Percakapan Tengah Malam
Warning: Anak kecil dilarang mendekat. Kalau mau baca, yaudah gapapa
****
Kami bertemu tidak lama setelah acara pameran buku selesai. Hari itu basah, lembab, dan panas. Hujan menjebak kami berdua di teras toko yang tutup. Malam-malam, hampir pukul dua belas tengah gulita. Di sebelah lampu lalu lintas yang berkedip-kedip kuning, petir menggelegar.
Smartohone-ku kehabisan baterai. Merasa kedinginan sekaligus pengap, aku longgarkan jaket yang basah dan melototi kau juga melakukan hal yang sama.
"Hai," sapamu. Aku tersenyum mengangguk. Tidak ada percakapan, sampai kau sendiri membuka suara, "Pulang telat ya?"
"Iya," aku jawab sekenanya. Pameran usai pukul sepuluh. Sebagai salah satu anggota seksi peralatan, aku bertugas mengamankan barang-barang berharga ke gudang. Bersama rekan-rekan pecinta buku lainnya, kami mengobrol sampai suntuk dan lupa gedung sebentar lagi akan digembok.
Naasnya, ban motorku bocor. Aku baru sempat mengabarkan posisi pada Nina sebelum smartphone-ku mati kehabisan daya. Dia akan menjemputku secepatnya. Tetapi harus menunggu hujan reda. Seperti malaikat, kau tiba-tiba muncul dari kegelapan dan menemaniku melewati detik-detik yang membosankan.
Kau bukan orang asing, aku tahu itu. Namamu hilang-timbul dalam kepala. Antara Dimas, Firman, atau Angga. Kita satu grup whatsapp dan sering bertukar pendapat. Entah kau penganut pop atau nyastra, aku lupa. Aku sering lupa belakangan ini. Lupa tanggal, lupa cuaca, lupa jadi manusia.
"Mau kuantar pulang?" tanyamu tiba-tiba.
Kita bukan orang asing. Hampir tiga tahun mengenal seharusnya aku percaya. Dimas/Firman/Angga bukan orang sembarangan. Tetapi radarku menancapkan papan awas. Mundur atau kutebas, gesturku merapat seiring gerakan kakinya yang coba mendekati tempatku berpijak.
"Enggak, ya?" Dimas/Firman/Angga coba menjebak dengan dua kata kontradiksi berdekatan. Aku pun menjawab:
"Nunggu teman."
"Teman?"
"Nina."
"Oh, Vivi."
"Bukan, Nina," aku bersikeras. Di kontakku namanya Nina. Teman-teman memanggilnya Vivi atau Vivian atau Vianita. Yang mana pun jadi. "Kamu, siapa?"
Itu pertanyaan paling konyol yang pernah kulontarkan. Lihat, kau sekarang tertawa.
"Sudah kenal lama padahal. Ini Glen."
Aku menggeleng, bukan nama alias yang kumaksud. Nama aslimu. Lantas kau paham maksud pertanyaanku. "Aku Dimas."
Benar 'kan, salah satu antara Firman/Dimas/Angga. Dari perkenalan singkat, kita mengenalkan posisi di pameran dan buku kesukaan. Buku kesukaan itu pengungkap kepribadian. Penulis favorit, kutipan yang membekas dalam hidup, adalah cara mengenal orang lebih cepat ketimbang ia sekolah di mana dan apa pekerjaannya.
Aku dikenal karena Inkarnasi-nya Susan Barker. Sementara Dimas dikenal karena menyukai Eka Kurniawan dan Cantik itu Luka. Tulisan favorit kita tidak jauh berbeda, sebutku. Karena Cantik itu Luka punya alur yang memusingkan. Dari akhir cerita, kita dibawa ke awal hanya dalam jarak satu lembar. Inkarnasi juga demikian, tiba-tiba saja kita menelusuri si Burung Pipit padahal tadi berkisah tentang putri petinggi partai komunis.
"Tapi, buku Eka kan mesum," candaku, sedikit penasaran pada ekspresi Dimas bila sesembahannya kucela. Tetapi Dimas cuma tersenyum.
"Semua laki-laki itu sange, gimana cara melampiaskannya aja yang membedakan dengan hewan."
"Jadi, Eka sangean?"
"Baca aja bukunya. Menurutmu?"
Dia tidak mau menjawab, dia menungguku meneguk ludah sendiri. "Menurutku, ya."
"Inkarnasi juga sangean."
Anehnya ada yang mendidih dalam kepala. Inkarnasi ditulis oleh perempuan. Alurnya juga acak. Isinya menceritakan lapis demi lapis kehidupan dan karma dari tiap perbuatan. Memang ada adegan panasnya, tetapi lebih implisit ketimbang Eka yang terang-terangan menulis 'ngaceng'.
"Inkarnasi lebih bagus."
"Hanya karena ditulis lebih halus," bantah Dimas. "Isinya tetap saja panas."
"Memang apa yang membedakan tulisan esek-esek dengan karya sastra?"
"Bungkusnya, menurutmu?" Dimas lagi-lagi melempar tanggung jawab dengan nada bertanya. Ia tidak pernah menjadi pasti, harus selalu aku yang menyimpulkan.
"Entahlah, preferensi?" aku balas berkelit.
Dimas cuma tertawa kecil dan mencari posisi duduk jongkok yang enak. Sepertinya sulit karena ia memakai celana jeans dan benda di antara selangkangannya terjepit. Jadi ia berdiri lagi dan memutuskan bersandar pada pintu toko yang tutup. "Begini, kamu cewek, apa merasa pantas bahas masalah ini?"
Tidak. Aku hidup dalam buku-buku cerita. Sejak awal pangeran mencari putri di dalam menara. Untuk apa? Hidup bahagia selamanya. Untuk menikahi gadis tercantik seantero kerajaan. Bagiku itu bukan hal yang tabu, karena sastra memakluminya sebagai bagian dari diri manusia. Kita lahir dari siklus berbuah dan berkembang biak. Kenapa perempuan harus malu?
"Menurutmu?" aku membalas Dimas.
"Entahlah," baru kali itu Dimas tidak yakin. "Aku takut, sebenarnya. Dalam sastra ada sebutan sastra wangi, yaitu penulis-penulis wanita yang terang-terangan mengeskplorasi sisi seksual dalam hidupnya. Ayu Utami, contohnya."
"Jadi, Ayu Utami sangean?"
Dimas hampir tersedak liurnya sendiri dan terbatuk-batuk. Ia bukan perokok, jadi hanya akua botol dalam ransel yang dapat menenangkan kegelisahannya. Tangan Dimas bergetar, bukan karena dingin. Tatapannya lurus ke depan, ke hujan yang seperti berlangsung selamanya.
"Cewek sange itu gimana sih?"
"Manakutahu," jawabku cepat. Dan tiba-tiba jadi ikut berpikir juga, sange-nya kami gimana.
"Kalau laki-laki sange 'kan, ada yang berdiri. Nah, kalau cewek?"
"Jadi pengen?" jawabku meragu, tiba-tiba mempertanyakan gender sendiri.
"Pengen doang? Gak ada tanda-tandanya gitu?"
"Manakutahu," jawabku lagi. "Aku gak pernah sange."
"Masa?" Dimas tidak puas. "Habis baca Inkarnasi gak ada apa-apa gitu?"
"Gak ada. Biasa aja."
"Aneh."
"Kamu yang aneh, tiba-tiba nanya, gak sopan."
"Kata kamu tidak apa-apa. Sekarang marah. Memang aneh."
Diam. Kami saling memalingkan muka. Hanya hujan yang mengisi kekosongan. Lampu lalu lintas masih berkedip kuning. Kilat menyambar tetapi petir bergemuruh di kejauhan. Tempias air mendinginkan kepala. Harusnya aku tidak kesal Dimas bertanya gitu. Kenapa aku justru takut Dimas berpikir macam-macam sekarang.
"Dim," panggilku lemah.
"Ya?"
"Aku kelihatan kayak cewek gampangan ya?"
Dimas hampir tersedak dua kali. Cepat-cepat ia menandaskan isi akua sampai tetes terakhir. Lalu meremas botol tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. "Kenapa begitu?"
Iya, kenapa begitu? Apakah Ayu Utami juga termasuk cewek gampangan padahal jelas-jelas membuat karya yang terkesan cabul di mata orang awam. Laksmi Pamuntjak juga beberapa kali membuat adegan panas dalam Amba-nya. Avianti Armand pun pernah. Banyak penulis perempuan melakukan hal tersebut. Dari yang kastanya dianggap adiluhung sampai remah-remah emperan dunia maya. Apalagi sejak situs-situs kepenulisan muncul. CEO tampan, badboy alim, dan pilot rupawan.
Perempuan sebenarnya juga ingin melampiaskan hasratnya, tetapi dikekang norma dan tuntutan awam. "Karena aku terlalu terbuka masalah begini. Aku takut, teman-teman di whatsapp berpikir, kalau aku bisa dilampiasin."
"Enggak." Dimas menjawab cepat. "Aku gak mikir gitu. Aku cuma takut kamu jadi feminis garis keras."
"Ha? Mereka kenapa?"
Dimas menghela napas panjang. "Mereka terlalu frontal. Kadang sampai tahap menakutkan. Pokoknya nyebelin."
"Gitu doang?"
"Iya."
"Lalu aku?"
"Aku mikirnya gak papa. Kita sama-sama paham karakter kita dalam group." Karakter tukang drama, tukang curhat, tukang marah-marah, dan sebagainya. Kita memiliki begitu banyak kelebihan dan kekurangan. Tetapi satu yang mengeratkan: rasa sayang.
Aku sayang Dimas, sayang Nina/Vivian/Vianita. Kami bisa bertemu dan bekerja sama dalam pameran buku saja sudah merupakan pengalaman luar biasa. Namun, rasa sayang itu punya risiko. Kita jadi melewati batas norma dan akhirnya campur-baur dengan dalih penasaran, jujur, dan rasa nyaman.
Kita terlalu nyaman memaki-maki sampai lupa ada teman yang merasa risi. Kita terlalu penasaran pada hal-hal tak patut sampai melewati batas privasi. Kita dibutakan kejujuran padahal itu cuma pelampiasan dari kekangan norma saja.
"Siapa tahu jadi illfeel," aku mengaku.
"Akan kuingatkan," Dimas menyakinkan. "Toh, manusia tidak ada yang sempurna. Katanya, jodoh itu cerminan pribadi kita. Semoga kamu dapat cowok alim biar dituntun ke jalan yang benar."
"Kalau sangean?"
"Itu tergantung kamu, kan? Mau dengan cowok sangean?"
Kalau ke-sange-annya bisa dijadikan mahakarya seperti Cantik itu Luka, tidak masalah. Toh, perempuan dalam ke-sange-annya bisa menciptakan karya-karya fantastis juga. Tidak ada yang salah menjadi lebih terbuka dalam hal yang dianggap tabu dalam masyarakat. Tinggal kita memilih tempat yang pas untuk mengekspresikannya. Lalu memahami risikonya.
Di grup whatsapp, aku cerita karena aku mau. Aku tidak dipaksa, aku juga minta diingatkan jika sudah melewati batas. Karena pada dasarnya aku juga manusia. Manusia yang ternyata bisa menerima sisiku yang dibuang oleh perempuan-perempuan pada umumnya.
"Aku akan mengurangi tingkahku kalau mengganggu."
"Apa? Baca cerita esek-esek?"
"Bukan ih!" Aku mencubit lengan Dimas keras-keras. Laki-laki itu berjengit, lalu mengaduh kesakitan, dan hanya bisa mengelus lengannya yang nyeri.
"Aku mau tobat jadi sange depan kalian. Walau aku gak ngerti sange perempuan gimana. Mending aku bikin cerita untuk melampiaskan hasrat, daripada ngelampiasin ke kalian."
"Bagus, ini baru semangat."
"Jadi, bagaimana Inkarnasi?" tanyaku kembali ke topik awal.
"Ribet. Mending baca bukunya Enny Arrow aja, beres."
Kami tertawa bersama malam itu.
****
Catatan penulis: enggak gaes, aku gak sangean. Cuma hasil kegelisahan aja, ciyusan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top