4

"Kamu pikir kamu itu ahli surga? Sampai-sampai berani mengecap Zaid sebagai pendosa? Apa yang kamu pikirkan tentang dia, belum tentu kamu itu lebih sempurna dari dia, Cha."

Abah tak dapat mengontrol emosinya tatkala dengan lantangnya Nusaiba protes pada beliau mengatakan bahwa Zaid adalah seorang pendosa besar. Tak tanggung-tanggung, masa lalu Zaid sebagai pezina turut Nusaiba ungkit.

Ketegangan di rumah sederhana di tengah hamparan sawah itu kentara terasa. Abah tak lagi peduli jika tetangga mendengar perdebatan yang terjadi di rumah mereka. Beliau tak dapat membiarkan Nusaiba terus merendahkan pria dengan masa lalu kelam seperti Zaid. Abah punya alasan kuat menikahkan Nusaiba dengan pemuda satu anak tersebut.

"Lantas, apakah hamba seperti dia pantas disebut ahli surga, Bah? Dia pezina, durhaka dan menyebabkan Abi-nya meninggal, punya anak di luar nikah, ugal-ugalan, dan apa laki-laki seperti dia Abah percayai bisa membimbing Ucha?" Nusaiba melipat tangan di dada, lantas berdecih.

"Kamu bicara seperti itu tentang Zaid, apa kamu sudah mengenal dia dengan baik? Kamu tau apa yang dia jalani setelah sadar dari koma? Apa yang dia lakukan demi menebus rasa bersalahnya terhadap Abi, Mama, dan juga anaknya yang tak berdosa itu?" Abah menghela napas. Berusaha mengontrol ledakan emosi yang terus membuncah. "Kamu mendengar penjelasan dia sampai akhir?"

"Ih, sampai akhir mana yang dimaksud? Sampai akhirnya dia dan mamanya memutuskan merawat Zidan itu? Ucha nggak butuh penjelasan dia sampai akhir. Cukup sampai di sana, Ucha udah paham semuanya."

"Kamu itu sok paham. Makanya kamu itu selalu salah paham. Menghakimi seseorang yang belum tentu bersalah. Sok menghakimi dia sebagai pendosa, pezina. Kita ini yang merasa selalu taat beribadah, belum tentu jadi ahli surga. Kelakuan kamu, sama orang tua aja masih suka ngeledek, ah ih uh eh oh kalo disuruh. Saat disuruh sesuatu untuk kebaikan, kamu teriak-teriak mirip monyet punya Daeng Rusli kalo lagi kelaparan. Muhasabah diri dulu, Cha, sebelum menghakimi orang lain. Ngaca lama-lama. Kalo kaca di kamarmu kurang besar, Abah belikan kaca sebesar pintu biar kamu sadar siapa diri kamu itu dibanding ke-istiqomah-an Zaid dalam bertaubat." Abah mencaplok sebiji pastel yang biasa orang Kalimantan Barat sebut korket, lalu dicocolkan ke saus cabe sebelum beliau makan.

Menceramahi Nusaiba itu butuh energi yang banyak. Abah kerap merasa haus dan lapar ketika harus menceramahi Nusaiba. Untungnya, Ummi Zulaikha selalu mengerti apa yang beliau butuhkan. Maka, ketika Abah mulai ceramah pada Nusaiba, Ummi bergegas menyiapkan cemilan dan minuman dingin.

Ummi Zu memang istri Abah tercinta.

"Abah kenapa malah belain dia, sih? Abah udah disogok apa sama dia? Abah, ingat kan makan hasil sogokan itu dosa besar," selidik Nusaiba dengan mata memicing.

"Abah siram kamu pake kuah cabe ini, ya?" kesal Abah. "Sembarangan nuduh Abah seperti itu. Kamu pikir Abah itu mata duitan? Tanah Abah banyak, kalo Abah bangkrut, Abah jual tanah-tanah Abah, bukan malah nerima sogokan dari orang."

"Lalu, kenapa Abah ngotot pengen Ucha nikah sama dia?"

"Karena dia pria yang tepat untuk membimbing kamu. Dia dulunya memang seorang pembuat onar, tapi kamu dengar sendiri bagaimana dia ditegur Allah melalui kecelakaan berat dan koma 5 bulan lamanya? Itu bukan waktu singkat. 5 bulan ruh mengambang ke sana ke mari seorang diri." Abah menyeruput kopi hitam seduhan sang istri. "Begitu terbangun, dia langsung insaf. Dia belajar tentang agama dari nol lagi, belajar sampai ke Mesir meninggalkan Zidan bayi dengan mamanya. Belajar tentang Al-Qur'an hingga akhirnya dia berhasil jadi hafidz. Apa Abah salah menikahkanmu sama laki-laki seperti Zaid? Nggak semua orang diberikan hidayah dan kesempatan untuk bertaubat, Cha. Masa lalu dijadikan sebagai pengajaran, Cha. Demikian Zaid mencoba belajar dari masa lalunya yang kelam." Pastel terakhir kembali Abah makan. "Zu, korket di piring Abang udah habis. Tambah, ya."

"Iya, Bang." Ummi hanya menuruti titah sang suami.

Menelan kunyahan pastel terakhir di piring, Abah kembali menatap Nusaiba. "Zaid itu suami terbaik buat kamu, Cha. Abah nggak pernah sembarangan nyari laki-laki yang akan mendampingi putri kesayangan Abah seumur hidupnya. Menikah bukan hanya perkara dunia, Cha. Tapi juga untuk di akhirat kelak. Coba terima dia, Cha. Lembutkan hatimu, terima Zaid dan Zidan, ya?"

"Ini berat buat Ucha, Bah."

Abah menghela napas. Beliau sudah berusaha menjelaskan apa tujuan beliau menikahkan anak gadisnya itu dengan Zaid. Sayangnya, Nusaiba tak bisa untuk mengerti.

"Nanti, kalau Allah menarik nyawa Abah seperti Allah menarik nyawa Abi-nya Zaid, kamu jangan menyesal, ya?"

"Abaaah ..." Sisi manja Nusaiba muncul. Membahas soal kematian, Nusaiba sangat takut. Takut kehilangan keluarga yang ia cintai. Jika mereka tiada, pada siapa lagi ia ingin berlindung? Pada kedua abangnya, cukup tidak mungkin karena kedua abangnya telah repot dengan keluarga kecilnya masing-masing.

"Maka dari itu, coba lembutin sedikit hatimu itu. Terima Zaid dan Zidan. Biar kalo Abah dan Ummi nggak ada, ada mereka yang akan menguatkanmu."

"Abah jangan ngomong begitu. Ucha takut."

Abah tak bersuara. Beliau memasang wajah menyedihkan, men-dramatisir keadaan. Biasanya dengan cara demikian, Nusaiba berhasil Abah bujuk.

"Iya, deh, iyaaa. Abah jangan ngomong begitu lagii ..."

Senyum Abah terkembang lebar, demikian juga dengan senyum Ummi. Jawaban itu yang ingin mereka dengar dari mulut Nusaiba, walau dengan sedikit adegan drama sejenak.

"Nanti sore Zaid ke sini, jemput kamu. Kamu udah beres-beres?"

Nusaiba menggeleng.

"Mau Abah bantuin?"

"Abah nggak sabar ingin ngusir Ucha dari rumah ini, ya?"

"Ih, siapa bilang? Enggak lah. Bukan ngusir itu namanya, tapi nyuruh segera pindah aja."

"Sama aja, Abah!" kesal Nusaiba.

"Oh? Sejak kapan mereka punya makna sama? Ah, Abah ketinggalan informasi." Abah nenyahut santai. Pastel yang masih mengeluarkan asap petanda gorengan itu baru saja dimasak, langsung dicaplok.

***

"Assalamu'alaikuum ..." Zaid masuk ke rumahnya sembari menggeret koper sang istri.

Di belakang, Nusaiba melangkahkan kaki sedikit enggan. Wajahnya tampak kecut, tak ada senyum. Namun, tak gadis itu pungkiri bahwa ia takjub dengan kemewahan rumah sang suami.

Berada di kompleks pesantren An-Najiah milik ayahnya Zaid, rumah itu berdiri dengan cukup mewah jika dibanding rumah Nusaiba yang sederhana di tengah sawah becek.

Nusaiba juga tak menyangka jika lokasi rumah mereka tak terlalu jauh. Jika rumah Nusaiba terletak di kawasan pusat perbelanjaan alias Mall di Jalan Tani, maka rumah Zaid berada di Jalan Alianyang, yang mana kedua jalan tersebut saling bersisian. Hanya saja, Jalan Tani di belakang, Jalan Alianyang menjadi jalan utama. Kedua jalan tersebut berujung pada satu titik. Sama-sama menuju arah pergi ke Pontianak, sama-sama menuju arah pulang ke Sambas.

"Bundaaaa ..."

Nusaiba tersentak kaget saat ia tengah mengamati sekeliling rumah suaminya, tubuhnya tiba-tiba ditubruk seorang bocah. Matanya membulat. "Aa ... Apa katanya tadi? Bunda??"

Berbanding terbalik dengan apa yang Nusaiba rasakan, Zidan menyambut kedatangan perempuan yang ia panggil Bunda tersebut dengan perasaan luar biasa bahagia. Senyumnya terkembang sempurna hingga menampilkan deretan giginya yang bolong satu. Pelukan lengannya pada pinggang Nusaiba begitu erat. Zidan mendongak, masih dengan cengir bahagianya. "Selamat datang, Bundaa. Bundanya Jidan cantik sekaliii ..."

Oh, apakah Nusaiba tengah disanjung? Bolehkah ia bahagia atas pujian dari bocah ompong itu?

"Ajak Bunda masuk dulu, Sayang," kata Zaid. Pria itu melangkah terlebih dahulu, membawa koper Nusaiba dan meletakkannya di kamar mereka.

"Ayo, Bunda." Tangan Nusaiba ditarik. "Nenek udah masak makan malam buat kita, Nda. Nenek masak enak dan banyaak. Bunda suka makan apa? Nanti Jidan bilang ke Nenek buat dimasak. Kalo Jidan, Jidan suka telur mata sapi, Ndak. Kasih kecap enaak. Bunda suka telur mata sapi juga?"

Ya, ampun. Nusaiba tak menyangka jika anak Zaid tersebut banyak bicara. Bocah itu bicara seolah tak memberi Nusaiba kesempatan untuk menanggapi.

Zidan menghentikan langkahnya, dan Nusaiba juga terpaksa menghentikan langkah. Zidan mendongak, menatap perempuan yang ia pikir ibu kandungnya tersebut dengan kedua alis saling bertaut. "Bunda kenapa ndak jawab-jawab? Ah, Jidan banyak omong, ya? Maap, Bundaa." Seketika senyum ceria Zidan menghilang. Ia merasa bersalah pada Bunda.

Nusaiba kelabakan. Melihat ekspresi kecewa Zidan, ia turut merasa bersalah. Gadis itu kemudian berjongkok, menyetarakan tubuhnya dengan Zidan. "Bukan begitu, Dek." Nusaiba menggaruk kepala berlapis hijabnya. "A ... ak ... Umm ... Bunda hanya terlalu bahagia bertemu Adek."

Awalnya, Nusaiba merasa janggal menyebut dirinya sendiri 'Bunda'. Ia hampir salah bicara, menyebut dirinya 'Aku' yang kadang sebagian orang Singkawang anggap sebagai kata yang kurang sopan. Oleh karena di hadapan anak kecil, Nusaiba terpaksa harus berpura-pura menjadi gadis lembut sekarang.

"Bunda bahagia ketemu Jidan?" Senyum Zidan kembali terkembang. Ia bersorak riang, lalu spontan memeluk leher Nusaiba. "Jidan sayang Bundaa."

Dari arah dapur Bu Widi menyaksikan adegan antara menantu dan cucunya tersebut dengan mata berkaca-kaca. Beliau melihat rona bahagia yang berbeda dari wajah Zidan selama 6 tahun ini. Memiliki Ibu adalah keinginannya sejak dulu. Hanya saja, beliau dan Zaid bisa apa jika mereka belum bisa memberikan Zidan seorang Ibu? Bahkan ibu kandungnya sendiri menghilang tanpa jejak sejak meninggalkan Zidan di depan rumahnya.

Mengusap air disudut mata beliau, Bu Widi melangkah mendekat. "Zidan, ajak bundanya duduk dulu. Bunda kan baru nyampai itu."

Melerai pelukannya, Zidan menyengir. "Ayo, Bunda. Duduk dulu. Zidan ambilkan cemilan favorit Zidan, ya? Bunda pasti suka."

Belum sempat Nusaiba menanggapi, Zidan telah berlari ke dapur. Bu Widi yang menyaksikan, hanya terkekeh. "Zidan hanya terlalu bahagia, Cha. Dia sudah menantikan bundanya selama ini. Bagi Zidan, kamu adalah Bunda pertamanya."

"I ... Iya, Ma."

"Ya, sudah. Kamu duduk dulu, ya? Atau mau ke kamar dulu? Zaid masih di dalam, kan? Mama mau lanjut masak dulu."

Tersenyum, Nusaiba mengangguk.

Entah kenapa, begitu tiba di rumah sang suami, jiwa urakan Nusaiba lenyap. Bu Widi juga melihat sisi berbeda dari menantunya tersebut. Jika kemarin lalu beliau melihat Nusaiba yang banyak bicara dan terus memasang wajah kecut, sekarang dia terlihat manis. Mungkin Nusaiba merasa asing di sana dan tidak ada Abah maupun Ummi yang akan membelanya jika ia berbuat ulah di rumah tersebut.

***

"Jidan mau mandi sama Bunda."

"Jidan nanti pakai baju sama Bunda, ya?"

"Mau makan disuapin Bunda."

"Jidan mau susu dibuatin sama Bunda."

"Gosok gigi sama Bunda."

"Jidan mau bobok sama Bunda."

Lama-lama Nusaiba jengah. Semenjak ia tiba di rumah Zaid tadi sore, Zidan seolah tak ingin lepas dari Nusaiba. Terus menempel di sebelah Nusaiba. Apa-apa mau dilakukan sama Bunda. Tiba-tiba Nusaiba berpikir bahwa ia dinikahi Zaid bukan untuk menjadi istri, tapi menjadi seorang babysitter. Paling menyebalkan ketika Zaid hanya diam saja ketika melihat anaknya merengek ini dan itu pada Nusaiba.

Zaid tak tahu saja jika setelah ini Nusaiba akan membuat perhitungan dengannya.

"Aku mau ngomong sama kamu."

Zaid baru saja selesai gosok gigi dan berwudhu. Kebiasaan pria itu sebelum tidur adalah berwudhu.

"Ngomong apa?" Pria itu naik ke ranjang. Mengecup dahi Zidan yang tertidur di tengah-tengah mereka.

Bayangkan. Bagaimana mereka akan melakukan ritual malam pertama jika ada curut kecil di tengah-tengah mereka?

Tunggu, tunggu. Nusaiba menepuk kepalanya yang telah berpikir yang tidak-tidak. Malam pertama apanya? Nusaiba masih tidak rela dinikahi Zaid, kok.

Nusaiba melipat tangan di dada. "Anakmu menyebalkan."

Alis Zaid terangkat. "Apa yang sudah Zidan lakukan ke kamu? Apa dia menyakitimu?"

"Bukan menyebalkan seperti itu yang kumaksud. Maksud kamu apa membiarkan anakmu itu merengek ini dan itu ke aku? Bukannya melarang dia, kamu senyam-senyum aja. Kamu pikir aku pengasuh di sini? Dia kan punya pengasuh sendiri, mana dia?"

"Pengasuh Zidan itu istri dari penjaga An-Najiah. Bukan pengasuh sebenarnya, tapi saya dan Mama sering minta jagain Zidan sama beliau kalau kami berdua sama-sama sibuk." Zaid membetulkan selimut Zidan. "Apa ... Kamu merasa direpotkan Zidan beberapa jam ini? Maaf kalau begitu. Zidan hanya terlalu bahagia karena punya Ibu. Pikir saya, kamu nggak keberatan karena keliatannya kamu juga bahagia."

"Terpaksa lebih tepatnya," sahur Nusaiba ketus. "Anakmu itu pintar ngerayu. Persis bapaknya."

Zaid mengulum senyum. "Saya merasa belum pernah merayu kamu. Kok kamu tau?"

Nusaiba salah tingkah. Bola matanya bergerak gusar. "Maksudku, bukan ngerayu aku lah," dalihnya. "Lihat bagaimana kamu pintar merayu Abah sehingga Abah memaksaku nikah sama kamu. Apa hebatnya laki-laki seperti kamu ini? Ck."

Senyum Zaid pudar. Ia merasa tersinggung dengan kata-kata terakhir yang istrinya itu ucapkan. Zaid seolah kembali disadarkan akan dosanya di masa lalu. Pria itu menyibak selimut Zidan. "Kalau kamu nggak nyaman Zidan tidur di sini, saya pindahkan dia ke kamarnya dulu, ya?"

"Eeh? Jangan."

Zaid berhenti. "Kenapa? Saya takut kamu nggak nyaman karena ranjangnya jadi sempit."

"Jangan coba-coba pindahkan Zidan ke kamarnya. Biarkan dia di situ. Nanti kamu malah ngambil kesempatan," dengus Nusaiba.

Zaid tak dapat menahan ledakan tawanya. Sungguh, ia tak pernah berpikir akan memaksa gadis itu menyerahkan kegadisannya. "Saya nggak akan memaksa kamu, Cha. Saya ngerti, kok. Kamu belum siap menerima saya sebagai suami kamu. Saya menikah bukan karena Zidan, dan bukan karena nafsu semata. Tapi, saya menikah karena tulus demi menyempurnakan agama saya dan mencoba untuk menjadi imam yang baik bagi keluarga saya. Jadi, jangan takut sama saya dan berpikir saya akan memangsa kamu di malam hari. Kamu tenang aja."

Aduh, Nusaiba mendadak tak enak hati. Apa ia sudah keterlaluan lagi kali ini?

Tanpa melepaskan hijabnya, Nusaiba menjatuhkan diri ke ranjang, tidur dengan posisi membelakangi Zidan san Zaid.

"Selamat malam, Cha."

"Hm," tanggapnya datar.

***

Nusaiba terbangun. Ia melihat jam yang tergantung di dinding kamar, jam 1 dini hari. Perutnya terasa berat. Begitu dilihat, Zidan menjadikan tubuhnya seperti guling. Lengan Zidan melingkar di perutnya dan kaki anak itu menumpang enteng di kaki Nusaiba.

Perlahan, Nusaiba melepas tangan dan kaki kecil itu. Ia haus, hendak mengambil air di dapur. Baru saja ia hendak menurunkan kakinya ke lantai, ia baru sadar jika sejak tadi Zaid tengah melaksanakan sholat tahajjud.

Nusaiba tersentuh. Sungguh. Pria sholeh adalah suami impian Nusaiba. Pria yang sering terbangun tengah malam untuk bersujud di hadapan Allah dalam hamparan sajadah. Membayangkan sang suami kelak akan membangunkannya dengan lembut untuk mengajaknya sholat tahajjud bersama. Sayang, masa lalu Zaid yang melenceng dari ajaran agama membuat Nusaiba ilfeel dan belum bisa menerimanya sepenuh hati.

Mengabaikan Zaid, ia melangkah ke dapur, mengambil segelas air dan menandaskannya di sana. Ketika kembali, ia terpaku di muka pintu.

" ... Ampuni segala dosa hamba di masa lalu, Ya Allah. Hamba bukanlah sosok sempurna yang selalu taat pada-Mu. Hamba manusia hina yang tak pantas mengharapkan surga-Mu. Hamba hanya memohon pada-Mu, mohon ampuni segala dosa-dosa hamba-Mu yang hina ini, Ya Allah."

Dapat Nusaiba lihat tangan yang menengadah itu bergetar. Demikian juga dengan suaranya. Zaid menangis. Pria itu tak main-main dalam meminta ampun pada Sang Pencipta. Bahkan setelah enam tahun, pria itu masih tak puas dengan kalimat ampunan yang ia rapalkan. Enam tahun memohon ampun setiap usai sholatnya, Zaid masih merasa belum pantas mendapat ampunan dari Allah.

"Robbana zholamnaa anfusanaa. Wa illamtaghfirlanaa wa tarhamnaa. Lanakuunanna minal khoosiriin.

Nusaiba bergegas menuju ranjang. Tak ingin Zaid menyadari bahwa ia mendengar doa-doanya. Ia tak ingin Zaid malu karena Nusaiba mendengarnya menangis meminta ampunan. Namun, belum sempat ia membaringkan diri, Zaid bersuara.

"Habis dari mana?"

Gadis itu membalik tubuh, menatap Zaid. "Habis minum di dapur."

"Haus?"

"Iyalah. Kalo lapar bukan minum namanya." Seperti biasa, Nusaiba menanggapi perkataan Zaid dengan ketus.

"Ya udah. Tidur aja lagi." Zaid siap keluar.

"Mau ke mana?"

Tersenyum, Zaid menjawab, "Saya mau ngaji di kamar sebelah."

"Kenapa nggak di sini aja?"

"Takut ganggu kamu tidur. Kenapa? Mau ditemani tidur?" Sesempatnya Zaid menggoda.

"Ish. Ngarep," lalu menenggelamkan diri dalam selimut.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top