtube.
"Maaf baru bisa melakukan itu sekarang dan dalam keadaan kita yang sama-sama belum mandi ini." Zaid terkekeh pelan, sementara Nusaiba menatapnya tak berkedip. Ia masih shock, baper berat. "Harusnya saya melakukan itu setelah akad kemarin. Tapi, karena pihak KUA menyuruh kita nggak bisa lama-lama, saya urung melakukannya. Pas tiba di rumah, keadaan rumit kita nggak memungkinkan saya melakukannya. Sekarang, di kesempatan yang ada, saya melakukannya sekarang. Saya berharap, pernikahan kita diberkahi Allah. Kamu akan selalu menjadi istri saya hingga jannah kelak. In Syaa Allah, Aamiin."
"Aamiin." Nusaiba mengikrarkan itu di dalam hati.
Gemas, Zaid mencubit pelan hidung mungil sang istri. "Berkedip, bernapas, Cha."
Setelah itu baru Nusaiba tersadar. Matanya berkedip cepat, napasnya memburu. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia jadi salah tingkah. Hendak ke kamar mandi malah naik ke ranjang. Saat sadar, ia segera turun lantas berlari ke kamar mandi.
Hal itu menimbulkan geli di hati Zaid. Pria itu terkekeh pelan. Handuk di gantungan pintu, diambil. Pintu kamar mandi diketuk. "Cha, kamu lupa bawa handuk."
Pintu kamar mandi terbuka, dan handuk yang Zaid ulurkan diambil tanpa kata.
Blam!
"Kamu nggak sedang lupa untuk bawa pakaian ganti ke kamar mandi, kan?"
Pintu itu kembali terbuka. Nusaiba keluar dengan handuk menutupi kepalanya. Jilbabnya telah basah jatuh ke lantai kamar mandi saat ia membukanya tadi. Ia membuka lemari pakaian, mengambil pakaian ganti dan tak sengaja Zaid lihat dia juga mengambil dua benda keramatnya. Dalaman atas dan bawah.
Dan ...
Blam!
Pintu kamar mandi kembali ditutup.
***
Sidang Isbat yang dilaksanakan oleh Menteri Agama dan berbagai elemen ormas keagamaan, menetapkan bahwa 1 ramadhan 1441 hijriah jatuh pada hari Jum'at tanggal 24 April ini.
Untuk itu, Pemerintah Kota Singkawang telah mempersiapkan berbagai pernak-pernik guna menyambut datangnya bulan yang suci tersebut.
Meski sang Wali Kota berbeda keyakinan serta berbeda etnis dengan masyarakat muslim di sana, beliau turut antusias dengan datangnya bulan penuh berkah tersebut. Sebuah beduk raksasa telah disiapkan di depan Masjid Raya Singkawang, pernak-pernik indah spesial ramadhan telah dipasang di sekitar bundaran 1001 Sakok dan sepanjang jalan kota. Selain itu, sang Wali Kota juga memasang gerbang Ramadhan Fair di jalan Yos Sudarso dan jalan Merdeka.
Kita beda bukan berarti kita tak bisa saling merangkul dan bersatu. Kota yang dijuluki sebagai kota ChiDaYu atau singkatan dari China, Dayak, Melayu tersebut menunjukkan kekompakan sejati. Dalam rangka apa pun, ketiga etnis dan juga suku tersebut saling mendukung dan menghargai. Bahkan bangunan suci tua etnis Tionghoa dan Masjid Raya Singkawang saling berdampingan, tak menghalangi ibadah masing-masing.
Hari ini tepat 16 hari usia pernikahan Nusaiba dan Zaid. Pernikahan yang terjadi di pertengahan Sya'ban dulu kini telah menunjukkan perubahan yang baik. Nusaiba tak lagi seketus dulu. Kini ia dan Zaid telah melebur walau belum ada penyatuan.
"Lusa udah puasa. Zidan harus puasa, ya?" Bu Widi mengingatkan sang cucu perihal puasa ramadhan yang harus dilaksanakan umat muslim sehari penuh selama sebulan. Jika tahun lalu Zidan hanya berpuasa setengah hari, maka kali ini mereka harus mengajarkan Zidan untuk puasa full.
"Setengah hari, kan?"
"Itu dulu. Sekarang Zidan sudah 6 tahun dan sudah duduk di bangku SD, jadi harus belajar puasa sehari penuh, ya?"
Bibir merah muda alami Zidan mengerucut. "Nanti kalau Jidan haus, lapar, gimana?"
"Semua pasti merasa haus dan lapar. Namanya juga puasa. Tapi, kalau kita berhasil menahan rasa lapar dan haus itu, berarti kita berhasil menundukkan hawa nafsu kita. Jadi, Allah kasih pahala yang banyaaak buat kita. Berkali-kali lipat." Zaid membantu sang ibu meyakinkan Zidan.
"Lalu kita semua akan masuk surga?"
"Tentu."
"Jidan masuk surga, Nenek masuk surga, Bunda masuk surga, dan Ayah masuk surga? Nanti kita semua akan kumpul sama-sama di surga?"
Lidah Zaid tiba-tiba kelu untuk menanggapi. Bu Widi menatap Zaid. Beliau tahu apa yang tengah putranya itu renungkan.
Seolah mengerti dengan keadaan, Nusaiba mencoba mencairkan suasana. "Eh? Ayo habiskan makanannya. Habis ini Bunda bikinin susu, ya?"
Mengangguk semangat. "Iya, Bunda."
"Oh, ya, Zaid. Mama kemarin pesan daging dua kilogram sama Bu Aini. Katanya hari ini suaminya udah nyembelih sapi, dan tadi Mama disuruh ambil di Pasar Turi. Kamu bantu Mama ambilkan, ya?" Bu Widi ikut mengubah topik pembicaraan. "Mama ada rapat sama para guru hari ini soal rekap nilai akhir siswa."
Walau perasaannya masih campur aduk, Zaid berusaha menyembunyikan. Ia paham akan kesibukan sang ibu selaku kepala sekolah di An-Najiah tingkat Ibtidaiyah. Sehingga titah sang ibu diangguki walau tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di pasar yang ibunya itu maksud.
Hingga di sinilah dirinya sekarang. Lockdown tak berarti pasar juga tutup. Pasar Turi tetap ramai pengunjung dan tim keamanan setia berjaga, untuk mengingatkan pembeli dan penjual akan aturan social distancing serta aturan mengenakan masker yang pemerintah anjurkan.
"Kamu kenal Bu Aini yang Mama maksud?"
Oleh karena tak tahu seluk beluk pasar, Zaid terpaksa merepotkan Nusaiba agar ikut bersamanya. Mendengar bahwa Bunda dan ayahnya itu akan ke pasar, Zidan menangis ingin ikut. Berkat bujukan Nusaiba, akhirnya Zidan tenang. Anak itu dititipkan sebentar ke istri penjaga An-Najiah.
"Kenal. Tapi, saya nggak tau lapaknya di mana."
"Beliau jual daging aja, kan?"
"Sembako juga kalau nggak salah."
"Kalau begitu, kita ke lapak sembako yang juga menjual daging."
Lokasi pasar yang cukup luas dan padat serta lapak yang berdempet-dempet cukup menyulitkan mereka untuk melangkah. Apalagi dengan aturan social distancing yang dicanangkan. Walau demikian, tetap saja banyak yang tidak mematuhinya.
Setelah cukup lama menjelajah pasar, akhirnya mereka menemukan Bu Aini yang dimaksud.
"Kamu udah biasa ke sini, ya?"
"Ya, bisa dibilang gitu. Ummi sering minta bawa belanja ke sini kalo Abah nggak sempat."
Usai mengambil daging, mereka juga membeli beberapa barang keperluan dapur. Untuk bahan dapur, Zaid lebih banyak mengambil alih. Pasalnya, Nusaiba tak mengerti mana barang yang mertuanya pesan sebelumnya.
"Sering diajak belanja, ya. Tapi, mana kunyit mana jahe aja nggak tau."
Langkah Nusaiba terhenti. Zaid ditatap dengan mata memicing tajam. Ia merasa diledek dengan kalimat yang baru saja pria itu katakan. "Kalau kamu tau, aku nggak tau nggak masalah, kan?"
Zaid terkekeh. "Nggak masalah, kok. Lagian, saya menikahimu bukan untuk jadi koki di dapur saya. Tapi, jadi ratu saya di dunia dan akhirat."
"Ck. Jangan coba-coba ngegombal di sini, ramai tukang daging bawa pisau di sini."
"Emang kenapa kalau tukang daging bawa pisau?"
"Enggak apa-apa. Siapa tau mereka kekurangan pekerja, jadi kamu bisa jadi tukang jagal daging sapi di sini. Aduh!"
"Eh?"
Zaid bergegas mendekati Nusaiba. Istrinya tersebut terseok hampir terjatuh, ketika tak sengaja bahunya disenggol pembeli lain.
"Hati-hati, Cha." Kantong daging dan belanjaan Zaid pindahkan ke tangan kirinya, lalu tangan kanannya menggenggam telapak tangan Nusaiba. "Ayo."
"Aduh. Jantungkuh," gumam hati Nusaiba. Telapak tangannya yang berada dalam genggaman Zaid dipandangi. Terasa hangat dan bisakah ia berpikir bahwa saat ini ia menjadi wanita spesial yang sangat pria itu lindungi?
Namun, harapan itu seolah lenyap ketika tiba-tiba Zaid berhenti dan membuat Nusaiba menabrak punggung lebar pria di depannya tersebut.
"Kenapa berhenti?"
"Olivia?"
Pelan. Tapi, Nusaiba mampu mendengar pria itu menyebut nama seorang perempuan. Ia berusaha mengintip dari balik punggung lebar pria itu, dan tepat. Zaid menatap lurus seorang perempuan di salah satu toko di pasar tersebut.
"Kita pulang." Nusaiba melepas genggaman tangan Zaid. Baru ia tahu bahwa cemburu itu sakit.
***
Ngetik ngebut. Smoga suka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top